Tiba-tiba sudah di penghujung tahun. Tiba-tiba waktu seakan berjalan lebih cepat dari biasanya. Tiba-tiba tahun sudah akan berhenti. Waktu adalah lingkaran yang mengitari dirinya sendiri, kata Mumu Aloha. Apa yang telah kita lakukan di hari-hari kemarin? Ke mana saja kita pergi? Apakah kita merasa lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya? Atau justru merasa lebih buruk? Dunia mengulang dirinya sendiri, setepat-tepatnya, dan selama-lamanya, kata fisikawan dan novelis Alan Lightman.
Pada tahun ini nyaris tak banyak hal besar yang dapat saya lakukan. Bahkan hampir tak ada sama sekali. Saya seperti mayat hidup. Banyak target meleset jauh. Dan itu bukan salah siapa-siapa, bahkan diri saya sendiri. Saya tak mau menyalahkan diri sendiri hanya karena, misalnya, saya gagal wisuda tahun ini karena laptop saya rusak dan saya harus mengulang membuat proposal penelitian dari awal lagi. Atau saya harus menangis sejadi-jadinya sebab sahabat saya, pada tahun ini, wisuda duluan dan sekarang sudah mendapatkan pekerjaan. Bagaimana pun itu hal yang tak bisa saya kendalikan.
Beberapa hari yang lalu saya bertemu kawan baru---anggap saja begitu; sebab kami baru saja kenalan. Dia bercerita bahwa tahun 2021 adalah tahun terburuk dalam hidupnya. Bagaimana tidak, pada umurnya yang baru dua puluh lima, utangnya sudah hampir mencapai 100 juta. Saya terbelalak. "Karena main Crypto. Semua aset terjual. Kamera, laptop, hp. Dan aku salah karena pinjam online," katanya sambil mengenang.
Seorang teman lainnya mengeluh karena susah mendapat pekerjaan. Lainnya lagi justru sedang sumringah dan berdebar merintis usahanya sendiri.
2021 memiliki kisahnya sendiri. Banyak orang berduka karena kehilangan keluarga, kekasih, orang-orang tercinta, dan pekerjaan. Mereka merasa kalah oleh keadaan. Banyak hal buruk terjadi.
Tetapi setahun yang singkat ini bukan hanya tentang mereka yang merasa kalah. Mereka yang bakal meninggalkan tahun dengan sumpah serapah. Namun juga tentang banyak harapan yang tercapai; banyak rencana yang terealisasikan; banyak cinta yang bersatu; dan masih banyak hal membahagiakan lainnya yang terjadi pada tahun ini.
Sahabat saya lulus kuliah pada tahun ini. Dia pulang kampung dan langsung mendapat pekerjaan. Dia senang dengan pekerjaan itu. Dia bahagia. Hanya saja dia sedikit kesepian. Sahabat saya yang lain memilih menikah. Menjalin rumah tangga dengan penghasilan yang pas-pasan. Tapi dia berani. Istrinya tak mempermasalahkan itu. Orang tuanya, mertuanya, mendukungnya. Dia bahagia.
Saya teringat kata Mumu Aloha dalam esai "Kemungkinan Terburuk Hanyalah Memulai Kembali": Hari terakhir menjelang pergantian tahun terasa sangat panjang oleh bayangan-bayangan, ingatan-ingatan, dan renungan-renungan yang sambung-menyambung tiada habisnya. Kata "bersyukur" mendadak menjadi begitu berarti, dan mungkin untuk pertama kalinya maknanya benar-benar kita resapi.
Ya, saya bersyukur untuk banyak hal. Salah satunya pada tahun ini saya tidak sendiri, ada seseorang yang menemani saya pada masa sulit seperti ini. Seorang gadis yang baik, cantik, lucu, cerewet, tangguh---walaupun kadang agak manja. Bahkan kadang dia bijak. Dia pernah bilang begini, "Hal tersulit memang menerima diri sendiri, memaksa diri sendiri berjuang dan masih bilang ke diri sendiri belum melakukan apa-apa, belajar sayangi diri sendiri deh, apresiasi diri sendiri bahwa setahun ini udah lebih hebat dari sebelumnya."
Saya juga bersyukur karena seorang teman dengan senang hati meminjami saya laptop. Dengan ini saya bisa kembali mengerjakan proposal penelitian dan hasilnya memang jauh lebih baik dari tahun kemarin. Dosen saya menerima saya dengan baik.
Tahun ini saya memang tak banyak baca buku. Tapi saya banyak mencicipi kuliner baru, menonton film bagus, membaca berita, menggali data dan informasi, berdiskusi dengan orang-orang keren, dan mendengarkan banyak podcast berkualitas di Yutub.
Saya bahagia. Walaupun tahun ini gagal wisuda. Tapi memangnya kenapa kalau gagal? Bukankah dalam hidup ini, kita tak harus bisa mengatasi segala hal, memenangi pertarungan, melewati proses dengan gemilang, dan hal lain semacam itu? Saya hanya manusia biasa. Kata Phutut EA, "kita boleh menyerah kalah", kok.
Yang jelas, pada tahun ini saya telah mengenal banyak patah hati, mencumbui banyak luka, menidurkan banyak rindu, dan mempelajari puluhan kepergian. Nyatanya memang; kesedihan hanya mendapatkan sedikit tempat pada telinga orang lain dan luka-luka yang kita miliki adalah tanggungan yang harus kita tunggangi. Kadang saya bingung, mana yang lebih bahagia antara kesepian atau keramaian? Nyatanya dua hal tersebut hanyalah kepura-puraan, sebab pada setiap ramai; saya menemukan banyak sepi di mulut orang-orang yang berbincang.
2021 berlalu, memangnya kenapa? Manusia butuh penanda untuk mengawali dan mengakhir waktu. Manusia butuh sebuah batas agar hidup tak jadi jemu. Desember selalu menyadarkan kita bahwa hidup memang hanya singgah minum di warung kopi. Januari mengingatkan bahwa ada lembar baru yang menunggu peran kita untuk mengsinya. Desember dan Januari adalah batas karena manusia memang mahaterbatas.
Tapi justru karena terbatas itu hidup menjadi dinamis. "Sekali berarti sudah itu mati," kata Chairil Anwar. Hidup yang paling baik memang menuntut kita membuat sebuah peran yang berarti bagi hidup yang sebentar ini. Maka momen paling penting dan terutama dalam hidup adalah bersyukur dan berbuat baik; dan itulah harapan saya di penghujung tahun ini---dan untuk seterusnya.