Senin, 27 Desember 2021

2021 Berlalu, Memangnya Kenapa?

Tiba-tiba sudah di penghujung tahun. Tiba-tiba waktu seakan berjalan lebih cepat dari biasanya. Tiba-tiba tahun sudah akan berhenti. Waktu adalah lingkaran yang mengitari dirinya sendiri, kata Mumu Aloha. Apa yang telah kita lakukan di hari-hari kemarin? Ke mana saja kita pergi? Apakah kita merasa lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya? Atau justru merasa lebih buruk? Dunia mengulang dirinya sendiri, setepat-tepatnya, dan selama-lamanya, kata fisikawan dan novelis Alan Lightman.

Pada tahun ini nyaris tak banyak hal besar yang dapat saya lakukan. Bahkan hampir tak ada sama sekali. Saya seperti mayat hidup. Banyak target meleset jauh. Dan itu bukan salah siapa-siapa, bahkan diri saya sendiri. Saya tak mau menyalahkan diri sendiri hanya karena, misalnya, saya gagal wisuda tahun ini karena laptop saya rusak dan saya harus mengulang membuat proposal penelitian dari awal lagi. Atau saya harus menangis sejadi-jadinya sebab sahabat saya, pada tahun ini, wisuda duluan dan sekarang sudah mendapatkan pekerjaan. Bagaimana pun itu hal yang tak bisa saya kendalikan.

Beberapa hari yang lalu saya bertemu kawan baru---anggap saja begitu; sebab kami baru saja kenalan. Dia bercerita bahwa tahun 2021 adalah tahun terburuk dalam hidupnya. Bagaimana tidak, pada umurnya yang baru dua puluh lima, utangnya sudah hampir mencapai 100 juta. Saya terbelalak. "Karena main Crypto. Semua aset terjual. Kamera, laptop, hp. Dan aku salah karena pinjam online," katanya sambil mengenang.

Seorang teman lainnya mengeluh karena susah mendapat pekerjaan. Lainnya lagi justru sedang sumringah dan berdebar merintis usahanya sendiri.

2021 memiliki kisahnya sendiri. Banyak orang berduka karena kehilangan keluarga, kekasih, orang-orang tercinta, dan pekerjaan. Mereka merasa kalah oleh keadaan. Banyak hal buruk terjadi.

Tetapi setahun yang singkat ini bukan hanya tentang mereka yang merasa kalah. Mereka yang bakal meninggalkan tahun dengan sumpah serapah. Namun juga tentang banyak harapan yang tercapai; banyak rencana yang terealisasikan; banyak cinta yang bersatu; dan masih banyak hal membahagiakan lainnya yang terjadi pada tahun ini.

Sahabat saya lulus kuliah pada tahun ini. Dia pulang kampung dan langsung mendapat pekerjaan. Dia senang dengan pekerjaan itu. Dia bahagia. Hanya saja dia sedikit kesepian. Sahabat saya yang lain memilih menikah. Menjalin rumah tangga dengan penghasilan yang pas-pasan. Tapi dia berani. Istrinya tak mempermasalahkan itu. Orang tuanya, mertuanya, mendukungnya. Dia bahagia.

Saya teringat kata Mumu Aloha dalam esai "Kemungkinan Terburuk Hanyalah Memulai Kembali": Hari terakhir menjelang pergantian tahun terasa sangat panjang oleh bayangan-bayangan, ingatan-ingatan, dan renungan-renungan yang sambung-menyambung tiada habisnya. Kata "bersyukur" mendadak menjadi begitu berarti, dan mungkin untuk pertama kalinya maknanya benar-benar kita resapi.

Ya, saya bersyukur untuk banyak hal. Salah satunya pada tahun ini saya tidak sendiri, ada seseorang yang menemani saya pada masa sulit seperti ini. Seorang gadis yang baik, cantik, lucu, cerewet, tangguh---walaupun kadang agak manja. Bahkan kadang dia bijak. Dia pernah bilang begini, "Hal tersulit memang menerima diri sendiri, memaksa diri sendiri berjuang dan masih bilang ke diri sendiri belum melakukan apa-apa, belajar sayangi diri sendiri deh, apresiasi diri sendiri bahwa setahun ini udah lebih hebat dari sebelumnya."

Saya juga bersyukur karena seorang teman dengan senang hati meminjami saya laptop. Dengan ini saya bisa kembali mengerjakan proposal penelitian dan hasilnya memang jauh lebih baik dari tahun kemarin. Dosen saya menerima saya dengan baik.

Tahun ini saya memang tak banyak baca buku. Tapi saya banyak mencicipi kuliner baru, menonton film bagus, membaca berita, menggali data dan informasi, berdiskusi dengan orang-orang keren, dan mendengarkan banyak podcast berkualitas di Yutub.

Saya bahagia. Walaupun tahun ini gagal wisuda. Tapi memangnya kenapa kalau gagal? Bukankah dalam hidup ini, kita tak harus bisa mengatasi segala hal, memenangi pertarungan, melewati proses dengan gemilang, dan hal lain semacam itu? Saya hanya manusia biasa. Kata Phutut EA, "kita boleh menyerah kalah", kok.

Yang jelas, pada tahun ini saya telah mengenal banyak patah hati, mencumbui banyak luka, menidurkan banyak rindu, dan mempelajari puluhan kepergian. Nyatanya memang; kesedihan hanya mendapatkan sedikit tempat pada telinga orang lain dan luka-luka yang kita miliki adalah tanggungan yang harus kita tunggangi. Kadang saya bingung, mana yang lebih bahagia antara kesepian atau keramaian? Nyatanya dua hal tersebut hanyalah kepura-puraan, sebab pada setiap ramai; saya menemukan banyak sepi di mulut orang-orang yang berbincang.

2021 berlalu, memangnya kenapa? Manusia butuh penanda untuk mengawali dan mengakhir waktu. Manusia butuh sebuah batas agar hidup tak jadi jemu. Desember selalu menyadarkan kita bahwa hidup memang hanya singgah minum di warung kopi. Januari mengingatkan bahwa ada lembar baru yang menunggu peran kita untuk mengsinya. Desember dan Januari adalah batas karena manusia memang mahaterbatas.

Tapi justru karena terbatas itu hidup menjadi dinamis. "Sekali berarti sudah itu mati," kata Chairil Anwar. Hidup yang paling baik memang menuntut kita membuat sebuah peran yang berarti bagi hidup yang sebentar ini. Maka momen paling penting dan terutama dalam hidup adalah bersyukur dan berbuat baik; dan itulah harapan saya di penghujung tahun ini---dan untuk seterusnya.




















Sabtu, 25 Desember 2021

Melindungi Lahan Pertanian, Menyelamatkan Perekonomian




Pada 21 Desember 2021, kemarin, bertempat di sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Singaraja Jl. Abimanyu No. 32, bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (PPD) HMI  Cabang Singaraja bersama LBHMI Singaraja, mengadakan diskusi tentang Perda Kab. Buleleng No.4 Tahun 2021 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Diskusi dipandu oleh Oktavian Aditya, selaku Ketua Bidang PPD, dan M. Alvi Azhari, Direktur LBHMI, sebagai narasumbernya.

Saya hadir dua puluh menit sebelum diskusi dimulai. Seperti biasa, beberapa kader HMI menyalami saya dan bertanya, “Kapan sampai, Bang?”. Saya memang baru kembali dari kampung halaman.

Diskusi dimulai. Namun sayang, peserta diskusi tampak kebingungan dengan apa yang sedang dikaji. Ini bukan salah penyelenggara atau narasumber, tapi kesalahan mereka sendiri, sebab sebelumnya mereka tak mempelajari materi. Mereka tak membaca Perda yang sudah dibagikan jauh sebelum acara tersebut diselenggarakan. Padahal, menurut saya, acara kajian Perda ini sangat bagus dan penting, tentu saja, khususnya untuk masa depan pertanian di Buleleng, dan pertanian Bali pada umumnya.

Terbitnya Perda Buleleng No.4 Tahun 2021 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan ini jika diimplementasikan dengan baik dan benar tentu akan membawa angin segar bagi pertanian Buleleng-Bali. Mengingat, pada 2009 lalu, menyadari kondisi lahan pertanian yang mengkhawatirkan, pemerintah Indonesia˗˗waktu itu pemerintahan Presiden SBY˗˗bersama DPR mengesahkan UU No.41 Tahun 2009 Tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan atau yang disingkat LP2B. Kemudian pada 2011, guna memperkuat kedudukan UU LP2B, pemerintah mengeluarkan PP No.1 Tentang Penetapan dan alih Fungsi Lahan Pertanian. Selanjutnya, pada tahun 2012, pemerintah mengeluarkan tiga PP sekaligus, yakni: PP No.12 Tentang Insentif Perlindungan Lahan; PP No.25 Tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan PP No.30 Tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Pada masa pandemi Covid-19, perekonomian Bali˗˗termasuk Buleleng˗˗mengalami penuruan yang sangat signifikan. Sektor-sektor yang berkaitan dengan pariwisata loyo. Sampai pada kuartal III 2021 (year-on-year/yoy), Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ekonomi Bali kembali mengalami kontraksi sedalam 2,91%. Kontraksi ini terjadi setelah sempat bangkit dari masa resesi dengan mengalami pertumbuhan positif pada kuartal II 2021 sebesar 2,88%. Sedangkan di Buleleng, pada 2020, ekonomi mengalami kontraksi menjadi minus 5,76%.

Hal ini diduga disebabkan adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat untuk wilayah Jawa-Bali. Kebijakan ini berdampak negatif terhadap aktivitas ekonomi Bali di sejumlah kategori usaha. Dari 17 kategori lapangan usaha penyusun Produk Domestik Bruto (PDRB), sebanyak 11 kategori mengalami kontraksi pada kuartal III 2021.

Kontraksi terdalam tercatat pada lapangan usaha kategori transportasi dan pergudangan, yaitu minus  16,03. Kemudian diikuti kontraksi pada kategori penyediaan akomodasi dan makan minum, yaitu minus 8,47% dan kontraksi pada kategori jasa perusahaan minus 7,53%.

Ketika sektor periwisata sebagai penggerak ekonomi Bali terganggu akibat pandemi Covid-19, justru sektor pertanian˗˗yang notabene menjadi prioritas kesekian˗˗menjadi penyangga dominan perokonomian Bali. Tak hanya di Bali, tapi juga di NTB dan NTT. Pandemi menyadarkan pemerintah, khususnya Bali, untuk membangun kembali sektor pertanian. Pada masa pandemi, sektor pertanian di Bali mulai pulih. Nilai Tukar Petani (NTP) pada April 2021 tercatat 92,12 atau naik 0,72% dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini disampaikan M. Setyawan Santoso, Pemerhati Ekonomi dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Bali. Tetapi, kata Setyawan, “meskipun mulai pulih, tingkat kesejahteraan petani masih tertekan dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi pada 2019.”

Pada 2019, menurut catatan Kementerian Pertanian, Bali memiliki luas baku sawah (LBS) 70.996 ha. Sedangkan kebutuhan lahan untuk pangan masyarakat Bali pada tahun 2019 idealnya seluas 81.195 ha, angka ini diperhitungkan meningkat menjadi 87.639 ha pada 2025, naik lagi menjadi 93.541 ha pada 2030, dan menjadi 99.981 ha pada tahun 2035. Dengan perhitungan seperti ini, neraca kebutuhan lahan pangan di Bali mulai tahun 2019 sudah mengalami defisit. Untuk mengatasi hal ini, sekaligus tak hanya menggantungkan perekonomian kepada sektor pariwisata, pemerintah Bali harus berkomitmen untuk meningkatkan luas baku sawah (LBS) untuk LP2B dengan mencetak sawah baru di Buleleng dan Karangasem seiring selesainya pembangunan bendungan di kedua kabupaten tersebut.

Seorang Analis Pengendalian Lahan Direktorat Perluasan dan Perlindungan Lahan Kementerian Pertanian, Budi Saputro, saat menjadi narasumber dalam Sosialisasi dan Bimbingan Teknis Penetapan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Bekelanjutan (LP2B) dalam Perda RTRW/LP2B Kabupaten/Kota, Rabu, 25 Agustus 2021, mengingatkan, alasan utama perlunya melindungi lahan pangan adalah tidak semua lahan cocok untuk pangan. Lahan yang cocok untuk pangan biasanya disiapkan sudah sejak lama. Karena itu, dalam penataan ruang, kebijakan daerah dan nasional, perlui memprioritaskan untuk melindungi lahan pangan. “Lahan-lahan yang saat ini sudah cocok dan berproduksi untuk pangan jangan dialihfungsikan,” kata Budi.

Saya masih ingat, menanggapi persoalan ini, pada dialog Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan 2021 yang diselenggarakan KNPI di Amisewaka di Desa Les, Tejakula, Wakil Gubernur Bali, Prof. Dr. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace), mendorong upaya penguatan sektor pertanian. Menurut Cok Ace, Bali mengalami kontraksi ekonomi paling hebat jika dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Kenapa? “Karena kita sangat tergantung pada sektor pariwisata,” katanya. Memang benar, sektor pariwisata telah menyumbang 54% PDRB, sehingga di masa pandemi, Bali kehilangan devisa hingga 9,7 triliun rupiah setiap bulan. Maka dari itu, lanjut Cok Ace, “Bali harus segera menggenjot sektor alternatif selain periwisata” untuk menumbuhkan kembali perekonomian. Dan salah satu alternatif yang harus segera digarap menurutnya adalah sektor pertanian. Kedepan, ia berharap sektor pertanian bisa memberi kontribusi sama besarnya dengan pariwisata.

Untuk itu, Bali harus segera berbenah untuk mendukung sektor pertanian dengan mendorong produktifitas pertanian yang didukung dengan keberpihakan pemerintah terhadap petani, memfasilitasi penggunaan teknologi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian. Untuk meningkatkan produktifitas dan nilai tambah, mau tidak mau, perlu adanya tranformasi pertanian ke arah digitalisasi pertanian dari hulu sampai hilir˗˗walaupun tak harus meninggalkan nilai-nilai lama yang sudah dijakankan dan diyakini orang Bali. Pemerintah harus pintar dan bijaksana dalam mengambil keputusan ini.

Selain itu, pemerintah juga harus memaksimalkan kelembagaan sektor pertanian. Mulai mengoptimalkan kelompok tani dari sisi pengawasan praktek pertanian (Good Agriculture Practices) maupun dari sisi implementasi korporatisasi petani untuk mencapai skala ekonomi, pembiayaan, dan pasar yang lebih pasti. Hal ini tidak akan tercapai tanpa adanya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat, khususnya mereka yang berkerja di bidang pertanian.

Pemerintah Bali harus berkomitmen berpihak kepada kaum tani. Sebab petani itu jasanya tak ternilai. Mereka menjadi tulang punggung pangan bangsa ini. Mereka juga yang membuat kita˗˗yang hidup di desa maupun di kota˗˗masih bisa makan hingga hari ini. Mereka terus menjadi “mesin produksi” yang tak kenal lelah. Memproduksi pangan walaupun kadang tak mendapat balasan yang setimpal. Modal yang dikeluarkan seringkali lebih mahal daripada pendapatan yang diperoleh. Ini masalah yang harus dicarikan solusinya dengan segera.

Petani adalah soko-guru dari Revolusi Indonesia, sebagaimana Sukarno berkata-kata. Pertanian itu soal hidup dan matinya sebuah bangsa. Melindungi pertanian, artinya menyelamatkan perekonomian.