Pada 21 Desember 2021, kemarin, bertempat di sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Singaraja Jl. Abimanyu No. 32, bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (PPD) HMI Cabang Singaraja bersama LBHMI Singaraja, mengadakan diskusi tentang Perda Kab. Buleleng No.4 Tahun 2021 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Diskusi dipandu oleh Oktavian
Aditya, selaku Ketua Bidang PPD, dan M. Alvi Azhari, Direktur LBHMI, sebagai narasumbernya.
Saya hadir dua puluh menit
sebelum diskusi dimulai. Seperti biasa, beberapa kader HMI menyalami saya dan
bertanya, “Kapan sampai, Bang?”. Saya memang baru kembali dari kampung halaman.
Diskusi dimulai. Namun sayang,
peserta diskusi tampak kebingungan dengan apa yang sedang dikaji. Ini bukan
salah penyelenggara atau narasumber, tapi kesalahan mereka sendiri, sebab
sebelumnya mereka tak mempelajari materi. Mereka tak membaca Perda yang sudah
dibagikan jauh sebelum acara tersebut diselenggarakan. Padahal, menurut saya,
acara kajian Perda ini sangat bagus dan penting, tentu saja, khususnya untuk
masa depan pertanian di Buleleng, dan pertanian Bali pada umumnya.
Terbitnya Perda Buleleng No.4
Tahun 2021 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan ini jika
diimplementasikan dengan baik dan benar tentu akan membawa angin segar bagi
pertanian Buleleng-Bali. Mengingat, pada 2009 lalu, menyadari kondisi lahan
pertanian yang mengkhawatirkan, pemerintah Indonesia˗˗waktu itu pemerintahan
Presiden SBY˗˗bersama DPR mengesahkan UU No.41 Tahun 2009 Tentang Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan atau yang disingkat LP2B. Kemudian pada 2011,
guna memperkuat kedudukan UU LP2B, pemerintah mengeluarkan PP No.1 Tentang
Penetapan dan alih Fungsi Lahan Pertanian. Selanjutnya, pada tahun 2012,
pemerintah mengeluarkan tiga PP sekaligus, yakni: PP No.12 Tentang Insentif
Perlindungan Lahan; PP No.25 Tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan; dan PP No.30 Tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan.
Pada masa pandemi Covid-19,
perekonomian Bali˗˗termasuk Buleleng˗˗mengalami penuruan yang sangat
signifikan. Sektor-sektor yang berkaitan dengan pariwisata loyo. Sampai pada
kuartal III 2021 (year-on-year/yoy), Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan,
ekonomi Bali kembali mengalami kontraksi sedalam 2,91%. Kontraksi ini terjadi
setelah sempat bangkit dari masa resesi dengan mengalami pertumbuhan positif
pada kuartal II 2021 sebesar 2,88%. Sedangkan di Buleleng, pada 2020, ekonomi
mengalami kontraksi menjadi minus 5,76%.
Hal ini diduga disebabkan
adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat untuk wilayah
Jawa-Bali. Kebijakan ini berdampak negatif terhadap aktivitas ekonomi Bali di sejumlah
kategori usaha. Dari 17 kategori lapangan usaha penyusun Produk Domestik Bruto
(PDRB), sebanyak 11 kategori mengalami kontraksi pada kuartal III 2021.
Kontraksi terdalam tercatat
pada lapangan usaha kategori transportasi dan pergudangan, yaitu minus 16,03. Kemudian diikuti kontraksi pada
kategori penyediaan akomodasi dan makan minum, yaitu minus 8,47% dan kontraksi
pada kategori jasa perusahaan minus 7,53%.
Ketika sektor periwisata
sebagai penggerak ekonomi Bali terganggu akibat pandemi Covid-19, justru sektor
pertanian˗˗yang notabene menjadi prioritas kesekian˗˗menjadi penyangga dominan
perokonomian Bali. Tak hanya di Bali, tapi juga di NTB dan NTT. Pandemi
menyadarkan pemerintah, khususnya Bali, untuk membangun kembali sektor
pertanian. Pada masa pandemi, sektor pertanian di Bali mulai pulih. Nilai Tukar
Petani (NTP) pada April 2021 tercatat 92,12 atau naik 0,72% dibandingkan bulan
sebelumnya. Hal ini disampaikan M. Setyawan Santoso, Pemerhati Ekonomi dari
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Bali. Tetapi, kata Setyawan, “meskipun mulai
pulih, tingkat kesejahteraan petani masih tertekan dibandingkan dengan kondisi
sebelum pandemi pada 2019.”
Pada 2019, menurut catatan
Kementerian Pertanian, Bali memiliki luas baku sawah (LBS) 70.996 ha. Sedangkan
kebutuhan lahan untuk pangan masyarakat Bali pada tahun 2019 idealnya seluas
81.195 ha, angka ini diperhitungkan meningkat menjadi 87.639 ha pada 2025, naik
lagi menjadi 93.541 ha pada 2030, dan menjadi 99.981 ha pada tahun 2035. Dengan
perhitungan seperti ini, neraca kebutuhan lahan pangan di Bali mulai tahun 2019
sudah mengalami defisit. Untuk mengatasi hal ini, sekaligus tak hanya
menggantungkan perekonomian kepada sektor pariwisata, pemerintah Bali harus
berkomitmen untuk meningkatkan luas baku sawah (LBS) untuk LP2B dengan mencetak
sawah baru di Buleleng dan Karangasem seiring selesainya pembangunan bendungan
di kedua kabupaten tersebut.
Seorang Analis Pengendalian
Lahan Direktorat Perluasan dan Perlindungan Lahan Kementerian Pertanian, Budi
Saputro, saat menjadi narasumber dalam Sosialisasi dan Bimbingan Teknis
Penetapan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Bekelanjutan (LP2B) dalam Perda
RTRW/LP2B Kabupaten/Kota, Rabu, 25 Agustus 2021, mengingatkan, alasan utama
perlunya melindungi lahan pangan adalah tidak semua lahan cocok untuk pangan.
Lahan yang cocok untuk pangan biasanya disiapkan sudah sejak lama. Karena itu,
dalam penataan ruang, kebijakan daerah dan nasional, perlui memprioritaskan
untuk melindungi lahan pangan. “Lahan-lahan yang saat ini sudah cocok dan
berproduksi untuk pangan jangan dialihfungsikan,” kata Budi.
Saya masih ingat, menanggapi
persoalan ini, pada dialog Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan 2021 yang
diselenggarakan KNPI di Amisewaka di Desa Les, Tejakula, Wakil Gubernur Bali,
Prof. Dr. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace), mendorong upaya
penguatan sektor pertanian. Menurut Cok Ace, Bali mengalami kontraksi ekonomi
paling hebat jika dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Kenapa? “Karena kita
sangat tergantung pada sektor pariwisata,” katanya. Memang benar, sektor
pariwisata telah menyumbang 54% PDRB, sehingga di masa pandemi, Bali kehilangan
devisa hingga 9,7 triliun rupiah setiap bulan. Maka dari itu, lanjut Cok Ace, “Bali
harus segera menggenjot sektor alternatif selain periwisata” untuk menumbuhkan
kembali perekonomian. Dan salah satu alternatif yang harus segera digarap
menurutnya adalah sektor pertanian. Kedepan, ia berharap sektor pertanian bisa
memberi kontribusi sama besarnya dengan pariwisata.
Untuk itu, Bali harus segera
berbenah untuk mendukung sektor pertanian dengan mendorong produktifitas
pertanian yang didukung dengan keberpihakan pemerintah terhadap petani,
memfasilitasi penggunaan teknologi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia
untuk meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian. Untuk meningkatkan
produktifitas dan nilai tambah, mau tidak mau, perlu adanya tranformasi
pertanian ke arah digitalisasi pertanian dari hulu sampai hilir˗˗walaupun tak
harus meninggalkan nilai-nilai lama yang sudah dijakankan dan diyakini orang
Bali. Pemerintah harus pintar dan bijaksana dalam mengambil keputusan ini.
Selain itu, pemerintah juga
harus memaksimalkan kelembagaan sektor pertanian. Mulai mengoptimalkan kelompok
tani dari sisi pengawasan praktek pertanian (Good Agriculture Practices)
maupun dari sisi implementasi korporatisasi petani untuk mencapai skala
ekonomi, pembiayaan, dan pasar yang lebih pasti. Hal ini tidak akan tercapai
tanpa adanya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat, khususnya mereka yang
berkerja di bidang pertanian.
Pemerintah Bali harus
berkomitmen berpihak kepada kaum tani. Sebab petani itu jasanya tak ternilai.
Mereka menjadi tulang punggung pangan bangsa ini. Mereka juga yang membuat
kita˗˗yang hidup di desa maupun di kota˗˗masih bisa makan hingga hari ini.
Mereka terus menjadi “mesin produksi” yang tak kenal lelah. Memproduksi pangan
walaupun kadang tak mendapat balasan yang setimpal. Modal yang dikeluarkan
seringkali lebih mahal daripada pendapatan yang diperoleh. Ini masalah yang
harus dicarikan solusinya dengan segera.
Petani adalah soko-guru dari Revolusi Indonesia, sebagaimana Sukarno berkata-kata. Pertanian itu soal hidup dan matinya sebuah bangsa. Melindungi pertanian, artinya menyelamatkan perekonomian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar