Minggu, 18 Juni 2017

MUDIK TIBA PRAKTIK PERCALOAN PUN MARAK


Hasil gambar untuk MUDIK

Oleh: Uswatun Hasanah*

Menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri, kita semua memahami bahwa arus mudik ke kampung merupakan agenda rutin yang dilakukan masyarakat Indonesia, tak terkecuali mahasiswa rantauan, pekerja di pemerintahan maupun swasta. Pada saat mudik inilah jika kita pengguna angkutan lebaran seperti bus dan travel, akrab ditelinga kita istilah Calo alias perantara. Apakah Calo itu adanya zaman sekarang saja, atau memang sudah ada sejak zaman dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiadisebutkan bahwa calo adalah orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah.
Apakah profesi calo ini hina atau mulya, pasti pandangan kita ada yang positif dan ada pula yang negatif. Agar diketahui bahwa calo itu ada sejak zaman rasulullah. Seperti hadist riwayat Qais bin Abi Gorzah.
Islam juga mengatur bagaimana calo dengan baik, seperti dalam hadis riwayat Qais bin Abi Gorzah menyatakan bahwasannya ““Kami pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam disebut dengan “samasirah“ (calo/makelar), pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo, beliau bersabda : “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang diselingi dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah (palsu), maka perbaikilah dengan (memberikan) sedekah“.
Di setiap momentum mudik sering kita temui praktik percaloan tampak sekali di depan mata. Dan kesannya jumlah calo makin bertambah. Dimana peran petugas keamanan ketika membiarkan fenomena tatkala seorang calo menguber calon pembeli dan menawarkan tiket-tiket di luar loket? Apa iya petugas keamanan tidak tahu atau mungkin tidak mau tahu? Mengapa praktik percaloan masih sangat demonstratif di terminal-terminal maupun di stasiun-stasiun? Paling jawaban pembenaran dari mereka “kami kan cari makan juga, jadi asal tidak demonstatif dan bisa tertib, kami orang-orang kecil yang hidupnya susah, percuma mau diberantas nggak bakalan hilang, inikan masalah kecil saja, supaya calo tidak ada, sejahterakan dulu rakyat, bukankah menjadi calo itu terpaksa juga
Mungkin sudah menjadi semacam salah kaprah di masyarakat kita bahwa yang kecil dan miskin selalu dipermaklumkan. Padahal mestinya penegakan hukum tidak mengenal orang besar atau orang kecil. Orang besar perlu menjadi teladan bagi yang lainnya, kadang orang kecil lebih patuh ketimbang elitnya. Mestinya bukan sentimen kelas yang ditonjolkan dalam hal ini, melainkan bagaimana hukum bisa ditegakkan, tetapi juga konsekuensi sosiologisnya juga terpikirkan atau terantisipasi. Sehingga orang kecil tidak merasa semakin terpojokkan peluang hidupnya, karena ada alternatif pilihan pekerjaan yang lebih baik dan tidak melanggar hukum.
          Dan yang dilakukan oleh calo itu ialah praktek menimbun, mereka memborong semua tiket yang mana status tiket ketika itu ialah komoditi yang urgent dan memang sangat dibutuhkan sekali oleh orang banyak. Dan orang sedang sangat sibuk sekali mencari tiket itu namun tidak ada, yang ada hanya tiket yang sudah diborong oleh para calo, dengan demikian calo menjadi rujukan utama bagi banyak orang dan seenaknya lah mereka menjual dengan harga yang mencekik.Sebagaimana teori umum dalam ilmu ekonomi, bahwa permintaan yang melonjak tapi barang langka, akan menjadikan barang itu menjadi mahal sekali.
        Jadi jelas, bahwa calo bukanlah perantara yang dibolehkan, melainkan ia adalah kejahatan dalam sistem jual beli. Banyak kerugian yang dihasilkan dari praktek ini, baik itu bagi si penjual asli dan juga pembeli. Karena banyaknya kezhaliman, itulah alasan kenapa praktek percaloan itu dilarang. Kalau kita buka kembali kamus besar bahasa indonesia, kata calo itu berarti perantara antara penjual dan pembeli, yaitu perantara yang baik yang memang itu juga dibenarkan dalam syariah.Tapi calo yang ada sekarang ini, bukanlah perantara, melainkan lebih dekat kepada perilaku kejahatan yang merugikan banyak orang. Dan sistem kerja mereka pun tidak individual, melainkan bekerja secara sistemik dan teratur. Bahkan mereka sudah menjadi kartel dengan sekumpulan orang yang berpraktek sama dengan tujuan mencekik pembeli dan meraup keuntungan sebesar-besarnya.

 * Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi di Universitas Pendidikan Ganesha (UNDIKSHA), Sekaligus Ketua Umum Komisariat FOK HMI Cabang Singaraja.
                                                                                                                        

1 komentar: