
MAHASISWA JANGAN
MELACURKAN IDEALISME-NYA
Oleh: Indra Andrianto*
Oleh: Indra Andrianto*
Mahasiswa kaum intelektual dari
akademisi yang unggul terdidik kristis yang mempunyai segudang ilmu pengetahuan
untuk selalu menjadi garda terdepan dalam sebuah peradaban baru. Ada sebuah
cerita saat membaca sebuah komik meme
di media elektronik yang menuliskan “Mahasiswa takut sama dosen, dosen takut
sama rektor, rektor takut sama menteri, menteri takut sama presiden, tapi presiden
takut sama mahasiswa” betapa mulianya menjadi mahasiswa yang disegani presiden
meskipun mahasiswa takut pada nilai D yang akan dosen berikan. Ini adalah
pernyataan unik yang sebenarnya bisa dikatakan benar karena kalau kita
mengingat kembali memoriar yang terjadi saat reformasi besar-besaran
berlangsung tahun 1998 yang dimotori kalangan mahasiswa se Indonesia berhasil
meruntuhkan rezim soeharto dan mengahncurkan partai golkar sehingga presiden
yang menjabat selama 32 tahun itu lengser karena kasus KKN dan terkungkungnya
kebebasan demokrasi dalam konteks HAM.
Dalam tanggapan yang dilontarkan Agus
Hilman seorang penulis aktif yang sempat menyinggung tentang mahasiswa pasca
reformasi mengatakan bahwa “Mahasiswa kritis sering sering menjadi bisu setelah
dihadapka dengan gemilang harta dan kekuasaan, kelantangan perlawanan mereka dijalanan
terhadap pemerintah termakan arus kekuasaan, mau tidak mau idealisme dilacurkan
pada seonggok materi”
Pendapat ini saya benarkan, karena
pasca reformasi mahasiswa kita hanya sebatas kontrak politik hitam diatas
putih, tidak ada kontrol setelah reformasi itu berlangsung. Bahkan
aktivis-aktivis yang paling lantang melakukan perawanan terhadap rezim soeharto
dan partai golkar, saat itu malah melebur kedalam partai golkar dengan menjadi
caleg, ini sebuah fenomenal kita lihat seperti kehadiran aktivis front aksi
untuk Demokrasi (Famred) Bernard Hamombong Halomoa, Aktivis Forum Kota (Forkot)
M. Lutfi Iskandar, dan mantan ketua Umum Nusron wahid (PMII) sebagai caleg
sehingga dari hal ini menimbulkan persepsi dan tanda tanya, Apakah tidak ada
partai yang representatif selain Golkar dari 24 partai yang ada ? tentu dalam
situasi seperti ini mahasiswa seakan-akan hidup pada jalur menelan ludah
sendiri mengapa saya ibaratkan demikian ? Dalam harian lokal terbitan jogja
saat saya sempat membaca sepintas tulisan yang saya kutip “ keterlibatan
sebagian kader Forkot di partai Golkar dianggap sebagai Penghianat reformasi”
tentu ini merupakan kontradiksi apa yang sedang terjadi setelah reformasi
berlangsung, para aktivis bergabung tapi sudah mulai bergelut dalam ranah
politik praktisnya.
Dalam opini ini tentu mahasiswa tidak
pada jalan yang sepenuhnya salah kita harus berpikir pada ranah positif, bisa
saja tujuan aktivis-aktivis pada masa itu melebur ke partai Golkar yang
dianggap punya banyak kesalahan mau memperbaiki citra partai itu sendiri dan
menjalankan sesuai ketentuan dan undang-undang dalam sistem yang sehat
berdemokrasi.
Lalu
bagaimana dengan paradigma mahasiswa dewasa ini?, paradigma berbeda mahasiswa sebagai kaum kritis terdidik
unggul dari llingkungan akademisi secara ideal diharapkan mampu mewujudkan
cita-cita bersama yaitu sebagai Agent Of Change, Moral Force, Agent of Control
social Change dan sebagainya, namun yang terjadi hanya sebagian saja mahasiswa
mampu berperan kedalam tiga tugas pokok tersebut. Kita ambil realita di dalam
kehidupan sehari-hari misalnya dalam ranah lingkar diskusi sebagian mahasiswa
jarang kita jumpai melakukan diskusi diluar kampus apalagi yang tidak berhimpun
dalam organisasi kemahasiswaan, dan juga saat ditempat nongkrong di angkringan
jarang terdengar untuk membahas soal materi apa yang sudah dosen sampaikan di
kampus atau membicarakan kontrol terhadap pemerintahan dan negara, tetapi tema
yang diangkat dalam percakapan itu seputaran Style, Fashion, perempuan/pria dan
Uang. Ini merupakan sebuah kemunduran intelektual maka jangan salahkan jika
sebagian mahasiwa bersikap dan berprilaku keluar dari nilai-nilai pancasila
atau ada juga yang disebut sebagai mahasiswa apatis, yang hanya sebatas Kuliah
dan berdiam diri di Kos tanpa kegiatan yang bermanfaat. Dalam sejarah,
mahasiswa memainkan peran penting dalam menopang kemajuan bangsa, beberapa
tokoh muncul menjadi pendobrak kemajuan saat mereka menjadi mahasiswa semisal
Pak Hatta, Sjahrir dan Bj Habibie. Dari tahun 1908 hingga kemerdekaan 1945 dari
malari 14 januari 1947 hingga reformasi 1998 kolaborasi mahasiswa yang intelek
menjadi kekuatan yang mampu membuat sebuah perubahan kearah yang baik untuk
kepentingan masyarakat pembela masyarakat ini merupakan kaca besar sebagai
refleksi diri agar untuk selalu berbenah memperbaiki tupoksi mahasiswa yang
diharapkan bangsa ini.
*Penulis bernama lengkap Indra Andrianto kelahiran 14 Maret
1995 Bondowoso-Jawa Timur, Mahasiswa aktif semester VI di Jurusan PPKn –
Undiksha dan juga Demisioner Ketua Umum Komisariat Fakultas Ilmu Sosial HMI
Cabang Singaraja. Penikmat sastra dan aktif menulis puisi di media elektronik
Loker Puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar