Sabtu, 17 Juni 2017

Perihal Bid’ah: Bangsa Lain sudah Merancang Travelling ke Bulan, Kita Masih Ribut Masalah Bid’ah


Hasil gambar untuk perihal bid'ah

Oleh: Jaswanto*

Judul di atas, saya ambil dari tulisan Dr. Edi Mulyono dalam bukunya yang berjudul, Islam Yang Menyenangkan. Dalam buku itu sebenarnya sudah dibahas tuntas masalah bid’ah ini. Dan tulisan saya ini sebenarnya bisa dikatakan ulasan dari apa yang telah dituliskan oleh Dr. Edi.
Oke, mari kita berkeliling sejenak. Indonesia, secara angka merupakan negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia. Ribuan masjid bertebaran, bersahutan ketika adzan berkumandang. Namun, maksiat dan godaan syahwat seakan menemukan sarangnya. Pornografi menjadi menu sehari-hari. Kekerasan seakan menjadi permakluman. Dan hampir mayoritas generasi terjebak dalam imajinasi yang melenakan. Korupsi pun menggerogoti setiap sendi, menjadi candu bagi maling-maling yang sanggat ngilani. Menyamar  di balik tampilan klimis dan necis, berbungkus seragam rapi dan berdasi, bahkan berhiaskan peci. Dilain sisi, kemiskinan seakan masih menjadi aset yang dipertahankan. Orang lapar menjadi tontonan dan diperdagangkan. Jarak si kaya dan si miskin pun makin melebar (baca Vbi_Djenggoten, 5 Pesan Damai, 2013).
            Di luar permasalahan di atas, korupsi dan tumpulnya hukum ketika menghadapi para “elit”, masalah besar keislaman kita hari ini ialah kian menjamurnya sikap intoleran, merasa paling benar, dan memelihara watak thagut (otoriter). Jauh-jauh tahun, almarhum Cak Nur (Nurcholis Majid) telah mengingatkan sensitivitas masalah epistemologi ini sebagai biang kerok kejumudan umat Isam di hadapan dunia global yang bergerak dengan sangat cepat. Saat bangsa-bangsa lain sudah merancang travelling ke bulan, kita masih ribut soal bid’ah (Mulyono, 2017: 65).
            Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah Saw., bersabda, “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru. Setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan adalah di neraka.” (HR. Muslim [867]). Inilah hadist shohih yang selalu dijadakn “senjata” untuk menolak segala amaliah yang tidak ada di masa Rasulullah Saw., dengan serentak menyebutnya bid’ah, sesat, karenanya harus ditinggalkan, agar tidak terklaim “ahlun nar”. Tak peduli sebaik apa pun nilai bid’ah itu secara ruhani-spiritual dan manfaatnya secara sosial (Mulyono, 2017: 51).
            Jika kita berhenti membaca sampai di sini, jelas segala bid’ah adalah sesat dan harus dijauhi. Tetapi mari ketahui bahwa setiap hadist yang terucap itu ada sebab-sebabnya (asbabul wurud). Dan harus diketahui pula bahwa ada berjubel “hadist khusus” yang pula shahih serta praktik dari para sahabat terdekat Rasulullah Saw., yang bersifat bid’ah dan tentu tidak sesat (Mulyono, 2017: 51).
            Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya. Bid’ah disebut juga muhdatsatul umuur yakni perkara-perkara yang baru yang tidak dilakukan pada masa Rosulullah Saw., (Hamid, 2013: 246).
Benarkah setiap bid’ah itu sesat?
          Irbadl bin Sariyah ra. mengutarakan, Muhammad Rosulullah Saw., bersabda, “Berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terpimpin. Peganglah dia dengan gigi-gigi taringmu, dan jauhilah oleh kalian mengada-adakan urusan baru. Sebab sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Empat Ahli Hadist, kecuali Nasa’i).
Keterangan:
Benarkah “setiap bid’ah adalah sesat”? kata “setiap” dalam hadist tersebut adalah terjemahan dari kata “kull”. Memang benar atau arti kata kull itu adalah “setiap”. Namun, salah besar jika kata kull itu ditafsirkan “meliputi semua tanpa pengecualian.” Sebab, dalam bahasa Arab, kata kull bisa berarti “hampir semua” atau “kebanyakan” (Hamid, 2013: 246-247).
Gaya bahasa yang menunjukkan “sebagian” dengan menggunakan kata “keseluruhan”, dalam bahasa Arab diistilahkan ‘Abbaro ‘an katsroh bi al-kulliyyah. Dalam Al-Qur’an pun ada beberapa ayat yang menggunakan kata kull (setiap atau semua) untuk suatu hal yang sebagian. Misalnya, dalam ayat 25 dari surat Al Achqof yang menerangkan tentang penghancuran kaum kafir ‘Aad. Ayatnya sebagai berikut: Tudammiru kulla syai-in bi amri robbihaa, fa asbahuu laa yuroo illaa masaakinahum (artinya: Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak terlihat (punah), kecuali (bekas-bekas) tempat-tempat tinggal mereka (saja)).
Perhatikan kata kull dalam ayat tersebut adalah “setiap atau semua atau segala sesuatu”, tetapi tidak bisa ditafsirkan “maliputi semua atau seluruh”. Sebab, ternyata tempat-tempat tinggal mereka tidak dihancurkan. Dengan demikian, kata “semua/segala sesuatu” di sini menunjukkan secara khusus pada kehidupan orang-orang kafir dari bangsa ‘Aad dan harta benda mereka, tidak termasuk tempat tinggal mereka.
Dengan demikian kata “kull” dalam hadist tentang bid’ah itu pun tidak berlaku untuk semua bid’ah. Jadi, ada bid’ah yang baik/terpuji (yakni yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah) dan bid’ah yang buruk/tercela (yakni yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah). Pemahaman ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh para imam terkemuka, antara lain:
a.       Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Syafi’i (Imam Syafi’i), pendiri mazhab Syafi’i, menyatakan, “Bid’ah ada dua macam. Pertama, sesuatu yang baru yang menyalai Al-Qur’an atau sunnah atau ijma’. Itulah bid’ah dholalah (sesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi Al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Itulah bid’ah yang tidak tercela.” (Al-Baihaqi, Manaqib al Syafi’i, 1/469).
Bahkan sesuatu yang baru itu yang memiliki landasan dalam syara’ meskipun pernah diamalkan oleh salaf, menurut Imam Syafi’i, bukanlah bid’ah. Alasan mereka (salaf) meninggalkan hal tersebut, karena:
·         Ada uzur yang terjadi pada saat itu.
·         Ada amalan lain yang lebih utama.
·         Barangkali hal itu sebelum diketahui oleh mereka.
b.      Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad ‘Aini terkenal dengan julukan Imam ‘Aini (762-855 H / 1361-1451 M), hafizh dan faqih bermadzhab Hanafi menyatakan, “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rosulullah Saw. Bid’ah itu ada dua macam. Apabila termasuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’ disebut bid’ah hasanah. Jika termasuk dalam sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’ disebut bid’ah tercela.”
c.       Imam Qodhi Abu Bakar Ibnu ‘Arobi al Malik, seorang hafizh, ulama tafsir, dan fiqih yang bermazhab Maliki membagi bid’ah menjadi dua. Hal itu beliau nyatakan dalam kitab ‘Aridhot al-Ahwadzi Syarh Jami’ al Tirmidzi, dengan diawali mengutip pernyataan Umar bin Khotthob perihal perintah baliau agar sholat Tarawih dilaksanakan secara berjama’ah dengan satu imam. “Umar berkata, ‘Ini sebaik-baik bid’ah’. Bid’ah yang dicela hanyalah bid’ah yang menyalahi sunnah. Perkara baru (muhdats) yang dicela adalah yang mengajak kepada kesehatan (Hamid, 2013: 247-248).
Dari tulisan Syamsul Rijal Hamid di atas dalam bukunya, Buku Pintar Hadist, sudah sangat jelas menerangkan bahwa bid’ah itu tidak semua sesat. Hanya orang-orang yang berpikiran sempitlah yang gampang menjustice bahwa sesuatu yang baru adalah bid’ah dholalah (sesat). Kalau memang semua yang baru itu sesat, maka ayo bareng-bareng kita telanjang sekarang. Jangan berpikiran macam-macam mengenai pernyataan saya ini. kalau memang semua yang baru dan tidak ada di jaman Rasul adalah sesat, baju, mobil, handpone, tv, dan segala sesuatu yang ada pada jaman ini adalah bid’ah.
          Bisa diterima?

*Penulis adalah Direktur Utama LAPMI HMI Cabang Singaraja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar