Oleh: Jaswanto*
Judul di atas, saya ambil dari tulisan Dr. Edi
Mulyono dalam bukunya yang berjudul, Islam
Yang Menyenangkan. Dalam buku itu sebenarnya sudah dibahas tuntas masalah bid’ah ini. Dan tulisan saya ini
sebenarnya bisa dikatakan ulasan dari apa yang telah dituliskan oleh Dr. Edi.
Oke, mari kita berkeliling sejenak. Indonesia,
secara angka merupakan negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia. Ribuan
masjid bertebaran, bersahutan ketika adzan berkumandang. Namun, maksiat dan
godaan syahwat seakan menemukan sarangnya. Pornografi menjadi menu sehari-hari.
Kekerasan seakan menjadi permakluman. Dan hampir mayoritas generasi terjebak
dalam imajinasi yang melenakan. Korupsi pun menggerogoti setiap sendi, menjadi
candu bagi maling-maling yang sanggat ngilani.
Menyamar di balik tampilan klimis dan
necis, berbungkus seragam rapi dan berdasi, bahkan berhiaskan peci. Dilain
sisi, kemiskinan seakan masih menjadi aset yang dipertahankan. Orang lapar
menjadi tontonan dan diperdagangkan. Jarak si kaya dan si miskin pun makin
melebar (baca Vbi_Djenggoten, 5 Pesan
Damai, 2013).
Di luar permasalahan di atas,
korupsi dan tumpulnya hukum ketika menghadapi para “elit”, masalah besar
keislaman kita hari ini ialah kian menjamurnya sikap intoleran, merasa paling
benar, dan memelihara watak thagut
(otoriter). Jauh-jauh tahun, almarhum Cak Nur (Nurcholis Majid) telah mengingatkan
sensitivitas masalah epistemologi ini sebagai biang kerok kejumudan umat Isam
di hadapan dunia global yang bergerak dengan sangat cepat. Saat bangsa-bangsa
lain sudah merancang travelling ke
bulan, kita masih ribut soal bid’ah (Mulyono,
2017: 65).
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah
bahwa Rasulullah Saw., bersabda, “Sebaik-baik
ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.
Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru. Setiap perkara yang baru adalah
bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan adalah di neraka.”
(HR. Muslim [867]). Inilah hadist shohih yang selalu dijadakn “senjata” untuk
menolak segala amaliah yang tidak ada di masa Rasulullah Saw., dengan serentak
menyebutnya bid’ah, sesat, karenanya harus ditinggalkan, agar tidak terklaim “ahlun nar”. Tak peduli sebaik apa pun
nilai bid’ah itu secara ruhani-spiritual dan manfaatnya secara sosial (Mulyono,
2017: 51).
Jika
kita berhenti membaca sampai di sini, jelas segala bid’ah adalah sesat dan
harus dijauhi. Tetapi mari ketahui bahwa setiap hadist yang terucap itu ada
sebab-sebabnya (asbabul wurud). Dan
harus diketahui pula bahwa ada berjubel “hadist khusus” yang pula shahih serta
praktik dari para sahabat terdekat Rasulullah Saw., yang bersifat bid’ah dan
tentu tidak sesat (Mulyono, 2017: 51).
Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu
yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya. Bid’ah disebut juga muhdatsatul umuur yakni perkara-perkara
yang baru yang tidak dilakukan pada masa Rosulullah Saw., (Hamid, 2013: 246).
Benarkah setiap bid’ah itu sesat?
Irbadl bin Sariyah ra.
mengutarakan, Muhammad Rosulullah Saw., bersabda, “Berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang
terpimpin. Peganglah dia dengan gigi-gigi taringmu, dan jauhilah oleh kalian
mengada-adakan urusan baru. Sebab sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Empat Ahli Hadist, kecuali
Nasa’i).
Keterangan:
Benarkah “setiap bid’ah adalah sesat”? kata “setiap”
dalam hadist tersebut adalah terjemahan dari kata “kull”. Memang benar atau
arti kata kull itu adalah “setiap”. Namun, salah besar jika kata kull itu
ditafsirkan “meliputi semua tanpa pengecualian.” Sebab, dalam bahasa Arab, kata
kull bisa berarti “hampir semua” atau “kebanyakan” (Hamid, 2013: 246-247).
Gaya bahasa yang menunjukkan “sebagian” dengan
menggunakan kata “keseluruhan”, dalam bahasa Arab diistilahkan ‘Abbaro ‘an katsroh bi al-kulliyyah.
Dalam Al-Qur’an pun ada beberapa ayat yang menggunakan kata kull (setiap atau
semua) untuk suatu hal yang sebagian. Misalnya, dalam ayat 25 dari surat Al Achqof yang menerangkan tentang
penghancuran kaum kafir ‘Aad. Ayatnya sebagai berikut: Tudammiru kulla syai-in bi amri robbihaa, fa asbahuu laa yuroo illaa
masaakinahum (artinya: Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah
Tuhannya, maka jadilah mereka tidak terlihat (punah), kecuali (bekas-bekas) tempat-tempat
tinggal mereka (saja)).
Perhatikan kata kull dalam ayat tersebut adalah
“setiap atau semua atau segala sesuatu”, tetapi tidak bisa ditafsirkan
“maliputi semua atau seluruh”. Sebab, ternyata tempat-tempat tinggal mereka
tidak dihancurkan. Dengan demikian, kata “semua/segala sesuatu” di sini
menunjukkan secara khusus pada kehidupan orang-orang kafir dari bangsa ‘Aad dan
harta benda mereka, tidak termasuk tempat tinggal mereka.
Dengan demikian kata “kull” dalam hadist tentang
bid’ah itu pun tidak berlaku untuk semua bid’ah. Jadi, ada bid’ah yang
baik/terpuji (yakni yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah) dan bid’ah yang
buruk/tercela (yakni yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah). Pemahaman
ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh para imam terkemuka, antara
lain:
a. Imam
Abu Abdillah Muhammad bin Idris Syafi’i (Imam Syafi’i), pendiri mazhab Syafi’i,
menyatakan, “Bid’ah ada dua macam. Pertama, sesuatu yang baru yang menyalai
Al-Qur’an atau sunnah atau ijma’. Itulah bid’ah dholalah (sesat). Kedua,
sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi Al-Qur’an, sunnah dan
ijma’. Itulah bid’ah yang tidak tercela.” (Al-Baihaqi, Manaqib al Syafi’i,
1/469).
Bahkan sesuatu yang
baru itu yang memiliki landasan dalam syara’ meskipun pernah diamalkan oleh
salaf, menurut Imam Syafi’i, bukanlah bid’ah. Alasan mereka (salaf)
meninggalkan hal tersebut, karena:
·
Ada uzur yang terjadi pada saat itu.
·
Ada amalan lain yang lebih utama.
·
Barangkali hal itu sebelum diketahui
oleh mereka.
b. Imam
Badruddin Mahmud bin Ahmad ‘Aini terkenal dengan julukan Imam ‘Aini (762-855 H
/ 1361-1451 M), hafizh dan faqih bermadzhab Hanafi menyatakan,
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rosulullah
Saw. Bid’ah itu ada dua macam. Apabila termasuk dalam naungan sesuatu yang
dianggap baik oleh syara’ disebut bid’ah hasanah. Jika termasuk dalam sesuatu
yang dianggap buruk oleh syara’ disebut bid’ah tercela.”
c. Imam
Qodhi Abu Bakar Ibnu ‘Arobi al Malik, seorang hafizh, ulama tafsir, dan fiqih
yang bermazhab Maliki membagi bid’ah menjadi dua. Hal itu beliau nyatakan dalam
kitab ‘Aridhot al-Ahwadzi Syarh Jami’ al
Tirmidzi, dengan diawali mengutip pernyataan Umar bin Khotthob perihal
perintah baliau agar sholat Tarawih dilaksanakan secara berjama’ah dengan satu
imam. “Umar berkata, ‘Ini sebaik-baik bid’ah’. Bid’ah yang dicela hanyalah
bid’ah yang menyalahi sunnah. Perkara baru (muhdats) yang dicela adalah yang
mengajak kepada kesehatan (Hamid, 2013: 247-248).
Dari tulisan Syamsul Rijal Hamid di atas dalam bukunya,
Buku Pintar Hadist, sudah sangat
jelas menerangkan bahwa bid’ah itu tidak semua sesat. Hanya orang-orang yang
berpikiran sempitlah yang gampang menjustice bahwa sesuatu yang baru adalah
bid’ah dholalah (sesat). Kalau memang semua yang baru itu sesat, maka ayo
bareng-bareng kita telanjang sekarang. Jangan berpikiran macam-macam mengenai
pernyataan saya ini. kalau memang semua yang baru dan tidak ada di jaman Rasul
adalah sesat, baju, mobil, handpone, tv, dan segala sesuatu yang ada pada jaman
ini adalah bid’ah.
Bisa diterima?
*Penulis adalah Direktur Utama LAPMI HMI Cabang Singaraja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar