Oleh: Jaswanto*
Kegelisahan
terbesar yang membuncah di kepala dan batin saya belakangan ini ialah
persoalan-persoalan umat manusia yang kian hari kian tak menemukan benang
merah. Manusia banyak yeng membicarakan tentang etika, moral, norma dalam
forum-forum ilmiah, dalam berlembar-lembar tulisan dan menjadi konsumsi bagi
setiap mereka yang menyebut dirinya kaum intelektual. Tapi, perilakunya tidak
mencerminkan manusia yang beretika, bermoral, dan bernorma.
Orang berilmu itu jelas berbeda
dengan orang bermoral. Orang berilmu tahu tapi belum tentu ingin melakukan.
Tapi orang bermoral itu tahu dan mau melakukan. Disini saya tidak akan
menyalahkan orang yang berilmu. Tentu sangat tidak waras jika saya menyalahkan
orang yang berilmu. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang
kelebihan orang berilmu dan salah satunya ialah:
Syahidallaahu annahuu laa ilaaha illaa huwa wal malaaikatu wa ulul
'ilmi qaaiman bil qis-thi. (QS. Ali Imran, ayat 18).
Artinya:
“Allah mengakui bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain dari padaNya
dan malaikat-malaikat mengakui
dan orang-orang berilmu, yang tegak dengan keadilan”. (QS Ali Imran ayat 18).
Maka lihatlah, betapa Allah Swt. memulai
dengan diri-Nya sendiri dan menduai dengan malaikat dan menigai dengan ahli ilmu. Cukuplah kiranya dengan ini, buat kita
pertanda kemuliaan, kelebihan, kejelasan, dan ketinggian orang-orang yang
berilmu.
Dalam Kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali, ia menuliskan bahwa, Ali
bin Abi Thalib ra. berkata kepada Kumail : “Hai Kumail! Ilmu itu lebih baik
daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu
penghukum (hakim) dan harta itu terhukum. Harta itu berkurang apabila
dibelanjakan dan ilmu itu bertambah dengan dibelanjakan.” Berkata pula Ali ra.
: “Orang berilmu lebih utama daripada orang yang selalu berpuasa, bersholat dan
berjihad. Apabila mati orang yang berilmu, maka terdapatlah kekosongan dalam
Islam yang tidak dapat ditutup selain orang penggantinya.” Betapa bodohnya saya
jika saya hendak menyalahkan orang yang berilmu. Namun, yang dimaksud dalam
Al-Qur’an dan dalam kitab Ihya itu
ilmu yang bagaimana? Tentu kita sudah paham akan hal itu. Banyak orang pinter
tapi keblinger.
Dr. Edi Mulyono dalam bukunya, Islam Yang Menyenangkan, menuliskan, makin pelik dan luas tatkala
tendensi politik itu meminta tolong pada tashih-tashih keagamaan. Sempurnalah
segala intrik itu mengeduk sokongan dari mana-mana, membesar, meluas, melebar,
sampai tak pernah terperikan lamat-lamat mulai menggigit kesatuan bangsa ini.
Sedih sekali saya melihatnya. Pula anda tentunya.
Lalu Dr. Edi meneruskan tulisannya. Agama apa pun,
termasuk Islam yang saya cintai, jelas memiliki dimensi sakralitasnya.
Kesuciannya. Janganlah pernah siapa pun mengulik dimensi sakral agama, karena
niscaya hanya akan mematik reaksi negatif dari pemeluknya.
Permasalahan komodifikasi agama atau politisasi
agama makin terlihat terang-terangan. Sedangkan orang-orang yang paham tentang
agama pun tergiur dengan iming-iming dunia yang melenakan. Dengan alasan ikut
serta mengawal kesucian politik, yang dulu Ahlussunnah wal jama’ah
diselewengkan dengan Ahlussunnah uang jama’ah.
Dalam novelnya, Ayat-Ayat
Cinta 2, Habiburrahman El Shirazy menuliskan, bahwasanya Islam secara
teologis, sangatlah menarik. Bahkan paling menarik dan paling rasional dari
agama-agama yang lain. Sejarah awal Islam juga menakjubkan. Tapi tingkah laku
dan peradaban para pemeluk Islam dewasa ini, mayoritasnya, keindahan Islam
telah tertutup oleh tingkah laku pemeluknya sendiri.
Syaikh Muhammad Abduh yang menangisis kondisi
seperti ini pernah berkata, “Al-Islamu
Mahjuubun bil muslimin.” Yang artinya, Islam tertutup oleh umat Islam.
Benar sekali apa yang diucapkan oleh Syaikh Muhammad Abduh tersebut. Kita tidak
bisa membantahnya. Perilaku-perilaku yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Hadist sudah barang tentu akan menutupi keindahan Islam. Saya melihat Islam di
Eropa, tapi tidak melihat muslim di Eropa. Saya melihat muslim di Indonesia,
tapi tidak melihat Islam di Indonesia. Islam sebagai agama yang sempurna lagi
menyempurnakan selayaknya sudah sangat jelas memberikan tuntunan dan petunjuk
kepada manusia bagaimana menyikapi segala permasalahan hidup dan bertingkah
laku di dunia ini.
Sayangnya, dalam kehidupan seharian kita, utamanya
di lalu lintas sosial media, ideal demikian tampak makin jauh dari pelupuk mata
bangsa ini. Praktik politisasi agama, eksploitasi umat, hingga pengesahan
provokasi-provokasi bebasis hoax dan
fitnah, kian deras menghantam wajah keberagaman bangsa ini. Tentunya, semua
kita yang menjunjung nilai-nilai keluhuran agama sangat menyayangkan fenomena
tersebut. Fenomena pilu yang merangsak luas ini jika ditelisik secara
subtansial sumbernya hanya satu: lunturnya
spirit berakhlak karimah itu (Mulyono, 2017: 7).
Apa yang saya paparkan di atas ialah hanya
kegelisahan saya saja. Saya selalu gelisah dengan keadaan umat Islam saat ini.
Saya sempat berpikir, mengapa umat Islam semakin ke sini, cenderung kian kehilangan
watak kasihnya? Entahlah. Saya hanya berbaik sangka kepada Allah Swt.
Sebelum mengakhiri tulisan yang jauh dari kata baik
ini, saya akan menutupnya dengan mengutip apa yang telah disampaikan oleh
Syaikh Badiuzzaman Said Nursi dalam kitabnya, Risalah Ana & Thabi’ah, ego adalah kunci untuk membuka
perbendaharaan nama-nama Allah yang tersembunyi dan rahasia alam yang terkunci.
Apabila ego telah menunaikan tugasnya dalam bentuk demikian, ia akan
meninggalkan kekuasaan dan kepemilikinya yang bersifat imajinasi dan asumsi di
mana ia hanya merupakan satuan standar. Ego akan menyerahkan kekuasaan kepada
Allah semata dengan berkata, “Segala kekuasaan, pujian, dan ketetapan hanya
milik-Nya. Kepada-Nya kalian dikembalikan.”
Namun, jika ego lupa akan hikmah penciptanya lalu
melihat dirinya dengan pandangan ismi
(menunjukkan makna pada dirinya, seraya meninggalkan tugas fitrinya dengan
merasa dirinya sebagai pemilik, berarti ia telah mengkhianati amanah. Ia pun
masuk kedalam ancaman Ilahi:
“Sesumgguhnya merugi orang yang
mengotorinya.” (QS. asy-Syam [91]: 10).
*Penulis adalah Direktur Utama LAPMI HMI Cabang Singara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar