Sabtu, 17 Juni 2017

Kegelisahan Seorang Kader: Hilangnya Identitas Umat

Hasil gambar untuk hilangnya identitas umat

Oleh: Jaswanto*

            Kegelisahan terbesar yang membuncah di kepala dan batin saya belakangan ini ialah persoalan-persoalan umat manusia yang kian hari kian tak menemukan benang merah. Manusia banyak yeng membicarakan tentang etika, moral, norma dalam forum-forum ilmiah, dalam berlembar-lembar tulisan dan menjadi konsumsi bagi setiap mereka yang menyebut dirinya kaum intelektual. Tapi, perilakunya tidak mencerminkan manusia yang beretika, bermoral, dan bernorma.
            Orang berilmu itu jelas berbeda dengan orang bermoral. Orang berilmu tahu tapi belum tentu ingin melakukan. Tapi orang bermoral itu tahu dan mau melakukan. Disini saya tidak akan menyalahkan orang yang berilmu. Tentu sangat tidak waras jika saya menyalahkan orang yang berilmu. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas tentang kelebihan orang berilmu dan salah satunya ialah:
Syahidallaahu annahuu laa ilaaha illaa huwa wal malaaikatu wa ulul 'ilmi qaaiman bil qis-thi. (QS. Ali Imran, ayat 18).

Artinya:
“Allah mengakui bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain dari padaNya dan malaikat-malaikat mengakui dan orang-orang berilmu, yang tegak dengan keadilan”. (QS Ali Imran ayat 18).

Maka lihatlah, betapa Allah Swt. memulai dengan diri-Nya sendiri dan menduai dengan malaikat dan menigai dengan ahli ilmu. Cukuplah kiranya dengan ini, buat kita pertanda kemuliaan, kelebihan, kejelasan, dan ketinggian orang-orang yang berilmu.
Dalam Kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali, ia menuliskan bahwa, Ali bin Abi Thalib ra. berkata kepada Kumail : “Hai Kumail! Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta itu terhukum. Harta itu berkurang apabila dibelanjakan dan ilmu itu bertambah dengan dibelanjakan.” Berkata pula Ali ra. : “Orang berilmu lebih utama daripada orang yang selalu berpuasa, bersholat dan berjihad. Apabila mati orang yang berilmu, maka terdapatlah kekosongan dalam Islam yang tidak dapat ditutup selain orang penggantinya.” Betapa bodohnya saya jika saya hendak menyalahkan orang yang berilmu. Namun, yang dimaksud dalam Al-Qur’an dan dalam kitab Ihya itu ilmu yang bagaimana? Tentu kita sudah paham akan hal itu. Banyak orang pinter tapi keblinger.
Dr. Edi Mulyono dalam bukunya, Islam Yang Menyenangkan, menuliskan, makin pelik dan luas tatkala tendensi politik itu meminta tolong pada tashih-tashih keagamaan. Sempurnalah segala intrik itu mengeduk sokongan dari mana-mana, membesar, meluas, melebar, sampai tak pernah terperikan lamat-lamat mulai menggigit kesatuan bangsa ini. Sedih sekali saya melihatnya. Pula anda tentunya.
Lalu Dr. Edi meneruskan tulisannya. Agama apa pun, termasuk Islam yang saya cintai, jelas memiliki dimensi sakralitasnya. Kesuciannya. Janganlah pernah siapa pun mengulik dimensi sakral agama, karena niscaya hanya akan mematik reaksi negatif dari pemeluknya.
Permasalahan komodifikasi agama atau politisasi agama makin terlihat terang-terangan. Sedangkan orang-orang yang paham tentang agama pun tergiur dengan iming-iming dunia yang melenakan. Dengan alasan ikut serta mengawal kesucian politik, yang dulu Ahlussunnah wal jama’ah diselewengkan dengan Ahlussunnah uang jama’ah.
Dalam novelnya, Ayat-Ayat Cinta 2, Habiburrahman El Shirazy menuliskan, bahwasanya Islam secara teologis, sangatlah menarik. Bahkan paling menarik dan paling rasional dari agama-agama yang lain. Sejarah awal Islam juga menakjubkan. Tapi tingkah laku dan peradaban para pemeluk Islam dewasa ini, mayoritasnya, keindahan Islam telah tertutup oleh tingkah laku pemeluknya sendiri.
Syaikh Muhammad Abduh yang menangisis kondisi seperti ini pernah berkata, “Al-Islamu Mahjuubun bil muslimin.” Yang artinya, Islam tertutup oleh umat Islam. Benar sekali apa yang diucapkan oleh Syaikh Muhammad Abduh tersebut. Kita tidak bisa membantahnya. Perilaku-perilaku yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist sudah barang tentu akan menutupi keindahan Islam. Saya melihat Islam di Eropa, tapi tidak melihat muslim di Eropa. Saya melihat muslim di Indonesia, tapi tidak melihat Islam di Indonesia. Islam sebagai agama yang sempurna lagi menyempurnakan selayaknya sudah sangat jelas memberikan tuntunan dan petunjuk kepada manusia bagaimana menyikapi segala permasalahan hidup dan bertingkah laku di dunia ini.
Sayangnya, dalam kehidupan seharian kita, utamanya di lalu lintas sosial media, ideal demikian tampak makin jauh dari pelupuk mata bangsa ini. Praktik politisasi agama, eksploitasi umat, hingga pengesahan provokasi-provokasi bebasis hoax dan fitnah, kian deras menghantam wajah keberagaman bangsa ini. Tentunya, semua kita yang menjunjung nilai-nilai keluhuran agama sangat menyayangkan fenomena tersebut. Fenomena pilu yang merangsak luas ini jika ditelisik secara subtansial sumbernya hanya satu: lunturnya spirit berakhlak karimah itu (Mulyono, 2017: 7).
Apa yang saya paparkan di atas ialah hanya kegelisahan saya saja. Saya selalu gelisah dengan keadaan umat Islam saat ini. Saya sempat berpikir, mengapa umat Islam semakin ke sini, cenderung kian kehilangan watak kasihnya? Entahlah. Saya hanya berbaik sangka kepada Allah Swt.
Sebelum mengakhiri tulisan yang jauh dari kata baik ini, saya akan menutupnya dengan mengutip apa yang telah disampaikan oleh Syaikh Badiuzzaman Said Nursi dalam kitabnya, Risalah Ana & Thabi’ah, ego adalah kunci untuk membuka perbendaharaan nama-nama Allah yang tersembunyi dan rahasia alam yang terkunci. Apabila ego telah menunaikan tugasnya dalam bentuk demikian, ia akan meninggalkan kekuasaan dan kepemilikinya yang bersifat imajinasi dan asumsi di mana ia hanya merupakan satuan standar. Ego akan menyerahkan kekuasaan kepada Allah semata dengan berkata, “Segala kekuasaan, pujian, dan ketetapan hanya milik-Nya. Kepada-Nya kalian dikembalikan.”
Namun, jika ego lupa akan hikmah penciptanya lalu melihat dirinya dengan pandangan ismi (menunjukkan makna pada dirinya, seraya meninggalkan tugas fitrinya dengan merasa dirinya sebagai pemilik, berarti ia telah mengkhianati amanah. Ia pun masuk kedalam ancaman Ilahi:
“Sesumgguhnya merugi orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syam [91]: 10).

*Penulis adalah Direktur Utama LAPMI HMI Cabang Singara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar