Minggu, 18 Juni 2017

Rehabilitasi Seorang Koruptor


Hasil gambar untuk rehabilitasi koruptor

Oleh: Diki Wahyudi*

Ada sebuah anekdot tentang korupsi, orang cina korupsi dibawah meja, orang singapura korupsi dibawah meja, tapi kalo orang indonesia korupsi mejanya dibawa. Anekdot ini adalah sebuah sindiran bagi bangsa indonesia, yang mengindikasikan bahwa bangsa ini sudah dicap sebagai sarang koruptor, tempat empuk dan aman untuk korupsi.
Tapi sebelum kita berbicara lebih lanjut tentang korupsi kita harus tahu makna korupsi. Kata korupsi, dalam The Lexicon Webster Dictionary arti korupsi adalah kebusukan, penyimpangan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata menghina atau menfitnah[1]. Sedangkan menurut Gurnal Myrdal, korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktifitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainya seperti penyogokan[2]. Dari kedua definisi ini bisa diambil kesimpulan bahwa korupsi murupakan perbuatan untuk menyalah gunakan wewenang, kesempatan tau sarana untuk memprkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang merugikan keuangan negara dan melawan hukum.
Ungkapan Lord Acton tentang hubungan antara korupsi dengan kekuasaan “power tends to corrupt, and absolut power corrupt absolutely” bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut[3]. Ungkapan inilah yang terjadi sekarang di indonesia, korupsi seolah menjadi penyakit yang berkembang dan menggerogoti bangsa indonesia. korupsi berkembang dalam tiga taham yaitu elitis, endemic, dan sistematik. Pada tahap elitis korupsi masih terjadi pada lingkungan para pejabat, pada tahap endemic koropsi mewabah kemayarakat luas dan pada tahap yang paling kritis korupsi menjadi sistematik dimana setiap individu terjangkit prilaku korupsi.
 Mewabahnya penyakit korupsi di indonesia ini tidak terkendali ini menimbulkan dampak yang tidak haya sebatas kerugian perekonomian negara, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Selama tahun 2011-2015 munurut Prof. Peter Carey mengatakan kerugaian yang ditimbulkan akibat korupsi mencapai Rp.205 Triliun ini merupakan jumlah yang fantastis. jumlah yang hilang ini setara dengan seluruh anggaran untuk pembangunan 871 kilometer jalan tol dan jalan baru[4]. Korupsi terbesar menurutnya terdapat di pemerintahan dan korporasi. Oleh sebab itu korupsi masuk kepada kejahatan extra ordinary cime (kejahatan luar biasa), sehingga pemberantasan kejahatan luar biasa pemberantasanya, tidak bisa dilakukan “secara biasa” tetapi harus dengan cara-cara yang luar biasa.
Benar yng dikatakan oleh Lord Acton tentang hubungan antara korupsi dengan kekuasaan “power tends to corrupt, and absolut power corrupt absolutely”, bahwa kekuasaan cenderung korupsi, kebanyakan korupsi di indonesia dilakukan oleh penjabat politik. Ini terbukti sepanjang kurun waktu 2004 sampai 2016 2.545 pejabat terjerat hukum yang sebagian besarnya kasus korupsi . Kementrian dalam negeri mencatat sebanyak 318 Kepala Daerah dari 524 orang Kepala Daerah terjerat korupsi.
Oleh karena karena itu munculah wacana pencabutan hak politik bagi para pelaku tindak korupsi, Paling tidak terdapat tiga kasus besar yang pernah dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. Tanpa mengingkari kalau masih banyak kasus-kasus lainnya yang juga pasti dikenakan hukuman tambahan pencabutan Hak politik. Pertama, kasus korupsi dalam proyek simulator SIM yang melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Irjen Pol. Djoko Susilo. Kedua, kasus pengadaan daging sapi impor yang melibatkan eks petinggi PKS Luthfi Hasan Ishaq. Ketiga, yang baru-baru ini diputuskan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta atas pencabutan hak politik terdakwa korupsi; Rachmat Yasin dalam kasus suap tukar guling hutan lindung.
            Dari tiga kasus inilah, paska putusan pengadilan tentang tambaha hukuman pencabutan hak politik bagi para koruptor, ekspetasi buplik dan wacana pencabutan hak politik bagi para pelaku tindak pidana korupsi semakin luar biasa.Dan seolah pencabutan hak politik bagi terpinada korupsi menjadi solusi terahir untuk memberantas koropsi di indonesia.
Tapi pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi ini menimbulkan polemik yang sangat krusial, dari dari berbagai pihak. satu pihak mendukung pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi sebagai langkah maju untuk memberantas tindak pidana korupsi yang sudah mendarah daging di indonesia, namun di sisi lain para penggiat Hak Asasi Manusia menolak keras tentang wacana pencabutan hak politik bagi terpina korupsi dengan alasan Hak politik adalah hak setiap manusia dan pencabutan hak politk bagi terpidana kasus korupsi merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Polemik pencabutan hak politik untuk terpidana korupsi ini, masih ada pendapat pro dan kontra. Perbedaan pendapat ini terjadi dikalangan penggiat Hak Asasi Manusia dan juga pakar-pakar hukum yang mempunyaai perbedaan sudut pandang.
Dari pihak yang mendukung berpendapat bahwa pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi itu sangat perlu, melihat bahwa korupsi di negeri ini sudah menjadi penyakit yang mewabah, semakin lama semakin menginfeksi para pejabat yang notabenya sebagai pemimpin bangsa, yang seharusnya para pemimpin bangsa itu menjadi “problem solving leader” pemimpin yang mampu membawa bangsa ini keluar dari persoalan besar yang dihadapi selama ini. bukan menjadi perampok dan lintah darat bagi rakyat sendiri.
 Seolah korupsi itu sudah menjadi budaya yang diturun temurunkan oleh penguasa satu ke  pepenguasa berikutnya. benar yang dikatakan oleh Melville J. Herskovit dan Brownislaw Malinowski berpendapat bahwa segala sesutau yang ada dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarkat itu sendiri (cultural-seterminism).Jadi mental korupsi yang dimiliki oleh kebanyakan pemimpin kita itu sudah diwariskan dan dibuyakan secara turun menurun. Contohnya dalam pembuatn KTP masyarkat kita kebanyakan memberikan ucapan terima kasih kepada petugas yang membantu untuk membuatkan KTP, hal seperti inilah yang akan mewariskan dan menyuburkan budaya korupsi di indonesia. sehingga budaya korupsi itu akan menjadi lingkaran setan yang tak berujung, dan akan membelenggu pembangunan bangsa ini. oleh sebab itu wacana pencabutan hak politik terpidana korupsi perlu direalisasikan
Factor yang kedua, korupsi merupakan kejahatan extra ordinary crime yaitu kejahatan luar biasa, kejahatan yang menimbulkan efek yang komplek bagi kehidupan bangsa dan negara. Bayanngkan saja dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat mengguritanya korupsi di indonesia ini sangat fantastis coba banyangkan menurut peneliatian Prof. Peter Carey mengatakan kerugaian yang ditimbulkan akibat korupsi mencapai Rp.205 Triliun. Jumlah fantastis yang hilang ini setara dengan seluruh anggaran untuk pembangunan 871 kilometer jalan tol dan jalan baru[5]. Luar biasa dimana korupsi menggerogoti kemajuan pembangunan bangsa, coba bayangkan 817 kilometer jalan tol yang hilang karena kerakusan pejabat-pejabat yang tidak bertanggung jawab. Nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi di Indonesia selama 2001-2015 mencapai Rp203,9 triliun. Hasil kajian Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), juga menghitung hukuman berupa denda dan sita aset hanya terkumpul Rp21,26 triliun.[6] Coba bayangkan uang sebesar Rp.203,9 triliun itu kalau dialokasikan untuk pembangunan sekolah, pembangunan rumah sakit, pembangunan sarana prasarana, tentunya akan memberikan kemajuan bagi bangsa ini.
Belum lagi efek politik yang ditimbulkan karena budaya korupsi yang dilakukan oleh para pejabat yang diusung oleh partai, yaitu semakin meningginya biaya  partai politik sehingga partai politik akan mencari celah untuk memenuhi kebutuhan partainya, disinalah selah pemodal-pemodal akan masuk dengan perjanjian pranikah dengan partai untuk memuluskan kepentingan pemodal tersebut. jadi disini partai hanya menjadi boneka belaka, bukan sebagai wadah aspirasi rakyat, disini yang diutamakan adalah kepentingan kelompol bukan kepentingan rakyat sehingga lama-kelamaan akan menimbulkan dinasti politik. Dinasti politik di indonesia itu sudah berkembang di indonesia, menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, menyatakan terdapat 58 dinasti politik yang berkembang di Indonesia. "Ada 58 dinasti yang terbesar di berbagai daerah. Yang paling fenomenal adalah Banten," kata Adnan dalam diskusi mengenai dinasti politik di Gado-Gado Boplo, Jakarta, Sabtu, 7 Januari 2017. 58 titik dinasti poliik itu bukan angka yang kecil, angka 58 itu sudah memenuhi 34 provinsi di indonesia[7]. dan dinasti politik tidak akan membuat suatu daerah maju malah akan membuat pembangunan akan terbelenggu serta suburnya budaya korupsi beranakpik pinak dan berkembang cepat di negeri ini. contohnya kasus dinasti politik Ratu Atut, dimana menggandeng keluarganya untuk melakukan KKN dalam suap sengketa pilkada Lebak banten dan penganggaran alat kesehatan yang bernilai 79 miliar angka yang fantastis. Banten semakin semakin miskin rakyatnya tapi semakin kaya raya pemimpinya, ini terbukti ketika ahir 2012 banten dikejutakan dengan foto anak-anak sd bergelantungan mempertaruhkan nyawanya di jembatan indiana jones. Gambar ini dilansir daily mail dan reuters. Ini membuktikan wahwa politik dinasti yang diakuasai para pemodal akan menghancurkan bangsa ini.
Bukan hanya data itu, kini korupsi seolah membuat jaringan atau korporasi koruptor yang mencoba menguasai negara. Itu terbukti banyaknya pelemamahan-pelemahan pada KPK mulai dari banyaknya pengajauan uji materi pada undang-undang anti korupsi, sampai pada kasus yang paling terbaru adalah penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Menurut saya penyerangan ini bukan ditujukan kepada pribadi Novel Baswedan tapi merupakan penyerangan berencana yang dilakukan oleh aktor intelektual. Penyerangan ini seolah masih ada hubunganya dengan kasus E-KTP yang menyeret berbagaipejabat negara.

Dari paparan diatas tentunya disini banyak hak rakyat kecil diambil oleh pemimpin-pemimpin bangsa yang rakus dan lapar akan harta kekayaan. Disini rakyat banyak menderita karena hak-hak yang seharusnya yang didapatkan, untuk memperoleh pendidikan, kesehatan,jalan raya, jembatan, sarana dan prasarana yang layak di kantongi dan sunat oleh para koruptor. Coba bayangkan Rp.205 triliun masuk pada kantong-kantong tak bertanggung jawab, 79 miliar uang APBD dibuat hajatan dan makan-makan keluarga dinasti politik, belum lagi Rp.203,9 triliuan uang negara yang hilangnya entah kemana. Nominal sebanyak itu seharusnya dibuat untuk kebutuhan rakyat seperti rumah sakit, sekolah, jalan raya, beasiswa. Untuk mencapai tatanan itu indonesia harus berani mengambil sikap untuk melawan KKN di negeri ini, katakana “lawan” pada korupsi salah satunya dengan penghapusan hak politik bagi terpidana korupsi sehingga seorang korupstor tak bisa lagi untuk memimpin dan mempunyai kesempatan untuk korupsi lagi, coba bayangkan seoraang mantan terpidana korupsi menjadi DPR RI dan berada dikomisi III lalu mengontrol penegak hukum hancur bangsa ini. inilah yang menjadi dasar diperlukanya wacana pencabutan politik bagi terpidana korupsi.
Kontra, pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi ini menurut sebagian pihak tidak relevan karena terpidana sudah mendapatkan kurungan dan denda, sampai dimiskinkan pula. Tentunya ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, UU No 39 tahun 1999 pasal 43 ayat satu yang menyatakan setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. menurut Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila mengatakan hukuman tersebut tidak ada korelasinya dengan tindak pidana korupsi. "Tidak ada korelasinya pencabutan hak politik dengan tindak pidana korupsi,"[8]. menurutnya boleh koruptor itu di hukum seberat-beratnya bahkan dimiskinkan tapi kalau sampe mencabut hak hidup dan hak politik itu sudah melanggar HAM.
Selain itu dalan wacana kebijakan pencabutak hak politik bagi terpidana korupsi ini juga ada tumpang tindih dalam peraturanya.
Pertama bahwa kebijakan pencabutan hak politik terhadap terpidana korupsi ini hanya sebagai pemanis sesaat bagi public yang menginginkan pemberantasan korupsi secapatya sehinngga hakim yang memvonis terdakwa korupsi dengan tambahan pencabutan hak politik dianggap hakim yang adil, padahal sebenaranya peratuaran yang UU yang mengatur larangan bagi mantan narapidana yang pernah diancam dengan kurungan lima tahun atua lebih, dan ingat ancaman hukuman tindak pidana korupsi lebih dari lima tahun
Kedua pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi menurut putusan MK Nomor 4/PUUVII/ 2009 menetapkan pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi haanya berlau lima tahun setelah selesai masa tehananya, setelah itu mantan terpidana korupsi dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. tapi uu yang mengatur syarat untuk menjadi calon pejabat seperti DPR,DPD, bupati dan lain-lain itu mempersyaratkan “tidak pernah dijatuhi hukuman pidana karena tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih”. Inikan masih tumpang tindih, anatar udang-undang satu dengan undang-undang yang lainya. Bagaimana mantan narapidana korupsi mencalonkan diri untuk menjadi pejabat kalau putusan MK membolehkan tetapi peraturan lain melarang.
ketiga, limitasi mulai berlakunya, atau dengan kata lain mulai dihitungnya atas terpidana yang menjalani hukuman tambahan pencabutan hak politik (hak memegang jabatan, hak memiih dan dipilih: Pasal 35 KUHP) juga masih tumpang tindih dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi). Pasal 38 KUHP menentukan “pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan pengadilan mulai dijalankan” Sementara melalui putusan MK Nomor 4/PUUVII/ 2009 (24 Maret 2009) telah menetapkan bahwa hukuman pencabutan hak politik itu dianggap konstitusional dengan batasan pencabutan hak hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalankan hukumannya. KUHP menggariskan pada hari putusan pengadilan mulai djalankan pencabutan hak politik atas terpidananya. Itu artinya bagi yang dihukum penjara misalnya akan terhitung masa pencabutan hak politik tersebut pada saat mulainya menjalani masa pemidanaan (penjara/kurungan). Sedangkan Putusan MK sudah menetapkan pula batasannya; yaitu hitungannya dimulai sejak terpidana selesai menjalani masa hukuman pokoknya (terutama pidana penjara dan kurungan). Memang sebaik dan idealnya putusan MK harus diikuti dan menjadi acuan bagi hakim pengadilan (MA hingga jajarannya: PN/Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi) sebab Putusan MK berlaku final and binding. Tetapi masih ada juga hakim yang sering mengabaikan putusan MK, dengan berlindung pada prinsipat; independensi masing-masing peradilan.[9]
Keempat, oleh putusan MK yang sudah membatasi masa pencabutan hak politik hanya berlaku lima tahun. Tetapi berdasarkan ketentuan KUHP; khususnya dalam Pasal 38, untuk hukuman seumur hidup masa pencabutan hak politiknya berlaku seumur hidup pula. Tumpang tindinya di sini, terletak pada putusan MK sudah menentukan masa pencabutan hak politik hanya lima tahun, sementara KUHP; pencabutan hak politik justru berlaku seumur hidup. Andaikata hukuman seumur hidup, ketika diberlakukan pencabutan hak politik dengan mengikuti limitasi berdasarkan putusan MK tersebut, maka pencabutan hak politik tidak dapat berlaku lagi, sebab fase menghitungnya, dimulai dari selesainya masa hukuman pokok (yaitu hukuman seumur hidup). Pertanyaan singkatnya adalah bagaimana caranya memulai menjalani pencabutan hak politik, sementara masa menjalani hukuman pokoknya seumur hidup tidak jelas kapan selesainya.[10]
Kalo undang-undangnya masih tumpang tindih bagaimana kebijakan ini akan diterpakan, kan aneh kalo masih ada undang-undang yang masih tumbang tindih. Dan kebijakan mencabut hak politik terpidana korupsi juga percuma kalo di laksanakan, karena dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur syarat untuk menjadi calon pejabat tidak pernah diancam hukuman lima tahun lebih.
Dari polemik kebijakan pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi ini harus disikapi dengan solusi yang soluktif. Disisi lain pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi ini akan menekan tindak korupsi yang kebanyakan dilakukan oleh pejabat public, langkah ini akan memberikan efek jera bagi pejabat yang terkena human pencabutan hak politik untuk dipilih dan memilih dalam pemilu. Akan ada efek psikologis bagi pejabat yang belum terkena hukumana ini, mereka akan takut kehilangan hak dipilih dan memilih dalan kancah dunia politik.
Disisi lain kebijakan ini jega melanggar hak asasi manusia, yaitu hak memilih dan dipilih dalam pemilu, hak menentukan pilihan adalah hak mutlak bagi setiap orang, ketika hak ini dirampas berarti kita sudah merampas hak manusia lain.
Disini langkah kongkretnya menurut hemat saya adalah pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi ini perlu dilakukan, mengingat korupsi sudah membudaya di negeri ini, dan korupsi adalah extra ordinary crime yang imbasnya sangat luar biasa di berbagai bidang baik ekonomi, politik, social, dan budaya. Walaupun ada pihak yang berpendapat bahwa kebijakan ini melanggar HAM, kita perlu berpikir lebih luas dan koperhensif disini, karena sebenarnya korupsi itu sungguh telah merampas HAM rakyat. Penerapan kebijakan pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi ini juga harus ada sinkronisasi undang-undang melihat masih ada undang dan peraturan yang tumpang tindih. Ketika kebijakan ini dilaksanakan maka, akan muncul pemimpin-pemimpin bersifat “problem solving leader” yang mampu menjawab persoalan bangsa ini. pemimpin yang mempu mengatasi kemiskinan, pengguran, ketidak merataan, dan kepastian hukum, serta keadilan bagi seluruh rakyat indonesia.

*Penulis adalah Ketua PMM-Al-Hikmah UNDIKSHA Singaraja, Bali.




[1] Dr.ermansjah djaja, SH, M.Si, 2013, membe rantas korupsi bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.24
[2] Dr.ermansjah djaja, SH, M.Si, 2013, op.cit., hlm. 5.
[3] Dr.ermansjah djaja, SH, M.Si, 2013, op.cit., hlm. 28
[9] Damang S.H, MH,http://www.negarahukum.com/hukum/pencabutanhakpolitik.html, diakses 17 Maret 2017, Jam, 14.30
[10] Damang S.H, MH,http://www.negarahukum.com/hukum/pencabutanhakpolitik.html, diakses 17 Maret 2017, Jam, 14.30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar