
Oleh: Diki Wahyudi*
Ada sebuah
anekdot tentang korupsi, orang cina korupsi dibawah meja, orang singapura
korupsi dibawah meja, tapi kalo orang indonesia korupsi mejanya dibawa. Anekdot
ini adalah sebuah sindiran bagi bangsa indonesia, yang mengindikasikan bahwa
bangsa ini sudah dicap sebagai sarang koruptor, tempat empuk dan aman untuk
korupsi.
Tapi sebelum
kita berbicara lebih lanjut tentang korupsi kita harus tahu makna korupsi. Kata
korupsi, dalam The Lexicon Webster Dictionary arti korupsi adalah kebusukan,
penyimpangan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata menghina atau menfitnah[1].
Sedangkan menurut Gurnal Myrdal, korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan
yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktifitas
pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak
patut, serta kegiatan lainya seperti penyogokan[2].
Dari kedua definisi ini bisa diambil kesimpulan bahwa korupsi murupakan
perbuatan untuk menyalah gunakan wewenang, kesempatan tau sarana untuk
memprkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang merugikan keuangan
negara dan melawan hukum.
Ungkapan Lord
Acton tentang hubungan antara korupsi dengan kekuasaan “power tends to corrupt,
and absolut power corrupt absolutely” bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi
dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut[3].
Ungkapan inilah yang terjadi sekarang di indonesia, korupsi seolah menjadi
penyakit yang berkembang dan menggerogoti bangsa indonesia. korupsi berkembang
dalam tiga taham yaitu elitis, endemic, dan sistematik. Pada tahap elitis
korupsi masih terjadi pada lingkungan para pejabat, pada tahap endemic koropsi
mewabah kemayarakat luas dan pada tahap yang paling kritis korupsi menjadi
sistematik dimana setiap individu terjangkit prilaku korupsi.
Mewabahnya penyakit korupsi di indonesia ini
tidak terkendali ini menimbulkan dampak yang tidak haya sebatas kerugian
perekonomian negara, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Selama
tahun 2011-2015 munurut Prof. Peter Carey mengatakan kerugaian yang ditimbulkan
akibat korupsi mencapai Rp.205 Triliun ini merupakan jumlah yang fantastis.
jumlah yang hilang ini setara dengan seluruh anggaran untuk pembangunan 871
kilometer jalan tol dan jalan baru[4].
Korupsi terbesar menurutnya terdapat di pemerintahan dan korporasi. Oleh sebab
itu korupsi masuk kepada kejahatan extra
ordinary cime (kejahatan luar biasa), sehingga pemberantasan kejahatan luar
biasa pemberantasanya, tidak bisa dilakukan “secara biasa” tetapi harus dengan
cara-cara yang luar biasa.
Benar yng
dikatakan oleh Lord Acton tentang hubungan antara korupsi dengan kekuasaan
“power tends to corrupt, and absolut power corrupt absolutely”, bahwa kekuasaan
cenderung korupsi, kebanyakan korupsi di indonesia dilakukan oleh penjabat
politik. Ini terbukti sepanjang kurun waktu 2004 sampai 2016 2.545 pejabat
terjerat hukum yang sebagian besarnya kasus korupsi . Kementrian dalam negeri
mencatat sebanyak 318 Kepala Daerah dari 524 orang Kepala Daerah terjerat
korupsi.
Oleh karena karena itu munculah wacana pencabutan hak
politik bagi para pelaku tindak korupsi, Paling tidak terdapat tiga kasus besar
yang pernah dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. Tanpa
mengingkari kalau masih banyak kasus-kasus lainnya yang juga pasti dikenakan
hukuman tambahan pencabutan Hak politik. Pertama, kasus korupsi dalam
proyek simulator SIM yang melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Irjen Pol.
Djoko Susilo. Kedua, kasus pengadaan daging sapi impor yang melibatkan
eks petinggi PKS Luthfi Hasan Ishaq. Ketiga, yang baru-baru ini diputuskan oleh
Pengadilan Tipikor Jakarta atas pencabutan hak politik terdakwa korupsi;
Rachmat Yasin dalam kasus suap tukar guling hutan lindung.
Dari tiga kasus inilah, paska
putusan pengadilan tentang tambaha hukuman pencabutan hak politik bagi para
koruptor, ekspetasi buplik dan wacana pencabutan hak politik bagi para pelaku
tindak pidana korupsi semakin luar biasa.Dan seolah pencabutan hak politik bagi
terpinada korupsi menjadi solusi terahir untuk memberantas koropsi di
indonesia.
Tapi pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi ini
menimbulkan polemik yang sangat krusial, dari dari berbagai pihak. satu pihak
mendukung pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi sebagai langkah maju
untuk memberantas tindak pidana korupsi yang sudah mendarah daging di
indonesia, namun di sisi lain para penggiat Hak Asasi Manusia menolak keras
tentang wacana pencabutan hak politik bagi terpina korupsi dengan alasan Hak
politik adalah hak setiap manusia dan pencabutan hak politk bagi terpidana
kasus korupsi merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Polemik pencabutan hak politik untuk terpidana korupsi ini,
masih ada pendapat pro dan kontra. Perbedaan pendapat ini terjadi dikalangan
penggiat Hak Asasi Manusia dan juga pakar-pakar hukum yang mempunyaai perbedaan
sudut pandang.
Dari pihak yang mendukung berpendapat bahwa pencabutan hak
politik bagi terpidana korupsi itu sangat perlu, melihat bahwa korupsi di
negeri ini sudah menjadi penyakit yang mewabah, semakin lama semakin
menginfeksi para pejabat yang notabenya sebagai pemimpin bangsa, yang seharusnya
para pemimpin bangsa itu menjadi “problem solving leader” pemimpin yang mampu
membawa bangsa ini keluar dari persoalan besar yang dihadapi selama ini. bukan
menjadi perampok dan lintah darat bagi rakyat sendiri.
Seolah korupsi itu
sudah menjadi budaya yang diturun temurunkan oleh penguasa satu ke pepenguasa berikutnya. benar yang dikatakan oleh
Melville J. Herskovit dan Brownislaw Malinowski berpendapat bahwa segala sesutau yang ada dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarkat itu sendiri
(cultural-seterminism).Jadi mental korupsi yang dimiliki oleh kebanyakan pemimpin
kita itu sudah diwariskan dan dibuyakan secara turun menurun. Contohnya dalam
pembuatn KTP masyarkat kita kebanyakan memberikan ucapan terima kasih kepada
petugas yang membantu untuk membuatkan KTP, hal seperti inilah yang akan
mewariskan dan menyuburkan budaya korupsi di indonesia. sehingga budaya korupsi
itu akan menjadi lingkaran setan yang tak berujung, dan akan membelenggu
pembangunan bangsa ini. oleh sebab itu wacana pencabutan hak politik terpidana
korupsi perlu direalisasikan
Factor yang kedua, korupsi merupakan kejahatan extra
ordinary crime yaitu kejahatan luar biasa, kejahatan yang menimbulkan efek yang
komplek bagi kehidupan bangsa dan negara. Bayanngkan saja dampak ekonomi yang
ditimbulkan akibat mengguritanya korupsi di indonesia ini sangat fantastis coba
banyangkan menurut peneliatian Prof. Peter Carey
mengatakan kerugaian yang ditimbulkan akibat korupsi mencapai Rp.205 Triliun.
Jumlah fantastis yang hilang ini setara dengan seluruh anggaran untuk
pembangunan 871 kilometer jalan tol dan jalan baru[5].
Luar biasa dimana korupsi menggerogoti kemajuan pembangunan bangsa, coba
bayangkan 817 kilometer jalan tol yang hilang karena kerakusan pejabat-pejabat
yang tidak bertanggung jawab. Nilai kerugian negara akibat tindak pidana
korupsi di Indonesia selama 2001-2015 mencapai Rp203,9 triliun. Hasil kajian
Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), juga menghitung
hukuman berupa denda dan sita aset hanya terkumpul Rp21,26 triliun.[6]
Coba bayangkan uang sebesar Rp.203,9 triliun itu kalau dialokasikan untuk
pembangunan sekolah, pembangunan rumah sakit, pembangunan sarana prasarana,
tentunya akan memberikan kemajuan bagi bangsa ini.
Belum lagi efek
politik yang ditimbulkan karena budaya korupsi yang dilakukan oleh para pejabat
yang diusung oleh partai, yaitu semakin meningginya biaya partai politik sehingga partai politik akan
mencari celah untuk memenuhi kebutuhan partainya, disinalah selah
pemodal-pemodal akan masuk dengan perjanjian pranikah dengan partai untuk
memuluskan kepentingan pemodal tersebut. jadi disini partai hanya menjadi
boneka belaka, bukan sebagai wadah aspirasi rakyat, disini yang diutamakan
adalah kepentingan kelompol bukan kepentingan rakyat sehingga lama-kelamaan akan
menimbulkan dinasti politik. Dinasti politik di indonesia itu sudah berkembang
di indonesia, menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan
Husodo, menyatakan terdapat 58 dinasti politik yang berkembang di Indonesia.
"Ada 58 dinasti yang terbesar di berbagai daerah. Yang paling fenomenal
adalah Banten," kata Adnan dalam diskusi mengenai dinasti politik di
Gado-Gado Boplo, Jakarta, Sabtu, 7 Januari 2017. 58 titik dinasti poliik itu
bukan angka yang kecil, angka 58 itu sudah memenuhi 34 provinsi di indonesia[7].
dan dinasti politik tidak akan membuat suatu daerah maju malah akan membuat
pembangunan akan terbelenggu serta suburnya budaya korupsi beranakpik pinak dan
berkembang cepat di negeri ini. contohnya kasus dinasti politik Ratu Atut, dimana
menggandeng keluarganya untuk melakukan KKN dalam suap sengketa pilkada Lebak
banten dan penganggaran alat kesehatan yang bernilai 79 miliar angka yang
fantastis. Banten semakin semakin miskin rakyatnya tapi semakin kaya raya
pemimpinya, ini terbukti ketika ahir 2012 banten dikejutakan dengan foto
anak-anak sd bergelantungan mempertaruhkan nyawanya di jembatan indiana jones.
Gambar ini dilansir daily mail dan reuters. Ini membuktikan wahwa politik
dinasti yang diakuasai para pemodal akan menghancurkan bangsa ini.
Bukan hanya data itu, kini korupsi seolah membuat jaringan
atau korporasi koruptor yang mencoba menguasai negara. Itu terbukti banyaknya
pelemamahan-pelemahan pada KPK mulai dari banyaknya pengajauan uji materi pada
undang-undang anti korupsi, sampai pada kasus yang paling terbaru adalah
penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Menurut saya penyerangan ini
bukan ditujukan kepada pribadi Novel Baswedan tapi merupakan penyerangan
berencana yang dilakukan oleh aktor intelektual. Penyerangan ini seolah masih
ada hubunganya dengan kasus E-KTP yang menyeret berbagaipejabat negara.
Dari paparan
diatas tentunya disini banyak hak rakyat kecil diambil oleh pemimpin-pemimpin
bangsa yang rakus dan lapar akan harta kekayaan. Disini rakyat banyak menderita
karena hak-hak yang seharusnya yang didapatkan, untuk memperoleh pendidikan,
kesehatan,jalan raya, jembatan, sarana dan prasarana yang layak di kantongi dan
sunat oleh para koruptor. Coba bayangkan Rp.205 triliun masuk pada
kantong-kantong tak bertanggung jawab, 79 miliar uang APBD dibuat hajatan dan
makan-makan keluarga dinasti politik, belum lagi Rp.203,9 triliuan uang negara
yang hilangnya entah kemana. Nominal sebanyak itu seharusnya dibuat untuk
kebutuhan rakyat seperti rumah sakit, sekolah, jalan raya, beasiswa. Untuk
mencapai tatanan itu indonesia harus berani mengambil sikap untuk melawan KKN
di negeri ini, katakana “lawan” pada korupsi salah satunya dengan penghapusan
hak politik bagi terpidana korupsi sehingga seorang korupstor tak bisa lagi
untuk memimpin dan mempunyai kesempatan untuk korupsi lagi, coba bayangkan
seoraang mantan terpidana korupsi menjadi DPR RI dan berada dikomisi III lalu
mengontrol penegak hukum hancur bangsa ini. inilah yang menjadi dasar
diperlukanya wacana pencabutan politik bagi terpidana korupsi.
Kontra,
pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi ini menurut sebagian pihak tidak
relevan karena terpidana sudah mendapatkan kurungan dan denda, sampai
dimiskinkan pula. Tentunya ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, UU No
39 tahun 1999 pasal 43 ayat satu yang menyatakan setiap warga negara berhak
untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. menurut Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila
mengatakan hukuman tersebut tidak ada korelasinya dengan tindak pidana korupsi.
"Tidak ada korelasinya pencabutan hak politik dengan tindak pidana
korupsi,"[8].
menurutnya boleh koruptor itu di hukum seberat-beratnya bahkan dimiskinkan tapi
kalau sampe mencabut hak hidup dan hak politik itu sudah melanggar HAM.
Selain itu dalan wacana kebijakan pencabutak hak politik
bagi terpidana korupsi ini juga ada tumpang tindih dalam peraturanya.
Pertama bahwa kebijakan pencabutan hak politik terhadap
terpidana korupsi ini hanya sebagai pemanis sesaat bagi public yang
menginginkan pemberantasan korupsi secapatya sehinngga hakim yang memvonis
terdakwa korupsi dengan tambahan pencabutan hak politik dianggap hakim yang
adil, padahal sebenaranya peratuaran yang UU yang mengatur larangan bagi mantan
narapidana yang pernah diancam dengan kurungan lima tahun atua lebih, dan ingat
ancaman hukuman tindak pidana korupsi lebih dari lima tahun
Kedua pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi menurut
putusan MK Nomor 4/PUUVII/ 2009 menetapkan pencabutan hak politik bagi
terpidana korupsi haanya berlau lima tahun setelah selesai masa tehananya,
setelah itu mantan terpidana korupsi dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan
umum. tapi uu yang mengatur syarat untuk menjadi calon pejabat seperti DPR,DPD,
bupati dan lain-lain itu mempersyaratkan “tidak pernah dijatuhi hukuman
pidana karena tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau
lebih”. Inikan masih tumpang tindih, anatar udang-undang satu dengan
undang-undang yang lainya. Bagaimana mantan narapidana korupsi mencalonkan diri
untuk menjadi pejabat kalau putusan MK membolehkan tetapi peraturan lain
melarang.
ketiga, limitasi mulai berlakunya, atau
dengan kata lain mulai dihitungnya atas terpidana yang menjalani hukuman
tambahan pencabutan hak politik (hak memegang jabatan, hak memiih dan dipilih:
Pasal 35 KUHP) juga masih tumpang tindih dengan putusan MK (Mahkamah
Konstitusi). Pasal 38 KUHP menentukan “pencabutan hak mulai berlaku pada hari
putusan pengadilan mulai dijalankan” Sementara melalui putusan MK Nomor
4/PUUVII/ 2009 (24 Maret 2009) telah menetapkan bahwa hukuman pencabutan hak
politik itu dianggap konstitusional dengan batasan pencabutan hak hanya berlaku
sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalankan hukumannya. KUHP
menggariskan pada hari putusan pengadilan mulai djalankan pencabutan hak
politik atas terpidananya. Itu artinya bagi yang dihukum penjara misalnya akan
terhitung masa pencabutan hak politik tersebut pada saat mulainya menjalani
masa pemidanaan (penjara/kurungan). Sedangkan Putusan MK sudah menetapkan pula
batasannya; yaitu hitungannya dimulai sejak terpidana selesai menjalani masa
hukuman pokoknya (terutama pidana penjara dan kurungan). Memang sebaik dan
idealnya putusan MK harus diikuti dan menjadi acuan bagi hakim pengadilan (MA
hingga jajarannya: PN/Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi) sebab Putusan
MK berlaku final and binding. Tetapi masih ada juga hakim yang sering
mengabaikan putusan MK, dengan berlindung pada prinsipat; independensi
masing-masing peradilan.[9]
Keempat, oleh putusan MK yang sudah
membatasi masa pencabutan hak politik hanya berlaku lima tahun. Tetapi
berdasarkan ketentuan KUHP; khususnya dalam Pasal 38, untuk hukuman seumur
hidup masa pencabutan hak politiknya berlaku seumur hidup pula. Tumpang
tindinya di sini, terletak pada putusan MK sudah menentukan masa pencabutan hak
politik hanya lima tahun, sementara KUHP; pencabutan hak politik justru berlaku
seumur hidup. Andaikata hukuman seumur hidup, ketika diberlakukan pencabutan
hak politik dengan mengikuti limitasi berdasarkan putusan MK tersebut, maka
pencabutan hak politik tidak dapat berlaku lagi, sebab fase menghitungnya,
dimulai dari selesainya masa hukuman pokok (yaitu hukuman seumur hidup).
Pertanyaan singkatnya adalah bagaimana caranya memulai menjalani pencabutan hak
politik, sementara masa menjalani hukuman pokoknya seumur hidup tidak jelas
kapan selesainya.[10]
Kalo undang-undangnya masih tumpang tindih bagaimana
kebijakan ini akan diterpakan, kan aneh kalo masih ada undang-undang yang masih
tumbang tindih. Dan kebijakan mencabut hak politik terpidana korupsi juga
percuma kalo di laksanakan, karena dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur syarat untuk menjadi calon pejabat tidak pernah diancam hukuman lima
tahun lebih.
Dari polemik kebijakan pencabutan hak politik bagi terpidana
korupsi ini harus disikapi dengan solusi yang soluktif. Disisi lain pencabutan
hak politik bagi terpidana korupsi ini akan menekan tindak korupsi yang
kebanyakan dilakukan oleh pejabat public, langkah ini akan memberikan efek jera
bagi pejabat yang terkena human pencabutan hak politik untuk dipilih dan
memilih dalam pemilu. Akan ada efek psikologis bagi pejabat yang belum terkena
hukumana ini, mereka akan takut kehilangan hak dipilih dan memilih dalan kancah
dunia politik.
Disisi lain kebijakan ini jega melanggar hak asasi manusia,
yaitu hak memilih dan dipilih dalam pemilu, hak menentukan pilihan adalah hak
mutlak bagi setiap orang, ketika hak ini dirampas berarti
kita sudah merampas hak manusia lain.
Disini langkah kongkretnya menurut hemat saya adalah
pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi ini perlu dilakukan, mengingat
korupsi sudah membudaya di negeri ini, dan korupsi adalah extra ordinary crime
yang imbasnya sangat luar biasa di berbagai bidang baik ekonomi, politik,
social, dan budaya. Walaupun ada pihak yang berpendapat bahwa kebijakan ini
melanggar HAM, kita perlu berpikir lebih luas dan koperhensif disini, karena
sebenarnya korupsi itu sungguh telah merampas HAM rakyat. Penerapan kebijakan
pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi ini juga harus ada sinkronisasi
undang-undang melihat masih ada undang dan peraturan yang tumpang tindih.
Ketika kebijakan ini dilaksanakan maka, akan muncul pemimpin-pemimpin bersifat
“problem solving leader” yang mampu menjawab persoalan bangsa ini. pemimpin
yang mempu mengatasi kemiskinan, pengguran, ketidak merataan, dan kepastian
hukum, serta keadilan bagi seluruh rakyat indonesia.
*Penulis adalah Ketua PMM-Al-Hikmah UNDIKSHA Singaraja, Bali.
[1] Dr.ermansjah djaja, SH, M.Si, 2013, membe rantas korupsi bersama
KPK, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.24
[2] Dr.ermansjah djaja, SH, M.Si, 2013, op.cit., hlm. 5.
[3] Dr.ermansjah djaja, SH, M.Si, 2013, op.cit., hlm. 28
[4] Metrotvnews, http://m.metrotvnews.com/jateng/peristiwa/yKXwlm7k-kerugian-negara-akibat-korupsi-capai-rp205-triliun, diakses 10 maret 2017, jam 11.02
[5] Metrotvnews, http://m.metrotvnews.com/jateng/peristiwa/yKXwlm7k-kerugian-negara-akibat-korupsi-capai-rp205-triliun, diakses 10 maret 2017, jam 11.02
[6] Eko Siswono, https://beritagar.id/artikel/berita/kerugian-negara-akibat-korupsi-di-indonesia-rp2039-triliun,
diakses 17 maret 2017, jam 11.18.
[7]Vindry
Florentinhttps://nasional.tempo.co/read/news/2017/01/07/078833618/icw-ada-58-dinasti-politik-di-indonesia, diakses
17 maret 2017, jam 11.25.
[8] grenews http://www.gresnews.com/berita/hukum/12161-komnas-ham-menentang-pencabutan-hak-politik-terpidana-korupsi/0/#sthash.wIO4prLD.dpuf. Diakses 17 maret 2017, jam 13.25
[9] Damang S.H, MH,http://www.negarahukum.com/hukum/pencabutanhakpolitik.html, diakses 17 Maret 2017, Jam, 14.30
[10] Damang S.H, MH,http://www.negarahukum.com/hukum/pencabutanhakpolitik.html, diakses 17 Maret 2017, Jam, 14.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar