
Cerita
Di Balik Penjara
(Di Bawah Kuasa Tirani)
Oleh:
Kang Aswan
Semua ini berwal pada
malam penghujung September 1965, Indonesia mengalami politik yang berdarah.
Salah satunya ditandai dengan penculikan dan pembunuhan jendral angkatan darat.
Itu juga adalah awal aku bisa masuk ke dalam jeruji besi yang sempit dan engap ini, dengan tuduhan, aku adalah
salah satu anggota dari PKI.
Aku dianggap melakukan
dosa besar terhadap negaraku. Aku disiksa, dimaki, dilecehkan oleh negaraku
sendiri. Tahun 1965 sepertinya adalah tahun yang tak memberikanku ruang dan hak
sebagai warga negara. Hingga, runtuhnya Orde Lama dan lahirlah masa Orde Baru
yang dipimpin oleh seorang Jendral Besar.
Sehari setelah menerima
Supersemar, atas nama Presiden Soekarno, Soeharto membubarkan PKI. Orang-orang
PKI wajib lapor ke Penguasa Perang Wilayah Daerah selambat-lambatnya akhir
Maret 1966. Tiga hari setelah itu, 15 anggota Kabinet Dwikora ditangkap.
Pimpinan DPR-GR juga memecat 63 anggota dari PKI. Semula Soekarno mempertanyakan
semua langkah itu. Tapi, Seoharto yang telah diangkat menjadi Menteri Hankam
jalan terus.
Soeharto ditetapkan
sebagi pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pidato pertanggungjawaban
Presiden Soekarno, Nawaksara, maupun Pelengkap Nawaksara, ditolak MPRS.
Kemudian, Soeharto diangkat menjadi Presiden dalam Sidang Umum MPRS (Tap MPRS
No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga
merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Mulai saat itu dikenal
istilah Orde Baru.
Sepuluh tahun sudah aku
mendekap dalam ruangan ini. Banyak orang berkata, surga dunia. Tapi bagiku hanya ada kata, neraka dunia. Sepuluh tahun aku makan bersama belatung, lalat,
nyamuk, dan kecoa.
Dipimpin oleh seorang
Jendral Besar, tak membuat negara ini menjadi lebih baik. Sejak Orde Baru
konsep dwifungsi ABRI berubah. Dari konsep Jalan Tengah Nasoetion yang tut wuri handayani menjadi ing ngarso sung tulodo. TNI menjadi
pengontrol kehidupan politik bermasyarakat dan bernegara. Ibarat permainan
sepak bola, TNI menjelma menjadi kapten sekaligus playmaker, penyerang, gelandang, back, kiper, bahkan anak gawang.
Sekitar tahun 1980-an.
Seorang pemuda terpelajar datang padaku. Raden. Ya, Raden Ranu Wihardja nama
lengkapnya. Ia ditangkap secara paksa karena melawan pemerintahan yang
otoriter. Aku akui, aku tak terlalu memperhatikan Raden saat pertama
melihatnya. Tampaknya angin sepoi akan segera menghempas tubuhnya waktu itu.
Itulah kesan pertamaku.
“Bagaimana, menurutmu,
Bung?” tanya Noer, pencuri kelas kakap yang satu sel bersamaku. Sebelumnya dia
telah membuat kesepakatan taruhan beberapa batang rokok, untuk para tahanan
baru yang bakal menangis malam nanti.
“Aku bertaruh pada
pemuda yang tinggi itu.”
“Orang itu? Tak
mungkin.”
“Taruhan 10 batang
rokok. Aku yakin kalau anak muda itu akan menangis mencari ibunya dalam sel
nanti.”
“Itu taruhan yang
banyak.”
Hari itu, Raden menjadi
ajang taruhan kami berdua. Aku menebak, kalau Raden akan menangis nanti malam
di penjara. Sedangkan Noer memilih seorang yang berbadan gemuk dan agak sedikit
menyeramkan. Kalau Raden menangis, maka aku akan mendapatkan sepuluh batang
rokok. Dan kalau Raden tidak menangis, maka aku yang harus memberikan sepuluh
batang rokok kepada Noer. Ritual penjara.
*
* *
Malam pertama adalah
malam yang terberat, itu tak diragukan lagi. Mereka membariskan para tahanan
baru. Tak ada yang berani mengucapkan “ah” sekalipun. Kalau ada yang berani
bicara, siap-siap sepatu lars mendarat ke perut. Lalu para serdadu itu
memasukkan mereka dalam sel dan saat jeruji sel terbanting menutup saat itulah
kau tahu kenyataan yang kami hadapi. Kehidupan lama terhempas dalam waktu
sekejap saja. Tak ada yang tersisa selain hanya waktu untuk mengenangnya.
Kebanyakan penghuni baru nyaris gila pada malam pertamanya. Selalu ada yang
menangis. Satu-satunya pertanyaan adalah...siapa yang akan menangis? Kurasa
bisa saja aku bertaruh untuk siapa saja. Aku bertaruh untuk Raden Ranu Wihardja.
“Matikan lampu!” teriak
seorang petugas penjaga sel.
Seketika yang terlihat
hanya gelap, bayangan pun tak ada. Ku ingat malam pertamaku di tempat ini.
sepertinya sudah lama sekali.
“Hai, anak baru. Anak
baru.” Suara dari balik jeruji sebelah.
“Apa kau takut gelap?
Apa kau rindu dengan ayah ibumu?
Penghuni lain suka
mengusili penghuni baru. Dan mereka tak akan berhenti sebelum ada yang kena.
“Hai, Gendut. Gendut!
Bicaralah padaku, Nak! Aku tahu kau di situ sedang menangis, jangan dengarkan
orang-orang bodoh itu, mengerti? Tempat ini tak begitu buruk. Begini saja...aku
akan memperkenalkanmu, membuatmu merasa betah. Aku tahu dua orang homo di
sini...yang akan senang berkenalan denganmu. Terutama bokongmu yang besar,
putih dan lentur itu.”
Sepertinya itu suaru
Noer, dan aku mulai curiga kalau Noer akan menang dengan taruhan itu. terdengar
si pria gendut itu mulai menangis sesegukan.
“Ya, Tuhan! Tempatku
bukan di sini!” si Gendut mulai berteriak.
“Kita punya juaranya!”
teriakkan para penghuni penjara membuat gaduh suasana.
“Aku mau pulang!”
“Si Gendut yang
akhirnya menangis!” teriak Noer padaku, menandakan kalau aku kalah, dan
disambut gemuruh teriak, sorak, tepuk tangan dari semua penghuni penjara.
“Anak baru! Anak baru!
Anak baru!” sorai-sorai penghuni penjara bagaikan sedang nonton konser atau
nonton sepak bola. Seirama dan senada.
Si Gendut semakin histeris.
Dia berteriak, Aku ingin pulang! Aku ingin pulang! Aku ingin bertemu ibuku.
Terlihat beberapa petugas mulai masuk. Suara lars terdengar. Sepatu lars yang dibeli
dari uang rakyat. Sayang, sepatu lars dari uang rakyat itu ternyata untuk
menggampar rakyatnya sendiri.
“Kenapa kalian sangat
ribu?” teriak kepala petugas menggelegar. Semua terdiam seketika dan hanya si
Gendut yang masih berteriak ini pulang.
“Apa masalahmu,
Gendut?” tanya petugas.
“Aku mohon! Aku
seharusnya tidak di sini.” Jawabnya dengan menangis dan meminta belas kasihan.
“Aku takkan hitung
sampai tiga. Bahkan sampai satu. Kau diamlah, atau aku akan membungkammu!”
“Diamlah, Bung.
Diamlah!” para penghuni saling berbisik.
“Kalian tidak mengerti.
Tempatku tidak di sini.” Si Gendut makin histeris. Tak peduli apa yang akan
dilakukan petugas terhadapnya.
“Buka selnya!” perintah
Kepala Petugas.
Kembali gembok beradu
dengan kunci. Pintu besi bergeser. Seketika ditarik lengan Si Gendut keluar.
Tanpa basa-basi, kepala petugas meluncurkan bogem mentah ke wajah Si Gendut.
langsung darah kental meluncur dari bibirnya. Si Gendut tersungkur. Menata
kekuatan, Si Gendut mencoba bangkit kembali. Sayang Si Gendut belum mampu
menegakkan tubuh, sepatu lars mendarat ke perutnya. Mual seketika. Nyaris semua
isinya muncrat dari perutnya.
“Dasar berengsek!”
Kepala Petugas membentak.
Tanpa ampun, kepala petugas menghajar Si Gendut
malang itu. benar-benar kejam. Tak tahan lama. Si Gendut terlihat tak sadarkan
diri. Telentang tak punya harapan. Kepala berlumur darah. Beberapa gigi
terpental. Isi perut keluar.
“Jika kudengar ada lagi
keributan malam ini...sumpah demi Tuhan, akan kukirim kalian semua keklinik.”
Teriak kepala petugas menyiutkan nyali kami walau hanya ingin berkata “ah”.
“Panggil pengawas. Bawa
si brengsek ini ke klinik.” Perintah Kepala Petugas.
Sunyi kembali hadir.
Sepi kembali tersua. Gelap malam semakin tua di ruang tanpa cahaya ini.
sepertinya di luar malam begitu muram. Tanpa bintang. Tanpa rembulan. Dingin
kemudian terasa. Udara terasa anyir. Langit terluka. Bumi menangis. Melihat
para rakyat dibantai di negerinya sendiri.
Di malam pertamanya,
Raden membuatku kehilangan sepuluh batang rokok. Dia tak bersuara sedikit pun.
*
* *
Keesokan harinya,
seperti biasa, ketika sirine berbunyi, kami para tahanan harus bersiap-siap
untuk berbaris dengan rapi, seperti anak-anak SD yang akan melakukan upacara
hari Senin. Semua pintu sel terbuka. Dan semua tahanan keluar dengan ekspresi
yang macam-macam. Aku melihat Raden tampak kebingungan. Wajar. Dia anak baru di
sini.
“Bersiap untuk
berbaris.” Teriak petugas.
Kami semua berbaris
seperi kerbau yang dicucuk hidungnya.
“Jalan berbaris!”
kembali petugas berteriak.
Kami semua berjalan
menuju tempat makan. Satu persatu penghuni penjara mengambil jatah makanannya.
Tak perlu aku ceritakan bagaimana dan apa yang kami makan. Silahkan kalian
bayangkan sendiri. Aku melihat Raden
tampak sedang memperhatikan sesuatu dalam piring nasinya. Ya, dia melihat
belatung sebesar jari kelingking bayi sedang asyik menggeliat berpesta dalam
nasinya. Jangan heran. Itulah salah satu makanan kami sehari-hari. Entah nasi
abad keberapa yang kami makan.
“Apa kau akan
memakannya?” tanya seorang kakek di sebelahnya. Dengar-dengar cerita, bahwa
kakek ini sebenarnya adalah termasuk veteran yang ikut berjuang membela tanah
air. Tapi senasib denganku yang dianggap aggota PKI. Padalah kami tidak tahu
apa itu PKI. Kami tetap sholat, kami tetap Islam, tapi memang kami mendukung
PKI. Dan itu tidak usah aku jelaskan.
“Entahlah, aku belum
merencanakannya.” Jawab Raden singkat dan masih tampak terheran-heran.
“Keberatan jika
kuminta?” kakek itu kembali berkata.
Dengan wajah jijik
Raden memberikan belatung itu pada kakek tua.
“Kelihatanya enak dan
matang.” Celetuk kakek tua.
Lalu, kakek tua itu
menyingkap bajunya dan menyodorkan belatung itu pada seekor burung kecil yang
jatuh dari sarangnya dan kakek tua itu hendak memeliharanya hingga besar.
“Dia mengucapkan
terimakasih padamu.” Kata kakek tua.
Raden hanya
menganggukkan kepala dan mulai memakan ubi rebus jatahnya. Memang hanya ubi
rebus yang tampak berselera dan layak dimakan.
“Hai, kawan-kawan. Pagi
yang cerah, ya?” Noer datang.
Tanpa basa-basi, dengan perasaan kesal,
sepuluh batang rokok aku pindah tangankan kepadanya sebagai ritual penjara.
“Lihat kawan. Mereka
berbaris seperti paduan suara.” Kata Noer sambil mencium satu persatu setiap
batang rokok.
“Bagaimana kabar Si
Gendut itu?” lanjut Noer.
“Mati. Kepala Petugas
memukul kepalanya cukup keras. Dokter sudah pulang saat malam hari. Si Gendut
malang itu masih berbaring di klinik sampai pagi. Tak ada yang bisa kami
lakukan.” Jawab seorang narapidana yang sedang bertugas membantu di klinik
malam itu.
Semua terdiam. Hanya
suara kecap mulut mengunyah makanan yang tak jelas rasanya.
“Siapa namanya?” kami
semua kaget dan menggangkat kepala. Ternyata itu Raden yang berbicara.
“Kau bilang apa?” kata
Noer yang duduk tak jauh darinya.
“Aku hanya ingin tahu
namanya.”
“Apa pedulimu, anak
baru? Tak peduli siapa namanya. Dia sudah mati.”
*
* *
Pada awalnya, Raden
suka menyendiri. Kurasa dia memikirkan banyak hal...berusaha beradaptasi dengan
kehidupan di dalam penjara. Tak sampai sebulan dia pun berbicara...mengucapkan
satu atau dua patah kata pada seseorang. Dan ternyata...seseorang itu adalah
aku.
“Namaku Raden Ranu
Wihardja.” Dia memperkenalkan diri.
“Seorang mahasiswa dan
wartawan yang mengkritik dan menulis berita tentang kecurangan pemerintah.”
Kataku.
“Aku mengerti kau pria
yang tahu cara mendapatkan barang-barang.”
“Aku terkenal bisa
menemukan barang-barang tertentu.”
“Aku ingin kau
mencarikan martil untukku.”
“Apa?”
“Martil.”
“Untuk apa dan kenapa?”
tanyaku heran. Buat apa seorang wartawan meminta martil.
“Apa pedulimu?”
“Kalau itu rokok, sikat
gigi, takkan kutanya. Aku akan sebutkan harganya. Karena itu barang cukup
berbahaya, bukan?”
“Benar juga. Martil
yang panjangnya sekitar enam atau tuju inci. Mirip kapak kecil.”
“Kapak kecil?”
“Untuk batu.”
“Batu kuarsa?”
“Dan batu mika, batu
sabak...dan batu gamping.”
“Jadi?”
“Aku adalah penggali
batu. Setidaknya itu yang aku lakukan dulu. Dan aku ingin mengulanginya lagi.
Aku suka mengukir.”
“Maka kurasa kau akan
pakai itu untuk kabur. Mungkin gali terowongan di tembok.” Dia tertawa
mendengarkan perkataanku itu. “Apa yang aku lewatkan? Apanya yang begitu lucu?”
“Kau akan mengerti bila
kau lihat sendiri martilnya.”
“Yang perlu aku
ingatkan, karena itu barang cukup berbahaya, saranku kau hati-hati, Nak.
Penjaga selalu melakukan pemeriksaan sel secara mendadak.”
“Terimakasih atas
saranya.”
“Itu geratis.”
Dia tersenyum penuh
arti. Tapi, aku tak tahu secerca arti pun di balik senyuman itu.
Kini aku tahu kenapa
beberapa tahanan segan kepadanya. Dia mememiliki ketenangan...cara berjalan dan
bicara yang tak biasa di tempat ini. Dia hanya berjalan...seperti pria ditaman
yang tak mempedulikan apapun. Seolah dia memakai jubah yang tak terlihat yang
akan melindunginya dari tempat ini. kurasa benar juga bila kukatakan...aku
menyukai Raden sejak awal bertemu.
*
* *
Raden benar. Aku
mengerti apa yang dia tertawakan. Perlu waktu 600 tahun...untuk menggali
terowongan di balik tempok dengan benda ini. Martil. Ya, sebuah marti yang
panjangnya hanya enam inci. Sudah aku dapatkan dari pengiriman barang makanan.
Benda kecil ini diselipkan dikarung-karung makanan. Ini memang pekerjaan
sepesialisku.
Untuk beberapa saat
keadaan berjalan dengan baik-baik saja. Hanya terjadi rutinitas penjara...dan
lebih banyak rutinitas. Sering kali, Raden muncul dengan wajah lebam yang masih
segar. Ya, setrum. Listrik itu menyengat tubuhnya. Sengatan nan menggetarkan.
Sengatan nan panas. Tubuhnya terguncang. Itu semua dilakukan oleh para petugas
yang sok kuasa itu. Wajah boleh biru legam. Tubuh boleh babak belur. Tangan dan
kaki boleh dicancang. Namun tidak ada yang bisa mengalahkan keberanian. Tidak
bisa melawan tekad. Hanya satu kata; lawan!
Aku percaya dua tahun pertama adalah
tahun-tahun terburuknya. Dan aku juga percaya bahwa bila semua berjalan seperti
itu...tempat ini bisa menghancurkan semangat hidupnya.
Tapi kemudian pada
tahun 1996 tersiar berita harga-harga kebutuhn melambung tinggi, daya beli
masyarakat pun berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional
gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahaiswa dengan agenda
reformasi mendapat simpati dan dukunga dari rakyat. Demonstransi bertambah
gencar dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah pemerintah
mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998.
30 tahun aku mendekam
dalam penjara. Asam garam sudah aku rasakan. Tipe-tipe orang sudah aku temui.
Dari yang paling kejam hingga yang paling penakut. Tapi baru kali ini aku
bertemu tahanan cerdas dan pemberani. Pada hari itu akhirnya aku tahu...buat
apa sebenarnya martil yang dia mau.
“Ku pikir, sebentar
lagi aku akan keluar dari neraka ini.” katanya dengan percaya diri.
“Apa?” tanyaku kaget
dan setengah tidak percaya.
“Ya, aku akan segera
keluar dan menlanjutkan perjuangan. Kita akan segera bebas. Kehidupan yang
merdeka akan benar-benar kita raih. Ketika aku keluar, aku akan bersihkan
namamu.”
“Harapan itu berbahaya,
Nak.”
“Tidak, kalau kita
punya keyakinan.”
“Itu hanya akan menjadi
impian yang sia-sia, Nak.”
Dia hanya tersenyum
aneh.
Aku mulai
mengkhawatirkan Raden. Dia mulai bertingkah aneh. Tertawa sendiri. Diam
beberapa saat. Meminta tali. Tempat barang yang anti air. Sebuah poster besar.
Dan sebuah senter kecil. Aku menuruti semua apa yang ia butuhkan. 10 tahun
sudah dia di dalam penjara. Dia juga manusia. Dia punya titik jenuh. Dia punya
titik frustasi. Dan aku khawatir dengan tali itu. tapi, aku tidak akan berpikir
yang aneh-aneh. Raden adalah pemuda cerdas, idealis, pelopor, pendobrak,
merdeka dan kritis. Tidak mungkin dia punya pikiran untuk membunuh dirinya,
ketika perjuangan melawan kekuasaan tirani dirasa belum selesai. Dia tidak akan
menyerah secepat itu.
Aku harus melewati
malam yang panjang itu hanya untuk memikirkannya. Sendiri dalam kegelapan tanpa
apapun selain pikiranku...waktu bisa berubah menjadi pisau. Itulah malam
terpanjang dalam hidupku.
*
* *
Keesokan harinya.
Seperti biasa. Kami harus berbaris seperti anak SD yang sedang upacara hari
Senin. Semua tahanan keluar dari sel masing-masing. Kecuali satu orang...
“Raden! Lekas keluar.
Kau menunda kami semua!” Teriak petugas. Tak ada jawaban. Pikirsnku sudah tak
punya pikiran apa-apa, kecuali tali yang ia minta. Ternyata ia tak sekuat dari
apa yang aku kira. Sungguh malang nasibmu, Nak.
“Jangan paksa aku ke
sana atau akan kupukuli kepalamu!” kembali petugas berteriak. Tetap tak ada
respon dari Raden. Semakin yakin kalau anak itu bunuh diri.
Dengan marah petugas
segera bergerak menghampiri sel Raden.
“Ya, Tuhan.” Ucap
petugas. Aku menundukkan kepala sejenak. Merasa menyesal, aku memberikannya
tali.
“Mana, Raden?” teriak
petugas. Aku mengangkat tegak kepalaku. Semua orang yang berada di sana waktu
itu kaget terheran-heran. Apa yang terjadi sebenarnya?
“Panggil teman
dekatnya!”
Aku diseret oleh
petugas untuk memberikan jawaban atas tidak adanya Raden dalam sel.
“Kulihat kalian sering
berdua. Kalian sangat dekat. Dia pasti katakan sesuatu. Ke mana dia?” tanya
Kepala Petugas padaku.
“Tidak, pak Kepala
Petugas. Saya tidak tahu. Dan dia tidak mengatakan sepatah kata pun.”
“Sebuah keajaiban.
Seorang pria lenyap bagai buang angin. Tak ada yang tersisa kecuali beberapa
batu di jeruji jendela. Dan poster di dinding itu. Mari kita tanyai dia.
Mungkin dia tahu. Kurasa tidak.” Ucap Kepala Petugas penjara dan melempar
beberapa batu padaku dan pada poster itu. Betapa kegetnya kami semua, ketika batu
itu dilempar ke poster, poster itu robek. Dengan heran petugas menghampiri
poster itu dan merobeknya dari dinding, dan ternyata...
“Cari si brengsek itu.
Dia melarikan diri.”
Di akhir tahun
1997...Raden Ranu Wihardja melarikan diri dari penjara. Para petugas menelusuri
jejaknya. Beberapa batalion dikerahkan beserta pasukan anjing pelacak. Yang
mereka temukan hanyalah pakaian penjara berlumpur...seutas tali, tempat barang
anti air dan sebuah martil tua...yang terpakai sampai hampir rusak. Kupikir
butuh waktu 600 tahun...untuk menggali terowongan melewati dinding seperti itu.
Raden melakukannya dan itu kurang dari 20 tahun. Raden menyukai geologi.
Menggali memang hobynya.
Raden merangkak menuju
kebebasan sejauh 457 meter...melewati pipa kotoran berbau busuk yang tak bisa
kubayangkan. Atau mungkin aku tak ingin membayangkannya. 457 meter. Itu sama
dengan panjang lima lapangan futbol. Hampir sama dengan setenga mil. Demi
kebebasannya dan kebebasan rakyat.
Itulah jawaban dari
sebuah martil untuk menggali, poster besar untuk menutupi lubang terowongan,
sebuah tali untuk mengikat barang-barang bukti, sebuah senter sebagai penerang,
dan sebuah tempat barang anti air untuk penyimpanan barang bukti, karena memang
dia melarikan diri lewat jalur yang basah.
Kurasa itu juga adalah
awal kehanjuran rezim para koruptor. Raden lari dari penjara tidak dengan
tangan hampa. Dia membawa berkas-berkas catatan akuntansi penjara. Dari mulai
berkas pajak, pemasukan kas, pengeluaran kas. Uang bantuan negara untuk
pembangunan dan fasilitas para tahanan yang dimasukkan dalam saku pribadi
Kepala Petugas dan Kepala Penjara. Memang, selama Raden di penjara, dia dipercaya
menjadi akuntan penjara, karena dia memang mahasiswa ekonomi. Sekali lagi harus
aku katakan, aku menyukainya.
*
* *
Keesokan paginya, tepat
saat Kepala Penjara mengungkap rahasianya...seorang pria yang tak pernah
terlihat sebelumnya...masuk melenggang ke Kantor KPK. Tak menunggu lama. Koran
pagi dan secangkir kopi membuat Kepala Penjara dan Kepala Petugas kebakaran
jenggot. KORUPSI, PENGANIAYAAN DAN PEMBUNUHAN DI PENJARA.
Aku tak ada di sana
melihatnya...ketika aparat kepolisian dan pejabat KPK menghampiri Kepala
penjara dan Kepala Petugas. Tapi kudengar Kepala Petugas menangis seperti gadis
kecil saat dia ditahan. Kepala Penjara tak berniat ditahan setenang itu. Dia
mengakhiri hidupnya dengan menembakkan pistol tepat ditenggorokannya. Sungguh
akhir yang malang dan tragis.
Pada Mei 1998,
pemerintah mengumumkan kenaikan BBM dan ongkos angkutan. Demonstrasi bertambah
gencar dilaksanakannya oleh para mahasiswa, terutama setelah beredarnya
keputusan itu. mahasiswa mengagendakan reformasi yang menjadi tuntutan para
mahasiswa mencakup beberapa tuntutan, seperti: adili Soeharto dan
kroni-kroninya, laksanakan amandemen UUD 1945, hapuskan Dwi Fungsi ABRI,
pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya, tegakkan supremasi hukum, dan
ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN. Gedung parlemen, yaitu Gedung
Nusantara dan gedung-gedung DPRD di daerah, DPR/MPR menjadi tujuan utama mahasiswa
dari berbagai kota di Indonesia.
Hingga Kamis, 21 Mei
1998 Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran diri sebagai presiden
Republik Indonesia. Aku tersenyum mendengar betapa tenangnya presiden
berpidato.
Beberapa minggu setelah
lengsernya rezim Orde Baru, ada kabar bahwa aku mendapatkan kebebasan
bersyarat. Dan nama baikku bersih dari tuduhan anggota PKI. Aku juga mendapat
kabar bahwa yang telah membebaskanku adalah seorang pemuda yang awalnya menjadi
ajang taruhan dan menjadi ritual penjara. Ya, dia. Seorang pendobrak. Pelopor. Kritis.
Dia. Raden Ranu Wihardja.
Seorang petugas
memberikan sepucuk surat padaku.
Hai,
Pak Tua!
Sudah
aku bilang, bahwa suatu hari nanti aku akan membersihkan namamu dan
membebaskanmu...
Terimakasih
atas barang-barang yang telah kau berikan padaku... tak butuh 600 tahun untuk
menggali sebuah terowongan dibalik dinding yang berbahan baku batu yang
rapuh... jangan remehkan seorang penggali batu.
Temui
aku di Jawa Timur. Di pabrik penerbitan buku dan koran. Aku membutuhkan orang
yang bisa mendapatkan barang-barang...
Temanmu,..
Raden,.
Aku berharap bisa
bertemu temanku dan menjabat tangannya. Kuharap lautan Jawa itu sebiru seperti diimpianku. Kuharap begitu.
Singaraja,
1 Maret 2017
Cerpen
ini terinspirasi dari filim, The Shawshank
Redemption (1994). Dari mulai dialog sampai alur cerita diambil dari film
tersebut, kecuali latar dan tokoh cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar