Minggu, 26 Februari 2017

Aku & HMI




Aku & HMI

Oleh: Kang Aswan

Karena di HMI, kita berteman lebih dari saudara.
~Kader HMI~

Aku adalah manusia. Manusia yang diciptakan bebas dan merdeka. Karena kemerdekaan pribadi adalah hak pertama setiap manusia. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari pada kemerdekaan itu sendiri. 

Aku adalah mahasiswa. Kepeloporan, keberanian, dan kritis adalah ciri dari mahasiswa yang bisa disebuat “kelompok elit” dalam generasi muda. Sifat kepeloporan, keberanian, dan kritis yang objektiflah yang harus diterapkan oleh mahasiswa. Itu semua bisa dijalankan dengan baik apabila mahasiswa dalam suasana bebas merdeka dan demokratis obyektik dan rasional. Sikap ini adalah progresif sebagai ciri daripada seorang intelektual.

Himpunan Mahasiswa Islam yang lebih dikenal dengan nama HMI adalah sebuah organisasi pengkaderan yang beranggotakan mahasiswa Islam. HMI di dirikan pada tanggal 14 Rabi ul awal 1366 H yang bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947 M. Sesuai dengan Anggaran Dasar HMI Pasal 3, HMI berazaskan Islam. Sebagai organisasi yang berazaskan Islam maka setiap gerak langkah HMI senantiasa dilandasi oleh ajaran Islam baik dalam kehidupan organisasi maupun yang tercermin dalam sikap pola pikir, sikap dan tindak kader HMI sehingga ajaran Islam tidak hanya menjadi sumber inspirasi dan motivasi tetapi sekaligus menjadi tujuan yang harus diwujudkan. Sejak berdirinya, HMI telah mengabdikan diri untuk kepentingan umat dan bangsa. Berjuang demi tercapainya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt.

Aku adalah satu dari sekian ribu kader HMI dari Sabang sampai Meraoke. Ya, HMI ada diseluruh Indonesia, dari mulai kota kecil sampai besar, dari mulai pedesaan sampai metropolitan. Sinar Hijau Hitam itu telah memancar dan masuk ke celah-celah paling kecil sekalipun di negeri ini. Tak terkecuali kota Singaraja. Kota kecil yang berada di Bali Utara ini tak kalah bergengsinya dalam hal organsasi kemahasiswaan dan salah satunya adalah HMI.

Dari dulu aku ingin sekali memiliki banyak teman dan bisa kemana-mana. Melihat betapa luasnya dunia. Melihat betapa indahnya peradaban Islam. Melihat betapa hebatnya para pemikir-pemikir filsafat. Melihat betapa sistematis dan dinamisnya Allah menciptakan alam semesta beserta isinya ini. Aku bagaikan hidup dalam sebuah ruangan, dan dalam ruangan itu berisi layar-layar yang dapat menayangkan sejarah, dinamika politik/ekonomi/sosial/budaya dan agama. Aku seperti mengarungi samudera luas yang tak bertepi. Dan disamudera itu aku menemukan banyak hal. Itu semua karena aku ber-HMI.

Aku adalah satu dari sekian ribu kader HMI. Aku memang tidak pernah pergi ke Tarakan, tapi aku tahu bagaimana cantiknya gadis Tarakan itu. Aku memang tidak pernah pergi ke Makassar, tapi aku tahu dinamika hidup dan keramahan orang Makassar. Aku memang tidak pernah pergi ke Ambon, tapi aku tahu bagaimana menyenangkannya orang-orang Ambon. Aku memang tidak pernah pergi ke Sumatra, tapi aku tahu kehidupan di Sumatra dan bahkan aku juga dipanggil, Lae layaknya pemuda Sumatra. Aku memang tidak pernah ke Kendari, tapi aku tahu bagaimana orang Kendari bilang “kamu” menjadi “kita”. Aku memang tidak pernah pergi ke Kalimantan, tapi aku tahu bagaimana kelembutan orang Kalimantan. Aku memang tidak pernah ke Lombok tapi aku mengerti ketika orang Lombok bilang, Aku berangen lek side. Aku memang hanya sebentar di Jawa Barat, tapi aku tahu bagaimana keramahan, kelembutan, keluwesan, ketaqwaan, dan kemanisan perempuan periangan. Aku memang tidak lama di Jawa Tengah, tapi aku tahu betapa sopannya orang-orang Jawa Tengah. Aku memang tidak pernah ke Madura, tapi aku juga dipanggil, Le layaknya ibu Madura yang memanggil anaknya. Itu semua karena aku ber-HMI.

Aku adalah orang bodoh, tapi di HMI aku tidak pernah dipanggil Si Bodoh. Aku adalah orang lemah, tapi di HMI aku tidak pernah dipanggil Si Lemah. Aku adalah orang miskin, tapi di HMI aku tidak pernah dipanggil Si Miskin. Aku adalah orang yang berdosa, tapi di HMI aku tidak pernah dipanggil Si Pendosa. Itu semua karena aku ber-HMI.

HMI telah menjadi guru bagiku untuk memahami kehidupan. Di HMI aku menemukan ber-Islam dalam kehidupan. Selain itu aku juga menjadi memahami apa itu “makna dakwah”. Di HMI jugalah aku tahu apa arti “toleransi” yang sebenarnya. Aku juga menemukan semangat kebersamaan yang luar biasa dari Sabang sampai Meraoke berpegang tangan menjalin persatuan. Begitulah, hidayah Allah Swt meresap sampai kehati melalui pengalaman hidup dalam sebuah himpunan di tengah masyarakat dan duania yang multi-dimensi serta multi-tafsir. Masyarakat yang heterogen. Bukan hanya berbeda tanah kelahiran namun juga berbeda budaya yang dibawa daerah masing-masing. Semua itu membuat HMI atas ijin Allah Swt semakin dekat dengan ajaran Islam yang Rahmatan lil alamin, toleran, santun, bijaksana, akurat, dan tegas!

Mari kita bersama-sama menjaga dan memelihara himpunan kita, rumah kita, agar tetap menjadi Harapan Masyarakat Indonesia. Mari ber-HMI, karena di-HMI kita berteman lebih dari saudara.

Iman, Ilmu, Amal. Yakin, Usaha, Sampai untuk kemajuan.

Singaraja, 26 Februari 2017.

Sabtu, 25 Februari 2017

Ada Surga Sebelum Surga






Ada Surga Sebelum Surga

Oleh: Kang Aswan

Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun

~Imam Adz-Dzahabi~


Saya punya sebuah cerita. Cerita tentang teman saya sendiri. Teman saya ini adalah seorang pemuda yang bisa dibilang sukses dalam dunia bisnis. Tawaran proyek ada dimana-mana. Pergi keluar kota sudah menjadi rutinitasnya. Dan saya bangga mempunyai teman sepertinya. Dengan kejayaannya saat ini, ia juga tidak sombong apalagi pelit. Dia menjadi donatur tetap dipesantren-pesantren, panti asuhan, sampai panti jompo.

Namun, suatu ketika, saat saya sedang bersamanya dalam sebuah pertemuan, tiba-tiba handponenya bergetar tanda panggilan masuk. Kelihatannya ia tak menghiraukan gataran handpone itu. ia terlihat masih asyik membahasa kerjasama bisnis dengan klaiennya.

“Kawan, handpone kamu bunyi.” Kataku mengingatkan.

“Sudah biarlah, kawan. Ini penting untuk bisnis kita.” Jawabnya acuh.

Selang beberapa menit handpone itu kembali bergetar.

“Kawan, kau angkatlah dulu sebentar handponemu, siapa tahu ada hal yang penting!”

“Sudahlah, paling-paling juga Pak RT mau minta sumbangan.”

Seketika handpone itu mati. Tapi tak ada sepuluh menit handpone itu kembali bergetar.

“Handponemu ini getar lagi.” Ketiga kalinya saya mengingatkan.

Kali ini dia tidak menjawab.

Dengan rasa penasaran, siapa yang sendari tadi menelpon kawan saya ini. akhirnya saya beranikan diri untuk melihat handponenya. Saya genggam handpone itu, dan terlihat dilayar kaca bertuliskan IBUNDA. Saya angkat panggilan itu. terdengar suara lirih dengan batuk yang mengiringi.

Assalamu’alaikum, Nak... akhirnya kamu mengangkat telpon ibu.. Nak, ibu rindu dengan kamu, ibu ingin bertenu dengan kamu, ibu ingin mendengar canda dan tawa kamu, dan ibu ingin melihat kamu makan masakan ibu.. kalau kamu sudah tidak sibuk, sudi kiranya kamu mampirlah ke rumah ibu ya Nak! Ibu akan masak makanan kesukaanmu....

Belum sempat saya berbicara, handpone sudah dimatikan. Entah karena pulsanya habis, jaringan buruk, atau sengaja diakhiri saya tidak tahu. Yang jelas suara lirih dan berat itu tak kembali terdengar.
Lalu, kawan saya tadi sudah selesai dengan meetingnya. Dan dia menghampiriku.

“Mana handpone saya, kawan?”

Saya memberika handponennya. Belum sempat handpone ada digenggamannya, handpone itu kembali bergetar. Saya sempat melihat layar dan kali ini bukan telpon dari ibunya, tapi dari istrinya.

“Siapa lagi yang telpon, kawan?”

“Istrimu.”

Dia mengangkat telpon itu dan saya berjalan keluar. Belum jauh saya keluar, saya mendengar tangisan sedu sedan dari dalam ruangan tadi. Saya kembali masuk, suara itu begitu pilu penuh penyesalan. Seperti tak ada manusia yang paling sengsara kecuali manusia yang menangis begitu terdengar menyakitkan. Saya mencari suara tangisan pilu itu. betapa kagetnya saya ternyata yang menangis itu adalah kawan karib saya. Sambil duduk tak berdaya ia menangis penuh penyesalan. Jas yang begitu rapi kini kusut kumal. Dasi yang tadi indah menggelayut dileher kini hanya terhempas pasrah dilantai. Tak berdaya seperti tuannya.

“Apa yang terjadi, kawanku? Kenapa kau menangis begitu pilu?” tanyaku begitu panik.

Ia menatapku begitu dalam. Seperti ada kata yang ingin diucapkan tapi tenggorokannya serasa tersumbat oleh pasir bagaikan Fir’aun yang tersumbat pasir Jibril. Mulutnya terbuka tapi tak bersuara. Hingga pada akhirnya ia mengatakannya juga.

“I.i.i ibu.. ibu meninggal.”

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.”

***

Sahabat/rekan/teman/kawan. Ibu adalah malaikat bagi anak-anaknya.

Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun..

Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya..

Dia telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu..

Dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu daripada dirinya serta makanannya..

Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu..

Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu..

Seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras..

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik..

Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan..

Tatkala ibumu membutuhkanmu disaat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu..

Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar..

Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan..

Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu daripada ibumu..

Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat..

Berat rasanya atasmu memelihara padahal itu adalah urusan yang mudah..

Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek..

Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu..

Padalah Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut..

Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu..

Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin..

Akan dikatakan kepadanya,

“Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya”. (QS. Al-Hajj : 10)

Sesungguhnya surga ada di bawah telapak kaki ibu.

Singaraja, 25 Februari 2017

Aku sayang ibu

Jumat, 24 Februari 2017

Apa Aku Wajib Bercadar?





Apa Aku Wajib Bercadar?
Oleh: Kang Aswan

Hai, Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal, agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(QS. al-Ahzab [33]: 59)

Di waktu sore menjelang. Terlihat seorang gadis duduk termengung disebuah kursi taman. Dengan tatapan gelisah, ia menatap langit yang jingga. Siluet memancar membias air danau bagaikan kanfas besar yang terbentang. Gadis itu tampak gelisah, cemas dan bahkan takut. Di tengah kegundahannya, tanpa ia sadari teman sekelasnya sudah duduk di sampingnya.

“Hai, Ida,” ucap temannya menyapa.

Ida. Begitulah ia akrab dipanggil. Seorang gadis cantik tak terkira. Bunga desa dan bunga kampus. Kalau kalian pernah membaca tulisan Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java percis menggambarkan kecantikannya, wajahnya cerah bersinar seperti rembulan, begitu cantik. Ida jauh lebih cantik dibanding Dewi Ratih. Dia bersinar bahkan di kegelapan, tanpa satu cacat yang ada. Dia sangat cemerlang sampai memancar ke langit saat memandang angkasa. Sinar matahari bahkan tak kuasa menandingi. Dia begitu cantik hingga tak terkatakan. Bentuk tubuhnya sangat indah. Keningnya sehalus batu cendana. Alisnya bagaikan dua helai daun mimbo, ujung matanya menyudut ke atas, bola matanya besar dan tampak berkaca-kaca dan bulu matanya lentik. Hidungnya kecil dan runcing dengan deretan gigi yang rapi dan teratur. Telinganya secantik bunga gianti, dan lehernya menyerupai daun gadung muda. Lenganya menyiku seperti busur, jari-jarinya panjang dan ramping, selentik rerumputan hutan. Kukunya seperti mutiara, kulitnya kuning langsat.

Ida hanya tersenyum. Mungkin baginya senyuman sudah bisa dikatakan sebagai sebuah sapaan.

“Kamu kenapa si?” Kembali temanya bertanya.

“Aku binggung, Al.”

Teman sekelasnya. Alma.

“Cerita dong! Siapa tahu aku bisa bantu.”

“Gini, Al. Kemarin aku pulang, sampai dirumah, aku disuruh kakak laki-lakiku untuk menggunakan cadar. Tapi aku belum siap.” Jelasnya dengan wajah menunduk.

Alma tersenyum dan mengangkat wajah Ida yang ayu itu.

“Ida, apa alasan kakakmu bilang seperti itu?”

“QS. al-Ahzab ayat 39.” Jawabnya dengan lugu.

“Hahaha, kakakmu itukan lulusan Al-Ahzar, kok fikirannya statis si?” ledek Alma sambil tertawa.

“Maksud kamu, Al?”

“Gini ya, Da. Asbab al-nuzul atau sebab penurunan ayat yang kamu sebut itu ialah ketika Saudah (istri Nabi) yang bertubuh besar dan mudah dikenali keluar rumah untuk suatu keperluan. Lalu Umar melihatnya dan berkata, Hai, Saudah, kami sangat mudah mengenalimu. Untuk apa engkau keluar? Saudah langsung pulang, dan melaporkan kejadian ini kepada Nabi. Nabi menjawab, Sesungguhnya, Allah mengizinkanmu keluar rumah untuk suatu keperluan. Lalu turunlah ayat ini.
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munafik mengganggu mereka. Kejadian ini diadukan kepada Nabi, dan Nabi menegur mereka (kaum munafik). Mereka menjawab, Sesungguhnya, kami hanya menggangu hamba sahaya. Lalu turunlah ayat ini.” jelas Alma panjang lebar.

“Aku masih belum mengerti nih, Al.”

“Secara metode tafsir tematik, bila ayat-ayat Al-Qur’an dipilah dan dipilih berdasarkan tema kandungannya, ayat tersebut diperjelas oleh surat an-Nur ayat 31:
Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluanya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali (yang bisa) tampak darinya. Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya...dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan...
Dalam sebuah hadist riwayat Aisyah r.a diceritakan, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar menghadap Rasulullah dengan mengenakan pakaian tipis. Rasulullah Saw. Bersabda, “Wahai Asma’, sesungguhnya wanita itu bila sudah datang masa haid tidaklah pantas baginya terlihat tubuhnya, kecuali ini dan itu.” Beliau menunjukkan wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud).
Dikalangan mufasir, terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata “jilbab”dalam surat al-Ahzab ayat 59 itu. Al-Baqa’i dan Ibnu ‘Asyur, misal, berbeda pendapat. Yang satu mengatakan bahwa maksudnya adalah pakaian yang longgar dan penutup kepala, yang satu lagi berpendapat sebagai pakaian yang lebih kecil dari jubah dan penutup kepala yang terjulur ke samping kanan dan kiri hingga menutupi dada.
Dikalangan Imam Mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), batas aurat wanita di hadapan non-mahram tidaklah berbeda, yakni seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan bagian atas tangan.”

“Emmm, lanjutkan, Alma!”

“Baiklah, mari simak satu-satu biar lebih jelas. Pertama, Al-qur’an sebagai sumber pertama hukum Islam hanya membahas tentang “aurat wanita” melalui dua ayat itu. Tidak ada lagi. Keduannya bersifat mutasyabihat (zhanniyyah, multitafsir), bukan muhkamat (qath’iyyah, tafsir mutlak). Wajar, di kalangan ahli tafsir dan fiqih, terdapat perbedaan pendapat tentang “bagaimana wujud menutup aurat wanita itu?
Kedua, berdasarkan pada kronologi turunya ayat, surat al-Ahzab ayat 59 diturunkan lebih dahulu, kemudian disusul oleh surat an-Nur ayat 31 yang memuat pesan moral supaya “perempuan menjaga diri dan tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”. Jadi, dapat disebutkan bahwa ayat kedua merupakan “tafsir atau penjelasan” terhadap ayat pertama.
Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah itu, yang diamini oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, merupakan tafsir Nabi yang menjelaskan tentang aplikasi ayat itu. hadist tersebut mengandung pesan moral “janganlah berpakaian tipis dan memperlihatkan selain wajah dan telapak tangan.” Ya, hanya itu, jelaskan, sampai di sini?” tanya Alma setelah menjelaskan.

“Berarti tidak ada kewajiban untuk bercadar?”

“Tidak ada kewajiban untuk itu, Ida. Yang wajib itu menutup aurat bagi muslimah. Tetapi, bentuk dan model hijab dan jilbab itu tidak perlu dibikin sama gaya orang Arab, kalau kamu mau model Arabian begitu, ya silahkan, mau dengan model up to date ala Paris dan Pasminah, ya halal pula. Orang, Al-Qur’an dan Hadist itu bukan kitab desain baju kok, pisss.” Jawab Alma sambil tersenyum.

“Tapi, aku masih takut nih dengan kakaku.”


“Bilang aja, yang penting: Tidak berkain tipis, tidak pamer perhiasan, tidak memperlihatkan aurat. Mau hijab ala gamis, boleh. Mau hijab berbahan jeans, monggo. Mau hijab model baru, no problem. Mau hijab motif polkadot, silahkan. Sepanjang hijab yang dipakai sudah memenuhi prinsip “maqashid al-syar’ie” dimaksud, ya sudah cukup banget untuk disebut hijab syar’ie atau hijab Islami.”

“Terus, Al. Kenapa orang-orang Arab pakai cadar? Bukankah Islam itu datangnya dari Arab dan bukankah Indonesia seharusnya juga begitu?”

“Hmm. Kultur orang Arab jelas beda dengan ukuran kultur orang Indonesia. Karena itu, penerapan rambu-rambu itu pun beragam khazanah kultur yang melingkupi kehidupan umat Islam. Ukuran kultur Indonesia ini jangan coba-coba diangkut ke Arab, sebab ia takkan sukses memenuhi tujuan pokok dimaksud. Orang Arab sangat rentan makter sekedar ketemu jempol kaki wanita. Orang kita ya nggak semudah itu untuk makter.”

“Iya, Al. Aku mulai mengerti bahwa pesan moral dari ayat dan hadist tentang jilbab atau hijab itu simpel, yaitu: menjaga diri dan tidak memamerkan perhiasan selain yang wajar tampak, selain wajah dan telapak tangan, agar membuat kita lebih dikenal, karena itu kita tidak diganggu.”

“Mantap, Ida. Ingat ya, Ida. Seberapa kamu sanggup melaksanakannya, di situlah kadar kemuslimahan kamu. Jika aku diminta memilih, maka aku akan memilih hal yang subtantif daripada formal, kendati aku jelas lebih suka hal yang subtantif itu diikuti oleh hal yang formal.”

***

Mereka pun tertawa, bersama tengelamnya mentari yang pasrah ditelan oleh gelap malam. Desau angin tertiup dari rerimbunan pohon bak bertafakur padaNya setelah mendengarkan obrolan dua gadis cantik itu.
~Sekian~
Singaraja, 24 Februari 2017

Ulasan tulisan Edi Mulyono kandidat doktor Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam bukunya Berhala-Berhala Wacana.

“CATAT: Muslimah Indonesia tidak wajib hukumnya untuk mengenakan “daster Arab”. Jika suka ya monggo, jika tidak ya ndak menopo.
~Edi AH Iyubenu~