Aku
& HMI
Oleh:
Kang Aswan
“Karena di HMI, kita berteman lebih
dari saudara.”
~Kader
HMI~
Aku adalah manusia.
Manusia yang diciptakan bebas dan merdeka. Karena kemerdekaan pribadi adalah
hak pertama setiap manusia. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari pada
kemerdekaan itu sendiri.
Aku adalah mahasiswa.
Kepeloporan, keberanian, dan kritis adalah ciri dari mahasiswa yang bisa
disebuat “kelompok elit” dalam generasi muda. Sifat kepeloporan, keberanian,
dan kritis yang objektiflah yang harus diterapkan oleh mahasiswa. Itu semua
bisa dijalankan dengan baik apabila mahasiswa dalam suasana bebas merdeka dan
demokratis obyektik dan rasional. Sikap ini adalah progresif sebagai ciri
daripada seorang intelektual.
Himpunan Mahasiswa
Islam yang lebih dikenal dengan nama HMI adalah sebuah organisasi pengkaderan
yang beranggotakan mahasiswa Islam. HMI di dirikan pada tanggal 14 Rabi ul awal
1366 H yang bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947 M. Sesuai dengan Anggaran
Dasar HMI Pasal 3, HMI berazaskan Islam. Sebagai organisasi yang berazaskan
Islam maka setiap gerak langkah HMI senantiasa dilandasi oleh ajaran Islam baik
dalam kehidupan organisasi maupun yang tercermin dalam sikap pola pikir, sikap
dan tindak kader HMI sehingga ajaran Islam tidak hanya menjadi sumber inspirasi
dan motivasi tetapi sekaligus menjadi tujuan yang harus diwujudkan. Sejak
berdirinya, HMI telah mengabdikan diri untuk kepentingan umat dan bangsa.
Berjuang demi tercapainya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt.
Aku adalah satu dari
sekian ribu kader HMI dari Sabang sampai Meraoke. Ya, HMI ada diseluruh
Indonesia, dari mulai kota kecil sampai besar, dari mulai pedesaan sampai
metropolitan. Sinar Hijau Hitam itu telah memancar dan masuk ke celah-celah
paling kecil sekalipun di negeri ini. Tak terkecuali kota Singaraja. Kota kecil
yang berada di Bali Utara ini tak kalah bergengsinya dalam hal organsasi
kemahasiswaan dan salah satunya adalah HMI.
Dari dulu aku ingin
sekali memiliki banyak teman dan bisa kemana-mana. Melihat betapa luasnya
dunia. Melihat betapa indahnya peradaban Islam. Melihat betapa hebatnya para
pemikir-pemikir filsafat. Melihat betapa sistematis dan dinamisnya Allah
menciptakan alam semesta beserta isinya ini. Aku bagaikan hidup dalam sebuah
ruangan, dan dalam ruangan itu berisi layar-layar yang dapat menayangkan
sejarah, dinamika politik/ekonomi/sosial/budaya dan agama. Aku seperti
mengarungi samudera luas yang tak bertepi. Dan disamudera itu aku menemukan
banyak hal. Itu semua karena aku ber-HMI.
Aku adalah satu dari
sekian ribu kader HMI. Aku memang tidak pernah pergi ke Tarakan, tapi aku tahu
bagaimana cantiknya gadis Tarakan itu. Aku memang tidak pernah pergi ke
Makassar, tapi aku tahu dinamika hidup dan keramahan orang Makassar. Aku memang
tidak pernah pergi ke Ambon, tapi aku tahu bagaimana menyenangkannya
orang-orang Ambon. Aku memang tidak pernah pergi ke Sumatra, tapi aku tahu
kehidupan di Sumatra dan bahkan aku juga dipanggil, Lae layaknya pemuda Sumatra. Aku memang tidak pernah ke Kendari,
tapi aku tahu bagaimana orang Kendari bilang “kamu” menjadi “kita”. Aku memang
tidak pernah pergi ke Kalimantan, tapi aku tahu bagaimana kelembutan orang
Kalimantan. Aku memang tidak pernah ke Lombok tapi aku mengerti ketika orang
Lombok bilang, Aku berangen lek side.
Aku memang hanya sebentar di Jawa Barat, tapi aku tahu bagaimana keramahan,
kelembutan, keluwesan, ketaqwaan, dan kemanisan perempuan periangan. Aku memang
tidak lama di Jawa Tengah, tapi aku tahu betapa sopannya orang-orang Jawa
Tengah. Aku memang tidak pernah ke Madura, tapi aku juga dipanggil, Le layaknya ibu Madura yang memanggil
anaknya. Itu semua karena aku ber-HMI.
Aku adalah orang bodoh,
tapi di HMI aku tidak pernah dipanggil Si Bodoh. Aku adalah orang lemah, tapi
di HMI aku tidak pernah dipanggil Si Lemah. Aku adalah orang miskin, tapi di
HMI aku tidak pernah dipanggil Si Miskin. Aku adalah orang yang berdosa, tapi
di HMI aku tidak pernah dipanggil Si Pendosa. Itu semua karena aku ber-HMI.
HMI telah menjadi guru
bagiku untuk memahami kehidupan. Di HMI aku menemukan ber-Islam dalam
kehidupan. Selain itu aku juga menjadi memahami apa itu “makna dakwah”. Di HMI
jugalah aku tahu apa arti “toleransi” yang sebenarnya. Aku juga menemukan
semangat kebersamaan yang luar biasa dari Sabang sampai Meraoke berpegang
tangan menjalin persatuan. Begitulah, hidayah Allah Swt meresap sampai kehati
melalui pengalaman hidup dalam sebuah himpunan di tengah masyarakat dan duania
yang multi-dimensi serta multi-tafsir. Masyarakat yang heterogen. Bukan hanya
berbeda tanah kelahiran namun juga berbeda budaya yang dibawa daerah
masing-masing. Semua itu membuat HMI atas ijin Allah Swt semakin dekat dengan
ajaran Islam yang Rahmatan lil alamin,
toleran, santun, bijaksana, akurat, dan tegas!
Mari kita bersama-sama
menjaga dan memelihara himpunan kita, rumah kita, agar tetap menjadi Harapan
Masyarakat Indonesia. Mari ber-HMI, karena di-HMI kita berteman lebih dari
saudara.
Iman,
Ilmu, Amal. Yakin, Usaha, Sampai untuk kemajuan.
Singaraja, 26
Februari 2017.