Apa
Aku Wajib Bercadar?
Oleh:
Kang Aswan
“Hai, Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah
dikenal, agar mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS.
al-Ahzab [33]: 59)
Di waktu sore
menjelang. Terlihat seorang gadis duduk termengung disebuah kursi taman. Dengan
tatapan gelisah, ia menatap langit yang jingga. Siluet memancar membias air
danau bagaikan kanfas besar yang terbentang. Gadis itu tampak gelisah, cemas
dan bahkan takut. Di tengah kegundahannya, tanpa ia sadari teman sekelasnya
sudah duduk di sampingnya.
“Hai, Ida,” ucap
temannya menyapa.
Ida.
Begitulah ia akrab dipanggil. Seorang gadis cantik tak terkira. Bunga desa dan
bunga kampus. Kalau kalian pernah membaca tulisan Thomas Stamford Raffles dalam
bukunya The History of Java percis menggambarkan
kecantikannya, wajahnya cerah bersinar seperti rembulan, begitu cantik. Ida
jauh lebih cantik dibanding Dewi Ratih. Dia bersinar bahkan di kegelapan, tanpa
satu cacat yang ada. Dia sangat cemerlang sampai memancar ke langit saat
memandang angkasa. Sinar matahari bahkan tak kuasa menandingi. Dia begitu
cantik hingga tak terkatakan. Bentuk tubuhnya sangat indah. Keningnya sehalus
batu cendana. Alisnya bagaikan dua helai daun mimbo, ujung matanya menyudut ke
atas, bola matanya besar dan tampak berkaca-kaca dan bulu matanya lentik.
Hidungnya kecil dan runcing dengan deretan gigi yang rapi dan teratur.
Telinganya secantik bunga gianti, dan lehernya menyerupai daun gadung muda.
Lenganya menyiku seperti busur, jari-jarinya panjang dan ramping, selentik
rerumputan hutan. Kukunya seperti mutiara, kulitnya kuning langsat.
Ida
hanya tersenyum. Mungkin baginya senyuman sudah bisa dikatakan sebagai sebuah
sapaan.
“Kamu
kenapa si?” Kembali temanya bertanya.
“Aku
binggung, Al.”
Teman
sekelasnya. Alma.
“Cerita
dong! Siapa tahu aku bisa bantu.”
“Gini,
Al. Kemarin aku pulang, sampai dirumah, aku disuruh kakak laki-lakiku untuk
menggunakan cadar. Tapi aku belum siap.” Jelasnya dengan wajah menunduk.
Alma
tersenyum dan mengangkat wajah Ida yang ayu itu.
“Ida,
apa alasan kakakmu bilang seperti itu?”
“QS.
al-Ahzab ayat 39.” Jawabnya dengan lugu.
“Hahaha,
kakakmu itukan lulusan Al-Ahzar, kok fikirannya statis si?” ledek Alma sambil
tertawa.
“Maksud
kamu, Al?”
“Gini
ya, Da. Asbab al-nuzul atau sebab
penurunan ayat yang kamu sebut itu ialah ketika Saudah (istri Nabi) yang bertubuh
besar dan mudah dikenali keluar rumah untuk suatu keperluan. Lalu Umar
melihatnya dan berkata, Hai, Saudah, kami
sangat mudah mengenalimu. Untuk apa engkau keluar? Saudah langsung pulang,
dan melaporkan kejadian ini kepada Nabi. Nabi menjawab, Sesungguhnya, Allah mengizinkanmu keluar rumah untuk suatu keperluan.
Lalu turunlah ayat ini.
Dalam
riwayat lain, disebutkan bahwa istri-istri Nabi keluar rumah dan kaum munafik
mengganggu mereka. Kejadian ini diadukan kepada Nabi, dan Nabi menegur mereka
(kaum munafik). Mereka menjawab, Sesungguhnya,
kami hanya menggangu hamba sahaya. Lalu turunlah ayat ini.” jelas Alma
panjang lebar.
“Aku
masih belum mengerti nih, Al.”
“Secara
metode tafsir tematik, bila ayat-ayat Al-Qur’an dipilah dan dipilih berdasarkan
tema kandungannya, ayat tersebut diperjelas oleh surat an-Nur ayat 31:
Katakanlah kepada wanita yang
beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluanya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali (yang bisa) tampak darinya. Dan,
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya...dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan...
Dalam sebuah hadist riwayat Aisyah
r.a diceritakan, sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar menghadap Rasulullah dengan
mengenakan pakaian tipis. Rasulullah Saw. Bersabda, “Wahai Asma’, sesungguhnya
wanita itu bila sudah datang masa haid tidaklah pantas baginya terlihat
tubuhnya, kecuali ini dan itu.” Beliau menunjukkan wajah dan kedua telapak
tangannya. (HR. Abu Dawud).
Dikalangan mufasir,
terdapat perbedaan pendapat tentang makna kata “jilbab”dalam surat al-Ahzab
ayat 59 itu. Al-Baqa’i dan Ibnu ‘Asyur, misal, berbeda pendapat. Yang satu
mengatakan bahwa maksudnya adalah pakaian yang longgar dan penutup kepala, yang
satu lagi berpendapat sebagai pakaian yang lebih kecil dari jubah dan penutup
kepala yang terjulur ke samping kanan dan kiri hingga menutupi dada.
Dikalangan Imam Mazhab
yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), batas aurat wanita di
hadapan non-mahram tidaklah berbeda, yakni seluruh tubuh, kecuali wajah dan
telapak tangan bagian atas tangan.”
“Emmm, lanjutkan,
Alma!”
“Baiklah, mari simak
satu-satu biar lebih jelas. Pertama,
Al-qur’an sebagai sumber pertama hukum Islam hanya membahas tentang “aurat
wanita” melalui dua ayat itu. Tidak ada lagi. Keduannya bersifat mutasyabihat (zhanniyyah, multitafsir), bukan muhkamat
(qath’iyyah, tafsir mutlak). Wajar,
di kalangan ahli tafsir dan fiqih, terdapat perbedaan pendapat tentang
“bagaimana wujud menutup aurat wanita itu?
Kedua,
berdasarkan pada kronologi turunya ayat, surat al-Ahzab ayat 59 diturunkan
lebih dahulu, kemudian disusul oleh surat an-Nur ayat 31 yang memuat pesan
moral supaya “perempuan menjaga diri dan
tidak memamerkan perhiasannya selain yang wajar tampak”. Jadi, dapat
disebutkan bahwa ayat kedua merupakan “tafsir atau penjelasan” terhadap ayat
pertama.
Hadis yang diriwayatkan
oleh Aisyah itu, yang diamini oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, merupakan tafsir
Nabi yang menjelaskan tentang aplikasi ayat itu. hadist tersebut mengandung
pesan moral “janganlah berpakaian tipis
dan memperlihatkan selain wajah dan telapak tangan.” Ya, hanya itu,
jelaskan, sampai di sini?” tanya Alma setelah menjelaskan.
“Berarti tidak ada
kewajiban untuk bercadar?”
“Tidak ada kewajiban
untuk itu, Ida. Yang wajib itu menutup aurat bagi muslimah. Tetapi, bentuk dan
model hijab dan jilbab itu tidak perlu dibikin sama gaya orang Arab, kalau kamu
mau model Arabian begitu, ya silahkan, mau dengan model up to date ala Paris dan Pasminah, ya halal pula. Orang, Al-Qur’an
dan Hadist itu bukan kitab desain baju kok, pisss.”
Jawab Alma sambil tersenyum.
“Tapi, aku masih takut
nih dengan kakaku.”
“Bilang aja, yang penting:
Tidak berkain tipis, tidak pamer
perhiasan, tidak memperlihatkan aurat. Mau hijab ala gamis, boleh. Mau
hijab berbahan jeans, monggo. Mau
hijab model baru, no problem. Mau
hijab motif polkadot, silahkan. Sepanjang hijab yang dipakai sudah memenuhi prinsip
“maqashid al-syar’ie” dimaksud, ya
sudah cukup banget untuk disebut hijab syar’ie atau hijab Islami.”
“Terus, Al. Kenapa
orang-orang Arab pakai cadar? Bukankah Islam itu datangnya dari Arab dan
bukankah Indonesia seharusnya juga begitu?”
“Hmm. Kultur orang Arab
jelas beda dengan ukuran kultur orang Indonesia. Karena itu, penerapan
rambu-rambu itu pun beragam khazanah kultur yang melingkupi kehidupan umat
Islam. Ukuran kultur Indonesia ini jangan coba-coba diangkut ke Arab, sebab ia
takkan sukses memenuhi tujuan pokok dimaksud. Orang Arab sangat rentan makter sekedar ketemu jempol kaki
wanita. Orang kita ya nggak semudah itu untuk makter.”
“Iya, Al. Aku mulai
mengerti bahwa pesan moral dari ayat dan hadist tentang jilbab atau hijab itu
simpel, yaitu: menjaga diri dan tidak memamerkan perhiasan selain yang wajar tampak,
selain wajah dan telapak tangan, agar membuat kita lebih dikenal, karena itu
kita tidak diganggu.”
“Mantap, Ida. Ingat ya,
Ida. Seberapa kamu sanggup melaksanakannya, di situlah kadar kemuslimahan kamu.
Jika aku diminta memilih, maka aku akan memilih hal yang subtantif daripada
formal, kendati aku jelas lebih suka hal yang subtantif itu diikuti oleh hal
yang formal.”
***
Mereka pun tertawa,
bersama tengelamnya mentari yang pasrah ditelan oleh gelap malam. Desau angin
tertiup dari rerimbunan pohon bak bertafakur padaNya setelah mendengarkan
obrolan dua gadis cantik itu.
~Sekian~
Singaraja, 24
Februari 2017
Ulasan
tulisan Edi Mulyono kandidat doktor Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dalam bukunya Berhala-Berhala
Wacana.
“CATAT: Muslimah Indonesia tidak wajib
hukumnya untuk mengenakan “daster Arab”. Jika suka ya monggo, jika tidak ya
ndak menopo.”
~Edi
AH Iyubenu~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar