Puisi
Yang Tak Pernah Terbacakan
Oleh:
Kang Aswan
Puisimu
itu tak akan pernah terbacakan, karena sebenarnya puisimu hanya ingin kau
bacakan pada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dan membacanya dengan angin,
dengan siluet cahaya yang jingga, dengan wangi sebelas tangkai mawar yang kau
petik dikebun tetanggamu, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam,
dengan detik jam. Tentang dia.
Dia,
yang tak pernah kamu mengerti. Dia, yang hanya hadir sebentar lalu pergi entah
kemana. Dia, yang kamu reka dan kamu cipta.
Ini
semua tentang kamu, puisimu yang tak terbacakan dan tentang dia. Kalau saja
hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil
tanpa tertanggu. Akan tetapi hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Aristoteles
berkata, Adanya perubahan karena adanya pergerakan, dan yang menggerakkan
adalah sesuatu yang abstrak, in materi yang lebih dari apa yang digerakkan.
Ada
pertemuan pasti ada perpisahan. Ada cinta pasti ada sakit hati.
Di
meja itu, kamu dikelilingi tulisan tanganmu yang tersia-sia. Jangan heran kalau
kamu menangis sejadi-jadinya.
Dia,
yang tak pernah menyimpan tulisanmu, apalagi gambar rupamu, pasti tidak tahu
apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan sentuh dari helai
rambut yang polos tanpa busa pengeras.
Dan
kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, puisi
itu, dengan bunga mawar yang mulai layu, dengan nyamu-nyamuk yang putus asa,
dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan embun yang diusir cahaya
matahari, dan dengan jam yang berhenti berdetik karena kehabisan daya.
Pada
bagian terakhir bait puisimu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya
setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan dengan dirinya pada hari itu.
setidaknya semalam sebelum perpisahan seharusnya puisi itu sudah terbacakan.
Mungkin,
suatu saat, ketika situasi dan kondisi memberikanmu kesempatan, apakah kamu
yakin puisi itu tetap akan terbacakan, dan dia akan mendengarkannya? Atau
bahkan memahami setiap baitnya? Lalu dia akan tersenyum, dan berteriak histeris
memanggil namamu, dan kamu akan keluar dari rasa kebosananmu selama ini?
Kamu,
yang merasakan apa yang aku rasakan. Yang mendamba untuk mengalami. Kamu, yang
telah menuliskan puisi-puisi cinta kepadanya. Puisi-puisi yang tak pernah
terbacakan.
Tuban,
07 Februari 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar