Ada
Surga Sebelum Surga
Oleh:
Kang Aswan
“Ibumu telah mengandungmu di dalam
perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun”
~Imam
Adz-Dzahabi~
Saya punya sebuah
cerita. Cerita tentang teman saya sendiri. Teman saya ini adalah seorang pemuda
yang bisa dibilang sukses dalam dunia bisnis. Tawaran proyek ada dimana-mana.
Pergi keluar kota sudah menjadi rutinitasnya. Dan saya bangga mempunyai teman
sepertinya. Dengan kejayaannya saat ini, ia juga tidak sombong apalagi pelit.
Dia menjadi donatur tetap dipesantren-pesantren, panti asuhan, sampai panti
jompo.
Namun, suatu ketika,
saat saya sedang bersamanya dalam sebuah pertemuan, tiba-tiba handponenya
bergetar tanda panggilan masuk. Kelihatannya ia tak menghiraukan gataran
handpone itu. ia terlihat masih asyik membahasa kerjasama bisnis dengan
klaiennya.
“Kawan, handpone kamu
bunyi.” Kataku mengingatkan.
“Sudah biarlah, kawan.
Ini penting untuk bisnis kita.” Jawabnya acuh.
Selang beberapa menit
handpone itu kembali bergetar.
“Kawan, kau angkatlah
dulu sebentar handponemu, siapa tahu ada hal yang penting!”
“Sudahlah,
paling-paling juga Pak RT mau minta sumbangan.”
Seketika handpone itu
mati. Tapi tak ada sepuluh menit handpone itu kembali bergetar.
“Handponemu ini getar
lagi.” Ketiga kalinya saya mengingatkan.
Kali ini dia tidak
menjawab.
Dengan rasa penasaran,
siapa yang sendari tadi menelpon kawan saya ini. akhirnya saya beranikan diri
untuk melihat handponenya. Saya genggam handpone itu, dan terlihat dilayar kaca
bertuliskan IBUNDA. Saya angkat panggilan itu. terdengar suara lirih dengan
batuk yang mengiringi.
Assalamu’alaikum,
Nak... akhirnya kamu mengangkat telpon ibu.. Nak, ibu rindu dengan kamu, ibu
ingin bertenu dengan kamu, ibu ingin mendengar canda dan tawa kamu, dan ibu
ingin melihat kamu makan masakan ibu.. kalau kamu sudah tidak sibuk, sudi
kiranya kamu mampirlah ke rumah ibu ya Nak! Ibu akan masak makanan
kesukaanmu....
Belum sempat saya
berbicara, handpone sudah dimatikan. Entah karena pulsanya habis, jaringan
buruk, atau sengaja diakhiri saya tidak tahu. Yang jelas suara lirih dan berat
itu tak kembali terdengar.
Lalu, kawan saya tadi
sudah selesai dengan meetingnya. Dan dia menghampiriku.
“Mana handpone saya,
kawan?”
Saya memberika
handponennya. Belum sempat handpone ada digenggamannya, handpone itu kembali
bergetar. Saya sempat melihat layar dan kali ini bukan telpon dari ibunya, tapi
dari istrinya.
“Siapa lagi yang
telpon, kawan?”
“Istrimu.”
Dia mengangkat telpon
itu dan saya berjalan keluar. Belum jauh saya keluar, saya mendengar tangisan
sedu sedan dari dalam ruangan tadi. Saya kembali masuk, suara itu begitu pilu
penuh penyesalan. Seperti tak ada manusia yang paling sengsara kecuali manusia
yang menangis begitu terdengar menyakitkan. Saya mencari suara tangisan pilu
itu. betapa kagetnya saya ternyata yang menangis itu adalah kawan karib saya.
Sambil duduk tak berdaya ia menangis penuh penyesalan. Jas yang begitu rapi
kini kusut kumal. Dasi yang tadi indah menggelayut dileher kini hanya terhempas
pasrah dilantai. Tak berdaya seperti tuannya.
“Apa yang terjadi,
kawanku? Kenapa kau menangis begitu pilu?” tanyaku begitu panik.
Ia menatapku begitu
dalam. Seperti ada kata yang ingin diucapkan tapi tenggorokannya serasa
tersumbat oleh pasir bagaikan Fir’aun yang tersumbat pasir Jibril. Mulutnya
terbuka tapi tak bersuara. Hingga pada akhirnya ia mengatakannya juga.
“I.i.i ibu.. ibu
meninggal.”
“Innalillahi wa inna
ilaihi raji’un.”
***
Sahabat/rekan/teman/kawan.
Ibu adalah malaikat bagi anak-anaknya.
Ibumu
telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah
sembilan tahun..
Dia
bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya..
Dia
telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena
menjagamu..
Dia
cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu daripada
dirinya serta makanannya..
Dia
jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu..
Dia
telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak
darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia
keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu..
Seandainya
dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup
dengan suaranya yang paling keras..
Betapa
banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik..
Dia
selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun
terang-terangan..
Tatkala
ibumu membutuhkanmu disaat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai
barang yang tidak berharga di sisimu..
Engkau
kenyang dalam keadaan dia lapar..
Engkau
puas minum dalam keadaan dia kehausan..
Engkau
mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu daripada ibumu..
Engkau
lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat..
Berat
rasanya atasmu memelihara padahal itu adalah urusan yang mudah..
Engkau
kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek..
Engkau
tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu..
Padalah
Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan
yang lembut..
Engkau
akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu..
Allah
akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin..
Akan
dikatakan kepadanya,
“Yang
demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan
kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya
hamba-hamba-Nya”.
(QS. Al-Hajj : 10)
Sesungguhnya
surga ada di bawah telapak kaki ibu.
Singaraja, 25 Februari
2017
Aku sayang ibu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar