Usiaku
Sudah Senja “Tetap Panggil Aku HMI”
Oleh:
Kang Aswan
Aku terlahir dari kota
yang memiliki peran penting sebagai basis perlawanan mengahadapi tentara
kolonial Belanda. Ketika Jakarta diduduki Belanda, maka ibukota Republik
Indonesia pindah ke Yogyakarta. Akibatnya, Kota Gudeg ini kemudian menjadi
pusat pemerintahan. Presiden, Wakil Presiden dan hampir semua pimpinan negara
berada di Yogyakarta. Demikian juga dengan Jendral Sudirman, Panglima Besar
Angkatan Perang Republik Indonesia yang memimpin perang melawan Belanda juga
dari kota ini.
Bersama dengan perang
kemerdekaan itu pendidikan tinggi mulai dibangun. Pada tahun 1946 didirikan
Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada yang pada tahun 1949 menjadi Universitas
Gajah Mada. Di samping balai Perguruan
Tinggi Gajah Mada inilah, berdiri Sekolah Teknik Tinggi (STT) dan Sekolah
Tinggi Islam (STI), dan Akademi Ilmu Kepolisian. Kehidupan kampus dengan
dinamikanya mahasiswa mulai menggeliat yang mengantarkan Yogyakarta menjadi
kota pelajar.
Sebelum aku terlahir,
untuk kepentingan perjuangan mahasiswa terlahir terlebih dahulu berbagai
organisasi, terutama di awali dengan berdirinya Perserikatan Mahasiswa
Yogyakarta (PMY), yang kemudian disusul organisasi-organisasi mahasiswa lainya.
Aku lahir dari kisah
heroik seorang mahasiswa STI yang bernama Lafran Pane. Gelisah dengan
perkembangan keadaan, khususnya di kalangan pergerakan mahasiswa serta melihat
potensi mahasiswa Islam yang perlu diorganisasikan dengan baik, mahasiswa STI,
mengambil inisiatif untuk mendirikan organisasi mahasiswa Islam. Pada waktu
kuliah Tafsir oleh dosen Husain Yahya, Lafran Pane meminta ijin untuk
menggunakan tempat dan waktu kuliah tersebut dipakai rapat. Karenanya, setelah
mahasiswa STI duduk dan siap menerima kuliah, Lafran Pane tampil di depan ruang
kuliah dan dengan lantang menjelaskan bahwa kesempatan tersebut akan dipakai
untuk rapat mendirikan organisasi mahasiswa Islam. Aku masih tergiang akan
ucapan lantang Lafran Pane ketika itu. kira-kira seperti ini,
“Hari
ini adalah rapat pembentukan organisasi Islam, karena semua persiapan dan
perlengkapan sudah beres. Siapa yang mau menerima berdirinya organisasi
mahasiswa Islam ini, itu sajalah yang diajak, dan yang tidak setuju biarkanlah
mereka terus menentang.” Ucapan yang luar biasa dari
seorang yang luar biasa.
Maka, seketika itu pula
ruang kuliah STI menjadi gempar. Terjadi debat dan diskusi yang seru dan
dinamis, membahas gagasan tersebut. Lafran Pane mempertahankan gagasanya dengan
gigih dan arif, menjawab berbagai respon kawan-kawan mahasiswanya.
Alhamdulillah,
akhirnya semua mahasiswa setuju dengan suara bulat mendirikan organisasi
mahasiswa Islam dengan nama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Ya, panggil
aku HMI. Waktu itu menunjukkan hari Rabu Pon 1878 Tahun Saka atau tanggal 14
Rabiul Awal 1366 H bertepatan dengan 5 Pebruari 1947 M. Itulah hari sejarah
bagiku. Hari kelahiranku. Dan hari dimulainya perjuanganku.
Aku dibentuk bukan
hanya karena tidak cocok dengan PMY atau organisasi yang lain, melainkan jauh
dari itu karena adanya dorongan kepentingan yang luas sebagai respon atas
tuntutan perjuangan melawan penjajah Belanda, kesadaran yang mendalam atas
kedudukan dan peran mahasiswa sebagai kader bangsa yang dituntut
tanggungjawabnya secara nyata di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain juga
secara politis, perkembangan Komunisme mulai mengkhawatirkan, dan semakin
disadari hadirnya berbagai tantangan untuk mewujudkan masa depan Indonesia
sebagai bangsa yang berdaulat, adil dan makmur. Dalam pandangan para pendiriku,
bahwa bagaimanapun di dalam suasana perang, mahasiswa tidak boleh lengah
apalagi berhura-hura seperti gaya pergaulan di lingkungan PMY, melainkan harus
bangkit berjuang dengan tujuan mempertahankan negara Republik Indonesia dan
mempertinggi derajat rakyat Indonesia, menegakkan dan mengembangkan ajaran
agama Islam.
Bagiku tidak ada
dikotomi antara keislaman dan keindonesiaan. Suasana kebatinan inilah yang
kemudian menjadi karakterku, sebagai organisasi kader umat dan kader bangsa.
Sedangkan wawasan kemahasiswaan menunjukkanku adalah organisasi mahasiswa yang
berorientasi pada ilmu pengetahuan.
Ketika aku pertama
berdiri, jumlah anggotaku 16 orang. 15 di antaranya adalah para pendiriku yang
juga menjadi PB HMI pertama. Waktu pertama aku dibentuk, aku belum mempunyai cabang
dan komisariat, yang ada baru pengurus besar yang terbentuk pada tanggal 5
Februari 1947.
Aku masih ingat ketika
umurku 1 tahun, pada tanggal 6 Februari 1948 dilangsungkan di Pendopo Bangsal
Kepatihan. Hari itu hujan turun cukup deras. Aku masih ingat itu. walaupun
hujan turun, perhatian tetap cukup besar. Banyak yang datang waktu itu. Maha
Guru, Dosen-dosen, wakil-wakil organisasi Perguruan dan Pendidikan. Dari
kalangan tentara Pak Dirman tampak datang juga, tak ketinggalan pembesar sipil
pun juga datang.
Indonesia Raya, Io
Vivat terdengar mendahului pidato pembukaan. Saudara Achmad Tirtosudiro Wakil
Ketua HMI memaparkan riwayat berdirinya HMI, dan maksud pertemuan. Dan Ketua
dengan panjang lebar mengupas bentuk susunan masyarakat dan Negara Indonesia.
Sesudah sambutan-sambutan diberikan oleh Dr. Abu Hanifah, Ketua PPMI Sufaat dan
Pak Dirman, berbagai kesenian Indonesia dipertunjukkan dan akhirnya sebagai
penutup terdengar kembali nyanyian Io Vivat. Sari-sari pembicaraan antara lain
sebagai berikut : Perkembangan seni oleh pelajaran Islam diwajibkan, maka malam
kesenian ini dimaksudkan untuk menimbulkan hasrat kesenian di kalangan
Mahasiswa Islam dan mengejar cita-cita kesatuan dengan jalan kebudayaan yang
meliputi seluruh Nusantara.
Sementara itu dalam Pojok Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta
terbitan hari Sabtu tanggal 7 Februari 1948 Tahun II No. 99 Halaman 2,
sehubungan dengan pidato Pak Dirman pada peringatan Dies Natalis I menulis
sebagai berikut:
POJOK
HMI semalam merayakan
genap 1 tahun berdirinya. Di samping pertunjukan kesenian, ada lagi yang nyaman
rasanya, yaitu seni syair ala Pak Dirman.
“HMI” hendaknya benar-benar HMI, jangan sampai suka
menyendiri. Apa ada HMI yang tidak benar-benar HMI, kok Pak Dirman sampai
bersyair begitu. Mula-mula bikin hati trataban.
Tetapi interprestasi Pak Dirman jebul
lain dari tafsiran pada mahasiswa.
HMI satunya diartikan Himpunan Mahasiswa Islam, sedang
satunya lagi..... “HARAPAN MASYARAKAT
INDONESIA”. Lega rasanya.
Lho tentang jangan menyendiri? Apa lagi ini?
Masyarakat boleh bikin interprestasi dan terutama para
mahasiswa sendiri. Kenyataan pada malam itu HMI ada! Tapi hadir juga wakil
PPMI. Soalnya tinggal, apakah “I”, (ISLAM) perlu menyendiri di luar “I”
(INDONESIA). Saya yakin tidak. Oleh karena itu kita boleh bergembira. Hanya
saja kata Pak Dirman pula, “Bergembira jugalah senantiasa dalam bekerja dan
berjuang”.
Ya, itu kenangan manis
buatku. Dulu aku dipuja karena perjuangan dan pengabdianku. Dulu aku disanjung
karena keberanianku menumpas PKI. Dulu aku dibela karena konsistenanku dalam
perjuangan membela NKRI.
Memandang keberadaanku
pada ghalibnya, adalah organisasi perjuangan. Karena sejak awal aku tumbuh
sebagai suatu wadah pembinaan dan pengembangan kader umat Islam dan kader
bangsa Indonesia ini. selama perjalananku, aku memang tak pernah surut
menempatkan diriku menjadi organisasi mahasiswa, organisasi kader dan
organisasi perjuangan yang mampu tampil sebagai avent garde. Beberapa momentum dan peristiwa bersejarah kebangsaan
kita, terutama sampai Orde Baru ’66 menunjukkan, betapa organisasi perjuangan
itu. sehingga mau dibubarkan dan ditempatkan sebagai musuh pertama Partai
Komnunis Indonesia (PKI). Betapa berbahayanya aku waktu itu.
Dinamika yang tumbuh
dalam hidupku, kadang memberikan suatu pesona tersendiri, yang barang kali
jarang dan tak akan ditemui di organisasi-organisasi lain. Karenanya, setiap
kader yang lahir dari proses penempaan HMI, di manapun ia berada, boleh jadi
tak berkelebihan untuk dikatakan mampu berperan aktif, sebagai “pelopor” dan “bukan pengekor”.
Di Yogyakarta pada
tanggal 5 Februari 1967, kota kelahiranku, telah dilangsungkan resepsi
pembukaan Pekan Dies Natalis Nasional yang ke-20. Diusiaku yang ke-20 ini selain
pembesar-pembesar pemerintahan, seperti Pangdam VII Diponegoro dll, dengan
sendirinya datang menghadiri resepsi tersebut anggota-anggota Pengurus Besar
HMI dari Jakarta. Resepsi yang cukup meriah itu dilangsungkan di Pendopo
Kepatihan dengan bantuan sepenuhnya dari pihak pemerintahan daerah setempat.
Kemudian Pekan Dies Nasional yang berlangsung selama sebulan di seluruh tanah
air itu pada tanggal 5 Maret 1967 ditutup secara nasional pula di Jakarta
dengan menyelenggarakan apel akbar di lapangan Pancasila, dan kemudian
dilanjutkan dengan pawai yang diikuti beribu-ribu massa HMI Jakarta Raya,
Bandung, Bogor, Serang, Purwakarta, Krawang, Ciputat, Ciawi dll. Pawai yang
sangat meriah itu menggambarkan kebesaran umat Islam Indonesia, yaitu sebagian
dari bangsa Indonesia yang paling banyak merasakan penderitaan di bawah
kekuasaan sewenang-wenang, baik yang dilakukan bangsa asing maupun yang
dilakukan oleh sebagian dari bangsa sendiri yang dikepalai Soekarno.
Di abad ke-21 ini aku
dihadapkan pada perubahan yang cepat yang tidak pernah terjadi sebelunya,
bersifat multi-dimensi. Dan bahkan perubahan itu tidak terbayangkan sebelumnya.
Perubahan ini terjadi pula dalam sistem nilai termasuk pertimbangan moral yang
bersifat imperatif. Sebagai contoh kecil, baru satu dekade yang lalu anak-anak
muda kita jika mereka keluar malam hari akan pulang ke rumah menjelang tengah
malam, dan pada saat itu justru menjelang tengah malam mereka baru keluar
rumah.
Menghadapi perubahan
yang demikian itu sebagian masyarakat kita tampaknya telah mengalami
disorientasi sehingga kehilangan pegangan hidup. Menghadapi fenomena yang
ironis ini, kehidupan keagamaan dan spiritual dalam subtansinya yang hakiki
(tidak sekedar bersifat seremonial) mutlak perlu dimanifestasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Berbarengan dengan
perubahan lingkungan yang demikian ini, persaingan antar bangsa dalam skala
global semakin sengit dan perlombaan maraton ini akan berjalan dalam tingkat
yang semakin dahsyat. Agar supaya kita tidak tertinggal di belakang, kita
berlomba dengan waktu untuk mentrasformasikan masyarakat Indonesia kearah suatu
masyarakat knowledge and innovetive
society.
Misi kelahiranku, aku
yang lahir di tengah-tengah revolusi, tercermin dalam tujuan pendirianku itu
sendiri, yaitu: mempertahankan Negara Republik Indonesia, mengembangkan syiar
dan dakwah Islam, dan menciptakan insan akademisi.
Hari ini usiaku sudah
70 tahun. Usia yang sudah senja. Badanku sudah tua renta dan tenagaku sudah
rapuh. Aku terseok-seok oleh zaman. Bertambahnya usia bukan berarti aku paham
segalanya. Seperti tulisan Dee, Jembatan
Zaman.
“Pohon
besar tumbuh mendekati langit dan menjauhi tanah. Ia merasa telah melihat
segala dari ketinggiannya. Namun, masih ingatkah ia dengan sepetak tanah mungil
waktu masih kerdil dulu? Masih pahamkah ia akan semesta kecil ketika semut
serdadu bagaikan kereta raksasa dan setetes embun seolah bola kaca dari Surga,
tatkala ia tak peduli akan pola awan di langit dan tak kenal tiang listrik?
Waktu kecil dulu, kupu-kupu masih sering hinggap di pucuknya. Kini, burung
besar bahkan bersangkar di ketiaknya, kawanan kelelawar menggantungi buahnya.
Namun, jangan sekali-kali ia merendahkan kupu-kupu yang hanya menggeliat di
tapaknya, karena mendengar bahasanya pun ia tak mampu lagi.”
Begitu pula denganku.
Dulu aku adalah pelopor. Namun sekarang, terlihat jelas kalau aku hanya sebagai
pengekor. Memang seperti itulah dinamika kehidupan. Kader-kaderku terlalu asyik
dengan organisasi sampai-sampai tugas dan kewajibanya di kampus terbengkalai.
Hal ini yang saya sesalkan. Kalian diskusi masalah umat, bangsa, negara, dan
tentang kita, katamu. Tapi, kebutuhan rohanimu tidak terisi. Kau mengaku
bernafaskan Islam tapi mana buktinya? Kalian adalah mahasiswa “cerdas” dan
“elit”. Namun, tak menutup kemungkinan banyak kaderku yang telat dalam
kelulusan di universitas. Memperkaya universitas saja. Banyak kaderku yang
lulus kuliah terlambat, bahkan sampai di berhentikan karena masa aktifnya sudah
habis. Pandangan masyarakat pun sudah berbelok arah padaku, bahwa seakan-akan
aku hanya sebagai penghambat kelulusan mahasiswa.
Sudah disorientasi.
Adalah logis bahwa organisasi kader, aku harus menitik beratkan kepada
perkaderan. Dengan perkaderan yang efektif, Insya
Allah dari kalangan para kaderku, akan terwujud INSAN-INSAN CITA tersebut.
Dan perkaderan yang efektif itu hanyalah dapat tercapai jika dilaksanakan
secara sistematis dan konsisten, yang materinya benar-benar sesuai dengan dan dapat
membawa para kader kepada maksud yang akan dicapai.
Aku sudah tua
kader-kaderku tercinta. Sudah banyak hal yang aku pikul. Pundakku kini tak
sekuat dulu. Tantanganku semakin besar, cobaanku semakin kasar. Dalam Anggaran
Dasar (AD) BAB III Pasal 4 dan Pasal 5 seharusnya sudah jelas tertulis, tentang
tujuan dan usaha-usahaku. Pasal 4 tentang tujuan, kalian pasti sudah hafal
diluar kepala tentang itu, akan tetapi kadang-kadang kalian lupa bahwa Insan
Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam, bernafaskan Islam inilah
yang kalian lupakan.
Aku mohon pada
kader-kaderku yang aku cintai. Diumurku yang senja ini, buatlah aku tersenyum
sumringah. Aku ingin kaderku menjadi pribadi muslim yang akhlakul karimah, pribadi muslim yang mandiri, mampu mengembangkan
potensi kreatif, keilmuan, sosial dan budaya. Mempelopori pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi bagi kemaslahatan masa depan manusia, memajukan
kehidupan umat dalam mengamalkan Dienul
Islam dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berperan
aktif dalam dunia kemahasiswaan, perguruan tinggi dan kepemudaan untuk menopang
pembangunan nasional, dan ikut terlibat aktif dalam penyelesaiaan persoaalan
sosial kemasyarakatan dan kebangsaan.
Kader-kaderku yang aku
banggakan. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada umunya mengandung
nilai-nilai kemanusiaan. Dimana nilai kemanusiaan (moral) paling dijunjung
tinggi di samping nilai keagamaan, namun seiring berjalannya waktu dan situasi
kehidupan bangsa ini, nilai-nilai tersebut seakan telah dilupakan/terkikis oleh
perkembangan jaman. Kini masyarakat tidak lagi mempentingkan nilai-nilai
kemanusiaan dan keagamaan lagi karena lebih mementingkan kepentingan pribadi.
Aku takut kalau nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan lambat laun akan hanya
menjadi mitos belaka.
Kader-kaderku.
Pertegaslah Status dan Fungsi Organisasi sebagai dasar untuk mewujudkan apa
yang telah menjadi Tujuanku. Berpikir kritislah yang sejalan dengan moral.
Tingkatkanlah kembali nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Kalian harus menjadi
pusat unggulan dan bukan menjadi perhiasan di tengah meja (generasi penikmat),
kalian harus menjadi Trendsetter bukan menjadi Follower.
Tingkatkan LK I sd LK III, Up Grading, Trining, perkuat NDP, pegang otoritas
organisasi untuk menjaga keseimbangan kepemimpinan dan manajemen, akselerasi
jaringan organisasi dalam dan luar kampus, pemerintah dan NGO, aktif berperan
dalam organisasi kepemudaan, merawat idealisme kebangsaan dan politik, mengawal
demokrasi dan kebijakan pemerintah.
Berikanlah hadiah ulang
tahun yang terbaik. Aku tidak mau ini hanyakah seremoni semata. Ketika kalian
menyalakan lilin berdiri megah di atas kue ulang tahun yang mewah, kilau apinya
menerangi usia yang baru berganti. Namun, kalian lupa seusai disembur napas,
lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah. Hangat nyalanya sebatas sumbu dan
usailah sudah. Sederet doa tanpa api menghangatkanku di setiap kue hari, kalori
bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus. Lilin tanpa sumbu menyala dalam
jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap.
Diusiaku yang senja
ini, tetap panggil aku HMI. Jadilah Muslim Intelegensia. Ya, begitu
sudah........
Tuban,
06 Februari 2017
SUMBER RUJUAKAN
Buku, HMI Mengayuh di Antara Cita & Kritk
(editor: Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul)
Buku, HMI Candradimuka Mahasiswa (penyusun:
Solichin)
Buku, Filosofi Kopi (penulis: Dewi Lestari)
Makalah LK II Ciamis
2017, Sejarah Perjuangan HMI dan Kritik
Terhadap Peran HMI Dalam Bidang Pendidikan Serta Mewujudkan Pendidikan Moral
Pancasila Untuk Menjawab Tantangan Masa Depan (Jaswanto)
Hasil-hasil Kongres HMI
XXIX Pekanbaru, 22 November – 5 Desember 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar