Rabu, 08 Februari 2017

Usiaku Sudah Senja "Tetap Panggil Aku HMI"





Usiaku Sudah Senja “Tetap Panggil Aku HMI”
Oleh: Kang Aswan

Aku terlahir dari kota yang memiliki peran penting sebagai basis perlawanan mengahadapi tentara kolonial Belanda. Ketika Jakarta diduduki Belanda, maka ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Akibatnya, Kota Gudeg ini kemudian menjadi pusat pemerintahan. Presiden, Wakil Presiden dan hampir semua pimpinan negara berada di Yogyakarta. Demikian juga dengan Jendral Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia yang memimpin perang melawan Belanda juga dari kota ini.

Bersama dengan perang kemerdekaan itu pendidikan tinggi mulai dibangun. Pada tahun 1946 didirikan Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada yang pada tahun 1949 menjadi Universitas Gajah Mada. Di samping  balai Perguruan Tinggi Gajah Mada inilah, berdiri Sekolah Teknik Tinggi (STT) dan Sekolah Tinggi Islam (STI), dan Akademi Ilmu Kepolisian. Kehidupan kampus dengan dinamikanya mahasiswa mulai menggeliat yang mengantarkan Yogyakarta menjadi kota pelajar.
Sebelum aku terlahir, untuk kepentingan perjuangan mahasiswa terlahir terlebih dahulu berbagai organisasi, terutama di awali dengan berdirinya Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), yang kemudian disusul organisasi-organisasi mahasiswa lainya.

Aku lahir dari kisah heroik seorang mahasiswa STI yang bernama Lafran Pane. Gelisah dengan perkembangan keadaan, khususnya di kalangan pergerakan mahasiswa serta melihat potensi mahasiswa Islam yang perlu diorganisasikan dengan baik, mahasiswa STI, mengambil inisiatif untuk mendirikan organisasi mahasiswa Islam. Pada waktu kuliah Tafsir oleh dosen Husain Yahya, Lafran Pane meminta ijin untuk menggunakan tempat dan waktu kuliah tersebut dipakai rapat. Karenanya, setelah mahasiswa STI duduk dan siap menerima kuliah, Lafran Pane tampil di depan ruang kuliah dan dengan lantang menjelaskan bahwa kesempatan tersebut akan dipakai untuk rapat mendirikan organisasi mahasiswa Islam. Aku masih tergiang akan ucapan lantang Lafran Pane ketika itu. kira-kira seperti ini, 

“Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi Islam, karena semua persiapan dan perlengkapan sudah beres. Siapa yang mau menerima berdirinya organisasi mahasiswa Islam ini, itu sajalah yang diajak, dan yang tidak setuju biarkanlah mereka terus menentang.” Ucapan yang luar biasa dari seorang yang luar biasa. 

Maka, seketika itu pula ruang kuliah STI menjadi gempar. Terjadi debat dan diskusi yang seru dan dinamis, membahas gagasan tersebut. Lafran Pane mempertahankan gagasanya dengan gigih dan arif, menjawab berbagai respon kawan-kawan mahasiswanya.

Alhamdulillah, akhirnya semua mahasiswa setuju dengan suara bulat mendirikan organisasi mahasiswa Islam dengan nama Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI. Ya, panggil aku HMI. Waktu itu menunjukkan hari Rabu Pon 1878 Tahun Saka atau tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan dengan 5 Pebruari 1947 M. Itulah hari sejarah bagiku. Hari kelahiranku. Dan hari dimulainya perjuanganku.

Aku dibentuk bukan hanya karena tidak cocok dengan PMY atau organisasi yang lain, melainkan jauh dari itu karena adanya dorongan kepentingan yang luas sebagai respon atas tuntutan perjuangan melawan penjajah Belanda, kesadaran yang mendalam atas kedudukan dan peran mahasiswa sebagai kader bangsa yang dituntut tanggungjawabnya secara nyata di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain juga secara politis, perkembangan Komunisme mulai mengkhawatirkan, dan semakin disadari hadirnya berbagai tantangan untuk mewujudkan masa depan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, adil dan makmur. Dalam pandangan para pendiriku, bahwa bagaimanapun di dalam suasana perang, mahasiswa tidak boleh lengah apalagi berhura-hura seperti gaya pergaulan di lingkungan PMY, melainkan harus bangkit berjuang dengan tujuan mempertahankan negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.

Bagiku tidak ada dikotomi antara keislaman dan keindonesiaan. Suasana kebatinan inilah yang kemudian menjadi karakterku, sebagai organisasi kader umat dan kader bangsa. Sedangkan wawasan kemahasiswaan menunjukkanku adalah organisasi mahasiswa yang berorientasi pada ilmu pengetahuan.

Ketika aku pertama berdiri, jumlah anggotaku 16 orang. 15 di antaranya adalah para pendiriku yang juga menjadi PB HMI pertama. Waktu pertama aku dibentuk, aku belum mempunyai cabang dan komisariat, yang ada baru pengurus besar yang terbentuk pada tanggal 5 Februari 1947.
Aku masih ingat ketika umurku 1 tahun, pada tanggal 6 Februari 1948 dilangsungkan di Pendopo Bangsal Kepatihan. Hari itu hujan turun cukup deras. Aku masih ingat itu. walaupun hujan turun, perhatian tetap cukup besar. Banyak yang datang waktu itu. Maha Guru, Dosen-dosen, wakil-wakil organisasi Perguruan dan Pendidikan. Dari kalangan tentara Pak Dirman tampak datang juga, tak ketinggalan pembesar sipil pun juga datang.

Indonesia Raya, Io Vivat terdengar mendahului pidato pembukaan. Saudara Achmad Tirtosudiro Wakil Ketua HMI memaparkan riwayat berdirinya HMI, dan maksud pertemuan. Dan Ketua dengan panjang lebar mengupas bentuk susunan masyarakat dan Negara Indonesia. Sesudah sambutan-sambutan diberikan oleh Dr. Abu Hanifah, Ketua PPMI Sufaat dan Pak Dirman, berbagai kesenian Indonesia dipertunjukkan dan akhirnya sebagai penutup terdengar kembali nyanyian Io Vivat. Sari-sari pembicaraan antara lain sebagai berikut : Perkembangan seni oleh pelajaran Islam diwajibkan, maka malam kesenian ini dimaksudkan untuk menimbulkan hasrat kesenian di kalangan Mahasiswa Islam dan mengejar cita-cita kesatuan dengan jalan kebudayaan yang meliputi seluruh Nusantara.

Sementara itu dalam Pojok Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta terbitan hari Sabtu tanggal 7 Februari 1948 Tahun II No. 99 Halaman 2, sehubungan dengan pidato Pak Dirman pada peringatan Dies Natalis I menulis sebagai berikut:

POJOK
HMI semalam merayakan genap 1 tahun berdirinya. Di samping pertunjukan kesenian, ada lagi yang nyaman rasanya, yaitu seni syair ala Pak Dirman.
            “HMI” hendaknya benar-benar HMI, jangan sampai suka menyendiri. Apa ada HMI yang tidak benar-benar HMI, kok Pak Dirman sampai bersyair begitu. Mula-mula bikin hati trataban. Tetapi interprestasi Pak Dirman jebul lain dari tafsiran pada mahasiswa.
            HMI satunya diartikan Himpunan Mahasiswa Islam, sedang satunya lagi..... “HARAPAN MASYARAKAT INDONESIA”. Lega rasanya.
            Lho tentang jangan menyendiri? Apa lagi ini?
            Masyarakat boleh bikin interprestasi dan terutama para mahasiswa sendiri. Kenyataan pada malam itu HMI ada! Tapi hadir juga wakil PPMI. Soalnya tinggal, apakah “I”, (ISLAM) perlu menyendiri di luar “I” (INDONESIA). Saya yakin tidak. Oleh karena itu kita boleh bergembira. Hanya saja kata Pak Dirman pula, “Bergembira jugalah senantiasa dalam bekerja dan berjuang”.

Ya, itu kenangan manis buatku. Dulu aku dipuja karena perjuangan dan pengabdianku. Dulu aku disanjung karena keberanianku menumpas PKI. Dulu aku dibela karena konsistenanku dalam perjuangan membela NKRI. 

Memandang keberadaanku pada ghalibnya, adalah organisasi perjuangan. Karena sejak awal aku tumbuh sebagai suatu wadah pembinaan dan pengembangan kader umat Islam dan kader bangsa Indonesia ini. selama perjalananku, aku memang tak pernah surut menempatkan diriku menjadi organisasi mahasiswa, organisasi kader dan organisasi perjuangan yang mampu tampil sebagai avent garde. Beberapa momentum dan peristiwa bersejarah kebangsaan kita, terutama sampai Orde Baru ’66 menunjukkan, betapa organisasi perjuangan itu. sehingga mau dibubarkan dan ditempatkan sebagai musuh pertama Partai Komnunis Indonesia (PKI). Betapa berbahayanya aku waktu itu.

Dinamika yang tumbuh dalam hidupku, kadang memberikan suatu pesona tersendiri, yang barang kali jarang dan tak akan ditemui di organisasi-organisasi lain. Karenanya, setiap kader yang lahir dari proses penempaan HMI, di manapun ia berada, boleh jadi tak berkelebihan untuk dikatakan mampu berperan aktif, sebagai “pelopor” dan “bukan pengekor”.

Di Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1967, kota kelahiranku, telah dilangsungkan resepsi pembukaan Pekan Dies Natalis Nasional yang ke-20. Diusiaku yang ke-20 ini selain pembesar-pembesar pemerintahan, seperti Pangdam VII Diponegoro dll, dengan sendirinya datang menghadiri resepsi tersebut anggota-anggota Pengurus Besar HMI dari Jakarta. Resepsi yang cukup meriah itu dilangsungkan di Pendopo Kepatihan dengan bantuan sepenuhnya dari pihak pemerintahan daerah setempat. Kemudian Pekan Dies Nasional yang berlangsung selama sebulan di seluruh tanah air itu pada tanggal 5 Maret 1967 ditutup secara nasional pula di Jakarta dengan menyelenggarakan apel akbar di lapangan Pancasila, dan kemudian dilanjutkan dengan pawai yang diikuti beribu-ribu massa HMI Jakarta Raya, Bandung, Bogor, Serang, Purwakarta, Krawang, Ciputat, Ciawi dll. Pawai yang sangat meriah itu menggambarkan kebesaran umat Islam Indonesia, yaitu sebagian dari bangsa Indonesia yang paling banyak merasakan penderitaan di bawah kekuasaan sewenang-wenang, baik yang dilakukan bangsa asing maupun yang dilakukan oleh sebagian dari bangsa sendiri yang dikepalai Soekarno.

Di abad ke-21 ini aku dihadapkan pada perubahan yang cepat yang tidak pernah terjadi sebelunya, bersifat multi-dimensi. Dan bahkan perubahan itu tidak terbayangkan sebelumnya. Perubahan ini terjadi pula dalam sistem nilai termasuk pertimbangan moral yang bersifat imperatif. Sebagai contoh kecil, baru satu dekade yang lalu anak-anak muda kita jika mereka keluar malam hari akan pulang ke rumah menjelang tengah malam, dan pada saat itu justru menjelang tengah malam mereka baru keluar rumah.

Menghadapi perubahan yang demikian itu sebagian masyarakat kita tampaknya telah mengalami disorientasi sehingga kehilangan pegangan hidup. Menghadapi fenomena yang ironis ini, kehidupan keagamaan dan spiritual dalam subtansinya yang hakiki (tidak sekedar bersifat seremonial) mutlak perlu dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Berbarengan dengan perubahan lingkungan yang demikian ini, persaingan antar bangsa dalam skala global semakin sengit dan perlombaan maraton ini akan berjalan dalam tingkat yang semakin dahsyat. Agar supaya kita tidak tertinggal di belakang, kita berlomba dengan waktu untuk mentrasformasikan masyarakat Indonesia kearah suatu masyarakat knowledge and innovetive society.
Misi kelahiranku, aku yang lahir di tengah-tengah revolusi, tercermin dalam tujuan pendirianku itu sendiri, yaitu: mempertahankan Negara Republik Indonesia, mengembangkan syiar dan dakwah Islam, dan menciptakan insan akademisi.
Hari ini usiaku sudah 70 tahun. Usia yang sudah senja. Badanku sudah tua renta dan tenagaku sudah rapuh. Aku terseok-seok oleh zaman. Bertambahnya usia bukan berarti aku paham segalanya. Seperti tulisan Dee, Jembatan Zaman

“Pohon besar tumbuh mendekati langit dan menjauhi tanah. Ia merasa telah melihat segala dari ketinggiannya. Namun, masih ingatkah ia dengan sepetak tanah mungil waktu masih kerdil dulu? Masih pahamkah ia akan semesta kecil ketika semut serdadu bagaikan kereta raksasa dan setetes embun seolah bola kaca dari Surga, tatkala ia tak peduli akan pola awan di langit dan tak kenal tiang listrik? Waktu kecil dulu, kupu-kupu masih sering hinggap di pucuknya. Kini, burung besar bahkan bersangkar di ketiaknya, kawanan kelelawar menggantungi buahnya. Namun, jangan sekali-kali ia merendahkan kupu-kupu yang hanya menggeliat di tapaknya, karena mendengar bahasanya pun ia tak mampu lagi.”

Begitu pula denganku. Dulu aku adalah pelopor. Namun sekarang, terlihat jelas kalau aku hanya sebagai pengekor. Memang seperti itulah dinamika kehidupan. Kader-kaderku terlalu asyik dengan organisasi sampai-sampai tugas dan kewajibanya di kampus terbengkalai. Hal ini yang saya sesalkan. Kalian diskusi masalah umat, bangsa, negara, dan tentang kita, katamu. Tapi, kebutuhan rohanimu tidak terisi. Kau mengaku bernafaskan Islam tapi mana buktinya? Kalian adalah mahasiswa “cerdas” dan “elit”. Namun, tak menutup kemungkinan banyak kaderku yang telat dalam kelulusan di universitas. Memperkaya universitas saja. Banyak kaderku yang lulus kuliah terlambat, bahkan sampai di berhentikan karena masa aktifnya sudah habis. Pandangan masyarakat pun sudah berbelok arah padaku, bahwa seakan-akan aku hanya sebagai penghambat kelulusan mahasiswa.

Sudah disorientasi. Adalah logis bahwa organisasi kader, aku harus menitik beratkan kepada perkaderan. Dengan perkaderan yang efektif, Insya Allah dari kalangan para kaderku, akan terwujud INSAN-INSAN CITA tersebut. Dan perkaderan yang efektif itu hanyalah dapat tercapai jika dilaksanakan secara sistematis dan konsisten, yang materinya benar-benar sesuai dengan dan dapat membawa para kader kepada maksud yang akan dicapai.

Aku sudah tua kader-kaderku tercinta. Sudah banyak hal yang aku pikul. Pundakku kini tak sekuat dulu. Tantanganku semakin besar, cobaanku semakin kasar. Dalam Anggaran Dasar (AD) BAB III Pasal 4 dan Pasal 5 seharusnya sudah jelas tertulis, tentang tujuan dan usaha-usahaku. Pasal 4 tentang tujuan, kalian pasti sudah hafal diluar kepala tentang itu, akan tetapi kadang-kadang kalian lupa bahwa Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam, bernafaskan Islam inilah yang kalian lupakan.

Aku mohon pada kader-kaderku yang aku cintai. Diumurku yang senja ini, buatlah aku tersenyum sumringah. Aku ingin kaderku menjadi pribadi muslim yang akhlakul karimah, pribadi muslim yang mandiri, mampu mengembangkan potensi kreatif, keilmuan, sosial dan budaya. Mempelopori pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemaslahatan masa depan manusia, memajukan kehidupan umat dalam mengamalkan Dienul Islam dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berperan aktif dalam dunia kemahasiswaan, perguruan tinggi dan kepemudaan untuk menopang pembangunan nasional, dan ikut terlibat aktif dalam penyelesaiaan persoaalan sosial kemasyarakatan dan kebangsaan.

Kader-kaderku yang aku banggakan. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada umunya mengandung nilai-nilai kemanusiaan. Dimana nilai kemanusiaan (moral) paling dijunjung tinggi di samping nilai keagamaan, namun seiring berjalannya waktu dan situasi kehidupan bangsa ini, nilai-nilai tersebut seakan telah dilupakan/terkikis oleh perkembangan jaman. Kini masyarakat tidak lagi mempentingkan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan lagi karena lebih mementingkan kepentingan pribadi. Aku takut kalau nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan lambat laun akan hanya menjadi mitos belaka.

Kader-kaderku. Pertegaslah Status dan Fungsi Organisasi sebagai dasar untuk mewujudkan apa yang telah menjadi Tujuanku. Berpikir kritislah yang sejalan dengan moral. Tingkatkanlah kembali nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Kalian harus menjadi pusat unggulan dan bukan menjadi perhiasan di tengah meja (generasi penikmat), kalian harus menjadi Trendsetter bukan menjadi Follower. Tingkatkan LK I sd LK III, Up Grading, Trining, perkuat NDP, pegang otoritas organisasi untuk menjaga keseimbangan kepemimpinan dan manajemen, akselerasi jaringan organisasi dalam dan luar kampus, pemerintah dan NGO, aktif berperan dalam organisasi kepemudaan, merawat idealisme kebangsaan dan politik, mengawal demokrasi dan kebijakan pemerintah.

Berikanlah hadiah ulang tahun yang terbaik. Aku tidak mau ini hanyakah seremoni semata. Ketika kalian menyalakan lilin berdiri megah di atas kue ulang tahun yang mewah, kilau apinya menerangi usia yang baru berganti. Namun, kalian lupa seusai disembur napas, lilin tersungkur mati di dasar tempat sampah. Hangat nyalanya sebatas sumbu dan usailah sudah. Sederet doa tanpa api menghangatkanku di setiap kue hari, kalori bagi kekuatan hati yang tak habis dicerna usus. Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dalam gelap.
Diusiaku yang senja ini, tetap panggil aku HMI. Jadilah Muslim Intelegensia. Ya, begitu sudah........

Tuban, 06 Februari 2017

SUMBER RUJUAKAN
Buku, HMI Mengayuh di Antara Cita & Kritk (editor: Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul)
Buku, HMI Candradimuka Mahasiswa (penyusun: Solichin)
Buku, Filosofi Kopi (penulis: Dewi Lestari)
Makalah LK II Ciamis 2017, Sejarah Perjuangan HMI dan Kritik Terhadap Peran HMI Dalam Bidang Pendidikan Serta Mewujudkan Pendidikan Moral Pancasila Untuk Menjawab Tantangan Masa Depan (Jaswanto)
Hasil-hasil Kongres HMI XXIX Pekanbaru, 22 November – 5 Desember 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar