Minggu, 18 Desember 2016

Cerpen: Lahirnya Cahaya Dari Timur






Menjelang subuh, aku terbangun. aku tersentak kaget. Ya Allah ampunilah hamba yang hina ini, ucapku dalam hati. Lalu aku bangkit, wudhu, dan sholat subuh. Sepertinya Wahyudi, Nur, Ahmad, Rio dan Ali subuh berjama’ah lalu mereka membaca Al-Qur’an. Selesai sholat aku membaur dengan mereka.

“Kenapa kalian tidak membangunkanku untuk sholat berjama’ah?” tanyaku.
“Maaf Mas, kami melihat Mas Amir sangat kelelahan. Jadi..” belum selesai Nur bicara, ada seorang gadis berdiri di luar gerbang. Gadis yang tak asing. Dia tersenyum, Wahyudi menyambut, “e Mbak Alisha, mari Mbak masuk!” seraya membukakan pintu gerbang. Alisha tersenyum, “terimakasih.”

“Kak Amir!”

Aku tersenyum dan mengangguk. Ku tatap mata yang teduh itu. Rasa iba aku rasakan. Seandainya Alisha itu seiman denganku, maka tanpa ragu aku untuk mengiyakan perasaan itu. Pastinya senyuman itu hanyalah pura-pura saja. Hati dan pikirannya pasti sedang remuk bagaikan dirajam. Dia memberikan sebuah bungkusan padaku.

“Ini Kak, tadi orangtua aku kesini. Ini oleh-oleh dari Negara,” ujar Alisha seraya menyodorkan dua bungkus Ayam Betutu. Betutu merupakan makanan khas Bali yang paling terkenal yang terbuat dari ayam atau bebek yang utuh, yang semua usus (organ dalam) dikeluarkan. Perut ayam kosong kemudian diisi bumbu, kemudian dipanggang dalam api sekam.

“Kak Amir, ayo kita sambung lagi pembicaraan kita kemarin, kali ini Alisha mau nanya tentang Nabi Muhammad. Siapa si Nabi Muhammad itu?” ucapnya dengan penuh semangat.

Aku takjub dengan Alisha. Disaat anak muda yang jelas-jelas muslim tidak peduli siapa itu Nabi Muhammad, kapan beliau lahir, dan kisah hidup beliau. Namun, Alisha lain dari yang lain. Ia gadis Hindustan tapi fanatik sekali dengan Islam. Benar-benar gadis yang misterius.
           
Aku tersenyum, “baiklah, aku akan mencoba sedikit mengisahkan kisah hidup Nabi Muhammad,” aku memulai, “pada waktu itu umat manusia dalam kegelapan dan kehilangan pegangan hidupnya. Lahirlah seorang bayi dari keluarga sederhana di Kota Makkah. Seorang bayi yang kelak membawa perubahan besar bagi sejarah peradaban dunia. Bayi itu yatim, bapaknya yang bernama Abdullah meninggal kurang lebih 7 bulan sebelum beliau lahir. Kehadiran bayi itu disambut oleh kakeknya Abdul Muhthalib dengan penuh kasih sayang dan kemudian bayi itu dibawanya ke kaki Ka’bah. Di tempat suci itu lah bayi itu diberi nama Muhammad suatu nama yang belum pernah ada sebelumnya. Menurut penanggalan para ahli, kelahiran Nabi Muhammad itu pada tanggal 12 Rabiulawal Tahun Gajah atau tanggal 20 April tahun 571 M,” jelasku dengan menyeka air mata. Sebenarnya aku tak sanggup menceritakan kelahiran Rasulullah.

“Kasihan sekali Muhammad kecil. Kenapa disebut tahun Gajah? lalu bagaimana ibunya berjuang mengurusnya tanpa seorang ayah?” tanya Alisha terharu.

Aku melanjutkan, “pada tahun Nabi lahir, memang orang Arab menyebutnya dengan Tahun Gajah. Karena pada tahun itu, kota Makkah diserang oleh suatu pasukan tentara orang Nasrani atau Kristen yang kuat di bawah pimpinan Abrahah, gubernur dari Kerajaan Nasrani Abessinia, yang memerintah di Yaman, dan mereka bermaksud menghancurkan Ka’bah. Pada waktu itu Abrahah berkendaraan Gajah. Namun, Allah melindungi Ka’bah dengan mengirimkan burung Ababil yang membawa batu-batu dari neraka dan dijatuhkan ke pasukan Abrahah. Tahun Gajah itu sebutan karena pada saat perang pasukan Abrahah menunggangi Gajah,” jelasku.
           
“Kesedihan Nabi bukan hanya sampai pada Ayahnya meninggal,” tambahku.
“Lalu?” tanya Alisha penasaran.
           
Aku menarik nafas. Mengatur emosi supaya air mataku tak mengalir, “sesudah berusia lima tahun, Muhammad diantarkannya ke Makkah setelah dititipkan kepada wanita badiyah (dusun padang pasir). Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab terutama pada orang-orang yang tergolong bangsawan. Menyusukan dan menitipakan bayi-bayi mereka. Agar dapat menghirup hawa yang bersih, terhindar dari penyakit-penyaikit kota dan supaya bayi-bayi itu dapat berbicara dengan bahasa yang murni dan fasih. Demikian halnya Nabi Muhammad. Beliau diserahkan oleh ibunya kepada seorang perempuan yang baik. Halimah Sa’diyah dari Bani Sa’ad kabilah Hawazin. Di perkampungan Bani Sa’ad inilah Nabi Muhammad diasuh dan dibesarkan sampai berusia lima tahun. Sesudah lima tahun, Muhammad diantarkannya kembali ke Makkah kepada ibundanya. Ibunda Siti Aminah. Setahun kemudian, kira-kira beliau berusia enam tahun, beliau dibawa ibunya ke Madinah, bersama-sama dengan Ummu Aiman, sahaya peninggalan ayahnya,”

Alisha memotong ceritaku, “sahaya itu apa?”
Aku menjawab, “sahaya itu pembantu atau orang Arab menyebutnya dengan budak.”
Ia menganggukkan kepala, “apa yang terjadi ketika Muhammad kecil ke Madinah?”
           
Anak-anak menghampiri kami yang sedang berbincang-bincang. Aku menggeser posisi dukukku. Begitu juga dengan Alisha.
           
Lalu aku meneruskan cerita, “maksud Nabi Muhammad dibawa ke Madinah tak lain adalah untuk memperkenalkan ia kepada keluarga Neneknya Bani Najjar dan untuk menziarahi makam Ayahnya. Mereka tinggal di Madinah kira-kira satu bulan. Dalam perjalanan mereka pulang..,” belum aku menerusan, air mataku kembali mengalir.
Nur bertanya, “kenapa Mas?” aku menyeka air mata. Menarik nafas dalam-dalam mengatur emosi, “dalam perjalanan mereka pulang, pada suatu tempat, Abwa’ namanya, tiba-tiba Siti Aminah jatuh sakit,” Alisha menyahut, “Ibunya Muhammad?” aku meneruskan, “ya, Ibunda Siti Aminah jatuh sakit sehingga meninggal dan dimakamkan di situ juga,” aku terisak tangis. Anak sekecil itu sudah ditinggal ayah dan ibundanya.
           
Alisha juga meneteskan air mata, “sungguh cobaan yang besar bagi seorang hamba yang dikasihi.”
“Apa itu Abwa’ Mas?” tanya Wahyudi.
“Abwa’ ialah nama sebuah desa yang terletak antara Madinah dan Juhfah, kira-kira sejauh 23 mil di sebelah Selatan Kota Madinah.”
“Lalu setelah ibundanya meninggal, Muhammad hidup dengan siapa?” tanya Alisha.
“Allah memiliki sekenario yang tidak manusia ketahui. Abdul Muthalib. Beliau adalah kakek Muhammad. Kasih sayang kakeknya telah membuat Muhammad Saw dapat hiburan dan dapat melupakan kemalangan nasib karena kematian ibunya. Akan tetapi..” air mata kembali mengalir. Membasahi pipiku. Semua paham. Aku paling tidak bisa menceritakan kisa Rasul dengan segala musibah yang menimpanya. Kisah yang penuh suka duka.
“Akan tetapi apa Kak?” desak Alisha.
“Teruskan Nur! aku tidak bisa,” bukan aku cengeng. Namun, siapa yang tidak meneteskan air mata. Ketika  melihat anak kecil yang lahir dalam keadaan yatim. Belum sempat dewasa sudah piatu. Rasa cinta yang membuatku menangis ketika bercerita akan kisah Beliau.

Nur melanjutkan cerita, “dua tahun Muhammad merasa terhibur di bawah asuhan kakeknya, orangtua yang baik hati itu meninggal pula. Dalam usia delapan puluh tahun. Muhammad Saw ketika itu baru berusia delapan tahun. Lalu, sesuai dengan wasiat Abdul Muthalib, maka Nabi Muhammad Saw diasuh oleh paman beliau Abu Thalib bin Abdul Muthalib.”

Alisha memejamkan mata. Mengontrol emosi menahan air matanya. Begitu juga denganku, “sepertinya tidaklah mungkin menyajikan Kisah Nabi Muhammad secara lengkap dengan hanya satu hari atau bahkan hanya beberapa jam,” ucap Alisha.
“Ya, benar sekali. Kalau memang kamu ingin mengetahui hikayat Nabi Muhammad, kamu bisa baca buku Hayat Muhammad oleh Husain Haikal. Atau buku biografi Muhammad yang lain,” saranku.
Ia mengangguk, “bagaimana akhir dari perjalanan Muhammad?”
           
Mataku terperajat. Kaget. Aku paham dengan kata akhir perjalanan. Pasti yang dimaksud Alisha ialah wafatnya Rasul.
           
“Bagaimana Kak? Dan apa yang beliau wariskan kepada umatnya yang begitu banyak?” ia semakin mendesakku untuk bercerita. Bercerita tentang wafatnya Rasul adalah hal yang sangat menyakitkan. Aku yakin seluruh umat Islam pada waktu itu tidak menginginkan beliau wafat.
“Baiklah, akan aku ceritakan. Pada tanggal 2 Zulqaedah tahun 10 H, Rasulullah meninggalkan Madinah menuju Makkah dengan 100.000 orang untuk mengerjakan ibadah haji. Setelah selesai mengerjakan ibadah haji Nabi kembali ke Madinah. Nabi menderita demam beberapa hari, sehingga tak dapat mengimami shalat jama’ah, maka disuruhlah Abu Bakar menggantikan Beliau menjadi imam. Pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriyah bertepatan dengan 9 Juni 632 Masehi. Nabi kembali ke hadirat Allah dalam usia 63 tahun,” ceritaku tersendu-sendu. Dadaku merasa sakit. Air mata deras mengalir. Inna lillahi wainna ilaihi raaji’un, ucapku dalam hati.
“Lalu bagaimana dengan umatnya?”
“Dua puluh tiga tahun lamanya, sejak beliau diangkat menjadi Rasul Allah, berjuang tak mengenal lelah dan derita untuk menegakkan agama Islam. Nabi Muhammad telah wafat, telah meninggalkan umatnya, tak ada harta benda yang berarti yang akan diwariskan kepada anak dan isterinya, tetapi beliau meninggalkan dua buah pusaka yang diwariskannya kepada seluruh umatnya. Beliau bersabda:
“Kutinggalkan untuk kamu dua perkara (pusaka), taklah kamu akan tersesat selama-lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah RasulNya.” Begitulah kira-kira wasiat beliau.”
“Apa itu Kitabullah dan Sunnah RasulNya?”
Kitabullah dan Sunnah RasulNya adalah pegangan umat Islam dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Sulit menjelaskan karena keduanya itu adalah pusaka yang paling berharga. Namun, secara gampang Kitabullah itu kitab Allah. Al-Qur’an. Sedang Sunnah itu ialah segala ucapan, perbuatan dan tindakan Rasul. Begitu kira-kira secara gampang dipahami.”
           
Dia menatapku dengan mata yang teduh. Ada harapan besar disana. Namun, tatapannya seperti menghilang ketika ada suara lembut memanggilku.

“Mas Amir, Mas Amir. Bangun Mas!”

Aku terbangun... dan ternyata semuanya hanyalah mimpi.
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar