Senin, 05 Desember 2016

Cerpen: Gadis Kecil Dan Negeri Domba





Oleh: Kang Aswan

 Bruno , anjingnya, menguasai teduhan yang tak seberapa luas  di bawah bayangan gubuk itu. Ia mengangkat kepala sedikit menyapa Gadis Kecil, tapi hanya sebentar. Udara terlalu panas untuk melakukan hal itu.
Jalanan dan dinding-dinding itu semuanya terbuat dari kardus bekas. Lalat berhinggapan di wajah, tangan, dan pergelangan kaki. Di dekat Gadis Kecil, sebuah buldoser meraung-raung sampai terguncang-guncang menggusur bukit sampah.
“Ingat tidak waktu kita di padang rumput, jauh di atas pegunungan sana?” Gadis Kecil bertanya pada Bruno. “Ingat tidak betapa dingin dan bersihnya udara di sana? Bagaimana kita Cuma mendengar kicauan burung, suara lembu, suara domba-domba, bukan suara erangan mesih?” Ia memetulkan letak rambut yang sekarang tegah menempel lengket di leher. “Mungkin seharusnya aku tetap memendekkan rambutku.” 
“Memang tidak adil buatmu berada di tempat sepanas ini,” ia memberitahu Bruno. “Kau anjing penggembala. Harusnya kau ada di pegunungan dengan domba-domba atau, lebih baik lagi.”
“Maafkan aku Bruno, karena sudah membawamu ke sini. Awalnya kupikir tempat ini akan menjadi batu loncatan, menuju tempat lain yang lebih baik, bukanya justru menjadi akhir yang menyedihkan. Kau mau memaafkanku, kan?”
Bruno membuka mata, mengangkat telinganya selama beberapa saat, lalu kembali tidur. Gadis Kecil menganggap itu persetujuan.
Bruno dulu milik para penggembala, tapi, segera setelah ia dan Gadis Kecil bertemu, mereka sadar mereka ditakdirkan untuk bersama.
Gadis Kecil bersandar dan menutup matanya.  Mungkin ia bisa mengingat-ingat rasanya tiuapan angin yang sejuk. Mungkin itu bisa menenangkannya.
“Gadis Kecil, ayo bercerita pada kami!”
Gadis Kecil terus memejamkan mata.
“Pergi sana.” Ia sedang tidak ingin menghibur anak-anak jalanan itu.
“Ceritakan serigala-serigala dan negeri domba itu.”
Ia membuka sesisih matanya, dan dengan itu menatap ke arah segerombolan anak kecil di hadapannya.
“Ku bilang pergi sana.” Seharusnya dari awal ia tidak bersikap ramah kepada mereka. Sekarang mereka tidak akan mau meninggalkannya.
“Kamu sedang apa?”
“Duduk.”
“Kami akan duduk di sini bersamamu.” Anak-anak itu menjatuhkan tubuh mereka ke tanah, tapi terlalu dekat, membuat ia merasa tidak nyaman di cuaca sepanas ini. Rata-rata rambut mereka habis dibotaki karena baru-baru ini perkampungan kumuh terserang wabah kutu. Kebanyakan dari mereka ingusan. Mereka semua juga bermata besar dan berpipi cekung. Tidak pernah tersedia cukup makanan di sini.
“Jangan merapat terus ke arahku,” ujarnya, mendorong seorang gadis yang juga kecil yang sebelumnya bersandar padanya. Anak-anak yatim-piatu itu sungguh sangat memprihatinkan hidupnya. “Kalian jauh lebih bau daripada domba.”
“Ayo ceritakan lagi tentang serigala-serigala dan negeri domba itu.”
“Satu cerita saja ya. Setelah itu kalian akan pergi?”
“Satu cerita.”
Layak dicoba, kalau mereka memang benar-benar bisa diusir dengan cara seperti itu. 
“Baiklah, aku akan ceritakan lagi tentang serigala.” Gadis Kecil menarik napas dalam-dalam dan memulai ceritanya.
“Ada sebuah negeri namanya ‘Negeri Domba’ yang sangat kaya raya alamnya. Lautnya bagaikan kolam susu. Hanya dengan kail dan jala saja cukup menghidupi. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Uranium, emas, minyak bumi melimpah ruah. Sandang pangan makmur “Gemah Ripah Loh Jinawe”. Negeri itu bagaikan surga. Surga kecil yang jatuh ke bumi. Udara sangat sejuk. Tidak ada rakyat yang kelaparan seperti kalian.”
Gadis Kecil menatap sekelilingnya untuk membandingkan. Perkampungan itu terbuat dari kardus-kardus bekas dengan berbagai ukuran. Kebanyakan penduduk ini telah tinggal di situ sepanjang hidup mereka.
“Lihat gaun yang dikenakan wanita kaya itu. Di padang rumput negeri itu segalanya berwarna hijau seperti gaun itu.” Terlihat semburat hijau di balik mobil mewah yang menutupi gaun wanita kaya.
Anak-anak itu bergunam ‘ooh dan ‘aah’ dan mulai berceloteh tentang warna-warna. Gadis Kecil harus menenangkan mereka agar bisa menyelesaikan ceritanya. Mungkin setelah itu mereka mau meninggalkannya sendiri.
Ia membayangkan padang rumput itu, dan, untuk sesaat, ia merasa segala kebisingan, kotoran, dan bau tidak sedap perkampungan kumuh itu menghilang. “Domba-domba tengah duduk bersama pada suatu malam yang gelap. Ada juga yang sebagian tertidur. Domba yang tidak tidur duduk di sebelah api unggun kecil, mengamati percikan api yang membumbung ke atas seperti bintang-bintang.”
“Suasana negeri domba itu begitu sepi mencekam kala itu. Satu-satunya suara yang bisa terdengar adalah suara dengkuran para domba yang tertidur. Lalu, tiba-tiba, seekor serigala melolong!”
Gadis Kecil melolong seperti serigala. Beberapa anak terkesiap dan beberapa lainnya tertawa. Para pemulung di dekat mereka terhenti sesaat. 
“Lalu diikuti lolongan lainnya, dan lolongan lainnya! Terlihat segerombolan serigala dari dalam hutan, menunggu untuk menyergap domba-domba.”
“Domba-domba berdiri dan melihat serigala-serigala itu keluar perlahan-lahan dari pepohonan. Mereka hendak menjajah negeri domba, tapi mereka harus menghadapi domba-domba penjaga terlebih dulu. Domba menghitung, ada empat, lalu lima, lalu enam, tujuh, bahkan ribuan! Ribuan serigala sangat besar menuju ke arah domba-domba dengan ekor yang berdiri tegang, siap menyergap.”
“Domba-domba merunduk dan meraih batang-batang pohon yang sebagian terbakar api. Mereka menjulurkan barang itu ketika serigala-serigala itu melompat ke arah domba-domba. Mereka begitu kelaparan dan kuat. Tapi sayang, serigala-serigala itu begitu kuat. Senjata-senjata mereka lebih modern. Mereka membawa senapan, meriam dan geranat. Mereka juga naik mobil, kapal, dan pesawat tempur. Domba-domba hanya pasrah.”
“Serigala-serigala itu mulai menjajah negeri domba. Mulai menjadikan domba-domba menjadi budak di negerinya sendiri. Menindas, mengitimidasi, mendiskriminasi. Serigala-serigala itu mengeruk semua kekayaan negeri domba sampai terkuras habis. Beberapa domba melakukan perlawanan, akan tetapi hasilnya nihil juga. 300 tahun lebih serigala-serigala itu berkuasa di negeri domba. Selama itu juga, para serigala mmpu mengeksploitasi rempah-rempah dan hasil tambang negeri domba.”
“Domba-domba itu begitu bodoh sampai-sampai mereka tidak bisa menjaga diri mereka sendiri.”
“Lalu bagaimana nasib negeri domba itu sekarang?” tanya salah satu anak sambil menyeka ingusnya.
“Jangan menyela. Kalian mau mendengar cerita atau tidak?” ujar Gadis Kecil.
“Nasib negeri domba itu kini sudah merdeka dari jajahan serigala-serigala lapar dan kuat itu. Tetapi permasalahannya kini adalah ‘domba musuh domba’. Jadi, domba dengan domba saling musuhan merebutkan kekuasaan, nama baik, pengakuan, dan kekayaan. Domba yang kuat menindas domba yang lemah. Domba yang lemah melakukan perlawanan, ketika domba yang lemah berkuasa, lagi domba itu menindas domba yang lain. Negeri domba itu kini rusuh. Adidang adigung. Huru-hara politik antar domba berdampak pada ketentraman dan kenyamanan para domba terusik. Dengan bertengkarnya domba-domba, maka secara licik serigala-serigala yang lebih buas memanfaatkan hal itu untuk kembali menguasai negeri domba.”
“Cerita hari ini selesai. Sesuai kesepakatan, silahkan kalian pergi dari hadapanku!”
Anak-anak yatim-piatu itupun pergi.
Terdengar suara mesin buldoser dari belakang. Gadis Kecil terlompat ke luar jalan, dan sebuah buldoser besar menderum melewatinya dan meratakan gubuk-gubuk kardus itu. Asap kendaraan itu membuatnya terbatuk.
Bruno, anjingnya, menempel begitu dekat di kakinya. Terlalu dekat sampai-sampai ia kesulitan berjalan. Ia bisa merasakan anjing itu gemetar ketakutan.
“Tidak apa-apa, Bruno,” ujarnya, mengelus kepala Bruno, meski ia sendiri sama gemetarnya dengan anjing itu.

Singaraja, 06 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar