Oleh: Kang Aswan
Bruno , anjingnya, menguasai teduhan yang tak
seberapa luas di bawah bayangan gubuk
itu. Ia mengangkat kepala sedikit menyapa Gadis Kecil, tapi hanya sebentar.
Udara terlalu panas untuk melakukan hal itu.
Jalanan
dan dinding-dinding itu semuanya terbuat dari kardus bekas. Lalat berhinggapan
di wajah, tangan, dan pergelangan kaki. Di dekat Gadis Kecil, sebuah buldoser
meraung-raung sampai terguncang-guncang menggusur bukit sampah.
“Ingat
tidak waktu kita di padang rumput, jauh di atas pegunungan sana?” Gadis Kecil
bertanya pada Bruno. “Ingat tidak betapa dingin dan bersihnya udara di sana?
Bagaimana kita Cuma mendengar kicauan burung, suara lembu, suara domba-domba,
bukan suara erangan mesih?” Ia memetulkan letak rambut yang sekarang tegah
menempel lengket di leher. “Mungkin seharusnya aku tetap memendekkan rambutku.”
“Memang
tidak adil buatmu berada di tempat sepanas ini,” ia memberitahu Bruno. “Kau
anjing penggembala. Harusnya kau ada di pegunungan dengan domba-domba atau,
lebih baik lagi.”
“Maafkan
aku Bruno, karena sudah membawamu ke sini. Awalnya kupikir tempat ini akan
menjadi batu loncatan, menuju tempat lain yang lebih baik, bukanya justru
menjadi akhir yang menyedihkan. Kau mau memaafkanku, kan?”
Bruno
membuka mata, mengangkat telinganya selama beberapa saat, lalu kembali tidur.
Gadis Kecil menganggap itu persetujuan.
Bruno
dulu milik para penggembala, tapi, segera setelah ia dan Gadis Kecil bertemu,
mereka sadar mereka ditakdirkan untuk bersama.
Gadis
Kecil bersandar dan menutup matanya.
Mungkin ia bisa mengingat-ingat rasanya tiuapan angin yang sejuk. Mungkin
itu bisa menenangkannya.
“Gadis
Kecil, ayo bercerita pada kami!”
Gadis
Kecil terus memejamkan mata.
“Pergi
sana.” Ia sedang tidak ingin menghibur anak-anak jalanan itu.
“Ceritakan
serigala-serigala dan negeri domba itu.”
Ia
membuka sesisih matanya, dan dengan itu menatap ke arah segerombolan anak kecil
di hadapannya.
“Ku
bilang pergi sana.” Seharusnya dari awal ia tidak bersikap ramah kepada mereka.
Sekarang mereka tidak akan mau meninggalkannya.
“Kamu
sedang apa?”
“Duduk.”
“Kami
akan duduk di sini bersamamu.” Anak-anak itu menjatuhkan tubuh mereka ke tanah,
tapi terlalu dekat, membuat ia merasa tidak nyaman di cuaca sepanas ini.
Rata-rata rambut mereka habis dibotaki karena baru-baru ini perkampungan kumuh
terserang wabah kutu. Kebanyakan dari mereka ingusan. Mereka semua juga bermata
besar dan berpipi cekung. Tidak pernah tersedia cukup makanan di sini.
“Jangan
merapat terus ke arahku,” ujarnya, mendorong seorang gadis yang juga kecil yang
sebelumnya bersandar padanya. Anak-anak yatim-piatu itu sungguh sangat
memprihatinkan hidupnya. “Kalian jauh lebih bau daripada domba.”
“Ayo
ceritakan lagi tentang serigala-serigala dan negeri domba itu.”
“Satu
cerita saja ya. Setelah itu kalian akan pergi?”
“Satu
cerita.”
Layak
dicoba, kalau mereka memang benar-benar bisa diusir dengan cara seperti itu.
“Baiklah,
aku akan ceritakan lagi tentang serigala.” Gadis Kecil menarik napas
dalam-dalam dan memulai ceritanya.
“Ada
sebuah negeri namanya ‘Negeri Domba’ yang sangat kaya raya alamnya. Lautnya
bagaikan kolam susu. Hanya dengan kail dan jala saja cukup menghidupi. Tongkat
kayu dan batu jadi tanaman. Uranium, emas, minyak bumi melimpah ruah. Sandang
pangan makmur “Gemah Ripah Loh Jinawe”.
Negeri itu bagaikan surga. Surga kecil yang jatuh ke bumi. Udara sangat sejuk.
Tidak ada rakyat yang kelaparan seperti kalian.”
Gadis
Kecil menatap sekelilingnya untuk membandingkan. Perkampungan itu terbuat dari
kardus-kardus bekas dengan berbagai ukuran. Kebanyakan penduduk ini telah
tinggal di situ sepanjang hidup mereka.
“Lihat
gaun yang dikenakan wanita kaya itu. Di padang rumput negeri itu segalanya
berwarna hijau seperti gaun itu.” Terlihat semburat hijau di balik mobil mewah
yang menutupi gaun wanita kaya.
Anak-anak
itu bergunam ‘ooh dan ‘aah’ dan mulai berceloteh tentang warna-warna. Gadis
Kecil harus menenangkan mereka agar bisa menyelesaikan ceritanya. Mungkin
setelah itu mereka mau meninggalkannya sendiri.
Ia
membayangkan padang rumput itu, dan, untuk sesaat, ia
merasa segala kebisingan, kotoran, dan bau tidak sedap perkampungan kumuh itu
menghilang. “Domba-domba tengah duduk bersama pada suatu malam yang gelap. Ada
juga yang sebagian tertidur. Domba yang tidak tidur duduk di sebelah api unggun
kecil, mengamati percikan api yang membumbung ke atas seperti bintang-bintang.”
“Suasana
negeri domba itu begitu sepi mencekam kala itu. Satu-satunya suara yang bisa
terdengar adalah suara dengkuran para domba yang tertidur. Lalu, tiba-tiba,
seekor serigala melolong!”
Gadis
Kecil melolong seperti serigala. Beberapa anak terkesiap dan beberapa lainnya
tertawa. Para pemulung di dekat mereka terhenti sesaat.
“Lalu
diikuti lolongan lainnya, dan lolongan lainnya! Terlihat segerombolan serigala dari
dalam hutan, menunggu untuk menyergap domba-domba.”
“Domba-domba
berdiri dan melihat serigala-serigala itu keluar perlahan-lahan dari pepohonan.
Mereka hendak menjajah negeri domba, tapi mereka harus menghadapi domba-domba
penjaga terlebih dulu. Domba menghitung, ada empat, lalu lima, lalu enam,
tujuh, bahkan ribuan! Ribuan serigala sangat besar menuju ke arah domba-domba
dengan ekor yang berdiri tegang, siap menyergap.”
“Domba-domba
merunduk dan meraih batang-batang pohon yang sebagian terbakar api. Mereka
menjulurkan barang itu ketika serigala-serigala itu melompat ke arah
domba-domba. Mereka begitu kelaparan dan kuat. Tapi sayang, serigala-serigala
itu begitu kuat. Senjata-senjata mereka lebih modern. Mereka membawa senapan,
meriam dan geranat. Mereka juga naik mobil, kapal, dan pesawat tempur.
Domba-domba hanya pasrah.”
“Serigala-serigala
itu mulai menjajah negeri domba. Mulai menjadikan domba-domba menjadi budak di
negerinya sendiri. Menindas, mengitimidasi, mendiskriminasi. Serigala-serigala
itu mengeruk semua kekayaan negeri domba sampai terkuras habis. Beberapa domba
melakukan perlawanan, akan tetapi hasilnya nihil juga. 300 tahun lebih
serigala-serigala itu berkuasa di negeri domba. Selama itu juga, para serigala
mmpu mengeksploitasi rempah-rempah dan hasil tambang negeri domba.”
“Domba-domba
itu begitu bodoh sampai-sampai mereka tidak bisa menjaga diri mereka sendiri.”
“Lalu
bagaimana nasib negeri domba itu sekarang?” tanya salah satu anak sambil
menyeka ingusnya.
“Jangan
menyela. Kalian mau mendengar cerita atau tidak?” ujar Gadis Kecil.
“Nasib
negeri domba itu kini sudah merdeka dari jajahan serigala-serigala lapar dan
kuat itu. Tetapi permasalahannya kini adalah ‘domba musuh domba’. Jadi, domba
dengan domba saling musuhan merebutkan kekuasaan, nama baik, pengakuan, dan
kekayaan. Domba yang kuat menindas domba yang lemah. Domba yang lemah melakukan
perlawanan, ketika domba yang lemah berkuasa, lagi domba itu menindas domba
yang lain. Negeri domba itu kini rusuh. Adidang
adigung. Huru-hara politik antar domba berdampak pada ketentraman dan
kenyamanan para domba terusik. Dengan bertengkarnya domba-domba, maka secara
licik serigala-serigala yang lebih buas memanfaatkan hal itu untuk kembali
menguasai negeri domba.”
“Cerita
hari ini selesai. Sesuai kesepakatan, silahkan kalian pergi dari hadapanku!”
Anak-anak
yatim-piatu itupun pergi.
Terdengar
suara mesin buldoser dari belakang. Gadis Kecil terlompat ke luar jalan, dan
sebuah buldoser besar menderum melewatinya dan meratakan gubuk-gubuk kardus
itu. Asap kendaraan itu membuatnya terbatuk.
Bruno,
anjingnya, menempel begitu dekat di kakinya. Terlalu dekat sampai-sampai ia kesulitan
berjalan. Ia bisa merasakan anjing itu gemetar ketakutan.
“Tidak
apa-apa, Bruno,” ujarnya, mengelus kepala Bruno, meski ia sendiri sama
gemetarnya dengan anjing itu.
Singaraja,
06 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar