Minggu, 18 Desember 2016

Cerpen : Ruangan Tak Berpintu




Ruangan Tak Berpintu

Dalam sebuah ruangan gelap, pengap aku terperangkap. Ruangan itu tak berpintu. Aku pandangi setiap sudut ruangan itu. Memang tak ada celah sedikit pun. Dinding-dinding itu tak memberikan secuil siluet pun untuk menerangi rungan itu.

Hatiku mulai bimbang. Kenapa aku sampai bisa terperangkap dalam ruangan ini?

Aku seperti orang yang kehilangan arah dalam kegelapan. Aku terlihat seperti orang baik yang bersembunyi dalam sebuah kemunafikan. Menuruti apa kata mereka telah menghilangkan sifat independesi dalam diriku. Ada rasa ingin memberontak, tapi rasa itu begitu mudahnya lenyap hanya dengan retorika kelas dewa.

Aku benar-benar terjebak dalam sebuah ruangan yang tak berpintu.

Dalam kegelapan terdengar bisingan suara yang tak begitu jelas.

“Kau telah berdoa. Kau telah berdosa dan Kau telah berdosa.”

Sekelebat bagaikan angin yang berhembus, suara itu menembus lubang telinga yang sudah mulai dungu oleh suara panggilan suci ini. Menggetarkan hati yang sudah penuh dengan lubang-lubang kemaksiatan. Memaksa mata untuk mengeluarkan air yang begitu deras.

Dalam ruangan itu aku begitu terombang-ambing. Seperti perahu kecil di tengah samudera yang hanya pasrah dipermainkan oleh angin. Mahluk-mahluk penggoda begitu girang membisikkan propaganda-propaganda agar aku lupa dengan Dzat Yang Maha Kuasa. Dan ternyata lewat mahluk penggoda yang bisa dilihat, bisa diraba, dan bisa dirasa. Mahluk penggoda materialistik. Telah berhasil menggoyahkan iman yang sudah sejak dalam buaian bersaksi.

Hanya gelap dan rasa gelisah yang ada dalam ruangan itu. Ruangan yang benar-benar tak berpintu.

Sedikit demi sedikit cahayaku mulai pudar. Air suci pun kian terasa begitu amat dingin untuk membasuh kulit yang terkena lumpur. Lidah sudah mulai berani untuk menutupi apa yang harus dibuka dan membuka apa yang seharusnya ditutupi.

Ruangan itu benar-benar tak berpintu. Gelap sekali. Aku berteriak. Tapi, teriakanku tertelan oleh kegelapan. Aku tak berdaya. Aku ketakutan. Aku menggigil. Aku ingin kembali. Tapi sia-sia. Lalu ada suara yang berkata,

“Siapa Tuhanmu?” aku tidak tahu mau menjawab apa. Aku bingung. Aku melihat kesetiap sudut ruangan itu tidak ada buku untuk referensi atas pertanyaan itu. Sepertinya aku mengenal dan aku juga pernah mendengar kata-kata “Tuhan”.

“Siapa Tuhanmu?” aku semakin bergetar hebat. Aku kembali berteriak ketakutan. Tapi, lagi-lagi tertelah oleh pekatnya gelap.

“Siapa Tuhanmu?”

Aku tidak berdaya. Aku benar-benar lupa siapa Tuhan? Dan apa Tuhan itu? Aku tidak mengerti, kenapa aku menjadi seperti ini? Aku ingin kembali mengenal Tuhan. Aku ingin mencariNya melewati jalanNya. Aku menyesal. Aku benar-benar menyesal. Aku ingin kembali. Tapi semua itu sia-sia.

Aku telah mati dan terperangkap dalam sebuah ruangan tak berpintu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar