Ruangan
Tak Berpintu
Dalam
sebuah ruangan gelap, pengap aku terperangkap. Ruangan itu tak berpintu. Aku
pandangi setiap sudut ruangan itu. Memang tak ada celah sedikit pun.
Dinding-dinding itu tak memberikan secuil siluet pun untuk menerangi rungan
itu.
Hatiku
mulai bimbang. Kenapa aku sampai bisa terperangkap dalam ruangan ini?
Aku
seperti orang yang kehilangan arah dalam kegelapan. Aku terlihat seperti orang
baik yang bersembunyi dalam sebuah kemunafikan. Menuruti apa kata mereka telah
menghilangkan sifat independesi dalam diriku. Ada rasa ingin memberontak, tapi
rasa itu begitu mudahnya lenyap hanya dengan retorika kelas dewa.
Aku
benar-benar terjebak dalam sebuah ruangan yang tak berpintu.
Dalam
kegelapan terdengar bisingan suara yang tak begitu jelas.
“Kau
telah berdoa. Kau telah berdosa dan Kau telah berdosa.”
Sekelebat
bagaikan angin yang berhembus, suara itu menembus lubang telinga yang sudah
mulai dungu oleh suara panggilan suci ini. Menggetarkan hati yang sudah penuh
dengan lubang-lubang kemaksiatan. Memaksa mata untuk mengeluarkan air yang
begitu deras.
Dalam
ruangan itu aku begitu terombang-ambing. Seperti perahu kecil di tengah
samudera yang hanya pasrah dipermainkan oleh angin. Mahluk-mahluk penggoda
begitu girang membisikkan propaganda-propaganda agar aku lupa dengan Dzat Yang
Maha Kuasa. Dan ternyata lewat mahluk penggoda yang bisa dilihat, bisa diraba,
dan bisa dirasa. Mahluk penggoda materialistik. Telah berhasil menggoyahkan
iman yang sudah sejak dalam buaian bersaksi.
Hanya
gelap dan rasa gelisah yang ada dalam ruangan itu. Ruangan yang benar-benar tak
berpintu.
Sedikit
demi sedikit cahayaku mulai pudar. Air suci pun kian terasa begitu amat dingin
untuk membasuh kulit yang terkena lumpur. Lidah sudah mulai berani untuk
menutupi apa yang harus dibuka dan membuka apa yang seharusnya ditutupi.
Ruangan
itu benar-benar tak berpintu. Gelap sekali. Aku berteriak. Tapi, teriakanku
tertelan oleh kegelapan. Aku tak berdaya. Aku ketakutan. Aku menggigil. Aku
ingin kembali. Tapi sia-sia. Lalu ada suara yang berkata,
“Siapa
Tuhanmu?” aku tidak tahu mau menjawab apa. Aku bingung. Aku melihat kesetiap
sudut ruangan itu tidak ada buku untuk referensi atas pertanyaan itu.
Sepertinya aku mengenal dan aku juga pernah mendengar kata-kata “Tuhan”.
“Siapa
Tuhanmu?” aku semakin bergetar hebat. Aku kembali berteriak ketakutan. Tapi,
lagi-lagi tertelah oleh pekatnya gelap.
“Siapa
Tuhanmu?”
Aku
tidak berdaya. Aku benar-benar lupa siapa Tuhan? Dan apa Tuhan itu? Aku tidak
mengerti, kenapa aku menjadi seperti ini? Aku ingin kembali mengenal Tuhan. Aku
ingin mencariNya melewati jalanNya. Aku menyesal. Aku benar-benar menyesal. Aku
ingin kembali. Tapi semua itu sia-sia.
Aku
telah mati dan terperangkap dalam sebuah ruangan tak berpintu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar