Panggil Saja Namanya Eneng
Oleh:
Kang Aswan
Singaraja,
salah satu kota besar di Bali. Barometer politik, pariwisata, pluralisme dan
toleransi. Setiap orang memiliki tujuan yang berbeda-beda ketika pergi ke
Singaraja. Ada yang berpolitik, berdagang, pariwisata, bisnis, dan kuliah.
Ratusan mil jauhnya dari Pulau Jawa, kota ini dihuni juga oleh orang-orang
Jawa. Faktanya, bahwa disetiap penjuru di Singaraja adalah penduduk Jawa.
Kota
ini mengajarkan saya untuk mandiri. Kota ini mengajarkan saya untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban saya. Singaraja telah menjadi guru bagi saya untuk memahami
kehidupan. Disini saya menemukan ber-Islam dalam kehidupan. Selain itu saya
juga menjadi memahami apa itu "makna dakwah?" Disini jugalah saya
tahu apa itu arti "toleransi?" Selain itu di Singaraja, saya
menemukan semangat kebersamaan yg luar biasa. Islam, Hindu, Budha, Katolik,
Protestan, dan Kong Hu Chu saling berpegang tangan
menjalin persatuan. Tetapi, tidak mengajarkan saya tentang cinta. Dimanakah
kesempatan itu?
Setiap saat saya mengamati kota dari
kejauhan. Saya merasa kedua orangtua sangat dekat. Kapanpun saya merindukan
mereka.
Nama saya Wan dan ini adalah kisah saya.
***
Dari
lantai tiga aku memandang. Sekelebat kerudung coklat muda sangat kontras dengan
putihnya kulit ciptaan Sang Maha Agung. Kacamata kotak itu pas menempel
diantara kedua mata bulatnya. Hidungnya mungil menggemaskan. Pipinya seperti
buah apel merah. Lembut mulus dan meneduhkan.
Dari
balik pilar-pilar aku memandang. Setiap gerakannya secara otomatis sudah
terpaten dalam kepalaku. Ia tertawa ringan. Bibir seperti magnolia itu tertarik
dengan pasrah memperlihatkan senyum dan tawa yang terbaik untuk menyambut
kawan-kawannya. Senyum itu begitu sistematis. Mungkin berbulan-bulan ia telah
melatih agar dapat tersenyum begitu indah.
Atau memang itu sudah secara otomatis menjadi keindahan yang unik dari
Yang Maha Kuasa. Entahlah. Yang jelas senyum itu begitu khas dan indah ketika
dipandang.
Panggil
saja namanya Eneng. Ya, begitu kira-kira salah satu kawannya memanggilnya.
“Neng...”
panggil kawannya sedikit berteriak.
Ia
hanya tersenyum dan melambaikan tangan.
Saya
terpana melihat senyum yang terlatih itu. Begitu mempesona. Begitu menyihir dan
begitu menghipnotis.
Pancaran
kulit putihnya membias ke dinding-dinding putih dan angrek-angrek dekat tangga
itu mulai menyapanya. Memamerkan bunganya yang berwarna-warni. Sepasang burung
gereja tak mau kalah. Mereka juga menyapanya dengan kocehan romantis yang
nyaring. Ia bergerak agak lari. Jilbab modern itu melambai tertiup angin.
Matanya memancarkan cinta dan romantisme. Penuh keceriaan.
Panggil
saja namanya Eneng.
Saya
masih terpaku di balik pilar-pilar itu. Memandang dengan penuh harap. Ya, hanya
harap saja tak lebih. Karena saya tahu, saya bukan siapa-siapa. Saya hanya
mahasiswa kampung yang tak punya apa-apa.
Eneng.
Begitulah kawannya memanggilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar