Jumat, 02 Desember 2016

Cerpen: Panggil Saja Namanya Eneng





Panggil Saja Namanya Eneng
Oleh: Kang Aswan

Singaraja, salah satu kota besar di Bali. Barometer politik, pariwisata, pluralisme dan toleransi. Setiap orang memiliki tujuan yang berbeda-beda ketika pergi ke Singaraja. Ada yang berpolitik, berdagang, pariwisata, bisnis, dan kuliah. Ratusan mil jauhnya dari Pulau Jawa, kota ini dihuni juga oleh orang-orang Jawa. Faktanya, bahwa disetiap penjuru di Singaraja adalah penduduk Jawa. 

Kota ini mengajarkan saya untuk mandiri. Kota ini mengajarkan saya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban saya. Singaraja telah menjadi guru bagi saya untuk memahami kehidupan. Disini saya menemukan ber-Islam dalam kehidupan. Selain itu saya juga menjadi memahami apa itu "makna dakwah?" Disini jugalah saya tahu apa itu arti "toleransi?" Selain itu di Singaraja, saya menemukan semangat kebersamaan yg luar biasa. Islam, Hindu, Budha, Katolik, Protestan, dan Kong Hu Chu saling berpegang tangan menjalin persatuan. Tetapi, tidak mengajarkan saya tentang cinta. Dimanakah kesempatan itu? 

Setiap saat saya mengamati kota dari kejauhan. Saya merasa kedua orangtua sangat dekat. Kapanpun saya merindukan mereka.
Nama saya Wan dan ini adalah kisah saya.
***
Dari lantai tiga aku memandang. Sekelebat kerudung coklat muda sangat kontras dengan putihnya kulit ciptaan Sang Maha Agung. Kacamata kotak itu pas menempel diantara kedua mata bulatnya. Hidungnya mungil menggemaskan. Pipinya seperti buah apel merah. Lembut mulus dan meneduhkan. 

Dari balik pilar-pilar aku memandang. Setiap gerakannya secara otomatis sudah terpaten dalam kepalaku. Ia tertawa ringan. Bibir seperti magnolia itu tertarik dengan pasrah memperlihatkan senyum dan tawa yang terbaik untuk menyambut kawan-kawannya. Senyum itu begitu sistematis. Mungkin berbulan-bulan ia telah melatih agar dapat tersenyum begitu indah.  Atau memang itu sudah secara otomatis menjadi keindahan yang unik dari Yang Maha Kuasa. Entahlah. Yang jelas senyum itu begitu khas dan indah ketika dipandang.

Panggil saja namanya Eneng. Ya, begitu kira-kira salah satu kawannya memanggilnya.

“Neng...” panggil kawannya sedikit berteriak.

Ia hanya tersenyum dan melambaikan tangan.

Saya terpana melihat senyum yang terlatih itu. Begitu mempesona. Begitu menyihir dan begitu menghipnotis.

Pancaran kulit putihnya membias ke dinding-dinding putih dan angrek-angrek dekat tangga itu mulai menyapanya. Memamerkan bunganya yang berwarna-warni. Sepasang burung gereja tak mau kalah. Mereka juga menyapanya dengan kocehan romantis yang nyaring. Ia bergerak agak lari. Jilbab modern itu melambai tertiup angin. Matanya memancarkan cinta dan romantisme. Penuh keceriaan.
Panggil saja namanya Eneng.

Saya masih terpaku di balik pilar-pilar itu. Memandang dengan penuh harap. Ya, hanya harap saja tak lebih. Karena saya tahu, saya bukan siapa-siapa. Saya hanya mahasiswa kampung yang tak punya apa-apa.

Eneng. Begitulah kawannya memanggilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar