Oleh:
Kang Aswan
Ia
terbangun dari tidurnya ketika siluet itu membelainya dari celah-celah mega
yang mulai jingga. Ia tertidur sendari tadi. Tidur di bawah pohon bambu yang
bernasib sangat mengenaskan. Bahkan daunnya pun enggan untuk menghiasi
ranting-rantingnya. Pohon bambu itu hanya tinggal batang-batang yang berwarna
hitam karena telah dilalap oleh Si Jago Merah.
Seperti
anak-anak gembali lainnya ia memegang pecut ditangan kirinya dan memegang
seruling ditangan kanannya. Matanya masih agak-agak samar ketika ia terbangun. Setelah
mata itu direfleksi sedikit oleh tangan, jelaslah pandangannya. Kemudian
penggembala kecil itu terkejut karena domba-dombanya tidak ada. Yang lebih
mengejutkan lagi sawah yang berhektar-hektar kini hanya tertinggal satu petak
sawah saja. Penggembala kecil itu menepuk-nepuk pipinya. Ia khawatir kalau itu
hanya halusinasi atau bahkan hanya mimpi. Ternyata tidak. Itu memang kenyataan.
Ia melihat buldoser-buldoser itu memakan rumput sama tanah-tanahnya. Kemudia ia
berasumsi bahwa dombanya pergi untuk mencari rumput karena dombanya kalah
bersaing dengan buldoser-buldoser itu.
Penggembala
kecil itu bergegas bangun sambil menangis. Ia takut kalau sampai domba-dombanya
hilang. Ia berinisiatif untuk mencari domba-dombanya. Ia tahu kemana harus
mencari domba-domba itu. Yang jelas pasti domba-domba itu pergi ke tempat
padang rumput. Tapi ia juga binggung. Dimana ada padang rumput, orang ia hanya
melihat gedung-gedung bertingkat diseluruh tempat itu. Tapi, ia tetap berjalan
sambil menangis.
Perjalanannya
sungguh sangat menyedihkan. Dalam perjalanannya, ia banyak sekali melihat
kejadian-kejadian. Seperti ketika ia sampai disebuah perkampungan, ia melihat
orang-orang sekarat karena kelaparan, ia juga melihat orang-orang berpakaian
compang-camping dan ia melihat banyak juga yang bersenang-senang di atas penderitaan rakyat sendiri. Tapi ia tidak
peduli dengan semua itu. Ia hanya peduli dengan domba-dombanya. Karena ia
berpikir itu bukan urusannya, sudah ada pihak-pihak yang bagian mengurusi itu.
Ia terus berjalan ke barat. Mengejar sang mentari yang hendak ditelan oleh
kegelapan malam.
“Mbeeekkkkkkk,”
teriaknya dan berharap ada balasan dari dombanya.
Masih
belum ada tanda-tanda keberadaan para domba. Ia terus berjalan tertatih-tatih
melewati jalan setapak yang membelah padang ilalang yang hanya melambai-lambai
gelisah karena polusi udara.
Sore
harinya, Penggembala Kecil itu berbaring telungkup di punggung sebuah bukit
kecil, mengamati pemandangan terbuka yang terhampar di bawahnya.
Sekumpulan
gubuk sebuah perkampungan keci kini tinggal puing-puing belaka. Ia mengenli
kehancuran desa itu berasal dari penggusuran-penggusuran pemerintah. Dengan alasan
reklamasi atau apalah. Seseorang selalu menindas orang lainnya. Banyak sekali
kejadian-kejadian penindasan-penindasan di negeri itu. Tidak ada yang bergerak
di bawah sana kecuali secarik kain merah putih yang berkibar di pintu masuk sebuah rumah.
Penggembala
Kecil tahu terkadang para penguasa atau pemilik tanah akan menempati desa yang
mereka gusur sebelumnya dan membangun rumah-rumah disana. Ia pernah melihat hal
itu di desa lain.
Ia
mengamati desa itu dengan waktu yang lama namun tidak melihat pergerakan sama
sekali. Dengan perlahan ia menuruni bukit. Banyak di antara dinding rumah di
sepanjang perkampungan itu sudah hancur.
Penggembala
Kecil tak begitu peduli dengan itu. Ia terus melanjutkan perjalanan. Dan kembali
berteriak parau,
“Mbeekkkkkkkkkkk.”
Ia
kembali mengis setelah tak ada balasan dari domba-dombanya.
Perjalanannya
kian berat, ketika ia harus melewati jalan yang penuh dengan kerikil karena
tidak tersentuh oleh pembangunan. Ia juga harus menyeberang sungai yang arusnya
sangat deras. Namun itu bukanlah sebuah tantangan yang berarti baginya. Yang terpenting
adalah ia menemukan domba-dombanya.
Ia
terus berjalan hingga mentari benar-benar pasrah ditelan oleh gelap malam. Beruntung
rembula dengan setia membantu menyinari langkahnya. Hingga akhirnya ia
menemukan apa yang ia cari.
Dari
kejauhan itu melihat cahaya yang terang dan indah. Ia mendekat malah ia mencium
bau kesegaran padi-padi yang mulai berbunga. Ia mendengar suara-suara binatang
dua alam nyaring saling bersahutan. Ia juga mendengar gemericik air yang begitu
menenangkan. Ia berlari hingga seruling dan pecutnya hampir ia jatuhkan. Benar,
apa yang ia pikirkan ternyata benar. Jauh di depan ia melihat sebuah negeri
yang diselimuti oleh awan. Hamparan sawah ladang membentang seperti permadani. Sungai-sungai
mengalirkan air yang begitu jernih. Tampak para penduduknya bersuka cita atas
karunia Sang Maha Kuasa. Suara lembu, kerbau dan domba saling bersahutan satu
sama lain membuat magis suasana. Kawanan burung pipi bergerombol membuat sebuah
pola-pola di langit. Alam yang masih sangat asri.
Ia
melihat satu orang yang memancarkan cahaya. Dan orang itu dikelilingi oleh
banyak sekali penduduk. Ternyata ialah pemimpin negeri itu. Pemimpin yang
membunyai sifat seperti Kanjeng Nabi. Pemimpin yang memiliki sifat-sifat alam. Air,
tanah, udara, dan api. Wajahnya teduh menyejukkan. Tutur katanya begitu lembut
dan mengilhamkan. Ia memposisikan dirinya sebagai pembantu rakyatnya, bukan
sebagai raja yang berkuasa.
Penggembala
Kecil terkagum-kagum oleh negeri itu. Neger itu bagaikan secuil surga yang jatuh
ke bumi. Tanahnya begitu subur. Banyak tanaman rempah-rempah yang tumbuh
melimpah. Banyak hasil tambang yang bisa mencukupi sandang dan pangan. Padi,
jagung, sayur-sayuran, buah-buahan dan peternakan saling berdampingan. Ia takjub
oleh negeri itu.
Kemudian
ia bertanya kepada salah satu penduduk yang sedang mengambil ikan di sungai,
“Pak,
ini negeri apa ya?”
“Ini
namanya Negeri Di Atas Awan, Le.”
Negeri Di Atas
Awan, begitu kira-kira para penduduk setempat menyebutnya.
Penggembala
Kecil kembali meneruskan perjalanan sambil mengamati negeri yang indah itu.
Dari kejauhan ia mendengar sayup-sayup suara domba yang bersaing dengan desau
angin hutan hujan tropis. Ia yakin kalau itu suara dombanya yang hilang. Ia lari
menghampiri suara itu. Ternyata benar. Itu adalah domba-dombanya yang hilang. Domba-domba
itu tampak gemuk dan sehat. Tampak nyaman dengan suasana Negeri Di Atas Awan itu.
Penggembala
Kecil begitu senang ketika mendapati domba-dombanya. Ia tersenyum, kemudian
memainkan serulingnya. Para binatang tampak bergerombol menghampirinya. Terbius
oleh merdunya seuara seruling. Kawanan burung dara, merak, kijang, kelinci,
bangau, pipit, dan kawanan binatang lainnya berbondong-bondong menghampirinya.
Singaraja, 05 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar