Minggu, 04 Desember 2016

Cerpen: Negeri Di Atas Awan




Oleh: Kang Aswan

Ia terbangun dari tidurnya ketika siluet itu membelainya dari celah-celah mega yang mulai jingga. Ia tertidur sendari tadi. Tidur di bawah pohon bambu yang bernasib sangat mengenaskan. Bahkan daunnya pun enggan untuk menghiasi ranting-rantingnya. Pohon bambu itu hanya tinggal batang-batang yang berwarna hitam karena telah dilalap oleh Si Jago Merah.

Seperti anak-anak gembali lainnya ia memegang pecut ditangan kirinya dan memegang seruling ditangan kanannya. Matanya masih agak-agak samar ketika ia terbangun. Setelah mata itu direfleksi sedikit oleh tangan, jelaslah pandangannya. Kemudian penggembala kecil itu terkejut karena domba-dombanya tidak ada. Yang lebih mengejutkan lagi sawah yang berhektar-hektar kini hanya tertinggal satu petak sawah saja. Penggembala kecil itu menepuk-nepuk pipinya. Ia khawatir kalau itu hanya halusinasi atau bahkan hanya mimpi. Ternyata tidak. Itu memang kenyataan. Ia melihat buldoser-buldoser itu memakan rumput sama tanah-tanahnya. Kemudia ia berasumsi bahwa dombanya pergi untuk mencari rumput karena dombanya kalah bersaing dengan buldoser-buldoser itu.

Penggembala kecil itu bergegas bangun sambil menangis. Ia takut kalau sampai domba-dombanya hilang. Ia berinisiatif untuk mencari domba-dombanya. Ia tahu kemana harus mencari domba-domba itu. Yang jelas pasti domba-domba itu pergi ke tempat padang rumput. Tapi ia juga binggung. Dimana ada padang rumput, orang ia hanya melihat gedung-gedung bertingkat diseluruh tempat itu. Tapi, ia tetap berjalan sambil menangis.

Perjalanannya sungguh sangat menyedihkan. Dalam perjalanannya, ia banyak sekali melihat kejadian-kejadian. Seperti ketika ia sampai disebuah perkampungan, ia melihat orang-orang sekarat karena kelaparan, ia juga melihat orang-orang berpakaian compang-camping dan ia melihat banyak juga yang bersenang-senang di atas penderitaan rakyat sendiri. Tapi ia tidak peduli dengan semua itu. Ia hanya peduli dengan domba-dombanya. Karena ia berpikir itu bukan urusannya, sudah ada pihak-pihak yang bagian mengurusi itu. Ia terus berjalan ke barat. Mengejar sang mentari yang hendak ditelan oleh kegelapan malam.

“Mbeeekkkkkkk,” teriaknya dan berharap ada balasan dari dombanya.

Masih belum ada tanda-tanda keberadaan para domba. Ia terus berjalan tertatih-tatih melewati jalan setapak yang membelah padang ilalang yang hanya melambai-lambai gelisah karena polusi udara.

Sore harinya, Penggembala Kecil itu berbaring telungkup di punggung sebuah bukit kecil, mengamati pemandangan terbuka yang terhampar di bawahnya.

Sekumpulan gubuk sebuah perkampungan keci kini tinggal puing-puing belaka. Ia mengenli kehancuran desa itu berasal dari penggusuran-penggusuran pemerintah. Dengan alasan reklamasi atau apalah. Seseorang selalu menindas orang lainnya. Banyak sekali kejadian-kejadian penindasan-penindasan di negeri itu. Tidak ada yang bergerak di bawah sana kecuali secarik kain merah putih yang berkibar di pintu masuk sebuah rumah.

Penggembala Kecil tahu terkadang para penguasa atau pemilik tanah akan menempati desa yang mereka gusur sebelumnya dan membangun rumah-rumah disana. Ia pernah melihat hal itu di desa lain.

Ia mengamati desa itu dengan waktu yang lama namun tidak melihat pergerakan sama sekali. Dengan perlahan ia menuruni bukit. Banyak di antara dinding rumah di sepanjang perkampungan itu sudah hancur.

Penggembala Kecil tak begitu peduli dengan itu. Ia terus melanjutkan perjalanan. Dan kembali berteriak parau,

“Mbeekkkkkkkkkkk.”

Ia kembali mengis setelah tak ada balasan dari domba-dombanya.

Perjalanannya kian berat, ketika ia harus melewati jalan yang penuh dengan kerikil karena tidak tersentuh oleh pembangunan. Ia juga harus menyeberang sungai yang arusnya sangat deras. Namun itu bukanlah sebuah tantangan yang berarti baginya. Yang terpenting adalah ia menemukan domba-dombanya.

Ia terus berjalan hingga mentari benar-benar pasrah ditelan oleh gelap malam. Beruntung rembula dengan setia membantu menyinari langkahnya. Hingga akhirnya ia menemukan apa yang ia cari.

Dari kejauhan itu melihat cahaya yang terang dan indah. Ia mendekat malah ia mencium bau kesegaran padi-padi yang mulai berbunga. Ia mendengar suara-suara binatang dua alam nyaring saling bersahutan. Ia juga mendengar gemericik air yang begitu menenangkan. Ia berlari hingga seruling dan pecutnya hampir ia jatuhkan. Benar, apa yang ia pikirkan ternyata benar. Jauh di depan ia melihat sebuah negeri yang diselimuti oleh awan. Hamparan sawah ladang membentang seperti permadani. Sungai-sungai mengalirkan air yang begitu jernih. Tampak para penduduknya bersuka cita atas karunia Sang Maha Kuasa. Suara lembu, kerbau dan domba saling bersahutan satu sama lain membuat magis suasana. Kawanan burung pipi bergerombol membuat sebuah pola-pola di langit. Alam yang masih sangat asri.

Ia melihat satu orang yang memancarkan cahaya. Dan orang itu dikelilingi oleh banyak sekali penduduk. Ternyata ialah pemimpin negeri itu. Pemimpin yang membunyai sifat seperti Kanjeng Nabi. Pemimpin yang memiliki sifat-sifat alam. Air, tanah, udara, dan api. Wajahnya teduh menyejukkan. Tutur katanya begitu lembut dan mengilhamkan. Ia memposisikan dirinya sebagai pembantu rakyatnya, bukan sebagai raja yang berkuasa.

Penggembala Kecil terkagum-kagum oleh negeri itu. Neger itu bagaikan secuil surga yang jatuh ke bumi. Tanahnya begitu subur. Banyak tanaman rempah-rempah yang tumbuh melimpah. Banyak hasil tambang yang bisa mencukupi sandang dan pangan. Padi, jagung, sayur-sayuran, buah-buahan dan peternakan saling berdampingan. Ia takjub oleh negeri itu.

Kemudian ia bertanya kepada salah satu penduduk yang sedang mengambil ikan di sungai,

“Pak, ini negeri apa ya?”
“Ini namanya Negeri Di Atas Awan, Le.”

Negeri Di Atas Awan, begitu kira-kira para penduduk setempat menyebutnya.

Penggembala Kecil kembali meneruskan perjalanan sambil mengamati negeri yang indah itu. Dari kejauhan ia mendengar sayup-sayup suara domba yang bersaing dengan desau angin hutan hujan tropis. Ia yakin kalau itu suara dombanya yang hilang. Ia lari menghampiri suara itu. Ternyata benar. Itu adalah domba-dombanya yang hilang. Domba-domba itu tampak gemuk dan sehat. Tampak nyaman dengan suasana Negeri Di Atas Awan itu.

Penggembala Kecil begitu senang ketika mendapati domba-dombanya. Ia tersenyum, kemudian memainkan serulingnya. Para binatang tampak bergerombol menghampirinya. Terbius oleh merdunya seuara seruling. Kawanan burung dara, merak, kijang, kelinci, bangau, pipit, dan kawanan binatang lainnya berbondong-bondong menghampirinya.

Singaraja, 05 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar