Minggu, 18 Desember 2016

Cerpen : MUALAF






MUALAF

Sabari adalah seorang mualaf. Ia masuk Islam karena hatinya merasa tentram ketika mendengar suara azan dan orang membaca Al-Quran. Ia rajin sekali belajar tentang Islam. Ia juga mulai belajar membaca Al-Quran. Hingga suatu ketika hati Sabari gelisah. Ya, hati Sabari gelisah karena banyaknya tawaran teman-temannya untuk masuk kedalam organisasi Islam. Aliran-aliran dalam Islam. Seorang temannya datang kerumahnya,
“Assalamu’alaikum,” ucap temannya.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Sabari sambil menjabat tangan temannya.
Temannya yang baru dikenalnya sejak satu minggu di masjid itu, berpenampilan seperti orang Arab. Jenggot panjang, berjubah dan bersorban.
“Silahkan duduk,” Sabari mempersilahkan.
Duduklah temannya itu.
“Ada keperluan apa, Saudaraku?” tanya Sabari.
“Begini Ri. Kau kan sekarang sudah masuk Islam nih, jadi orang Islam itu harus seperti ini.” jawab temannya sambil memperlihatkan penampilannya yang persis orang Arab tapi bermuka lokal.
Sabari kaget. Dalam hati ia bertanya-tanya. Apakah benar, orang Islam itu harus seperti ini? kata hatinya. Lalu ia hanya tersenyum.
“Lagi, kau harus memanjangkan jenggot, makan pakai tiga jari, istrimu harus bercadar itu sunnah. Dan, kamu tidak boleh merayakan maulid nabi, tidak boleh baca shalawat, tidak boleh ziarah kubur, tidak boleh rokok, tidak boleh memakai atribut agama lain.”
Sabari hanya bengong. Hatinya berkencambuk. Ia merasa bahwa Islam tidak seperti apa yang ia pikirkan. Ada rasa sedikit kecewa dengan Islam waktu itu. tapi, ia tepis jauh-jauh perasaan itu. Ia tetap yakin kalau Islam itu Rahmatan Lil ‘alamin.
Sabari bingung waktu itu. Bukan hanya satu yang menawarkan Sabari menjadi Islam yang begini dan Islam yang begitu. Islam moderat, Islam Liberal, Islam Garis Lurus dan Islam Garis Bengkok, Islam Putihan dan Islam Abangan, Islam Modern dan Islam Tradisional, Islam Arab, Islam Indonesia dan Islam-islam yang lain. Sabari benar-benar dilema oleh tawaran-tawaran itu. Ia merasa bagaikan sebuah perahu kecil di tengah samudera yang hanya pasrah terombang-ambing dipermainkan angin. Ia juga merasa seperti buih kotor yang mengambang di lautan, kotor dan gampang pecah. Akhirnya, ia jarang lagi pergi ke masjid untuk sholat berjama’ah atau sekedar membaca sholawat bareng.
***
Hingga beberapa bulan telah berlalu...
Sabari berjama’ah sholat subuh disebuah masjid di luar kotanya. Ia merasa ada keanehan lagi. Kali ini ia sholat subuh tanpa qunut. Ia kaget. Kok gak usah qunut? Katanya dalam diam.
Kebingungannya masalah sholat tanpa qunut belum juga terjawab, kali ini ia sudah dibuat bingung lagi dengan sholat jum’at yang hanya azan satu kali. Ia kembali bertanya dalam hantinya, kok cuma satu kali azannya, biasanya dua kali? Ia hanya bisa menggaruk-garuk kepala dan hanya bisa mengikuti dengan kebingungan.
Sabari lelah dan duduk di atas trotoar kecil dekat warung kopi yang dijaga oleh bapak-bapak paruh baya. Sabari berinisiatif untuk meminum secangkir kopi agar segala kegelisahannya dapat sedikit reda.
“Kopi Pak satu,” Sabari memesan.
“Pahit apa manis, Mas?” tanya bapak penjaga warung.
“Tidak manis tidak pahit, Pak.”
Bapak itu tidak menjawab. Lalu ia keluar dengan secangkir kopi yang sesuai pesanan. Asap mengepul dan bau harum menyeruak masuk dalam hidung. Menjadi suasana terapi yang begitu menenangkan. Bagi penikmatnya kopi adalah candu.
“Mongga, Mas.”
Sabari tersenyum dan menerima secangkir kopi itu.
“Sepertinya Mas e lagi gelisah, ada apa, Mas?”
“Iya Pak. Saya lagi sedikit kebingungan.”
“Bingung kenapa to?”
“Saya ini seorang mualaf, Pak. Saya belum begitu tahu seluk beluk tentang Islam. Saya kira Islam itu hanya satu, ternyata Islam itu ada banyak sekali. Dan saya bingung akan memilih yang mana.”
Bapak penjaga warung kopi itu menggeleng-gelengkan kepala.
“Minum dulu kopinya, biar agak sedikit tenang.”
“Iya, Pak,” ucap Sabari sambil mulai menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap itu. dengan sekali teguk, Sabari merasa lebih tenang dari sebelumnya.
Ihdinash shiraathal mustaqiim.”
Sabari menaikkan kedua alisnya, “Ada apa dalam ayat ke-enam Al-Fatihah itu, Pak?” tanyanya.
“Artinya, Tunjukilah kami ke jalan yang lurus.”
“Maksudnya?”
“Dari ayat ini kita bisa berspektif, bahwa sesungguhnya manusia di bumi ini masih dalam keadaan yang tersesat. Dalam sholat ayat ini selalu kita ucapkan. Di dunia ini kita memang sedang mencari, mencari sebuah kebenaran. Dan sampai mati pun kebenaran itu tidak akan kita dapati.”
“Coba bapak jelaskan pelan-pelan, saya sulit untuk mengerti.”
Bapak itu tersenyum, “Mas, buat apa sampeyan gelisah dengan banyakan aliran-aliran itu. Islam itu hanya ada satu. Islam itu ya Islam. Tidak ada Islam sunni, syiah, wahabi, ahlussunnah, apalagi Islam Nahdlatul Ulama atau Islam Muhammadiyah. Islam itu ya satu. Sedangkan mereka semua itu hanyalah sebagai faham atau madzhab atau aliran atau golongan. Yang semuanya mengklaim bahwa mereka semua adalah Ahlus sunnah wal jama’ah (Aswaja) yang dijanjikan oleh Rosulullah golongan yang masuk surga diantara 71 golongan yang lain.”
Sabari mulai mengerti.
“Pak, saya mau tanya, apakah betul orang Islam itu, harus memakai jubah, sorban, bercadar bagi perempuan dan berjenggot bagi yang laki-laki. Celana cingkrang, makan tiga jari, tidak boleh maulid nabi, tidak boleh ziarah kubur, tidak boleh sholawatn, tidak boleh pujian ketika sehabis azan, tidak boleh membaca doa bagi si mayit (tahlilan, yasinan), tidak boleh bergaul dengan non muslim, yang tidak sepaham adalah kafir? Apakah benar Islam seperti itu, Pak?”
Bapak itu tertawa terpingkal-pingkal mendengar perkataan Sabari.
“Kok bapak malah ketawa?”
“Lucu kok. Mas, kalau memang Islam harus seperti itu, ayo kita telanjang sama-sama. Pakaiann saya dan pakaian mas itu bukan pakaian Islam.” Kata bapak itu sambil menahan tawa. Sabari juga tertawa.
“Yang harus mas ketahui. Semua yang mas katakan tadi, sebenarnya bukanlah syari’at Islam. Akan tetapi, itu semua adalah budaya Arab. Cadar, jubah, sorban, berjenggot, dan sebagainya itu adalah budaya Arab. Bukan syari’at Islam.”
“Kok gitu, Pak?”
“Kita pakai logika saja ya, karena bapak juga bukan seorang kiyai atau ulama, bapak hanya seorang penjaga warung kopi yang tak tahu apa-apa. Begini, kita mulai bermain logika dari pakaian, Abu Jahal pun dulu juga memakai sorban, berjenggot panjang memakai jubah. Orang-orang Kafir Quraish pun semua memakai pakaian seperti itu. Memang itu budaya mereka. Seandainya Rasul itu dilahirkan di Jawa, pasti beliau juga akan memakai belangkon, memakai baju onto kusumo.”
“Bapak bisa saja.”
“Apa-apa kok salah si, Mas. Ateis dimusuhin karena tidak bertuhan. Bertuhan dimusuhin karena tuhannya beda. Tuhannya sama dimusuhin karena nabinya beda. Nabinya sama dimusuhin karena alirannya beda. Alirannya sama dimusuhin karena pendapatnya beda. Pertanyaanya, Sampeyan wes ngopi?”
Mereka tertawa. Dan Sabari pun mengerti. Kalau Islam itu satu dan Islam itu Rahmatan Lil ‘Alamin.
“Ya sudah, Mas. Bapak mau tutup dulu, sudah mau azan maghrib. Bapak mau pulang.”
“Ya sudah, Pak. Berapa kopinya, Pak?”
“Ndak usah. Simpan saja.”
Siapa bapak itu? Entahlah. Sabari merasa kalau dirinya baru saja bangun dari tidurnya. Ia hanya bermimpi. Semua itu hanya mimpi Sabari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar