MUALAF
Sabari
adalah seorang mualaf. Ia masuk Islam karena hatinya merasa tentram ketika
mendengar suara azan dan orang membaca Al-Quran. Ia rajin sekali belajar
tentang Islam. Ia juga mulai belajar membaca Al-Quran. Hingga suatu ketika hati
Sabari gelisah. Ya, hati Sabari gelisah karena banyaknya tawaran teman-temannya
untuk masuk kedalam organisasi Islam. Aliran-aliran dalam Islam. Seorang
temannya datang kerumahnya,
“Assalamu’alaikum,”
ucap temannya.
“Wa’alaikumsalam,”
jawab Sabari sambil menjabat tangan temannya.
Temannya
yang baru dikenalnya sejak satu minggu di masjid itu, berpenampilan seperti
orang Arab. Jenggot panjang, berjubah dan bersorban.
“Silahkan
duduk,” Sabari mempersilahkan.
Duduklah
temannya itu.
“Ada
keperluan apa, Saudaraku?” tanya Sabari.
“Begini
Ri. Kau kan sekarang sudah masuk Islam nih, jadi orang Islam itu harus seperti
ini.” jawab temannya sambil memperlihatkan penampilannya yang persis orang Arab
tapi bermuka lokal.
Sabari
kaget. Dalam hati ia bertanya-tanya. Apakah benar, orang Islam itu harus
seperti ini? kata hatinya. Lalu ia hanya tersenyum.
“Lagi,
kau harus memanjangkan jenggot, makan pakai tiga jari, istrimu harus bercadar
itu sunnah. Dan, kamu tidak boleh merayakan maulid nabi, tidak boleh baca
shalawat, tidak boleh ziarah kubur, tidak boleh rokok, tidak boleh memakai
atribut agama lain.”
Sabari
hanya bengong. Hatinya berkencambuk. Ia merasa bahwa Islam tidak seperti apa
yang ia pikirkan. Ada rasa sedikit kecewa dengan Islam waktu itu. tapi, ia
tepis jauh-jauh perasaan itu. Ia tetap yakin kalau Islam itu Rahmatan Lil ‘alamin.
Sabari
bingung waktu itu. Bukan hanya satu yang menawarkan Sabari menjadi Islam yang
begini dan Islam yang begitu. Islam moderat, Islam Liberal, Islam Garis Lurus
dan Islam Garis Bengkok, Islam Putihan dan Islam Abangan, Islam Modern dan
Islam Tradisional, Islam Arab, Islam Indonesia dan Islam-islam yang lain.
Sabari benar-benar dilema oleh tawaran-tawaran itu. Ia merasa bagaikan sebuah
perahu kecil di tengah samudera yang hanya pasrah terombang-ambing dipermainkan
angin. Ia juga merasa seperti buih kotor yang mengambang di lautan, kotor dan
gampang pecah. Akhirnya, ia jarang lagi pergi ke masjid untuk sholat berjama’ah
atau sekedar membaca sholawat bareng.
***
Hingga
beberapa bulan telah berlalu...
Sabari
berjama’ah sholat subuh disebuah masjid di luar kotanya. Ia merasa ada keanehan
lagi. Kali ini ia sholat subuh tanpa qunut. Ia kaget. Kok gak usah qunut?
Katanya dalam diam.
Kebingungannya
masalah sholat tanpa qunut belum juga terjawab, kali ini ia sudah dibuat
bingung lagi dengan sholat jum’at yang hanya azan satu kali. Ia kembali
bertanya dalam hantinya, kok cuma satu kali azannya, biasanya dua kali? Ia
hanya bisa menggaruk-garuk kepala dan hanya bisa mengikuti dengan kebingungan.
Sabari
lelah dan duduk di atas trotoar kecil dekat warung kopi yang dijaga oleh
bapak-bapak paruh baya. Sabari berinisiatif untuk meminum secangkir kopi agar
segala kegelisahannya dapat sedikit reda.
“Kopi
Pak satu,” Sabari memesan.
“Pahit
apa manis, Mas?” tanya bapak penjaga warung.
“Tidak
manis tidak pahit, Pak.”
Bapak
itu tidak menjawab. Lalu ia keluar dengan secangkir kopi yang sesuai pesanan.
Asap mengepul dan bau harum menyeruak masuk dalam hidung. Menjadi suasana
terapi yang begitu menenangkan. Bagi penikmatnya kopi adalah candu.
“Mongga,
Mas.”
Sabari
tersenyum dan menerima secangkir kopi itu.
“Sepertinya
Mas e lagi gelisah, ada apa, Mas?”
“Iya
Pak. Saya lagi sedikit kebingungan.”
“Bingung
kenapa to?”
“Saya
ini seorang mualaf, Pak. Saya belum begitu tahu seluk beluk tentang Islam. Saya
kira Islam itu hanya satu, ternyata Islam itu ada banyak sekali. Dan saya
bingung akan memilih yang mana.”
Bapak
penjaga warung kopi itu menggeleng-gelengkan kepala.
“Minum
dulu kopinya, biar agak sedikit tenang.”
“Iya,
Pak,” ucap Sabari sambil mulai menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap itu.
dengan sekali teguk, Sabari merasa lebih tenang dari sebelumnya.
“Ihdinash shiraathal mustaqiim.”
Sabari
menaikkan kedua alisnya, “Ada apa dalam ayat ke-enam Al-Fatihah itu, Pak?”
tanyanya.
“Artinya,
Tunjukilah kami ke jalan yang lurus.”
“Maksudnya?”
“Dari
ayat ini kita bisa berspektif, bahwa sesungguhnya manusia di bumi ini masih
dalam keadaan yang tersesat. Dalam sholat ayat ini selalu kita ucapkan. Di
dunia ini kita memang sedang mencari, mencari sebuah kebenaran. Dan sampai mati
pun kebenaran itu tidak akan kita dapati.”
“Coba
bapak jelaskan pelan-pelan, saya sulit untuk mengerti.”
Bapak
itu tersenyum, “Mas, buat apa sampeyan gelisah dengan banyakan aliran-aliran
itu. Islam itu hanya ada satu. Islam itu ya Islam. Tidak ada Islam sunni,
syiah, wahabi, ahlussunnah, apalagi Islam Nahdlatul Ulama atau Islam
Muhammadiyah. Islam itu ya satu. Sedangkan mereka semua itu hanyalah sebagai
faham atau madzhab atau aliran atau golongan. Yang semuanya mengklaim bahwa
mereka semua adalah Ahlus sunnah wal jama’ah (Aswaja) yang dijanjikan oleh
Rosulullah golongan yang masuk surga diantara 71 golongan yang lain.”
Sabari
mulai mengerti.
“Pak,
saya mau tanya, apakah betul orang Islam itu, harus memakai jubah, sorban,
bercadar bagi perempuan dan berjenggot bagi yang laki-laki. Celana cingkrang,
makan tiga jari, tidak boleh maulid nabi, tidak boleh ziarah kubur, tidak boleh
sholawatn, tidak boleh pujian ketika sehabis azan, tidak boleh membaca doa bagi
si mayit (tahlilan, yasinan), tidak boleh bergaul dengan non muslim, yang tidak
sepaham adalah kafir? Apakah benar Islam seperti itu, Pak?”
Bapak
itu tertawa terpingkal-pingkal mendengar perkataan Sabari.
“Kok
bapak malah ketawa?”
“Lucu
kok. Mas, kalau memang Islam harus seperti itu, ayo kita telanjang sama-sama.
Pakaiann saya dan pakaian mas itu bukan pakaian Islam.” Kata bapak itu sambil
menahan tawa. Sabari juga tertawa.
“Yang
harus mas ketahui. Semua yang mas katakan tadi, sebenarnya bukanlah syari’at
Islam. Akan tetapi, itu semua adalah budaya Arab. Cadar, jubah, sorban,
berjenggot, dan sebagainya itu adalah budaya Arab. Bukan syari’at Islam.”
“Kok
gitu, Pak?”
“Kita
pakai logika saja ya, karena bapak juga bukan seorang kiyai atau ulama, bapak
hanya seorang penjaga warung kopi yang tak tahu apa-apa. Begini, kita mulai
bermain logika dari pakaian, Abu Jahal pun dulu juga memakai sorban, berjenggot
panjang memakai jubah. Orang-orang Kafir Quraish pun semua memakai pakaian
seperti itu. Memang itu budaya mereka. Seandainya Rasul itu dilahirkan di Jawa,
pasti beliau juga akan memakai belangkon, memakai baju onto kusumo.”
“Bapak
bisa saja.”
“Apa-apa
kok salah si, Mas. Ateis dimusuhin karena tidak bertuhan. Bertuhan dimusuhin
karena tuhannya beda. Tuhannya sama dimusuhin karena nabinya beda. Nabinya sama
dimusuhin karena alirannya beda. Alirannya sama dimusuhin karena pendapatnya
beda. Pertanyaanya, Sampeyan wes ngopi?”
Mereka
tertawa. Dan Sabari pun mengerti. Kalau Islam itu satu dan Islam itu Rahmatan Lil ‘Alamin.
“Ya
sudah, Mas. Bapak mau tutup dulu, sudah mau azan maghrib. Bapak mau pulang.”
“Ya
sudah, Pak. Berapa kopinya, Pak?”
“Ndak
usah. Simpan saja.”
Siapa
bapak itu? Entahlah. Sabari merasa kalau dirinya baru saja bangun dari
tidurnya. Ia hanya bermimpi. Semua itu hanya mimpi Sabari.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar