Oleh: Kang Aswan
Dia berjalan tertatih-tatih lengkap
dengan pakaian kumal dan caping bolongnya. Seperti yang terlihat, banyak orang
yang tak percaya melihatnya berjalan terburu-buru di jalananan menuju kantor
polisi.
Kemunculannya di kota membuat hebot
penduduk kota. Kamera-kamera wartawan jeprat-jepret mengambil gambarnya. Tak ada
seorang pun yang berani menghadang atau hanya sekedar bertanya padanya. Karena,
semua orang kaget dan tidak percaya.
“Kau lihat itu?”
“Apa?”
“Weden Sawah.”
“Orang-orangan sawah itu? Dia yang berpura-pura menjadi petani?”
“Iya. Lengkap dengan pakaiannya.”
“Dia yang berdiri di sawah? Menakut-nakuti burung?”
“Iya itu Weden Sawah.”
“Orang-orangan sawah itu? Dia yang berpura-pura menjadi petani?”
“Iya. Lengkap dengan pakaiannya.”
“Dia yang berdiri di sawah? Menakut-nakuti burung?”
“Iya itu Weden Sawah.”
“Mau apa dia ke kota? Dan bagaimana dia
bisa hidup?”
Mau apa dan bagaimana itulah soalnya.
Weden Sawah itu terus berjalan melewati
kendaraan-kendaraan yang terjebak macet yang menyebalkan. Ia terobos lampu
merah, ia salib mobil mewah, dan ia tak menghiraukan peluit polisi yang
menyuruhnya berhenti. Karena, kedatangannya banyak membuat keributan dan kekacauan
kota. Banyak anak-anak kecil yang menangis karena ketakutan oleh bajunya yang
compang camping. Tak punya mata tapi dapat melihat. Tak punya telinga tapi
dapat mendengar. Tubuhnya hanya terdiri dari ikatan-ikatan jerami yang
dibungkus dengan baju bekas dan celana bekas. Tangan, kaki pun tak fleksibel
seperti manusia. Tangannya kaku
mendaplang dan kakinya kaku mengangkang. Jalannya pun seperti robot.
Baju kumalnya berkelebat tertiup angin
polusi kota. Baju yang berkibar itu menandakan sebuah semangat perjuangan. Wajahnya
tampak kesal walau pun sekilas ia tak punya mimik wajah yang dapat berekspresi.
Kadang juga terlihat lesu.
Ia terus berjalan. Kali ini ia melewati
Mall, Gedung bertingkat, Kantor, Hotel, Rumah sakit, Stasiun, Stadiun,
Alun-alun kota, dan bangunan-bangunan megah lainnya. Ia sendirian disini. Ia
tak punya teman. Ia tak melihat sawah di sini. Ia hanya melihat Sang Mentari
tampak gelisah diapit oleh gedung-gedung yang berasap itu. Cahayanya tampak
malas untuk menyinari. Ia terus berjalan bagaikan siluet yang muncul dari
celah-celah kota industri.
Akhirnya, ia sampai juga ditujuannya. Yaitu
kantor polisi. Semua polisi tampak kaget melihat weden sawah itu. Sampai-sampai
salah seorang polisi hampir pingsan melihat weden sawah bisa berjalan dan
hidup. Dan yang lain hanya menganga mulutnya. Kemudian, komandan polisi dengan
gemetar bertanya padanya,
“Weden Sawah, kenapa kau hidup?”
“Sudah saatnya aku untuk hidup.”
“Benarkah kau itu?” tanya polisi masih
tidak percaya.
“Dan kau tau itu.”
“Kau pasti petani yang menyamar menjadi weden sawah. Iyakan?”
“Kau pasti petani yang menyamar menjadi weden sawah. Iyakan?”
Weden sawah menggelengkan kepalanya dengan kaku. Terpatah-patah.
Caping rusaknya ikut bergoyang-goyang.
“Lantas kenapa kau ada di sini? Kau tak menjaga sawah?”
“Sawah siapa yang mau dijaga, Pak?”
“Ya, sawah petani.”
“Sawah yang mana? Dia jual sawah-sawah,
gunung-gunung. Lalu dia tindas manusia-manusianya. Dia adu dengan buldoser dan
aparat. Dia suruh petani itu ke pengadilan. Kemudian dia suruh hakim menolak
gugatan.”
“Tapikan masih ada sawah lain yang harus
kamu jaga. Tidak semua sawah dijual dan dikeruk tanahnya. Kau rela jika
padi-padimu dimakan pipit?”
“Pak, sawah sudah semakin sedikit
jumlahnya. Banyak sawah yang dijadikan pabrik. Dan padi-padiku habis bukan
karena dimakan oleh pipit, tapi dimakan oleh tikus, Pak.”
“Kenapa kau tak basmi tikus itu?”
“Tikus itu terlalu kuat. Tikus itu kebal
akan hukum. Tikus itu bukan hanya memakan padi, tapi juga memakan sawahnya
juga.”
“Apa tujuanmu kesini?”
“Aku ingin menggugat, Pak. Ketika suara
petani tak lagi kalian dengar, ketika tangisan petani tak lagi kalian hiraukan,
dan ketika rintihan petani tak lagi kalian risaukan. Maka, aku sebagai penjaga
sawah ingin membantu menyampaikan suara petani, menyampaikan pedihnya rintihan
petani, dan menyampaikan betapa menyakitkannya tangisan para petani. Aku ingin
bapak sebagai aparat keamanan dan pengayom rakyat bertindak sesuai dengan hati
nurani. Kemana lagi aku harus berlari untuk mengajukan gugatan kalau tidak di
kantor ini. Aku pernah ke kantor DPR. Tapi, katanya DPR sedang tidur. Aku pernah
datang ke kantor kementrian dan lagi-lagi katanya pak mentri sedang pergi ke
luar negeri. Aku mau menemuai pak presiden. Tapi, aku urungkan. Karena, aku
kasihan. Aku yakin atas gugatanku ini pak presiden akan malah kacau pikirannya.
Beliau sudah terlalu banyak pikiran.”
Semua polisi hanya bengong mendengar
kata-katanya. Wartawan berdesak-desakan ingin meliput weden menggugat.
Hari itu semua stasiun televisi, media
cetak, radio, media sosial heboh dengan berita “Weden Sawah Menggugat.”
Singaraja, 4 Desember
2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar