Sabtu, 03 Desember 2016

Cerpen: Weden Sawah Menggugat





Oleh: Kang Aswan

Dia berjalan tertatih-tatih lengkap dengan pakaian kumal dan caping bolongnya. Seperti yang terlihat, banyak orang yang tak percaya melihatnya berjalan terburu-buru di jalananan menuju kantor polisi.
Kemunculannya di kota membuat hebot penduduk kota. Kamera-kamera wartawan jeprat-jepret mengambil gambarnya. Tak ada seorang pun yang berani menghadang atau hanya sekedar bertanya padanya. Karena, semua orang kaget dan tidak percaya.

“Kau lihat itu?”
“Apa?”
“Weden Sawah.
“Orang-orangan sawah itu? Dia yang berpura-pura menjadi petani?”
“Iya. Lengkap dengan pakaiannya.”
“Dia yang berdiri di sawah? Menakut-nakuti burung?”
“Iya itu Weden Sawah.”
“Mau apa dia ke kota? Dan bagaimana dia bisa hidup?”

Mau apa dan bagaimana itulah soalnya.

Weden Sawah itu terus berjalan melewati kendaraan-kendaraan yang terjebak macet yang menyebalkan. Ia terobos lampu merah, ia salib mobil mewah, dan ia tak menghiraukan peluit polisi yang menyuruhnya berhenti. Karena, kedatangannya banyak membuat keributan dan kekacauan kota. Banyak anak-anak kecil yang menangis karena ketakutan oleh bajunya yang compang camping. Tak punya mata tapi dapat melihat. Tak punya telinga tapi dapat mendengar. Tubuhnya hanya terdiri dari ikatan-ikatan jerami yang dibungkus dengan baju bekas dan celana bekas. Tangan, kaki pun tak fleksibel seperti manusia. Tangannya kaku  mendaplang dan kakinya kaku mengangkang. Jalannya pun seperti robot.

Baju kumalnya berkelebat tertiup angin polusi kota. Baju yang berkibar itu menandakan sebuah semangat perjuangan. Wajahnya tampak kesal walau pun sekilas ia tak punya mimik wajah yang dapat berekspresi. Kadang juga terlihat lesu.

Ia terus berjalan. Kali ini ia melewati Mall, Gedung bertingkat, Kantor, Hotel, Rumah sakit, Stasiun, Stadiun, Alun-alun kota, dan bangunan-bangunan megah lainnya. Ia sendirian disini. Ia tak punya teman. Ia tak melihat sawah di sini. Ia hanya melihat Sang Mentari tampak gelisah diapit oleh gedung-gedung yang berasap itu. Cahayanya tampak malas untuk menyinari. Ia terus berjalan bagaikan siluet yang muncul dari celah-celah kota industri.

Akhirnya, ia sampai juga ditujuannya. Yaitu kantor polisi. Semua polisi tampak kaget melihat weden sawah itu. Sampai-sampai salah seorang polisi hampir pingsan melihat weden sawah bisa berjalan dan hidup. Dan yang lain hanya menganga mulutnya. Kemudian, komandan polisi dengan gemetar bertanya padanya,

“Weden Sawah, kenapa kau hidup?”
“Sudah saatnya aku untuk hidup.”
“Benarkah kau itu?” tanya polisi masih tidak percaya.
“Dan kau tau itu.”
“Kau pasti petani yang menyamar menjadi weden sawah. Iyakan?”

Weden sawah menggelengkan kepalanya dengan kaku. Terpatah-patah. Caping rusaknya ikut bergoyang-goyang.

“Lantas kenapa kau ada di sini? Kau tak menjaga sawah?”
“Sawah siapa yang mau dijaga, Pak?”
“Ya, sawah petani.”
“Sawah yang mana? Dia jual sawah-sawah, gunung-gunung. Lalu dia tindas manusia-manusianya. Dia adu dengan buldoser dan aparat. Dia suruh petani itu ke pengadilan. Kemudian dia suruh hakim menolak gugatan.”
“Tapikan masih ada sawah lain yang harus kamu jaga. Tidak semua sawah dijual dan dikeruk tanahnya. Kau rela jika padi-padimu dimakan pipit?”
“Pak, sawah sudah semakin sedikit jumlahnya. Banyak sawah yang dijadikan pabrik. Dan padi-padiku habis bukan karena dimakan oleh pipit, tapi dimakan oleh tikus, Pak.”
“Kenapa kau tak basmi tikus itu?”
“Tikus itu terlalu kuat. Tikus itu kebal akan hukum. Tikus itu bukan hanya memakan padi, tapi juga memakan sawahnya juga.”
“Apa tujuanmu kesini?”
“Aku ingin menggugat, Pak. Ketika suara petani tak lagi kalian dengar, ketika tangisan petani tak lagi kalian hiraukan, dan ketika rintihan petani tak lagi kalian risaukan. Maka, aku sebagai penjaga sawah ingin membantu menyampaikan suara petani, menyampaikan pedihnya rintihan petani, dan menyampaikan betapa menyakitkannya tangisan para petani. Aku ingin bapak sebagai aparat keamanan dan pengayom rakyat bertindak sesuai dengan hati nurani. Kemana lagi aku harus berlari untuk mengajukan gugatan kalau tidak di kantor ini. Aku pernah ke kantor DPR. Tapi, katanya DPR sedang tidur. Aku pernah datang ke kantor kementrian dan lagi-lagi katanya pak mentri sedang pergi ke luar negeri. Aku mau menemuai pak presiden. Tapi, aku urungkan. Karena, aku kasihan. Aku yakin atas gugatanku ini pak presiden akan malah kacau pikirannya. Beliau sudah terlalu banyak pikiran.”

Semua polisi hanya bengong mendengar kata-katanya. Wartawan berdesak-desakan ingin meliput weden menggugat.

Hari itu semua stasiun televisi, media cetak, radio, media sosial heboh dengan berita “Weden Sawah Menggugat.”

Singaraja, 4 Desember 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar