Jumat, 02 Desember 2016

Cerpen: Pena Rakyat





Pena Rakyat
Oleh: Kang Aswan

Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Setiap pagi aku selalu mendengar lagu-lagu nasional yang dinyanyikan oleh anak-anak perbatasan yang penuh semangat. Kemarin aku mendengar mereka menyanyikan lagu nasional “Indonesia Pusaka” karya Ismail Marzuki dan kali ini aku mendengar lagu “Tanah Airku” karya Ibu Sud.
Lima bulan yang lalu, aku ditugaskan mengajar di sekolah perbatasan. Walaupun tidak di suku pedalaman, tapi sama saja kondisinya. Listrik belum masuk ke desa ini. Hanya ada tiga aki mobil yang berada di balai desa.
***
Hujan yang turun sedari sore, tinggal gerimis. Malam menjadi kian gelap dan lebih dingin hawanya. Aku mengenakan mantel hujan. Kerah mantel kutinggikan sampai menutup telinga. Sedangkan tangan  kubenamkan jauh ke dalam saku celana. Aku berjalan ke arah timur dengan setengah membungkuk, mengelakkan dingin dan tiupan angin malam. Tak ada suara seorangpun berbicara.

Nyala lampu jalan yang bergoyang-goyang ditiup angin itu, redup cahayanya. Dibendung oleh kabut yang biasa turun di kota pegunungan itu. Jalan itu lengang seperti kota ditinggalkan penduduk karena ada ancaman bencana. Hanya bayanganku yang terangguk-angguk itu saja yang kelihatan
Sekarang jalan yang aku tempuh mendaki. Tapi aku tidak melambatkan langkah. Sehingga aku seperti tambah terbungkuk-bungkuk dan kepalaku sama terangguk pada setiap kaki yang saya langkahkan. Jalan itu lebih gelap oleh kerimbunan pohon-pohon di kiri- kanannya. Dan kakiku sering terperosok ke lobang di jalan aspal yang telah lama tidak diperbaiki.
Kini aku melalui jalan yang mendatar sesudah membelok ke kanan lagi. Langkahku seperti tertegun ketika mulai melalui jalan yang datar itu. Napasnyaku menghem- bus panjang, bagai mau melepaskan hengahan payah.

Rumah-rumah di kedua pinggir jalan sudah jarang letaknya. Listrik belum sampai ke sini. Hanya cahaya lampu minyak mengintip dari celah dinding anyaman bambu. Rumah- rumah itu sunyi dan hitam. Sesunyi dan sehitam alam hingga ke puncak bukit. Sedangkan bukit itu terpampang bagai mau merahapi alam kecil di bawahnya. Tepat diatas perbatasan alam yang pekat itu, sesekali cahaya terang mengilat. Bukit itu bagai binatang merayap maha besar dalam kisah prasejarah. Mengerikan nampaknya.

Tiba-tiba pintu rumah di pinggir kiri jalan terbuka.

Cahaya lampu minyak melompat keluar. Masuk ke gelap malam. Kepala seorang perempuan menjulur. Dia memandang lama ke arahku. Aku  juga memandangnya. Lalu ia menyapa,
 "Selamat malam, Pak Guru,"  sapanya sambil melambaikan tangan kanannya.
Aku membalas lambaian tangan itu. Lalu perempuan itu lenyap ditelan pintu dan cahaya itu pun juga ikut lenyap dibawanya.

Dan perempuan lain di dalam rumah cekikikan ketawa. Lalu hilang karena pintu ditutup lagi. Cahaya lampu yang menjilat malam itu pun lenyap bersamanya. Gerimis tidak turun lagi.
Disebuah rumah dipojok sebuah ladang tepatnya di bawah pohon randu yang besar, terdengar sayup-sayup suara anak-anak. Aku penasaran dengan suara yang tak jelas karena tersaingi oleh desau angin malam. Aku semakin mendekat.

“1+1= 2, 2+2= 4, 3+3= 6. Nah, sekarang kita belajar membaca ya! A.D.I dibaca ADI. A.D.A dibaca ADA.”

Suara itu semakin jelas menandakan kalau anak-anak itu sedang belajar menghitung dan membaca. Tak sampai hati aku melihatnya. Mereka harus rebutan cahaya lampu minyak yang cahayanya hanya mampu menerangi dirinya sendiri itu.
Cahaya kilat memancar juga jauh tinggi dilangit, tanpa tenaga menembusi gelap dan kesepian desa itu. Dan sesekali angin meniup agak keras, hingga daunan kayu bergoyangan menjatuhkan pautan tetesan air padaku. Gegap berdesauan bunyinya, bagai teriakan prajurit yang kemasukan semangat mau mati yang bernyala dan haus darah.
Di persimpangan jalan berkerikil, aku melihat sebuah bangunan dari kayu yang agak doyong kekanan. Bangunan itu tampak seperti tenda anak-anak Mapala atau tenda para pendaki. Ia tampak gelisah di sana. Kedinginan dan sangat gelap. Terus aku pandangi bangunan itu. Bendera Sang Saka Merah Putih berkibar penuh semangat walaupun ia sudah basah oleh hujan tadi sore. Kibarannya sampai menggoyang tiangnya.
Kemudian, aku mulai mendengar hiruk pikuk tawa anak-anak gunung. Mereka berlari berhamburan dengan penuh semagat. Ada yang memakai sepatu ada yang tidak memakai sepatu. Ada yang memakai tas dan ada juga yang tidak memakai tas. Lalu suara nyanyian nasional itu kembali terdengar. Kali ini mereka menyanyikan lagu “Ibu Pertiwi”
Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa
Kulihat ibu pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu
Ibu kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa

Angin malam terasa bertiup lagi. Dedaunan pohon pinggir jalan itu mendesau seketika.
Tiba-tiba ada tangan yang memegang pudakku. Sekejap aku langsung memutar badan,
“Pak Guru, sudah malam ayo kembali ke rumah! Udara juga sudah semakin dingin,” ucap Pak Lurah membuyarkan lamunanku.
“Iya Pak.”
“Pak, besok anak-anak sekolah lagikan?”
“Itu pasti, Pak. Karena anak-anak itu saya sebut sebagai ‘Pena Rakyat’.”
Pak Lurah hanya tersenyum bahagia dan kami melanjutkan perjalanan pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar