Oleh: Kang Aswan
K.O.P.I. Kata itu sudah beberapa hari saya ejah dengan ritme yang pelan. Ada apa dengan barang hitam pahit itu, sehingga membuat banyak orang ketagihan dan bahkan mengelu-elukannya. Ada kafein katanya. Ya, kalau ditinjau dari ilmu medis. Tapi saya yakin, bahwa kopi memiliki kekuatan magis tersendiri bagi penikmatnya.
KH. Abdul. Begitu kami para santri memanggilnya. Tak jarang atau bahkan sama karakter kiyai di Indonesia, bahwa kata "suruh" kiyai pada santrinya itu sudah wajar. Mulai dari membelikan rokok, sampai membuatkan secangkir kopi.
Tak jarang juga saya mendapatkan tugas membuatkan kopi bagi kiyai. Dari sekian santri yang pernah membuatkan kopi untuk KH. Abdul, menurut beliau hanya kopi buatan saya yang paling nikmat.
"Kamu ini kalau membuat kopi memakai racikan cinta ya?" Ucapnya suatu ketika.
Saya hanya tersenyum takzim saja mendengar pujian dari kiyai.
Kopi Pak Kiyai ini lain dari kopi Mbok Dewor warung perempatan, kopi Mbok Darmi depan kantor pos atau kopi Mbok Rondo warung waru doyong. Kopi Pak Kiyai ini lebih nikmat dari kopi manapun. Kopi yang langsung dipetik di perkebunan sendiri ini memberikan kesan magis bagi penikmatnya. Kami para santri pun terkadang rebutan untuk mencicipi bekas kopi pak kiyai.
"Saya duluan yang ngambil," ucap Sodrun dengan pongkahnya.
"Tapi saya yang buat tadi. Jadi, saya yang harus meminumnya," sanggah si Malik berasa punya kuasa untuk meminum kopi bekasnya pak kiyai.
Di tengah keributan mereka berdua, saya datang dari belakang dan langsung mengambil cangkir kopi itu selagi mereka lengah. Dengan sekali gerakan, cangkir itu sudah berada di tangan saya. Saya hirup aroma alami itu dengan sepenuh penghayatan lalu saya seruput kopi yang tinggal sepertiga cangkir itu.
Katika air hitam itu masuk melewati rongga mulut dan tenggorokan saya, rasa nyaman menghampiri tubuh. Segala masalah hilang sekejab. Saya melihat indahnya dunia dan hancurnya dunia. Dari dalam cangkir saya melihat ampas kopi hitam pekat yang melukiskan dengan jelas peta Indonesia. Dari ujung Sabang sampai Merauke terlihat pulau-pulau itu menangis. Pulau bagian Timur yang begitu keras menangisnya. Mereka menangis sambil berkata,
"Saya bukan anak tiri. Saya bukan anak haram semesta. Kami berikan kamu emas dan uaranium, kenapa kamu tembakkan peluru pada kami?"
Tak sampai hati saya memandang dan mendengar tangisan pulau yang berbentuk seperti dinosaurus itu. Saya mencoba bergeser ke sebelah Barat. Pulau itu dengan cemerlangnya memancarkan cahaya-cahaya pariwisata yang begitu mempesona. Tapi, lagi-lagi pulau bagian Utara pulau itu juga menangis dan berkata,
"Bali bukan hanya Denpasar saja, kami juga bagian dari Bali."
Sama saja tangisnya itu menyayat hati bagi para pendengarnya.
Mata saya terus melihat ke Barat. Sampai saya pada sebuah kabupaten di Jawa Timur. Saya juga melihat ia menangis tersendu sedan.
"Jangan lagi ambil tanah kami. Cukup pabrik semen mengambil tanah kami. Kami para petani hanya tanah yang kami punya. Kalau tanah kami di keruk terus, lalu kami mau makan apa?"
Begitu juga dengan kabupaten yang tak jauh dari kabupaten tadi. Namun, kali ini kabupaten di Jawa Tengah yang menangis. Kasusnya sama. Sama-sama masalah tanah..
Mata saya terus ke Barat. Sampai pada tanah yang mereka sebut tanah Betawi. Ia juga menangis. Tanah Betawi ini menangisnya beda dengan tangisan-tangisan yang sudah-sudah. Ia menangis karena ributnya situasi saat ini. Perebutan kekuasan. Hingga Agama di bawa ke ranah politik yang menimbulkan polemik-polemik masyarakat yang hanya bisa melihat satu masalah dari satu arah saja. Tanah Betawi ini juga sangat memilukan tangisannya. Sudah macet karena kendaraan ditambah lagi dengan adanya demo 4 November dan aksi damai 2 Desember (212) membuat Betawi susah untuk bernafas. Hiruk pikuknya politik praktis, membuatnya menangis dengan bersedu sedan.
Saya paling kan ke Barat lagi. Saya lihat asap besar di sana. Ternyata itu asap pembakaran hutan. Pulau itu juga menangis tak berdaya. Pohon-pohon hijau itu mulai layu dan pasrah oleh si jago merah. Habis tak ada sisa. Hanya sisa mayat-mayat pohon yang sedikit punya keberanian untuk melawan si jago merah.
Tak terasa saya meneteskan air mata. Ada yang menepuk pundak saya dari belakang. Lalu sejurus kemudian ada suara yang lembut bagaikan sutra dan menyejukkan bagaikan embun pagi. Ya, tentu saja suara KH. Abdul,
"Hati-hati dengan tipu muslihat dunia. Hingar bingar dunia itu hanya fana."
Secara reflek saya langsung memutar badan dan kepala saya. .Tapi aneh tak ada siapa-siapa di belakang saya.
Inilah kehebatan kopi pak kiyai. Yang tak dimiliki oleh kopi manapun. Yang meminumnya dengan menghayati rasanya, maka kita akan terbawa dalam bawah alam sadar kita.
"Aduhhh, kamu minum lagi secara diam-diam," protes mereka berdua baru sadar kalau saya telah meminum kopi bekas pak kiyai itu.
Boleh juga nich fakta n masuk akal
BalasHapusHehehe,belajar nulis
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus