Minggu, 27 November 2016

Cerpen: Si Buku Telah Mati




Si Buku Telah Mati
Oleh: Kang Aswan

Seorang yang buta mata itu datang tanpa mata. Ia berjalan tertatih-tatih masuk ke kantor polisi dengan tangan meraba-raba  udara. Ia sangat terburu-buru. Sepertinya ada sesuatu yang sangat genting yang harus ia laporkan pada polisi. Mungkinkah ada kasus pencurian? Ataukah pembunuhan?
  
Dengan tenang komandan polisi menyambut pria buta itu,
“Selamat datang, Pak. Apa ada yang bisa kami bantu?”
“Iya, Komandan.”
“Memangnya ada apa, Pak? Kok, kelihatannya genting sekali?”
“Gawat, Pak Polisi. Gawat sekali.”
“Gawat? Apanya yang gawat, Pak?”
“Pokoknya gawat?”
“Iya gawat kenapa?” tanya komandan polisi kesal.
“Ada pembunuhan.”
Pak komandan tercengang. Lalu memangil dua polisi untuk menghadapnya,
“Sipa, ada apa, Komandan?”
“Ada kasus pembunuhan. Telusuri kasus ini. Bapak ini menjadi saksi, sekaligus sebagai pengadu.”
“Siap, Komandan.”
Kedua polisi itu kemudian mengajak pria buta untuk mengikuti penyelidikan kasus pembunuhan itu. Baru sepertiga perjalanan polisi dengan kumis tebal, muka dingin menyeramkan itu mengutarakan kebingungannya,
“Maaf sebelumnya, Pak. Sebenarnya, siapa yang dibunuh, dimana dan kenapa?”
Pria buta itu menundukkan kepala. Walaupun matanya buta dan terpejam, tapi air matanya tetap tidak bisa dibendung. Ia terisak tangis. Tangisnya terdengar sangat pilu. Sangat menyayat hati bagi yang mendengarnya. Ia tak mampu berkata-kata. Suaranya parau tak jelas.
“Tenang, Pak. Tarik nafas lalu hembuskan!” perintah polisi berwajah polos.
Hemmffftttt, wusssshhhhh....
“Nah, sudah tenang kan? Sekarang jelaskan pada kami!”
“Yang terbunuh adalah sahabat saya, Pak.”
“Siapa yang membunuh?”
“Yang membunuh ialah anak-anak muda sekarang.”
“Iya, siapa namanya?”
“Banyak nama, Pak. Ada TV, Internet, Komputer, Video Game, Facebook, Instagram, Line, WhatsApp, BBM, dan media sosial yang lain.”
“Dengar baik-baik, Pak, maksud saya seperti apa rupa orang itu?”
“Iya, memang mereka semua yang membunuh sahabat saya, Pak.”
“Anda jangan main-main dengan kami. Saya tembak nanti.”
“Serius saya, Pak.”
“Tunggu dulu, siapa nama sahabat, Anda?”
“Nama sahabat saya adalah “BUKU” Pak.”
“Buku? Itu nama orang?”
“Bapak ini bagaimana si? Buku ya buku, Pak.”
“Buku yang putih dan bertuliskan kata-kata yang mendadi kalimat lalu menjadi paragraf-paragraf itu? yang berisi tentang pemikiran, sejarah, puisi, cerita, hikayat, media pembelajaran dan kadang catatan seseorang itu?”
Pria buta itu menundukkan kepala lalu kembali menangis. Air matanya menetes-netes perlahan-lahan tapi terus-menerus dari lobang hitam bekas mata, ia yang duduk dikursi belakang  mobil polisi itu seperti patung yang hidup. Air mata mengalir membanjiri kabin mobil. Air mata mengalir memenuhi ruang mobil lalu luber sampai keluar dari celah-celah mobil turun kejalan dan masuk ke celah-celah trotoar.
“Jadi, yang terbunuh ini bukan orang tapi buku?”
“Iya, Pak.”
“Anda benar-benar tidak waras.”
“Pak, saya hanya kasihan kepada sahabat saya, Pak. Sebelum mata saya buta, saya yang rajin membacanya, memeliharanya, menemaninya, menyayanginya, selalu membawanya ketika saya pergi. Hanya saya, Pak. Ketika mata saya sudah buta, sahabat saya ditelantarkan, berdiam gelisah dirak-rak yang penuh debu dan sarang laba-laba. Banyak yang rusak dibuat bungkus gorengan, bungkus tahu lontong, bungkus cabe, bungkus kacang rebus, bungkus bumbu masak. Yang lebih sadis lagi, sahabat saya dibakar, dibuang, diabaikan, ditelantarkan. Kisah terbunuhnya sahabat saya ini lebih sangat memprihatinkan, Pak.  Buku telah mati, Pak. Padahal dia adalah jendela dunia, padahal dia adalah saksi sejarah, padahal dia adalah sumber rujukan. Kenapa dia dibunuh?”

 “Penyelidikan hari ini ditunda, dimulai lagi besok .”   ucap polisi berwajah seram dan menurunkan pria buta di pinggir jalan. Lalu meninggalkannya.        
***           
Dalam perjalanan kembali ke kantor, Polisi bermuka seram berkata pada  Polisi bermuka polos,“Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kewarasannya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban yang lebih besar lagi?”           
polisi bermuka polos itu ingin menjawab dengan sesuatu yang menghilangkan rasa bersalah, semacam kalimat, “Kebenaran tidak pernah salah.” Namun polisi berwajah seram telah tertidur dalam kemacetan jalan yang menjengkelkan. 


Singaraja, 27 November 2016
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar