Si Buku Telah Mati
Oleh: Kang Aswan
Oleh: Kang Aswan
Seorang yang buta mata itu datang tanpa mata. Ia
berjalan tertatih-tatih masuk ke kantor polisi dengan tangan meraba-raba
udara. Ia sangat terburu-buru. Sepertinya ada sesuatu yang sangat genting yang
harus ia laporkan pada polisi. Mungkinkah ada kasus pencurian? Ataukah pembunuhan?
Dengan tenang
komandan polisi menyambut pria buta itu,
“Selamat
datang, Pak. Apa ada yang bisa kami bantu?”
“Iya,
Komandan.”
“Memangnya
ada apa, Pak? Kok, kelihatannya genting sekali?”
“Gawat, Pak
Polisi. Gawat sekali.”
“Gawat? Apanya
yang gawat, Pak?”
“Pokoknya
gawat?”
“Iya gawat
kenapa?” tanya komandan polisi kesal.
“Ada
pembunuhan.”
Pak komandan
tercengang. Lalu memangil dua polisi untuk menghadapnya,
“Sipa, ada
apa, Komandan?”
“Ada kasus
pembunuhan. Telusuri kasus ini. Bapak ini menjadi saksi, sekaligus sebagai
pengadu.”
“Siap,
Komandan.”
Kedua polisi
itu kemudian mengajak pria buta untuk mengikuti penyelidikan kasus pembunuhan
itu. Baru sepertiga perjalanan polisi dengan kumis tebal, muka dingin
menyeramkan itu mengutarakan kebingungannya,
“Maaf
sebelumnya, Pak. Sebenarnya, siapa yang dibunuh, dimana dan kenapa?”
Pria buta
itu menundukkan kepala. Walaupun matanya buta dan terpejam, tapi air matanya
tetap tidak bisa dibendung. Ia terisak tangis. Tangisnya terdengar sangat pilu.
Sangat menyayat hati bagi yang mendengarnya. Ia tak mampu berkata-kata. Suaranya
parau tak jelas.
“Tenang,
Pak. Tarik nafas lalu hembuskan!” perintah polisi berwajah polos.
Hemmffftttt,
wusssshhhhh....
“Nah, sudah
tenang kan? Sekarang jelaskan pada kami!”
“Yang
terbunuh adalah sahabat saya, Pak.”
“Siapa yang
membunuh?”
“Yang
membunuh ialah anak-anak muda sekarang.”
“Iya, siapa
namanya?”
“Banyak
nama, Pak. Ada TV, Internet, Komputer, Video Game, Facebook, Instagram, Line,
WhatsApp, BBM, dan media sosial yang lain.”
“Dengar
baik-baik, Pak, maksud saya seperti apa rupa orang itu?”
“Iya,
memang mereka semua yang membunuh sahabat saya, Pak.”
“Anda
jangan main-main dengan kami. Saya tembak nanti.”
“Serius
saya, Pak.”
“Tunggu
dulu, siapa nama sahabat, Anda?”
“Nama
sahabat saya adalah “BUKU” Pak.”
“Buku?
Itu nama orang?”
“Bapak
ini bagaimana si? Buku ya buku, Pak.”
“Buku
yang putih dan bertuliskan kata-kata yang mendadi kalimat lalu menjadi
paragraf-paragraf itu? yang berisi tentang pemikiran, sejarah, puisi, cerita,
hikayat, media pembelajaran dan kadang catatan seseorang itu?”
Pria buta itu menundukkan kepala
lalu kembali menangis. Air matanya menetes-netes perlahan-lahan tapi
terus-menerus dari lobang hitam bekas mata, ia yang duduk dikursi belakang mobil polisi itu seperti patung yang hidup.
Air mata mengalir membanjiri kabin mobil. Air mata mengalir memenuhi ruang mobil
lalu luber sampai keluar dari celah-celah mobil turun kejalan dan masuk ke
celah-celah trotoar.
“Jadi, yang terbunuh ini bukan
orang tapi buku?”
“Iya, Pak.”
“Anda benar-benar tidak waras.”
“Pak, saya hanya kasihan kepada
sahabat saya, Pak. Sebelum mata saya buta, saya yang rajin membacanya,
memeliharanya, menemaninya, menyayanginya, selalu membawanya ketika saya pergi.
Hanya saya, Pak. Ketika mata saya sudah buta, sahabat saya ditelantarkan,
berdiam gelisah dirak-rak yang penuh debu dan sarang laba-laba. Banyak yang
rusak dibuat bungkus gorengan, bungkus tahu lontong, bungkus cabe, bungkus
kacang rebus, bungkus bumbu masak. Yang lebih sadis lagi, sahabat saya dibakar,
dibuang, diabaikan, ditelantarkan. Kisah terbunuhnya sahabat saya ini lebih
sangat memprihatinkan, Pak. Buku telah mati, Pak. Padahal dia adalah
jendela dunia, padahal dia adalah saksi sejarah, padahal dia adalah sumber
rujukan. Kenapa dia dibunuh?”
“Penyelidikan hari ini
ditunda, dimulai lagi besok .” ucap polisi berwajah seram dan
menurunkan pria buta di pinggir jalan. Lalu meninggalkannya.
***
Dalam perjalanan kembali ke
kantor, Polisi bermuka seram berkata pada
Polisi bermuka polos,“Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan
kewarasannya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum
mestinya berkorban yang lebih besar
lagi?”
polisi bermuka polos itu ingin menjawab dengan
sesuatu yang menghilangkan rasa bersalah, semacam kalimat, “Kebenaran tidak
pernah salah.” Namun polisi berwajah seram telah tertidur dalam kemacetan
jalan yang menjengkelkan.
Singaraja, 27 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar