Senin, 14 November 2016

Cerpen_Bagas & Rio (Dari Lentera Kampus Hirarki)





BAGAS & RIO
(Dari Lentera Kampus Hirarki)
Oleh: Kang Aswan
“Dengan penuh rendah hati aku menulis cerpen ini. Dengan suasana hati yang getir, jari menari menekan deretan-deretan huruf yang tak runtut ini. Pukul 22.50 waktu setempat, aku berpikir keras merancang kata demi kata menjadi sebuah karya yang mempunyai visi. Karya yang dapat bernafas. Karya yang dapat merasuk ke dalam jiwa yang paham akan maknanya.”
*KA*
            Rio telah pergi. Kepergiannya laksana mentari yang ditelan oleh kegelapan malam. Cepat dan sesuai aturan. Belakangan ini matahari bergerak begitu lambat, seakan bergerak dengan merangkak inci demi inci. Mendung sering bergelantung gelisah enggan menurunkan gerimis walau hanya sesapuan. Suasana begitu kelabu seakan dunia sudah kehilangan warna-warni selebihnya.
            Orang bilang waktu adalah uang. Ada juga yang mengatakan bahwa waktu adalah pedang. Tapi, bagiku waktu adalah sesuatu yang lebih berharga daripada uang dan lebih berbahaya daripada pedang. Entah apa aku menyebutnya. Terlalu sulit untukku jelaskan dengan tulisan. Tak ada romantika cukup kuat untuk aku dapat menaklukkan sang waktu. Ternyata waktu lebih hebat daripada aku. Waktu telah mengubah semuanya. Yang aku inginkan atau yang tak aku inginkan.
            Baik terang maupun bayang-bayang tak urung disorong terus oleh waktu. Tak ada yang balik pada titiktolak. Waktu yang terus berjalan menuju ke kemusnahan. Dan kemusnahan yang menyebabkan kelahiran kembali.
            Aku tak tahu betul apakah tulisan ini cukup tepat atau tidak. Setidak-tidaknya semua harus diawali. Dan inilah awal tulisanku.
ӝ
            Satu bulan sudah Rio dan aku tak diijinkan untuk pergi ke kampus. Juga tidak diperbolehkan untuk mengkritik dan menentang kebijakan-kebijakan kampus. Seorang tukang pos datang dengan baju yang khas. Aku tak keluar dari kamar. Rio yang menemuinya, sebentar kemudian Rio memarahi tukang pos itu. Rio memanggil aku keluar. Rio dan tukang pos itu berdiri berhadapan.
            Ketika melihat aku datang, Rio melemparkan selembar kertas padaku.
            “Gas, baca itu!” serunya dengan nada yang parau.
            Aku membaca kata demi kata. Dari atas sampai bawah. Selembar kertas itu berisi tulisan yang mengatakan bahwa aku dan Rio diperbolehkan untuk mengikuti perkuliahan dengan catatan tidak mengganggu kebijakan-kebijakan yang birokrasi kampus tentukan. Apapun kebijakan itu, aku dan Rio harus menurutinya.
            Pada hari-hari belakangan ini syaraf Rio sudah sedemikian tergelitik dan siap bertengkkar dengan siapa saja. Aku segan menyertai pertengkaran itu. apalagi melihat Rio tidak segan-segan memekik dan menggeram dengan wajah merah berapi-api.
            Tukang pos itu terpaksa melarikan diri, meninggalkan kontrakan dan melompat ke atas sepeda motor bututnya.
            “Mengapa kau hanya bengong seperti orang yang tak punya otak?” tegur Rio. “Takut?” Suaranya kemudian menurun mendekati gerutu, “Memang mereka membutuhkan ketakutan kita, Gas, biar kita diam saja, bagaimanapun aktivis diperlakukan.”
            “Toh semua sudah selesai, Rio. Kita bisa kuliah lagi.”
            “Memang, sudah selesai dengan kekalahan kita, tetapi tetap ada azaz yang telah mereka langgar. Mereka telah melanggar UUD Pasal 28 dengan melarang kita mengeluarkan pendapat berupa lisan dan tulisan. Padahal dalam Pasal 1 (1) UU No. 9 Tahun 1998, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagaimana secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jangan kau kira bisa membela sesuatu, apalagi keadilan, kalau tak acuh terhadap azaz, biar sekecil-kecilnya pun.*” *kata-kata Pram dalam novelnya Anak Semua Bangsa.
            Dan mulailah ia mengguruiku tentang azaz. Sesuatu ajaran yang sudah dari dulu aku dapatkan di sekolah, di kampus atau ketika membaca buku.
            “Dengarkan,” ia memulai dan kudengarkan dengan setengah hati, “kau harus melawan ketika sesuatu yang kau punya diambil, walaupun itu hanya seculi batu. Bukan karena batu itu berharga, tapi azaznya mengambil milik tanpa ijin adalah pencurian. Itu tidak benar. Apalagi pencurian terhadap kebebasan kita selama beberapa waktu ini. Mereka telah mencuri kebebasan berpendapat kita.”
            “Ya, Rio,” jawabku dengan harapan ia segera mengakhiri ajarannya yang hanya setengah hati aku menginginkanya, setengahnya lagi tidak.
            Rio benar-benar mengakhiri ajarannya dengan pergi seumpama mentari yang tertelan oleh kegelapan malam. Ya, ia pergi. Ia pergi membawa kemerdekaanya. Kemerdekaan berpendapat. Ia pergi untuk mencari tempat agar ia tidak merasa terusik ketika mengkritik dengan lisan ataupun tulisan. Mungkin sekarang ia sudah nyaman ditempat baru yang ia temukan. Mungkin sekarang ia sudah menulis berlembar-lembar opini, cerpen, puisi atau bahkan novel yang kritis. Dan ia merasa tidak ada satu orang pun yang akan mencuri kemerdekaanya dalam berpendapat.
            Pukul 00.17 waktu setempat, aku masih berimajinasi dengan tulisanku. Walaupun mata sudah berdemo ingin terpejam, aku tetap melawan dengan cara memelototkannya. Akhirnya, aku takluk oleh massa yang menginginkan agar mata bisa terpejam. Sebelum aku beranjak ke tempat tidur aku berdiri ragu-ragu di belakang pintu. Aku ingat-ingat apa yang masih terlupa olehku. Ya, memang ada sesuatu yang kurang. Biasanya sebelum tidur aku telah baca buku dan berdiskusi dengan Rio. Entah sudah berapa lama aku tak membaca buku dan berdiskusi. Aku kembali menghadap komputerku, duduk. Tangan mulai menggerayangi tumpukan buku yang ditinggalkan oleh Rio. Nafsu baca ternyata sudah tiada.
            Mengapa aku kehilangan kemampuan seperti ini? Aku paksa diri membaca buku. Tak mau. Aku singkirkan tumpukan-tumpukan buku dan aku menemukan sebuah tulisan di atas kertas lusuh dan usang. Kuambil, kukibas-kibaskan debu yang menempel dan kubaca:
           
Mahasiswa Tidur

            Sekarang ini mahasiswa hanya bisa diam. Belajar yang giat agar lulus tepat pada waktunya. Mendapatkan kerja dan berumahtangga sama seperti impiannya. Tak ada lagi kritik. Tak ada lagi demonstrasi. Kini semua tenang, semua jalanan legang. Sekarang mahasiswa banyak tertidur. Dari realita yang tergambar penuh derita. Dari kenyataan yang seharusnya mereka ubah dengan usaha.
Tak ada lagi mahasiswa bertengkar dengan aparat. Tak ada lagi mahasiswa keluar ke jalan mengenakan almamaternya. Tak ada lagi teriakan dan kepalan penuh amarah. Kini semua pemimpin bisa tidur nyenyak. Tak perlu memikirkan lagi nasib bangsanya. Karena mahasiswa, toh, telah mereka tidurkan. Dalam tumpukan tugas, lembaran uang proyek, dan kegiatan yang diciptakan berlandaskan hura-hura.
Tertidurlah nasib bangsaku, tidurlah mahasiswa. Bermimpilah yang tinggi dengan penuh khidmat. Karena setelah kamu bangun nanti. Kamu akan menemui bangsa ini makan dengan derita berlauk duka. Jalan-jalan merindukan derap langkah. Di depan gedung MPR. Jalan-jalan di sana merindukan langkah-langkah menghujaminya. Langkah-langkah dari para pemuda yang keluar bersama.
Sepatu berharga murah yang dirindukanya. Bukan gelinding ban mobil mewah yang berlalu-lalang. Jalan-jalan itu merindukan hentakan kaki para mahasiswa. Teriakan lantang penuh semangat. Bukan stelan jas berharga puluhan juta. Jalan-jalan itu merindukan kaki-kaki yang menyampaikan amanat.
Harapan dari ratusan juta rakyat yang hidup sengsara. Jalan-jalan itu merindukan derap langkah para manusia muda. Jalan-jalan itu telah muak dengan manusia yang setiap hari masuk dan keluar. Tetapi, tak menghasilkan apa-apa. Jalan-jalan itu selalu merindukan, manusia muda yang rela letih bahkan mati untuk bangsa ini.
Adakah yang bisa mengobati rindu jalan-jalan itu?

Ferry Irawan
Pelaihari, 10 November 2013.


ӝ
            Kehidupanku berjalan terus tanpa Rio.
            Aku sendiri telah kembali pada kegiatan semula setelah membaca tulisan di atas kertas usang itu. Membacai buku-buku, majalah, dan artikel-artikel, menulis dan mengarang. Ditambah dengan kritikan-kritikan mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah ataupun birokrasi kampus. Walaupun hati masih ada rasa getir.
            Memang dengan berat hati aku tuliskan cerpen ini. Kalian yang baik. Bukan untuk menyakiti hati kalian. Aku hanya ingin menyampaikan: bangunlah kawan! Bangunlah dari tidur panjangmu! Tak perlu teriak tak apa. Cobalah asah penamu. Menulislah! Karena dengan tulisan maka namamu akan dikenang.
            Dari lentera kampus hirarki ini aku sampaikan lewat tulisan. Kepadamu Rio dan kepada semua civitas mahasiswa seluruh Indonesia.

Singaraja, 15 November 2016
Pukul 01.16 dini hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar