BAGAS & RIO
(Dari Lentera Kampus Hirarki)
Oleh:
Kang Aswan
“Dengan
penuh rendah hati aku menulis cerpen ini. Dengan suasana hati yang getir, jari
menari menekan deretan-deretan huruf yang tak runtut ini. Pukul 22.50 waktu
setempat, aku berpikir keras merancang kata demi kata menjadi sebuah karya yang
mempunyai visi. Karya yang dapat bernafas. Karya yang dapat merasuk ke dalam
jiwa yang paham akan maknanya.”
*KA*
Rio telah pergi. Kepergiannya laksana
mentari yang ditelan oleh kegelapan malam. Cepat dan sesuai aturan. Belakangan
ini matahari bergerak begitu lambat, seakan bergerak dengan merangkak inci demi
inci. Mendung sering bergelantung gelisah enggan menurunkan gerimis walau hanya
sesapuan. Suasana begitu kelabu seakan dunia sudah kehilangan warna-warni
selebihnya.
Orang bilang waktu adalah uang. Ada
juga yang mengatakan bahwa waktu adalah pedang. Tapi, bagiku waktu adalah
sesuatu yang lebih berharga daripada uang dan lebih berbahaya daripada pedang.
Entah apa aku menyebutnya. Terlalu sulit untukku jelaskan dengan tulisan. Tak
ada romantika cukup kuat untuk aku dapat menaklukkan sang waktu. Ternyata waktu
lebih hebat daripada aku. Waktu telah mengubah semuanya. Yang aku inginkan atau
yang tak aku inginkan.
Baik terang maupun bayang-bayang tak
urung disorong terus oleh waktu. Tak ada yang balik pada titiktolak. Waktu yang
terus berjalan menuju ke kemusnahan. Dan kemusnahan yang menyebabkan kelahiran
kembali.
Aku tak tahu betul apakah tulisan
ini cukup tepat atau tidak. Setidak-tidaknya semua harus diawali. Dan inilah
awal tulisanku.
ӝ
Satu bulan sudah Rio dan aku tak diijinkan
untuk pergi ke kampus. Juga tidak diperbolehkan untuk mengkritik dan menentang
kebijakan-kebijakan kampus. Seorang tukang pos datang dengan baju yang khas.
Aku tak keluar dari kamar. Rio yang menemuinya, sebentar kemudian Rio memarahi
tukang pos itu. Rio memanggil aku keluar. Rio dan tukang pos itu berdiri
berhadapan.
Ketika melihat aku datang, Rio
melemparkan selembar kertas padaku.
“Gas, baca itu!” serunya dengan nada
yang parau.
Aku membaca kata demi kata. Dari
atas sampai bawah. Selembar kertas itu berisi tulisan yang mengatakan bahwa aku
dan Rio diperbolehkan untuk mengikuti perkuliahan dengan catatan tidak
mengganggu kebijakan-kebijakan yang birokrasi kampus tentukan. Apapun kebijakan
itu, aku dan Rio harus menurutinya.
Pada hari-hari belakangan ini syaraf
Rio sudah sedemikian tergelitik dan siap bertengkkar dengan siapa saja. Aku
segan menyertai pertengkaran itu. apalagi melihat Rio tidak segan-segan memekik
dan menggeram dengan wajah merah berapi-api.
Tukang pos itu terpaksa melarikan
diri, meninggalkan kontrakan dan melompat ke atas sepeda motor bututnya.
“Mengapa kau hanya bengong seperti
orang yang tak punya otak?” tegur Rio. “Takut?” Suaranya kemudian menurun
mendekati gerutu, “Memang mereka membutuhkan ketakutan kita, Gas, biar kita
diam saja, bagaimanapun aktivis diperlakukan.”
“Toh semua sudah selesai, Rio. Kita
bisa kuliah lagi.”
“Memang, sudah selesai dengan
kekalahan kita, tetapi tetap ada azaz yang telah mereka langgar. Mereka telah
melanggar UUD Pasal 28 dengan melarang kita mengeluarkan pendapat berupa lisan
dan tulisan. Padahal dalam Pasal 1 (1) UU No. 9 Tahun 1998, bahwa kemerdekaan
menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran
dengan lisan, tulisan, dan sebagaimana secara bebas dan bertanggungjawab sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jangan kau kira
bisa membela sesuatu, apalagi keadilan, kalau tak acuh terhadap azaz, biar
sekecil-kecilnya pun.*” *kata-kata Pram dalam
novelnya Anak Semua Bangsa.
Dan mulailah ia mengguruiku tentang
azaz. Sesuatu ajaran yang sudah dari dulu aku dapatkan di sekolah, di kampus
atau ketika membaca buku.
“Dengarkan,” ia memulai dan
kudengarkan dengan setengah hati, “kau harus melawan ketika sesuatu yang kau
punya diambil, walaupun itu hanya seculi batu. Bukan karena batu itu berharga,
tapi azaznya mengambil milik tanpa ijin adalah pencurian. Itu tidak benar.
Apalagi pencurian terhadap kebebasan kita selama beberapa waktu ini. Mereka
telah mencuri kebebasan berpendapat kita.”
“Ya, Rio,” jawabku dengan harapan ia
segera mengakhiri ajarannya yang hanya setengah hati aku menginginkanya,
setengahnya lagi tidak.
Rio benar-benar mengakhiri ajarannya
dengan pergi seumpama mentari yang tertelan oleh kegelapan malam. Ya, ia pergi.
Ia pergi membawa kemerdekaanya. Kemerdekaan berpendapat. Ia pergi untuk mencari
tempat agar ia tidak merasa terusik ketika mengkritik dengan lisan ataupun
tulisan. Mungkin sekarang ia sudah nyaman ditempat baru yang ia temukan.
Mungkin sekarang ia sudah menulis berlembar-lembar opini, cerpen, puisi atau
bahkan novel yang kritis. Dan ia merasa tidak ada satu orang pun yang akan
mencuri kemerdekaanya dalam berpendapat.
Pukul 00.17 waktu setempat, aku
masih berimajinasi dengan tulisanku. Walaupun mata sudah berdemo ingin terpejam,
aku tetap melawan dengan cara memelototkannya. Akhirnya, aku takluk oleh massa
yang menginginkan agar mata bisa terpejam. Sebelum aku beranjak ke tempat tidur
aku berdiri ragu-ragu di belakang pintu. Aku ingat-ingat apa yang masih terlupa
olehku. Ya, memang ada sesuatu yang kurang. Biasanya sebelum tidur aku telah
baca buku dan berdiskusi dengan Rio. Entah sudah berapa lama aku tak membaca
buku dan berdiskusi. Aku kembali menghadap komputerku, duduk. Tangan mulai
menggerayangi tumpukan buku yang ditinggalkan oleh Rio. Nafsu baca ternyata
sudah tiada.
Mengapa aku kehilangan kemampuan
seperti ini? Aku paksa diri membaca buku. Tak mau. Aku singkirkan
tumpukan-tumpukan buku dan aku menemukan sebuah tulisan di atas kertas lusuh
dan usang. Kuambil, kukibas-kibaskan debu yang menempel dan kubaca:
Mahasiswa Tidur
Sekarang ini mahasiswa hanya bisa
diam. Belajar yang giat agar lulus tepat pada waktunya. Mendapatkan kerja dan
berumahtangga sama seperti impiannya. Tak ada lagi kritik. Tak ada lagi
demonstrasi. Kini semua tenang, semua jalanan legang. Sekarang mahasiswa
banyak tertidur. Dari realita yang tergambar penuh derita. Dari kenyataan
yang seharusnya mereka ubah dengan usaha.
Tak ada lagi mahasiswa bertengkar dengan aparat. Tak ada lagi mahasiswa
keluar ke jalan mengenakan almamaternya. Tak ada lagi teriakan dan kepalan
penuh amarah. Kini semua pemimpin bisa tidur nyenyak. Tak perlu memikirkan
lagi nasib bangsanya. Karena mahasiswa, toh, telah mereka tidurkan. Dalam
tumpukan tugas, lembaran uang proyek, dan kegiatan yang diciptakan
berlandaskan hura-hura.
Tertidurlah nasib bangsaku, tidurlah mahasiswa. Bermimpilah yang tinggi
dengan penuh khidmat. Karena setelah kamu bangun nanti. Kamu akan menemui
bangsa ini makan dengan derita berlauk duka. Jalan-jalan merindukan derap
langkah. Di depan gedung MPR. Jalan-jalan di sana merindukan langkah-langkah
menghujaminya. Langkah-langkah dari para pemuda yang keluar bersama.
Sepatu berharga murah yang dirindukanya. Bukan gelinding ban mobil mewah
yang berlalu-lalang. Jalan-jalan itu merindukan hentakan kaki para mahasiswa.
Teriakan lantang penuh semangat. Bukan stelan jas berharga puluhan juta.
Jalan-jalan itu merindukan kaki-kaki yang menyampaikan amanat.
Harapan dari ratusan juta rakyat yang hidup sengsara. Jalan-jalan itu
merindukan derap langkah para manusia muda. Jalan-jalan itu telah muak dengan
manusia yang setiap hari masuk dan keluar. Tetapi, tak menghasilkan apa-apa.
Jalan-jalan itu selalu merindukan, manusia muda yang rela letih bahkan mati
untuk bangsa ini.
Adakah yang bisa mengobati rindu jalan-jalan itu?
Ferry Irawan
Pelaihari, 10 November 2013.
|
ӝ
Kehidupanku berjalan terus tanpa
Rio.
Aku sendiri telah kembali pada
kegiatan semula setelah membaca tulisan di atas kertas usang itu. Membacai
buku-buku, majalah, dan artikel-artikel, menulis dan mengarang. Ditambah dengan
kritikan-kritikan mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah ataupun birokrasi
kampus. Walaupun hati masih ada rasa getir.
Memang dengan berat hati aku
tuliskan cerpen ini. Kalian yang baik. Bukan untuk menyakiti hati kalian. Aku
hanya ingin menyampaikan: bangunlah kawan! Bangunlah dari tidur panjangmu! Tak
perlu teriak tak apa. Cobalah asah penamu. Menulislah! Karena dengan tulisan
maka namamu akan dikenang.
Dari lentera kampus hirarki ini aku
sampaikan lewat tulisan. Kepadamu Rio dan kepada semua civitas mahasiswa
seluruh Indonesia.
Singaraja,
15 November 2016
Pukul
01.16 dini hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar