Senin, 21 November 2016

JANCUK



Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya sudah menduga pikiran-pikiran anda yang hanya membaca sekilas judul diatas. Pasti pikiran anda mengatakan bahwa saya ini orang yang tidak sopan. Karena saya dengan jelas menulis kata "Jancuk".
Akan tetapi, hanya orang-orang yang berfikiran sempitlah yang berfikiran kalau kata "Jancuk" itu jelek. Memang sesuai kenyataan kata jancuk lebih sering digunakan sebagai bahasa umpatan seperti, fuck, bangsat, dll. Namun dibalik kata jancuk terdapat sebuah arti yang sangat luas. Lalu apa arti kata jancuk itu? Mari kita kaji bersama-sama.
Jancuk secara umum adalah kata khas Jawa Timur yang sudah menyebar diseluruh negeri ini. Terutama orang-orang Surabaya sangat akrab dengan kata yang legendaris ini. Mengenai pengertian jancuk banyak sekali versinya. Seperti versi arab, versi Belanda, versi Jepang hingga versi masyrakat Surabaya itu sendiri. Akan tetapi, dalam tulisan ini saya akan mengambil satu versi saja. Versi Arab. Ya, karena dalam versi ini kata jancuk mengadung arti yang luar biasa.
Dalam versi Arab kata asal-mula kata “Jancuk” berasal dari kata Da’Suk. Da’ artinya “meninggalkanlah kamu”, dan assyu’a artinya “kejelekan”, digabung menjadi Da’Suk yang artinya “tinggalkanlah keburukan”. Kata tersebut diucapkan dalam logat Surabaya menjadi “Jancok”. Lha, dari versi tersebut maka bisa saya ambil kesimpulan bahwa kata jancuk itu adalah kata nasehat.
Mbah Sujiwo Tejo mengatakan,
“Jancuk” itu ibarat sebilah pisau. Fungsi pisau sangat tergantung dari user-nya dan suasana psikologis siuser. Kalau digunakan oleh penjahat, bisa jadi senjata pembunuh. Kalau digunakan oleh seorang istri yang berbakti pada keluarganya, bisa jadi alat memasak. Kalau dipegang oleh orang yang sedang dipenuhi dendam, bisa jadi alat penghilang nyawa manusia. Kalau dipegang orang yang dipenuhi rasa cinta pada keluarganya bisa dipakai menjadi perkakas untuk menghasilkan penghilang lapar manusia. Begitupun “jancuk”, bila diucapkan dengan niat tak tulus, penuh amarah, dan penuh dendam maka akan dapat menyakiti. Tetapi bila diucapkan dengan kehendak untuk akrab, kehendak untuk hangat sekaligus cair dalam menggalang pergaulan, “jancuk” laksana pisau bagi orang yang sedang memasak. “Jancuk” dapat mengolah bahan-bahan menjadi jamuan pengantar perbincangan dan tawa-tiwi di meja makan. (Sujiwo Tedjo, 2012, halaman x).
Jancuk merupakan simbol keakraban. Simbol kehangatan. Simbol kesantaian. Lebih-lebih di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta santainya “jancuk” kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar kemunafikan itu. (Sujiwo Tejo, 2012 : 397).
Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan oleh Mbah Sujiwo Tejo ini. Kalau menurut Mbah Tejo, jancuk bagaikan sebilah pisau. Tapi kalau menurut saya kata jancuk itu bagaikan kertas putih. Ketika kertas putih itu dicoret dengan tinta hitam, maka kertas itu juga akan hitam. Ketika kertas itu dicoret dengan tinta hijau, maka kertas itu juga akan hijau. Akan tetapi, ketika kertas itu sudah dicoret dengan berbagai warna dengan rancangan sedemikian rupa, maka bisa jadi sebuah kertas yang putih itu akan menjadi sebuah maha karya yang sangat indah. Menjelma menjadi lukisan. Begitu pula dengan kata jancuk.
Emha Ainun Najib (Cak Nun) pun tidak pernah sungkan mengatakan kata jancuk. Namun tetap dalam situasi dan kondisi. Dalam keadan dimana dan dengan siapa kata jancuk tidak sungkan diucapkan oleh Cak Nun.
Bahkan kata jancuk bisa menjadi kata yang sangat merakyat. Kata yang sangat efektif sebagai media untuk merakyat. Kata yang menghilangkan sekat antara penguasa dengan bawahan, antara pemimpin dengan rakyat, antara tuan dan budak. Tapi, kata jancuk juga bisa menjadi kata yang sangat mematikan.
Ketahuilah, bahwa arti kata jancuk bukan hanya dipersempit dengan kata umpatan. Akan tetapi jancuk memiliki makna yang sangat luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar