Jumat, 25 November 2016

Ayahanda Lafran Pane Menjadi Pahlawan Nasional, Kenapa Tidak?




Oleh: Kang Aswan

Tercatat dalam tinta sejarah bahwa mahasiswa selalu berada dalam garda terdepan dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan. Disadari karena potensinya tersebut sebagai Agen of Change (Agen Perubahan), Control Sosial dan Calon pemimpin bangsa, serta merupakan bagian masyarakat yang memiliki kekuatan mopral, injtelektual;, dan idealisme. Maka mahasiswa perlu membekali diri dengan berbagai kemampuan tersebut. Kuliah saja tidaklah cukup karena pada dasarnya ghanya membekali mahasiswa dengan ilmu-ilmu yang bersifat teoritis dan abstrak.

Organisasi kemahasiswaan menjadi alternaif sebagai wadah aktualisasi untuk menguji daya nalar, moral dan idealisme karena organisasi kemahasiswaan berinteraksi langsung dengan masyarakat dengan berbagai problematikanya.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah salah satru orgamnisasi kemahasiswaan ekstra universitas yang tertua di Indonesia dimana orientasi kegiatanya terfokus pada terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab terhadap terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah swt.
Berbicara mengenai HMI tak akan lepas dari yang namanya Ayahanda Lafran Pane. Beliau adalah sang pemprakarsa berdirinya organisasi mahasiswa (ormawa) yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam ini.

Lafran Pane lahir pada 5 Februari 1922 di Padang Sidempuan. Menurut berbagai tulisan sebelumnya, disebutkan bahwa Lafran Pane lahir pada 12 April 1923 di Kampung Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, sebuah tempat yang terletak di kaki Gunung Sibualbuali, 38 kilometer ke arah utara dari “kota salak” Padang Sidempuan, ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Lafran Pane adalah anak keenam keluarga Sutan Pangurabaan Pane dari istrinya yang pertama. Ibunda Lafran Pane meninggal 2 tahun setelah kelahiranya. Lafran Pane adalah bungsu dari enam bersaudara, yaitu: Nyonya Tarib, Sanusi Pane, Armijn Pane, Nyonya Bahari Siregar, Nyonya Ali Hanafiah, Lafran Pena, dan dua orang saudara se-ayah yaitu, Nila Kusuma Pane dan Krisna Murti Pane.
Ayah beliau, Sutan Pangurabaan Pane termasuk salah seorang pendiri Muhammadiyah di Sipirok pada 1921. Sedangkan kakek Lafran Pane seorang ulama bernama Syekh Badurrahman Pane. Karena tidak merasakan kasih sayang ibu kandung sebagaimana mestinya serta tidak puas dengan asuhan ibu tiri, Lafran Pane mengalami kesusahan hidup yang mengakibatkan ia mudah dihinggapi penyakit rendah diri. Hal ini menimbulkan suatu kompensasi berupa kenakalan yang luar biasa. Jalan pikirannya susah dimengerti banyak orang, termasuk ayahnya.

Pendidikan sekolah Lafran Pane dimulai dari Pesantren Muhammadiyah Sipirok (kini dilanjutkan oleh Pesantren K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Setia dekat Desa Parsorminan Siporok. Dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah Lafran Pane ini mengalami perpindahan sekolah yang sering kali dilakukan, hingga pada akhirnya Lafran Pane meneruskan sekolah di kelas 7 (Tujuh) di HIS Muhammadiyah, menyambung hingga ke Taman Dewasa Raya Jakarta sampai pecah Perang Dunia II, pada saat itu ibu kota pindah ke Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang semula di Jakarta juga ikut pindah ke Yogyakarta. Wawasan dan intelektual Lafran berkembang saat proses perkuliahan yang membawa pengaruh pada diri Lafran Pane yang ditandai dengan semakin banyaknya buku-buku Islam yang ia baca. Sebelum tamat dari STI, Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada April 1948 Universitas Gajah Mada (UGM) yang kemudian di Negerikan pada tahun 1949. Tercatat dlam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran Pane termasuk salah satu mahasiswa yang pertama kali lulus mencapai gelar sarjana,yaitu tanggal 26 Januari 1953. Dengan sendirinya, Drs. Lafran Pane menjadi salah satu sarjana ilmu politik pertama di Indonesia, selanjutnya Lafran Pane lebih tertarik di lapangan pendidikan dan keluar dari Kementerian Luar Negeri dan masuk kembali ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada November 1946, dengan mengundang beberapa mahasiswa Islam di Yogyakarta, baik yang ada di Sekolah Tinggi Islam (STI), Sekolah Tinggi Teknik (STT) maupun yang di Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada untuk rapat. Rapat ini dihadiri lebih kurang 30 mahasiswa, di antaranya terdapat pengurus PMY (Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta) dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Rapat-rapat yang telah berulang dilaksanakan belum melahirkan perkumpulan, karena ditentang oleh PMY dan GPII, bahkan tidak sedikit pula yang curiga.

Meski demikian. Betapapun besarnya tantangan, kritikan yang datang dari dalam dan luar Islam, semakin besar pula keinginan Lafran Pane mendirikan HMI. Lafran Pane tidak berkenan mundur. Ia mendapatkan tambahan semangat ketika beberapa mahasiswa STI menyatakan dukungan.

Tidak berselang lama, gagasan Lafran Pane telah menyebar di kalangan mahasiswa STI, Lafran Pane segera menyiapkan Rencana Anggaran Dasar dan nama organisasi yang akan ditawarkan, yakni HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).

Dengan penuh semangat, Lafran Pane bergerilya mencari mahasiswa di luar STI guna menyamanakan visi. Ia berhati-hati sekali demi menjaga kemungkinan adanya penyusupan. Lafran Pane sering duduk di depan serambi Masjid Besar Kauman menjelang Shalat Jum’at. Tatkala bertemu mahasiswa yang akan shalat, Lafran segera memperkenalkan diri seraya mengajak masuk ke dalam organisasi yang akan dibentuk. Kapasitasnya sebagai Ketua III Senat Mahasiswa STI urusan kemahasiswaan membuat Lafran Pane mengenal banyak mahasiswa, di samping itu Lafran juga menjadi pengurus PMY seksi STI bersama Amin Syakhir.

Seiring semakin matangnya situasi yang mengiringi kelahiran HMI, kemudian pendukungnya terus bertambah serta makin solid di awal tahun 1997, Lafran Pane bertekad tidak menyiakan momentum. Namun niat beliau dkk ini belum dimengerti banyak pihak, khususnya PMY dan GPII. Lafran Pane bertahan, ia meyakini kebutuhan sangat mendesak, mengingat belum ada organisasi sejenis,  maka secara kelahiran harus segera dilangsungkan.

Saat itu seharusnya jam kuliah Tafsir, dosennya Hussein Yahya, Lafran meminta izin kepada beliau. Mengetahui Lafran Pane selaku Ketua III Senat Mahasiswa STI, Hussein Yahya mengizinkan meskipun ia belum tahu pasti tujuan pertemuan itu, namun ia tertarik menyaksikan peristiwa itu.

Akhirnya, dengan segala persiapan, saat itu hari Rabu Pon 1878, 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947, jam 16.00 sore, bertempat di salah satu ruangan kuliah STI, Jalan Setyodiningratan, masuklah mahasiswa Lafran Pane, langsung berdiri di depan kelas dan memimpin rapat. Berdirilah ketika itu sebuah organisasi kemahasiswaan yang memiliki indepedensi yang bernama HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).

 

Pemikiran Pembaharuan Islam

Menurut Lafran Pane, Tugas umat Islam adalah mengajak umat manusia kepada kebaikan dan juga menciptakan masyarakat adil makmur baik secara material dan spiritual. Dengan adanya gagasan pembaharuan pemikiran keislaman, diharapkan kesenjangan dan kejumudan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dapat dilakukan dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam. Kebekuan pemikiran Islam saat itu telah membawa pada arti agama yang kaku dan sempit, tidak lebih dari agama yang hanya melakukan peribadatan. Al-Qur’an hanya dijadikan sebatas bahan bacaan. Agama Islam tidak menempatkan sebagai agama yang universal. Gagasan pembaharuan pemikiran Islam ini pun hendaknya dapat menyadarkan umat Islam yang terlena dengan kebesaran dan kejayaan masa lalu. Demikian memahami pemikiran Lafran Pane yang tidak lepas dari lingkungannya, yaitu negara Indonesia yang berpendudukan mayoritas beragama Islam, dengan segala realitas dan totalitasnya. Pemikiran Lafran Pane tidak bisa dipahami tanpa meletakkannya dalam suatu proses sejarah atau tradisi panjang yang melingkupinya. Dari pemikiran itu dampaknya adalah berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam, pada tanggal 5 Februari 1947 Lafran menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI karena ia adalah orang yang mengagagas HMI, akan tetapi Lafran mundur dari ketua Umum PB HMI pada 22 Agustus 1947 dan pindah menjadi Wakil Ketua Umum, artinya ia hanya menjabat sebagai Ketua Umum selama 7 bulan dan kemudian posisinya diberikan kepada seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada bernama Mohammad Syafa'at Mintaredja. Strageti ini dilakukan agar HMI tidak terkesan milik mahasiswa STI, selain juga memperluas dakwah HMI di kampus umum serta memperkuat posisi HMI dalam dunia kemahasiswaan.

Karya-karya Lafran Pane

Data-data tentang Lafran Pane tidak banyak berubah sejak 1947. Karya tulisnya pun terbatas. berikut ini merupakan judul karya-karya Lafran Pane dengan bentuk artikel bebasnya:
  1. Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia
  2. Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
  3. Kedudukan Dekrit Presiden
  4. Kedudukan Presiden
  5. Kedudukan Luar Biasa Presiden
  6. Kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
  7. Tujuan Negara
  8. Kembali ke Undang-undang Dasar 1945
  9. Memurnikan Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945
  10. Memurnikan Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945
  11. Perubahan Konstitusional
  12. Menggugat Eksistensi HMI
Namun,  dengan karyanya, pemikirannya, dan perjuangannya, disaat hari pahlawan nasional dinegara yang sudah cukup tua ini, nama Lafran Pane belum ditemukan dijajaran pahlawan nasional. Artinya apa, pertama pemerintah sebagai pemutus kebijakan belum menuntaskan janji terdahulu untuk tidak melupakan jasa leluhur. Pemerintah tidak boleh melupakan jasa-jasa Lafran Pane. Kedua, PB HMI sebagai anak-cucu Lafran, dari dulu seharusnya memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk memberi gelar pahlawan nasional bagi Lafran Pane. Miris tentunya apabila HMI tidak memperjuangkan “ayahnya” sendiri dimata pemerintah Indonesia.
Selain itu, momen hari pahlawan yang memang sudah terlewatkan, seharusnya menjadi momen untuk mempertimbangkan Lafran Pane sebagai pahlawan nasional, tanpa harus menunggu formalitas rekomendasi dari PB HMI. Ada atau tidaknya rekomendasi, pemerintah dengan sendirinya segera harus menetapkan Keppres pahlawan nasional untuk Lafran Pane. Memang sebenarnya, gelar “pahlawan nasional” itu sendiri tak dibutuhkan bagi diri Lafran Pane. Namun, hal ini tetaplah sangat penting. Karna melalui diri seorang Lafran lah masyarakat dapat belajar untuk terus mengabdi terhadap Nusa dan Bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar