Oleh:
Kang Aswan
Tercatat dalam
tinta sejarah bahwa mahasiswa selalu berada dalam garda terdepan dalam
memperjuangkan cita-cita kemerdekaan. Disadari karena potensinya tersebut
sebagai Agen of Change (Agen Perubahan), Control Sosial dan Calon
pemimpin bangsa, serta merupakan bagian masyarakat yang memiliki kekuatan
mopral, injtelektual;, dan idealisme. Maka mahasiswa perlu membekali diri
dengan berbagai kemampuan tersebut. Kuliah saja tidaklah cukup karena pada
dasarnya ghanya membekali mahasiswa dengan ilmu-ilmu yang bersifat teoritis dan
abstrak.
Organisasi kemahasiswaan menjadi
alternaif sebagai wadah aktualisasi untuk menguji daya nalar, moral dan
idealisme karena organisasi kemahasiswaan berinteraksi langsung dengan
masyarakat dengan berbagai problematikanya.
Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) adalah salah satru orgamnisasi kemahasiswaan ekstra universitas yang
tertua di Indonesia dimana orientasi
kegiatanya terfokus pada terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan
bertanggung jawab terhadap terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi
Allah swt.
Berbicara mengenai HMI tak akan lepas dari yang
namanya Ayahanda Lafran Pane. Beliau adalah sang pemprakarsa berdirinya
organisasi mahasiswa (ormawa) yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam ini.
Lafran Pane lahir pada 5 Februari 1922 di Padang
Sidempuan. Menurut berbagai tulisan sebelumnya, disebutkan bahwa Lafran Pane
lahir pada 12 April 1923 di Kampung Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, sebuah
tempat yang terletak di kaki Gunung Sibualbuali, 38 kilometer ke arah utara
dari “kota salak” Padang Sidempuan, ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara. Lafran Pane adalah anak keenam keluarga Sutan Pangurabaan Pane
dari istrinya yang pertama. Ibunda Lafran Pane meninggal 2 tahun setelah
kelahiranya. Lafran Pane adalah bungsu dari enam bersaudara, yaitu: Nyonya
Tarib, Sanusi Pane, Armijn Pane, Nyonya Bahari Siregar, Nyonya Ali Hanafiah,
Lafran Pena, dan dua orang saudara se-ayah yaitu, Nila Kusuma Pane dan Krisna
Murti Pane.
Ayah beliau, Sutan Pangurabaan Pane termasuk salah
seorang pendiri Muhammadiyah di Sipirok pada 1921. Sedangkan kakek Lafran Pane
seorang ulama bernama Syekh Badurrahman Pane. Karena tidak merasakan kasih
sayang ibu kandung sebagaimana mestinya serta tidak puas dengan asuhan ibu
tiri, Lafran Pane mengalami kesusahan hidup yang mengakibatkan ia mudah
dihinggapi penyakit rendah diri. Hal ini menimbulkan suatu kompensasi berupa
kenakalan yang luar biasa. Jalan pikirannya susah dimengerti banyak orang,
termasuk ayahnya.
Pendidikan sekolah Lafran Pane dimulai
dari Pesantren Muhammadiyah Sipirok (kini dilanjutkan oleh Pesantren K.H. Ahmad Dahlan
di Kampung Setia dekat Desa
Parsorminan Siporok. Dari jenjang pendidikan dasar
hingga menengah Lafran Pane ini mengalami perpindahan sekolah yang sering kali
dilakukan, hingga pada akhirnya Lafran Pane meneruskan sekolah di kelas 7
(Tujuh) di HIS Muhammadiyah, menyambung hingga ke
Taman Dewasa Raya Jakarta sampai pecah Perang Dunia II, pada saat itu ibu kota
pindah ke Yogyakarta dan Sekolah
Tinggi Islam (STI) yang semula di Jakarta juga ikut
pindah ke Yogyakarta. Wawasan dan intelektual Lafran berkembang saat proses
perkuliahan yang membawa pengaruh pada diri Lafran Pane yang ditandai dengan
semakin banyaknya buku-buku Islam yang ia baca. Sebelum tamat dari
STI, Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada April 1948 Universitas Gajah Mada
(UGM) yang kemudian di Negerikan pada tahun 1949. Tercatat
dlam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran Pane termasuk salah satu
mahasiswa yang pertama kali lulus mencapai gelar sarjana,yaitu tanggal 26 Januari
1953.
Dengan sendirinya, Drs. Lafran Pane menjadi salah satu sarjana ilmu politik
pertama di Indonesia, selanjutnya Lafran Pane lebih tertarik di lapangan
pendidikan dan keluar dari Kementerian Luar Negeri dan masuk kembali ke
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada November 1946, dengan mengundang beberapa
mahasiswa Islam di Yogyakarta, baik yang ada di Sekolah Tinggi Islam (STI),
Sekolah Tinggi Teknik (STT) maupun yang di Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada
untuk rapat. Rapat ini dihadiri lebih kurang 30 mahasiswa, di antaranya
terdapat pengurus PMY (Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta) dan GPII (Gerakan
Pemuda Islam Indonesia). Rapat-rapat yang telah berulang dilaksanakan belum
melahirkan perkumpulan, karena ditentang oleh PMY dan GPII, bahkan tidak
sedikit pula yang curiga.
Meski demikian. Betapapun besarnya tantangan, kritikan
yang datang dari dalam dan luar Islam, semakin besar pula keinginan Lafran Pane
mendirikan HMI. Lafran Pane tidak berkenan mundur. Ia mendapatkan tambahan semangat
ketika beberapa mahasiswa STI menyatakan dukungan.
Tidak berselang lama, gagasan Lafran Pane telah
menyebar di kalangan mahasiswa STI, Lafran Pane segera menyiapkan Rencana
Anggaran Dasar dan nama organisasi yang akan ditawarkan, yakni HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam).
Dengan penuh semangat, Lafran Pane bergerilya mencari
mahasiswa di luar STI guna menyamanakan visi. Ia berhati-hati sekali demi
menjaga kemungkinan adanya penyusupan. Lafran Pane sering duduk di depan
serambi Masjid Besar Kauman menjelang Shalat Jum’at. Tatkala bertemu mahasiswa
yang akan shalat, Lafran segera memperkenalkan diri seraya mengajak masuk ke
dalam organisasi yang akan dibentuk. Kapasitasnya sebagai Ketua III Senat
Mahasiswa STI urusan kemahasiswaan membuat Lafran Pane mengenal banyak
mahasiswa, di samping itu Lafran juga menjadi pengurus PMY seksi STI bersama
Amin Syakhir.
Seiring semakin matangnya situasi yang mengiringi
kelahiran HMI, kemudian pendukungnya terus bertambah serta makin solid di awal
tahun 1997, Lafran Pane bertekad tidak menyiakan momentum. Namun niat beliau
dkk ini belum dimengerti banyak pihak, khususnya PMY dan GPII. Lafran Pane
bertahan, ia meyakini kebutuhan sangat mendesak, mengingat belum ada organisasi
sejenis, maka secara kelahiran harus
segera dilangsungkan.
Saat itu seharusnya jam kuliah Tafsir, dosennya
Hussein Yahya, Lafran meminta izin kepada beliau. Mengetahui Lafran Pane selaku
Ketua III Senat Mahasiswa STI, Hussein Yahya mengizinkan meskipun ia belum tahu
pasti tujuan pertemuan itu, namun ia tertarik menyaksikan peristiwa itu.
Akhirnya, dengan segala persiapan, saat itu hari Rabu
Pon 1878, 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947, jam
16.00 sore, bertempat di salah satu ruangan kuliah STI, Jalan Setyodiningratan,
masuklah mahasiswa Lafran Pane, langsung berdiri di depan kelas dan memimpin
rapat. Berdirilah ketika itu sebuah organisasi kemahasiswaan yang memiliki
indepedensi yang bernama HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
Pemikiran Pembaharuan Islam
Menurut Lafran Pane, Tugas umat
Islam adalah mengajak umat manusia kepada kebaikan dan juga menciptakan masyarakat
adil makmur baik secara material dan spiritual. Dengan adanya gagasan
pembaharuan pemikiran keislaman, diharapkan kesenjangan dan kejumudan pengetahuan,
pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dapat dilakukan dan
dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam. Kebekuan pemikiran
Islam saat itu telah membawa pada arti agama yang kaku dan sempit, tidak lebih
dari agama yang hanya melakukan peribadatan. Al-Qur’an
hanya dijadikan sebatas bahan bacaan. Agama Islam tidak
menempatkan sebagai agama yang universal. Gagasan pembaharuan pemikiran Islam
ini pun hendaknya dapat menyadarkan umat Islam yang terlena dengan kebesaran
dan kejayaan masa lalu. Demikian memahami
pemikiran Lafran Pane yang tidak lepas dari lingkungannya, yaitu negara Indonesia
yang berpendudukan mayoritas beragama Islam, dengan segala realitas dan
totalitasnya. Pemikiran Lafran Pane tidak bisa dipahami tanpa meletakkannya
dalam suatu proses sejarah atau tradisi panjang yang melingkupinya. Dari
pemikiran itu dampaknya adalah berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam, pada
tanggal 5 Februari 1947 Lafran menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI
karena ia adalah orang yang mengagagas HMI, akan tetapi Lafran mundur dari
ketua Umum PB HMI pada 22 Agustus 1947 dan pindah menjadi Wakil Ketua Umum, artinya ia hanya
menjabat sebagai Ketua Umum selama 7 bulan dan kemudian posisinya diberikan
kepada seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada bernama Mohammad Syafa'at Mintaredja. Strageti ini dilakukan agar HMI tidak
terkesan milik mahasiswa STI, selain juga memperluas dakwah HMI di kampus umum
serta memperkuat posisi HMI dalam dunia kemahasiswaan.
Karya-karya Lafran Pane
Data-data tentang Lafran Pane
tidak banyak berubah sejak 1947. Karya tulisnya pun terbatas. berikut ini merupakan judul
karya-karya Lafran Pane dengan bentuk artikel bebasnya:
- Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia
- Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
- Kedudukan Dekrit Presiden
- Kedudukan Presiden
- Kedudukan Luar Biasa Presiden
- Kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
- Tujuan Negara
- Kembali ke Undang-undang Dasar 1945
- Memurnikan Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945
- Memurnikan Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945
- Perubahan Konstitusional
- Menggugat Eksistensi HMI
Namun, dengan karyanya, pemikirannya, dan perjuangannya,
disaat hari pahlawan nasional dinegara yang sudah cukup tua ini, nama Lafran
Pane belum ditemukan dijajaran pahlawan nasional. Artinya apa, pertama
pemerintah sebagai pemutus kebijakan belum menuntaskan janji terdahulu untuk
tidak melupakan jasa leluhur. Pemerintah tidak boleh melupakan jasa-jasa Lafran
Pane. Kedua, PB HMI sebagai anak-cucu Lafran, dari dulu seharusnya memberikan
rekomendasi kepada pemerintah untuk memberi gelar pahlawan nasional bagi Lafran
Pane. Miris tentunya apabila HMI tidak memperjuangkan “ayahnya” sendiri dimata
pemerintah Indonesia.
Selain itu, momen hari pahlawan
yang memang sudah terlewatkan, seharusnya menjadi momen untuk mempertimbangkan
Lafran Pane sebagai pahlawan nasional, tanpa harus menunggu formalitas
rekomendasi dari PB HMI. Ada atau tidaknya rekomendasi, pemerintah dengan
sendirinya segera harus menetapkan Keppres pahlawan nasional untuk Lafran Pane.
Memang sebenarnya, gelar “pahlawan nasional” itu sendiri tak dibutuhkan bagi
diri Lafran Pane. Namun, hal ini tetaplah sangat penting. Karna melalui diri
seorang Lafran lah masyarakat dapat belajar untuk terus mengabdi terhadap Nusa
dan Bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar