Senin, 21 November 2016

Warung Politik


 Ditengah-tengah hingar bingar kota industri, terlihat ada sebuah warung kopi kecil pinggir jalan dekat dengan pohon waru yang condong. Orang-orang menyebut warung ini dengan nama "Warung Waru Doyong".
Mbok Dewor adalah pemilik warung. Dia janda beranak satu. Penampilan yang masih aduhai mampu memikat bapak-bapak serta pemuda-pemuda untuk sekedar mampir menyeruput secangkir kopi hitam pekat dengan didampingi bermacam gorengan khas Jawa Timur-an. Tak jarang juga para lelaki itu datang hanya untuk modus dengan Mbok Dewor.
Di tengah-tengah bisingnya Kota Surabaya, terdengar cuap-cuap para pengunjung warung. Terlihat disana ada lima orang laki-laki sedang duduk lesehan melingkar dibawah Pohon Waru. Didepan setiap orang ada secangkir kopi. Di sana juga terlihat Mbok Dewor sedang mencuci cangkir bekas kopi.
Lima orang tersebut ialah, Pak Wendi (seorang tukang becak yang sering mangkal depan warung), Pak Hardi (seorang pengangguran sukses), Ardi (Seorang Mahasiswa), Jarwo (Aktifis gagal) dan Bagio (Pecinta kopi hitam).
Sruppp...
Pak Wendi mulai menyeruput kopinya. Terlihat Bagio dan Pak Hardi mengikuti. Sedangkan Ardi dan Jarwo sedang bercakap-cakap.
"Banyak yang mau jadi pemimpin, padahal menjadi pemimpin itu banyak tugasnya," cerocos Jarwo.
"Betul, saat ini Indonesia seperti makanan yang sangat lezat yang diperebutkan banyak orang," kata Ardi.
Pak Wendi tertawa, "Hahaha, heh Jarwo memangnya anak sekolahan banyak tugas?" Ledek Pak Wendi. Semua tertawa termasuk Mbok Dewor. Jarwo hanya menggaruk kepalanya. Mungkin rambut ikalnya itu gatal karena menjadi sarang kutu.
"Rakyat menaruh harapan pada setiap pemimpin. Bersemangat ikut pemilu dengan segala karut-marut dan hingar-bingarnya!" Sahut Pak Hardi sambil meniup kopinya.
"Ya Pak, akan tetapi para pemimpin sekarang tidak ada yang bersih," tukas Ardi.
"Emangnya Deterjen bersih?" Ucap Pak Wendi. Mereka berlima tertawa terpingkal-pingkal. Memang tukang becak yang satu ini sangat humoris.
Sejenak setelah tertawa mereka diam dan menikmati kopi ditengah-tengah deru suara kendaraan dan debu beterbangan.
"Nak Ardi! Menurut sampeyan bagaimana politik dan demokrasi saat ini?" Tanya Pak Hardi.
Ardi tersenyum, "Gimana ya pak. Kita tau sendirilah kalau politik dan demokrasi kita sudah tercemar oleh oknum-oknum yang mementingkan diri sendiri, seperti seorang tukang becak yang berkaos partai itu. Katanya, 'Kalau gak ono uwik yo gak obos' (kalau gak ada uang ya gak coblos)." Jawab Ardi ngece Pak Wendi.
"Jancuk koen! Cah cilik wani karo wong tuwo (anak kecil berani sama orangtua)." Pak Wendi menghujat. Mereka berlima tertawa.
"Walah Wen wen, ancen sampeyan iku tidak bisa memperbersih demokrasi kita," bela Bagio. Pak Wendi tidak menggubris suara Bagio, karena ada pelanggan yang ingin menumpang becaknya. Dia langsung menghabiskan kopi hingga ampas-ampasnya. Sambil bergegas Pak Wendi berkata, "Iku prinsipku!" Mereka berempat menggeleng-gelengkan kepala. Setelah Pak Wendi pergi tinggallah mereka berempat. Obrolan-pun berlanjut.
"Indahnya koalisi bagaikan langit membiru dan padi menguning. Suara waktu kampanye bagaikan emas, akan tetapi kalau sudah jadi lupa dengan rakyat, ibarat kacang yang lupa kulitnya," kata Pak Hardi panjang lebar.
Ardi dan Jarwo tersenyum. Sambil menyomot bakwan dalam piring Jarwo berkata, "Itu betul Pak Hardi, pangan tak terjangkau, sekolah Sidoarjo ambruk dan lumpur tetap menyembur." Memang Sidoarjo adalah kota kelahiran Jarwo.
Bagio menganggukan kepala. Sedangkan Ardi meniup kopinya.
"Saat-saat seperti ini banyak sekali para calon menghiasi layar televisi, memenuhi halaman koran, menjadi weden tikus dll," ucap Pak Hardi.
"Dan juga sedang mencari nomor keberuntungan," tambah Bagio.
"Memangnya mau main togel?" Sahut Jarwo.
Ardi menghela nafas panjang dan menghembuskannya, "Pemimpin kita bagaikan pelawak yang hanya main-main dan selalu membuat lelucon yang sangat basi," katanya.
"Saya yakin, sebentar lagi bakalan ada hujan duit di musim kampanye," ucap Bagio.
"Suap politik?" Tanya Ardi meyakinkan.
Bagio mengangguk. Pak Hardi menyalakan korek api dan menghisap sebatang rokok.
"Hati-hati, selain janjinya palsu bisa jadi uangnya juga palsu!" Candanya. Dan mereka berempat terpingkal-pingkal.
"Ngakunya si demokrasi akan tetapi ujung-ujungnya serangan fajar," kata Ardi.
"Betul itu. Lha, ada pembahasan baru, menurut Nak Ardi, apakah hukum mampu mengatasi serangan fajar?" Tanya Bagio.
Ardi menyeruput kopinya sebelum menjawab. Cuaca mulai panas akan tetapi obrolan mereka kian sangat asyik.
"Kita tau hukum kita saat ini Cak Bag. Hukum kita itu tajam kebawah dan tumpul keatas. Kalau menurut saya hukum kita tidak bisa mengatasi masalah money politic ini. Karena manusia sejatinya tidak hanya diatur oleh hukum akan tetapi dalam kehidupan ada yang namanya etika. Lha meskipun hukum sudah sangat baik tapi etika masyarkat masih tidak baik, bagaimana hukum bisa ditegakkan?" Jawab Ardi denga per aya diri.
"Itu betul sekali, saya sangat setuju," tukas Pak Hardi.
"Wah, gak sia-sia orangtua mu kuliah-kan mu," sahut Jarwo. Ardi tersenyum bangga.
"Salahnya hukum Indonesia juga gini, dalam Hadis Rasul, 'Siapa yang menyuap dan yang disuap dua-duanya masuk neraka. Sedangkan kalau Indonesia kan hanya menghukum para calon yang ketahuan main uang saja, sedangkan rakyat yang menerima uang pemilu tidak dihukum. Itu sebabnya masyarakat masih menerima uang suap," tambah Ardi. Pak Hardi mengangguk, Jarwo dan Bagio juga. Mereka bertiga setuju dengan pendapat pemuda itu. Kemudia Bagio bangkit dan pamitan, karena da ada keperluan. Tinggal Pak Hardi, Ardi dan Jarwo yang masih setia duduk dibawah Pohon Waru itu.
Mbok Dewor keluar dari dalam warung dan membawa sepiring gorengan hangat, "Monggo! Bapak, mas gorengan-ne!" Kata Mbok Dewor. Kemudia Mbok Dewor kembali masuk dalam warung.
"Pemimpin sekarang meminta duit ke negara dengan dalih 'Demi Rakyat', katanya aspirasilah, apalah," kata Pak Hardi memulai lagi obrolan yang sempat terputus.
"Urusan minta duit memang kreatif," sahut Ardi.
"Saya mau nanya lagi ini pada Nak Ardi sebelum saya balik." Ucap Pak Hardi. Ardi mengangguk.
"Kalau menurut Nak Ardi apa saja tugas seorang calon Pemimpin Indonesia ini?"
Ardi kembali menghirup nafas, "Begini Pak Har. Saya pernah membaca sebuah komik karya Bang Benny Rachmadi yang berjudul PR BUAT PRESIDEN. Lha dalam komik itu menyatakan beberapa tugas seorang pemimpin diantaranya adalah; bagaimana caranya supaya negeri ini tidak lagi disebut "Negeri Para Koruptor", lalu infrastruktur yang bobrok harus dibenahi! Percuma dong kita bayar pajak, jangan membuat kebijakan yang aneh-aneh dan bikin bingung, dan PR paling penting ya dibidang ekonomi! Soal BBM bersubsidi, nilai tukar rupiah, saham, investasi, inflasi, pajak, harga sembako, gas 3 kg, listrik, upah buruh, TKI, kemiskinan, upah minimum propinsi, dan lain-lain," jawab Ardi.
Mereka semua terdiam. Menikmati kopi yang begitu nikmat. Kemudian Pak Hardi berdiri dan membayar semua kopi dan gorengannya. Mereka bertiga lalu meneruskan aktifitas masing-masing dan berpisah.
***
THR tidak cukup, BBM naik, tiket mahal, cicilan mobil, rumah, dll. Itulah mungkin kata yang terucap oleh masyarakat Indonesia. Selama masih berhubungan dengan dolar maka rupiah akan krisis terus menerus. Kata peribahasa, "Hujan batu di negeri sendiri, Hujan batu batu juga di negeri orang? Seperti ke medan perang harus siap mati. Wah.. Indah nian bunga di taman bermekaran. Begitu juga bunga hutang negara yang tak kunjung terbayar. Bunga tabungan turun tapi bungan kredit tidak. Pendapatan perkapita naik, selama inflasi masih tinggi sama saja bohong. Rupiah rentan sekali masuk angin. Harga saham tidak lebih mahal dari harga satu permen. Ibu-ibu pejabat senang berburu barang-barang mahal, sedangkan bapak pejabat berburu saham buat sampingan. Dari belakang teknologi hingga bumbu dapur semua impor. Indonesia sebgai negara tempat penitipan produk-produk luar. PR pemimpin akan semakin bertambah karena negeri ini selalu jadi langganan bencana. Satu PR lagi bagi; jangan biarkan negara kalah dengan premanisme dan kriminalitas. Hinggga masyarakat bertanya, "jangan-jangan hidup makmur itu cuma ada dalam mimpi? Kalau kita bikin surat ke pemimpin, bakal dibalas nggak ya?". Sedangka rakyat sendiri masih bersenang senang dan bersikap apatis terhadap pemimpin negara. Ayo bangun saatnya ke alam nyata!
Sudah paham, kan?
Kalau begitu selamat mengerjakan.
***
Untuk para Calon Pemimpin.
Dari seorang Pemuda Garis Keras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar