Ki Ageng Macapat
Oleh:Kang Aswan
Ki
Ageng Macapat adalah seorang guru besar padepokan Sekar Alit. Beliau memiliki sifat
seperti Raja Agung Sri Jayalengkara raja Kerajaan Medhang Kamulan. Raja Agung
Sri Jayalengkara memiliki pikiran tenang dan berbudi halus (ambek santa budi alus), raja utama
pandai dalam ilmu politik (nata dibya
putus ing niti), mengasihi bala tentara (asih ing wadya tantra), sayang terhadap wanita (paramartêng wadu), teguh terhadap jiwa
kepahlawanan (widagdêng mring kasudiran),
berhasil dalam berkarya secara lahiriyah maupun batiniah (sida sedya putus ing agal lan alit), dan tidak terpengaruh sihir
(tan kénger ing aksara). Begitu juga dengan Ki Ageng Macapat yang memiliki
kesamaan dengan Raja Agung Sri Jayakengkara.1
Pada
waktu sore yang gerimis. Ki Ageng Macapat sedang nembang (bernyanyi/bersenandung). Beliau menembangkan syair Tembang Dolanan Sluku-Sluku Batok,2
Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si
Rama menyang Solo
Oleh-olehe payung motha
Mak jenthit lolo lobah
Nek obah medeni bocah
Nek urip goleka dhuwit
Setelah
menembangkan Sluku-Sluku Batok,
beliau melanjutkannya dengan Tembang
Dolanan Gundul-gundul Pacul,3
Gundul-gundul pacul-cul
1Serat
Jayalengkara
2Tembang
Sluku-sluku Bathok ciptaan Walisongo
3Tembang
Gundul-gundul Pacul ciptaan Sunan Kalijaga
Gembelengan
Nyunggi nyunggi
wakul-kul
Gembelengan
Wakul ngglimpang,
segane dadi sak latar
Wakul ngglimpang,
segane dadi sak latar
Tak
sengaja, dua murid Ki Ageng Macapat melewati ruangan santainya. Mereka sempat
mendengarkan lalu mengitip. Mereka tersenyum-senyum sendiri mendengarkan
gurunya yang sedang bersenandung ria. Mereka takjub dengan keriangan gurunya
diwaktu gerimis. Suara gurunya meliuk-liuk membuat hujan rintik-rintik kian
menari-nari. Sinar mentari muncul malu-malu dibalik awan. Lalu..
“As,
apa yang dinyanyikan guru, yo? Tanya
Dhangdhang Gendis penasaran.
“Saya
indak tahu e, Kang Mas,” jawab Asmaradana sambil membenarkan blangkonnya yang sudah kebesaran.
Sejurus
kemudian. Di belakang Gendis dan Dana yang sedang asyik mendengarkan gurunya
yang sedang bersenandung, seorang pria separuh baya yang berwibawa dengan klambi ontokusumo4,
mengagetkan Gendis dan Dana,
“Woh opo sampeyan-sampeyan nang kene?5”
Gendis dan Dana terperanjat keget hingga
blangkon Gendis jatuh.
“Anu, guru,” jawab Dana gugup.
Ternyata pria separuh baya itu ialah
Ki Ageng Macapat yang dengan sekejap sudah berada di belakang Gendis dan Dana
tanpa sepengetahuan mereka berdua.
“Guru kok bisa ada disini?” tanya
Gendis heran.
“Semua itu kuasa Allah,” jawab Ki
Ageng lembut. “Seharusnya saya yang bertanya kepada kalian, ngapain kalian
disini. Bukannya sekarang waktunya mengaji?”
4Julukan untuk
Pakaian Sunan Kalijaga
5Sedang apa
sampeyan-sampeyan di sini?
“Iya guru, tadi kami memang dalam
perjalanan ke langgar[6], lalu kami
mendengar guru nembang. Dan kami
penasaran dengan syair-syair itu,” jawab Gendis dengan menunduk.
Ki Ageng hanya tersenyum simpul
mendengar pengakuan dua muridnya yang polos dan lugu itu. Lalu Ki Ageng
berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan kedua muridnya.
“Lantas, apa yang akan kalian
lakukan dengan rasa penasaran kalian?” tanya Ki Ageng.
Pertanyaan itu membuat dada Gendis
dan Dana berdetak cepat. Keringat dingin keluar. Mulut mereka terkunci oleh
ketakutan.
“Lho kok diam?”
“Sepuntene
ingkang katah, Guru. Kami tidak bermaksud mengganggu guru,” Dana
menjawab.
“Ayo ikut saya!”
Mendengar ajakan Ki Ageng, Gendis
dan Dana gemetar. Perasaan gusar menyelimuti hati mereka. Mereka takut luar
biasa. Dalam pikiran mereka hanya ada hukuman.
Ya, hukuman bagi mereka yang bersalah. Mereka bersalah karena telah mengganggu
waktu santai gurunya. Bunyi pejut sudang menguing ditelinga mereka. Mereka
gemetar.
“Silahkan duduk!” perintah Ki Ageng.
Mereka berdua tidak berani untuk
duduk. Mereka hanya menunduk.
“Ayo silahkan duduk!”
Dengan perasaan yang masih tak
karuan mereka berdua akhirnya duduk.
“Apa yang membuat kalian itu
mengintip?” tanya Ki Ageng.
Dengan gemetar Gendis menjawab,
“Anu.. kami ingin tahu makna dari tembang yang guru lantunkan.”
Ki Ageng menggut-manggut, “jadi
seperti itu. Apa kalian benar-benar ingin tahu makna-makna dari tembang
tersebut?”
Mereka berdua menggangguk takzim.
“Baiklah, guru akan memberi tahu
makna dari tembang tadi. Salah satu wali yang sangat terkenal bagi orang Jawa
adalah Sunan Kalijaga. Ketenaran wali ini adalah karena ia seorang ulama yang
sakti dan cerdas. Bahkan sebagian orang Jawa menganggap Sunan Kalijaga sebagai guru
agung dan suci di Tanah Jawa. Tahun kelahiran serta wafat Sunan
Kalijaga belum dapat dipastikan, hanya diperkirakan ia mencapai usia lanjut.
Diperkirakan ia lahir ± 1450M berdasarkan suatu sumber yang menyatakan bahwa
Sunan Kalijaga menikah dengan putri Sunan Ampel pada usia ± 20 tahun, yakni
tahun 1470 M. Sunan Ampel yang diyakini lahir pada 1401 M, ketika menikahkan
putrinya dengan Sunan Kalijaga berusia 50-an tahun. Diperkirakan pada tahun
1580 M Sunan Kalijaga wafat. Peran Sunan Kalijaga dalam berdakwah tampak dalam
berbagai kegiatan, baik kegiatan agama secara langsung ataupun dalam pemerintahan
dan kegiatan seni dan budaya pada umumnya. Diantaranya:
mendirikan
Masjid Masjid Demak, berdakwah melalui media budaya yakni melalui seni
pewayangan dan melalui lagu atau tembang. Ia juga mengajarkan falsafah hidup
lewat alat pertanian berupa luku (bajak) dan pacul (cangkul).
Tembang Dolanan Gundul-Gundul Pacul
Gundhul gundhul pacul cul,
Gembelengan
nyunggi nyunggi wakul kul,
gembelengan
wakul ngglimpang, segane dadi sak latar
wakul ngglimpang, segane dadi sak latar
Artinya,
‘Kepala botak tanpa rambut ibarat cangkul,
Geleng- geleng’
‘Membawa bakul,
Geleng- geleng
‘Bakulnya jatuh, nasinya tumpah berantakan di jalan
‘Bakulnya jatuh, nasinya tumpah berantakan di jalan
Fungsi yang terdapat pada tembang gundul-gundul
pacul adalah fungsi pendidikan, yaitu menggambarkan seorang anak yang gundul,
nakal, bandel, angkuh, dan tidak bertanggung jawab. Dia tidak dapat membedakan
hal-hal yang baik dan buruk. Dia beranggapan bahwa dirinya orang yang paling
benar, paling bisa, dan paling pintar, sehingga dia bersikap gembelengan, sombong, dan tak tahu diri. Apabila dipercaya untuk memegang
amanah
yang menyangkut kehidupan orang banyak, dia tetap bersikap tidak peduli. Akibat
dari kesombongan dan keangkuhannya itu maka kesejahteraan dan keadilan yang
semestinya berhasil akhirnya menjadi hancur berantakan. Dari syair tembang
tersebut mengandung makna tidak boleh sombong, dalam hal ini terlihat bahwa orang
yang sombong, angkuh, dan
ceroboh
akan membawa kehancuran dan kegagalan, maka dari itu jika engkau menjadi seorang
pemimpin yang diberi amanah dan tanggung jawab agar mampu memegang dan
menjalankan sebaik-baiknya sehingga terwujud kesejahteraan dan keadilan bagi
rakyat.” Penjelasan Ki Ageng panjang lebar.
“Lalu,
apa makna tembang Sluku-sluku bathok,Guru?”
Ki Ageng menjawab sambil nembang, “Tembang
Dolanan Sluku-Sluku Batok
Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si Rama menyang Solo
Oleh-olehe payung motha
Mak jenthit lolo lobah
Wong mati ora obah
Nek obah medeni bocah
Nek urip goleka dhuwit.
Artinya,
‘Ayun-ayun kepala’
‘Kepalanya geleng geleng’
‘Si bapak pergi ke Solo’
‘Oleh-olehnya payung mutha’
‘Secara tiba-tiba begerak
‘Orang mati tidak bergerak’
‘Kalau bergerak menakuti orang’
‘Kalau hidup carilah uang’
Secara tipografis tembang Sluku-
Sluku Batok memiliki
bentuk sederhana. Tembang Dolanan Jawa ini hanya memiliki satu bait (guru
gatra) yang terdiri atas delapan baris dengan rima akhir bebas tetapi mirip
pola syair. Dalam tem-bang Sluku-sluku Bathok terdapat kata-kata yang
bermakna simbolis, di antaranya kata bathok ‘kepala’, Si Rama ‘Bapak
atau Ayah’, payung motha ‘payung kertas’, wong mati’orang
mati’, wong urip’orang hidup’. Kata-kata simbolis dalam tembang Sluku-sluku
Bathok memberikan makna agar orang hidup senantiasa berusa-ha tidak diam
saja seperti orang mati.
Tembang Dolanan Sluku-Sluku Batok dilagukan
dengan menyesuaikan maknanya. Tembang ini biasanya dinyayikan
ketika sore hari di tempattempat yang luas sambil bercanda gurau bersama
dan sambil menunggu adzan Magrib berkumandang. Biasanya dilagukan
oleh anak-anak dengan cara ngusuk-usuk atau mengelus-elus bagian tubuhnya
sendiri, biasanya mengeluselus kaki, tetapi ka-dang-kadang ada juga
yang kepala. Dengan bernyanyi, seolah-olah anak meng-harap kedatangan
bapaknya yang sedang pergi bekerja dengan mengharapkan oleh-oleh dari
ayah.
Tembang Sluku-Sluku Bathok mempunyai makna
bahwa hidup tidak boleh dihabiskan hanya untuk bekerja. Waktu
istirahat ya istirahat untuk menjaga jiwa dan raga agar selalu dalam kondisi
seimbang. Sluku-sluku bathok, artinya bathok kepala kita
perlu beristirahat untuk memaksimalkan kemampuannya. Bathoke
ela-elo berarti dengan cara berdzikir, ela-elo sama dengan
laa ilaa ha illallah, mengi-ngat Allah akan mengendurkan saraf di
otak. Lalu si rama menyang solo berarti siram atau
mandilah atau bersuci menuju solo (sholat) lalu dirikanlah sholat. Oleholehe
payung mutha mengartikan yang sholat akan mendapatkan perlindungan
(payung) dari Allah. Kalau Allah sudah melindungi maka tak ada
satupun di
dunia
ini yang kuasa menyakiti kita. Tak jendhit lolobah berarti kematian itu
datangnya tiba-tiba dan tak ada yang tahu, tak bisa dimajukan atau dimundurkan
walau sesaat, sehingga
saat
kita masih hidup kita harus senantiasa bersiap dan waspada untuk mengumpulkan
amal kebaikan sebagai bekal untuk dibawa mati kelak. Yen obah medheni
bocah artinya saat kematian datang semua sudah terlambat, kesempatan
beramal hilang. Banyak yang minta ingin dihidupkan tapi Allah tidak
mengizinkan, karena jika mayat hidup lagi maka bentuknya menakutkan dan mudharatnya
akan lebih besar. Yen urip goleke duwit berarti kesempatan
terbaik
untuk bekarya dan beramal adalah saat ini. Saat masih hidup ingin kaya, ingin
membantu orang lain, ingin membahagiakan orang tua sekaranglah saatnya. Ke-tika
uang dan harta benda masih bisa menyumbang bagi tegaknya agama Allah. Sebelum
terlambat, sebelum segala pintu keselamatan tertutup. Nilai pendidikan yang
bisa ditanamkan melalui lirik lagu ini adalah cinta kepada Tuhan dan alam
semesta beserta isinya Fungsi yang terdapat pada tembang ini adalah fungsi
religius dengan pesan bahwa manusia hendaklah membersihkan batinnya dan
senantiasa berzikir meng-ingat Allah dengan (elaelo) menggelengkan
kapala mengucapkan lafal laa illa ha illallah di saat susah maupun
senang dan menerima musibah maupun kenikmatan, karena hidup mati manusia di
tangan
Allah.
Maka dari itu selagi masih hidup ber-buat baiklah terhadap sesama, dan senantiasa
beribadah kepada Allah S.W.T.”
“Apa
ada tembang lagi selain dua tembang tadi, Guru?”
“Tentu banyak sekali tembang-tembang
yang penuh akan makna. Satu lagi ya, karena guru mau ada urusan.”
“Baiklah, Guru.”
“Berikutnya adalah tembang Ilir-ilir.
Tembang Ilirilir memiliki bentuk yang tidak jauh berbeda dengan
tembang Sluku-sluku Bathok. Bentuk tipografis, diksi, imagi, dan
rima tembang Ilir-ilir dapat dicermati berikut ini. Tembang Dolanan Ilir-Ilir
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro, dodoiro
Kumitir bedah ing pinggir
Dondomono, jlumatono
Kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo sorako, sorak iyo!!
Artinya,
’Bangunlah, bangunlah!’
‘Tanaman sudah bersemi’
‘Demikian menghijau’
‘Bagaikan pengantin baru’
‘Anak gembala, anak gembala’
‘Panjatlah (pohon) belimbing itu’!
‘Biar licin dan susah tetaplah kau
panjat’
‘untuk membasuh pakaianmu’
‘Pakaianmu, pakaianmu’
‘terkoyak-koyak dibagian samping’
‘Jahitlah, Benahilah!’
‘untuk menghadap nanti sore’
‘Mumpung bulan bersinar terang’
‘Mumpung banyak waktu luang’
‘Bersoraklah dengan sorakan Iya!!’
Fungsi yang terdapat pada tembang ilir-ilir ini
adalah fungsi religius. Tembang ini memiliki pesan bahwa sebagai umat manusia
diharapkan bisa mampu bangun dari keterpurukan untuk lebih mempertebal iman dan
berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru.
Meminta Si anak gembala untuk memetikkan buah blimbing yang diibaratkan
perintah salat lima waktu. Yang ditempuh dengan sekuat tenaga agar tetap
berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya. Meskipun
ibarat
pakaian terkoyak lubang sana sini, namun sebagai umat, seseorang diharapkan
untuk memperbaiki dan mempertebal iman dan takwa agar siap memenuhi panggilan Ilahi
robbi.”
Mereka berdua tersenyum puas
mendapatkan banyak ilmu pengetahuan dari gurunya. Lalu, mereka keluar dengan
wajah berseri-seri dan Ki Ageng kembali nembang dengan sangat merdu.
ӝ
ӝ ӝ
Berdasarkan
bentuk simbolis tembang Dolanan Jawa berfungsi menghibur dan mendidik,
memberikan suasana gembira sebagai bagian dari permainan anak-anak. Secara fungsional
tembang Dolanan Jawa yang bisa disarankan untuk memberikan kontribusi
kepada pengajar bahasa Jawa atau bahasa Indonesia dalam rangka memanfaatkan
bentuk-bentuk tradisi lisan atau sastra lisan, folklor Nusantara, dan
pengembangan teori yang terkait dengan itu serta kontribusi praktis bagi
pengguna baik anak-anak, keluarga, maupun masyarakat untuk mengembangkan
kebijakan terkait dengan pertahanan nasional, pengembangan industri kreatif,
maupun kearifan lokal.
SUMBER
Tulisan Lusia Selly Yunita (Mahasiswa
Magister Pendidikan Bahasa Indonesia) yang berjudul “BENTUK DAN FUNGSI SIMBOLIS
TEMBANG DOLANAN JAWA.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar