Selasa, 15 November 2016

Cerpen_Ki Ageng Macapat




Ki Ageng Macapat
 Oleh:Kang Aswan

Ki Ageng Macapat adalah seorang guru besar  padepokan Sekar Alit. Beliau memiliki sifat seperti Raja Agung Sri Jayalengkara raja Kerajaan Medhang Kamulan. Raja Agung Sri Jayalengkara memiliki pikiran tenang dan berbudi halus (ambek santa budi alus), raja utama pandai dalam ilmu politik (nata dibya putus ing niti), mengasihi bala tentara (asih ing wadya tantra), sayang terhadap wanita (paramartêng wadu), teguh terhadap jiwa kepahlawanan (widagdêng mring kasudiran), berhasil dalam berkarya secara lahiriyah maupun batiniah (sida sedya putus ing agal lan alit), dan tidak terpengaruh sihir (tan kénger ing aksara). Begitu juga dengan Ki Ageng Macapat yang memiliki kesamaan dengan Raja Agung Sri Jayakengkara.1
Pada waktu sore yang gerimis. Ki Ageng Macapat sedang nembang (bernyanyi/bersenandung). Beliau menembangkan syair Tembang Dolanan Sluku-Sluku Batok,2
Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si Rama menyang Solo                               
Oleh-olehe payung motha
Mak jenthit lolo lobah
Nek obah medeni bocah
Nek urip goleka dhuwit
Setelah menembangkan Sluku-Sluku Batok, beliau melanjutkannya dengan Tembang Dolanan Gundul-gundul Pacul,3
Gundul-gundul pacul-cul
                                                                    
1Serat Jayalengkara
2Tembang Sluku-sluku Bathok ciptaan Walisongo
3Tembang Gundul-gundul Pacul ciptaan Sunan Kalijaga

Gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul-kul
Gembelengan
Wakul ngglimpang, segane dadi sak latar
Wakul ngglimpang, segane dadi sak latar
Tak sengaja, dua murid Ki Ageng Macapat melewati ruangan santainya. Mereka sempat mendengarkan lalu mengitip. Mereka tersenyum-senyum sendiri mendengarkan gurunya yang sedang bersenandung ria. Mereka takjub dengan keriangan gurunya diwaktu gerimis. Suara gurunya meliuk-liuk membuat hujan rintik-rintik kian menari-nari. Sinar mentari muncul malu-malu dibalik awan. Lalu..
“As, apa yang dinyanyikan guru, yo? Tanya Dhangdhang Gendis penasaran.
“Saya indak tahu e, Kang Mas,” jawab Asmaradana sambil membenarkan blangkonnya yang sudah kebesaran.
Sejurus kemudian. Di belakang Gendis dan Dana yang sedang asyik mendengarkan gurunya yang sedang bersenandung, seorang pria separuh baya yang berwibawa dengan klambi ontokusumo4, mengagetkan Gendis dan Dana,
Woh opo sampeyan-sampeyan nang kene?5
            Gendis dan Dana terperanjat keget hingga blangkon Gendis jatuh.
            “Anu, guru,” jawab Dana gugup.
            Ternyata pria separuh baya itu ialah Ki Ageng Macapat yang dengan sekejap sudah berada di belakang Gendis dan Dana tanpa sepengetahuan mereka berdua.
            “Guru kok bisa ada disini?” tanya Gendis heran.
            “Semua itu kuasa Allah,” jawab Ki Ageng lembut. “Seharusnya saya yang bertanya kepada kalian, ngapain kalian disini. Bukannya sekarang waktunya mengaji?”
                                                                                         
4Julukan untuk Pakaian Sunan Kalijaga
5Sedang apa sampeyan-sampeyan di sini?

            “Iya guru, tadi kami memang dalam perjalanan ke langgar[6], lalu kami mendengar guru nembang. Dan kami penasaran dengan syair-syair itu,” jawab Gendis dengan menunduk.
            Ki Ageng hanya tersenyum simpul mendengar pengakuan dua muridnya yang polos dan lugu itu. Lalu Ki Ageng berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan kedua muridnya.
            “Lantas, apa yang akan kalian lakukan dengan rasa penasaran kalian?” tanya Ki Ageng.
            Pertanyaan itu membuat dada Gendis dan Dana berdetak cepat. Keringat dingin keluar. Mulut mereka terkunci oleh ketakutan.
            “Lho kok diam?”
            Sepuntene ingkang katah, Guru. Kami tidak bermaksud mengganggu guru,” Dana menjawab.
            “Ayo ikut saya!”
            Mendengar ajakan Ki Ageng, Gendis dan Dana gemetar. Perasaan gusar menyelimuti hati mereka. Mereka takut luar biasa. Dalam pikiran mereka hanya ada      hukuman. Ya, hukuman bagi mereka yang bersalah. Mereka bersalah karena telah mengganggu waktu santai gurunya. Bunyi pejut sudang menguing ditelinga mereka. Mereka gemetar.
            “Silahkan duduk!” perintah Ki Ageng.
            Mereka berdua tidak berani untuk duduk. Mereka hanya menunduk.
            “Ayo silahkan duduk!”
            Dengan perasaan yang masih tak karuan mereka berdua akhirnya duduk.
            “Apa yang membuat kalian itu mengintip?” tanya Ki Ageng.
            Dengan gemetar Gendis menjawab, “Anu.. kami ingin tahu makna dari tembang yang guru lantunkan.”
            Ki Ageng menggut-manggut, “jadi seperti itu. Apa kalian benar-benar ingin tahu makna-makna dari tembang tersebut?”
            Mereka berdua menggangguk takzim.
            “Baiklah, guru akan memberi tahu makna dari tembang tadi. Salah satu wali yang sangat terkenal bagi orang Jawa adalah Sunan Kalijaga. Ketenaran wali ini adalah karena ia seorang ulama yang sakti dan cerdas. Bahkan sebagian orang Jawa menganggap Sunan Kalijaga sebagai guru agung dan suci di Tanah Jawa. Tahun kelahiran serta wafat Sunan Kalijaga belum dapat dipastikan, hanya diperkirakan ia mencapai usia lanjut. Diperkirakan ia lahir ± 1450M berdasarkan suatu sumber yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga menikah dengan putri Sunan Ampel pada usia ± 20 tahun, yakni tahun 1470 M. Sunan Ampel yang diyakini lahir pada 1401 M, ketika menikahkan putrinya dengan Sunan Kalijaga berusia 50-an tahun. Diperkirakan pada tahun 1580 M Sunan Kalijaga wafat. Peran Sunan Kalijaga dalam berdakwah tampak dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan agama secara langsung ataupun dalam pemerintahan dan kegiatan seni dan budaya pada umumnya. Diantaranya:
mendirikan Masjid Masjid Demak, berdakwah melalui media budaya yakni melalui seni pewayangan dan melalui lagu atau tembang. Ia juga mengajarkan falsafah hidup lewat alat pertanian berupa luku (bajak) dan pacul (cangkul).
            Tembang Dolanan Gundul-Gundul Pacul
Gundhul gundhul pacul cul,
Gembelengan
nyunggi nyunggi wakul kul,
gembelengan
wakul ngglimpang, segane dadi sak latar
wakul ngglimpang, segane dadi sak latar
Artinya,
‘Kepala botak tanpa rambut ibarat cangkul,
Geleng- geleng’
‘Membawa bakul,
Geleng- geleng
‘Bakulnya jatuh, nasinya tumpah berantakan di jalan
‘Bakulnya jatuh, nasinya tumpah berantakan di jalan
Fungsi yang terdapat pada tembang gundul-gundul pacul adalah fungsi pendidikan, yaitu menggambarkan seorang anak yang gundul, nakal, bandel, angkuh, dan tidak bertanggung jawab. Dia tidak dapat membedakan hal-hal yang baik dan buruk. Dia beranggapan bahwa dirinya orang yang paling benar, paling bisa, dan paling pintar, sehingga dia bersikap gembelengan, sombong, dan tak tahu  diri. Apabila dipercaya untuk memegang
amanah yang menyangkut kehidupan orang banyak, dia tetap bersikap tidak peduli. Akibat dari kesombongan dan keangkuhannya itu maka kesejahteraan dan keadilan yang semestinya berhasil akhirnya menjadi hancur berantakan. Dari syair tembang tersebut mengandung makna tidak boleh sombong, dalam hal ini terlihat bahwa orang yang sombong, angkuh, dan
ceroboh akan membawa kehancuran dan kegagalan, maka dari itu jika engkau menjadi seorang pemimpin yang diberi amanah dan tanggung jawab agar mampu memegang dan menjalankan sebaik-baiknya sehingga terwujud kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat.” Penjelasan Ki Ageng panjang lebar.
“Lalu, apa makna tembang Sluku-sluku bathok,Guru?”
Ki Ageng menjawab sambil nembang, “Tembang Dolanan Sluku-Sluku Batok
Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si Rama menyang Solo
Oleh-olehe payung motha
Mak jenthit lolo lobah
Wong mati ora obah
Nek obah medeni bocah
Nek urip goleka dhuwit.
Artinya,
‘Ayun-ayun kepala’
‘Kepalanya geleng geleng’
‘Si bapak pergi ke Solo’
‘Oleh-olehnya payung mutha’
‘Secara tiba-tiba begerak
‘Orang mati tidak bergerak’
‘Kalau bergerak menakuti orang’
‘Kalau hidup carilah uang’
Secara tipografis tembang Sluku-
Sluku Batok memiliki bentuk sederhana. Tembang Dolanan Jawa ini hanya memiliki satu bait (guru gatra) yang terdiri atas delapan baris dengan rima akhir bebas tetapi mirip pola syair. Dalam tem-bang Sluku-sluku Bathok terdapat kata-kata yang bermakna simbolis, di antaranya kata bathok ‘kepala’, Si Rama ‘Bapak atau Ayah’, payung motha ‘payung kertas’, wong mati’orang mati’, wong urip’orang hidup’. Kata-kata simbolis dalam tembang Sluku-sluku Bathok memberikan makna agar orang hidup senantiasa berusa-ha tidak diam saja seperti orang mati.
Tembang Dolanan Sluku-Sluku Batok dilagukan dengan menyesuaikan maknanya. Tembang ini biasanya dinyayikan ketika sore hari di tempattempat yang luas sambil bercanda gurau bersama dan sambil menunggu adzan Magrib berkumandang. Biasanya dilagukan oleh anak-anak dengan cara ngusuk-usuk atau mengelus-elus bagian tubuhnya sendiri, biasanya mengeluselus kaki, tetapi ka-dang-kadang ada juga yang kepala. Dengan bernyanyi, seolah-olah anak meng-harap kedatangan bapaknya yang sedang pergi bekerja dengan mengharapkan oleh-oleh dari ayah.
Tembang Sluku-Sluku Bathok mempunyai makna bahwa hidup tidak boleh dihabiskan hanya untuk bekerja. Waktu istirahat ya istirahat untuk menjaga jiwa dan raga agar selalu dalam kondisi seimbang. Sluku-sluku bathok, artinya bathok kepala kita perlu beristirahat untuk memaksimalkan kemampuannya. Bathoke ela-elo berarti dengan cara berdzikir, ela-elo sama dengan laa ilaa ha illallah, mengi-ngat Allah akan mengendurkan saraf di otak. Lalu si rama menyang solo berarti siram atau mandilah atau bersuci menuju solo (sholat) lalu dirikanlah sholat. Oleholehe payung mutha mengartikan yang sholat akan mendapatkan perlindungan (payung) dari Allah. Kalau Allah sudah melindungi maka tak ada satupun di
dunia ini yang kuasa menyakiti kita. Tak jendhit lolobah berarti kematian itu datangnya tiba-tiba dan tak ada yang tahu, tak bisa dimajukan atau dimundurkan walau sesaat, sehingga
saat kita masih hidup kita harus senantiasa bersiap dan waspada untuk mengumpulkan amal kebaikan sebagai bekal untuk dibawa mati kelak. Yen obah medheni bocah artinya saat kematian datang semua sudah terlambat, kesempatan beramal hilang. Banyak yang minta ingin dihidupkan tapi Allah tidak mengizinkan, karena jika mayat hidup lagi maka bentuknya menakutkan dan mudharatnya akan lebih besar. Yen urip goleke duwit berarti kesempatan
terbaik untuk bekarya dan beramal adalah saat ini. Saat masih hidup ingin kaya, ingin membantu orang lain, ingin membahagiakan orang tua sekaranglah saatnya. Ke-tika uang dan harta benda masih bisa menyumbang bagi tegaknya agama Allah. Sebelum terlambat, sebelum segala pintu keselamatan tertutup. Nilai pendidikan yang bisa ditanamkan melalui lirik lagu ini adalah cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya Fungsi yang terdapat pada tembang ini adalah fungsi religius dengan pesan bahwa manusia hendaklah membersihkan batinnya dan senantiasa berzikir meng-ingat Allah dengan (elaelo) menggelengkan kapala mengucapkan lafal laa illa ha illallah di saat susah maupun senang dan menerima musibah maupun kenikmatan, karena hidup mati manusia di tangan
Allah. Maka dari itu selagi masih hidup ber-buat baiklah terhadap sesama, dan senantiasa beribadah kepada Allah S.W.T.”
            “Apa ada tembang lagi selain dua tembang tadi, Guru?”
            “Tentu banyak sekali tembang-tembang yang penuh akan makna. Satu lagi ya, karena guru mau ada urusan.”
            “Baiklah, Guru.”
            “Berikutnya adalah tembang Ilir-ilir. Tembang Ilirilir memiliki bentuk yang tidak jauh berbeda dengan tembang Sluku-sluku Bathok. Bentuk tipografis, diksi, imagi, dan rima tembang Ilir-ilir dapat dicermati berikut ini. Tembang Dolanan Ilir-Ilir
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro, dodoiro
Kumitir bedah ing pinggir
Dondomono, jlumatono
Kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo sorako, sorak iyo!!
Artinya,
’Bangunlah, bangunlah!’
‘Tanaman sudah bersemi’
‘Demikian menghijau’
‘Bagaikan pengantin baru’
‘Anak gembala, anak gembala’
‘Panjatlah (pohon) belimbing itu’!
‘Biar licin dan susah tetaplah kau
panjat’
‘untuk membasuh pakaianmu’
‘Pakaianmu, pakaianmu’
‘terkoyak-koyak dibagian samping’
‘Jahitlah, Benahilah!’
‘untuk menghadap nanti sore’
‘Mumpung bulan bersinar terang’
‘Mumpung banyak waktu luang’
‘Bersoraklah dengan sorakan Iya!!’
Fungsi yang terdapat pada tembang ilir-ilir ini adalah fungsi religius. Tembang ini memiliki pesan bahwa sebagai umat manusia diharapkan bisa mampu bangun dari keterpurukan untuk lebih mempertebal iman dan berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru. Meminta Si anak gembala untuk memetikkan buah blimbing yang diibaratkan perintah salat lima waktu. Yang ditempuh dengan sekuat tenaga agar tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya. Meskipun
ibarat pakaian terkoyak lubang sana sini, namun sebagai umat, seseorang diharapkan untuk memperbaiki dan mempertebal iman dan takwa agar siap memenuhi panggilan Ilahi robbi.”
            Mereka berdua tersenyum puas mendapatkan banyak ilmu pengetahuan dari gurunya. Lalu, mereka keluar dengan wajah berseri-seri dan Ki Ageng kembali nembang dengan sangat merdu.
ӝ ӝ ӝ
Berdasarkan bentuk simbolis tembang Dolanan Jawa berfungsi menghibur dan mendidik, memberikan suasana gembira sebagai bagian dari permainan anak-anak. Secara fungsional tembang Dolanan Jawa yang bisa disarankan untuk memberikan kontribusi kepada pengajar bahasa Jawa atau bahasa Indonesia dalam rangka memanfaatkan bentuk-bentuk tradisi lisan atau sastra lisan, folklor Nusantara, dan pengembangan teori yang terkait dengan itu serta kontribusi praktis bagi pengguna baik anak-anak, keluarga, maupun masyarakat untuk mengembangkan kebijakan terkait dengan pertahanan nasional, pengembangan industri kreatif, maupun kearifan lokal.
SUMBER
Tulisan Lusia Selly Yunita (Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia) yang berjudul “BENTUK DAN FUNGSI SIMBOLIS TEMBANG DOLANAN JAWA.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar