Oleh: Kang Aswan
Pagi itu, aku terbangun dari mati sementara. Sinar mentari
itu membagunkaku, menerobos lewat celah-celah jeruji besi tanpa permisi. Ku rapikan rambut
panjang nan gimbal ini. Entah berapa lama aku tidak merasakan lembutnya busa
sampo. Dan entah berapa lama aku tidak mencium keharumannya. Sampai saat ini
aku masih bertanya-tanya apa salahku? Sehingga aku terkurung dalam ruang sempit
nan menyiksa ini.
“Apa salahku?”
Kata itu selalu aku tanyakan kepada sinar rembulan, sinar
matahari, debu yang menempel setia di dinding, kepada nyamuk yang ganas, bau
pesing bahkan jamban. Tapi, tak satupun dapat menjawab dengan jawaban yang
memuaskan. Ketika aku bertanya kepada nyamuk, “Apa salahku?” ia hanya menjawab,
“Ngiiiingg,” bahasa apa itu aku tidak tahu. Ketika aku bertanya kepada jamban, ia
malah menjawab dengan menyemburkan bau yang sangat mengerikan.
Seingatku, aku hanya menulis tentang kekejaman
pemerintah terhadap rakyat. Penindasan kaum otoriter. Aku hanya menulis tentang
rintihan rakyat. Aku hanya menulis tentang hak rakyat yang belum terpenuhi. Lalu,
kenapa aku ditangkap dan dimasukkan ke dalam ruangan yang bau dan sangat
menyiksa ini? apa salahku Tuhan?
“Ada seorang pria di seberang perbatasan
yang ingin membuat onar,” kata-kata itu masih teringat jelas dalam ingatanku
sebelum sebatang kayu mendarat mulus ditengkuk dan membuatku tak sadarkan diri.
Aku melihat hari-hari, bulan, tahun sampai sekian lama. Dari tanah-tanah ini datang keharuman pertanian padi. Sinar matahari yang membakar ini mengingatkanku pada gabah yang sudah menguning yang jeraminya digelayuti oleh pipit-pipit nakal. Hujan ini membawaku bersama perjalanan musim. Mereka mengatakan bahwa ini adalah karena kesalahanku sendiri, lalu aku harus bagaimana ketika melihat rakyat menderita karena pemimpinya, lalu aku harus bagaimana melihat sawah-sawah itu dikeruk tanahnya, lalu aku harus bagaimana melihat rumah-rumah itu digusur? Apa aku harus diam? Sayangnya tak ada satupun yang bisa menjawab pertanyaanku di ruangan ini.
Aku melihat seorang malaikat yang telah turun dari surga. Aku pasrah ketika itu. Tapi malaikat itu berkata,
“Kau belum saatnya lenyap. Masa yang kau inginkan
akan segera datang.”
Kata-kata itu menjadi lecutan semangat jiwa yang sudah
hanpir lepas dari jasadnya.
Dia menyebut dirinya Mahasiswa dan dia memanggil aku Pejuang. Dia orang asing tetapi memperlakukanku seperti dirinya sendiri. Mendengar kata-kata jujurnya, aku merasa seperti hidup sekali lagi. Mendengar ikrar dan janjinya, aku merasa seperti melakukan sesuatu yang lebih.
Mereka mengatakan dia bukan salah satu dariku lalu.. mengapa
ia melawan dunia untukku. Mereka mengatakan 17 Agustus adalah hari kemerdekaan,
lalu kenapa mereka mencuri kemerdekaanku? Dia mengatakan bahwa aku tidak
seperti dia lalu kenapa dia terlihat seperti aku?
Aku tahanan nomor 1998, melihat melalui jeruji penjara.
Aku melihat negeri-ku diselimuti oleh rona desaku.
Untuk membuat impian negeriku jadi
kenyataan aku telah melupakan diriku sendiri. Untuk melayani orang-orang yang
aku cintai aku telah meninggalkan cinta pada diriku sendiri. Sekarang aku
merasa seperti mengisinya dengan kebahagiaan. Aku merasa seperti hidup
selamanya untuk mereka.
Mereka mengatakan negara ini bukan milikku. Lalu,
kenapa aku boleh tinggal di sini? Dia mengatakan bahwa aku tidak seperti dia, lalu
kenapa dia terlihat seperti aku?
Aku tahanan nomor 1998, melihat melalui jeruji penjara.
Kabarnya, sekarang negaraku sudah merdeka. Berkat peran
malaikat bernama Mahasiswa, negeriku bebas dari kekangan kaum otoriter.
Semoga negeraku tak kembali pada masa-masa kelam itu.
Aku ucapkan terimakasih atas peran pentingmu wahai
malaikat. Aku sudah tidak ingat namaku. Jadi, kalau kau ingin mengatakan “sama-sama”
panggil saja aku “Tahanan nomor 1998.”
Singaraja, 26 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar