Jumat, 25 November 2016

Panggil Aku Tahanan Nomor 1998





 Oleh: Kang Aswan

Pagi itu, aku terbangun dari mati sementara. Sinar mentari itu membagunkaku, menerobos lewat celah-celah jeruji besi tanpa permisi. Ku rapikan rambut panjang nan gimbal ini. Entah berapa lama aku tidak merasakan lembutnya busa sampo. Dan entah berapa lama aku tidak mencium keharumannya. Sampai saat ini aku masih bertanya-tanya apa salahku? Sehingga aku terkurung dalam ruang sempit nan menyiksa ini.

“Apa salahku?”

Kata itu selalu aku tanyakan kepada sinar rembulan, sinar matahari, debu yang menempel setia di dinding, kepada nyamuk yang ganas, bau pesing bahkan jamban. Tapi, tak satupun dapat menjawab dengan jawaban yang memuaskan. Ketika aku bertanya kepada nyamuk, “Apa salahku?” ia hanya menjawab, “Ngiiiingg,” bahasa apa itu aku tidak tahu. Ketika aku bertanya kepada jamban, ia malah menjawab dengan menyemburkan bau yang sangat mengerikan.

Seingatku, aku hanya menulis tentang kekejaman pemerintah terhadap rakyat. Penindasan kaum otoriter. Aku hanya menulis tentang rintihan rakyat. Aku hanya menulis tentang hak rakyat yang belum terpenuhi. Lalu, kenapa aku ditangkap dan dimasukkan ke dalam ruangan yang bau dan sangat menyiksa ini? apa salahku Tuhan?


“Ada seorang pria di seberang perbatasan yang ingin membuat onar,” kata-kata itu masih teringat jelas dalam ingatanku sebelum sebatang kayu mendarat mulus ditengkuk dan membuatku tak sadarkan diri.

Aku melihat hari-hari, bulan, tahun sampai sekian lama. Dari tanah-tanah ini datang keharuman pertanian padi. Sinar matahari yang membakar ini mengingatkanku pada gabah yang sudah menguning yang jeraminya digelayuti oleh pipit-pipit nakal.  Hujan ini membawaku bersama perjalanan musim. Mereka mengatakan bahwa ini adalah karena kesalahanku sendiri, lalu aku harus bagaimana ketika melihat rakyat menderita karena pemimpinya, lalu aku harus bagaimana melihat sawah-sawah itu dikeruk tanahnya, lalu aku harus bagaimana melihat rumah-rumah itu digusur? Apa aku harus diam? Sayangnya tak ada satupun yang bisa menjawab pertanyaanku di ruangan ini.

Aku melihat seorang malaikat yang telah turun dari surga. Aku pasrah ketika itu. Tapi malaikat itu berkata, 

“Kau belum saatnya lenyap. Masa yang kau inginkan akan segera datang.” 

Kata-kata itu menjadi lecutan semangat jiwa yang sudah hanpir lepas dari jasadnya.

Dia menyebut dirinya Mahasiswa dan dia memanggil aku Pejuang.  Dia orang asing tetapi memperlakukanku seperti dirinya sendiri. Mendengar kata-kata jujurnya, aku merasa seperti hidup sekali lagi. Mendengar ikrar dan janjinya, aku merasa seperti melakukan sesuatu yang lebih.

Mereka mengatakan dia bukan salah satu dariku lalu.. mengapa ia melawan dunia untukku. Mereka mengatakan 17 Agustus adalah hari kemerdekaan, lalu kenapa mereka mencuri kemerdekaanku? Dia mengatakan bahwa aku tidak seperti dia lalu kenapa dia terlihat seperti aku?

Aku tahanan nomor 1998, melihat melalui jeruji penjara.

Aku melihat negeri-ku diselimuti oleh rona desaku. Untuk membuat impian negeriku  jadi kenyataan aku telah melupakan diriku sendiri. Untuk melayani orang-orang yang aku cintai aku telah meninggalkan cinta pada diriku sendiri. Sekarang aku merasa seperti mengisinya dengan kebahagiaan. Aku merasa seperti hidup selamanya untuk mereka.

Mereka mengatakan negara ini bukan milikku. Lalu, kenapa aku boleh tinggal di sini? Dia mengatakan bahwa aku tidak seperti dia, lalu kenapa dia terlihat seperti aku?

Aku tahanan nomor 1998, melihat melalui jeruji penjara.

Kabarnya, sekarang negaraku sudah merdeka. Berkat peran malaikat bernama Mahasiswa, negeriku bebas dari kekangan kaum otoriter.
Semoga negeraku tak kembali pada masa-masa kelam itu.
Aku ucapkan terimakasih atas peran pentingmu wahai malaikat. Aku sudah tidak ingat namaku. Jadi, kalau kau ingin mengatakan “sama-sama” panggil saja aku “Tahanan nomor 1998.”

Singaraja, 26 November 2016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar