Fatmawati Si Gadis Berkerudung Merah
Oleh: Kang Aswan
Tuban
adalah kota kelahiranku kawan. Tuban Merupakan salah
satu Kabupaten dari 38 Kabupaten dan Kota yang ada di wilayah administratif
Provinsi Jawa Timur. Wilayah Kabupaten Tuban berada di jalur pantai utara (Pantura)
Pulau Jawa. Luasnya adalah 1.904,70 km² dan panjang pantai mencapai 65 km.
Penduduknya berjumlah sekitar 1 juta jiwa. Tuban disebut sebagai Kota Wali
karena Tuban adalah salah satu kota di Jawa yang menjadi pusat penyebaran
ajaran Agama Islam namun beberapa kalangan ada yang memberikan julukan sebagai
kota tuak karena daerah Tuban sangat terkenal akan penghasil minuman (tuak & legen) yang berasal dari sari
bunga siwalan (ental). Beberapa obyek wisata di Tuban yang banyak dikunjungi
wisatawan adalah Makam Wali, contohnya Sunan Bonang, Makam Syeh Maulana Ibrahim
Asmaraqandi (Palang), Sunan Bejagung dll. Selain sebagai kota Wali, Tuban
dikenal sebagai Kota Seribu Goa karena letak Tuban yang berada pada deretan
Pegunungan Kapur Utara. Bahkan beberapa Goa di Tuban terdapat stalaktit dan
Stalakmit. Goa yang terkenal di Tuban adalah Goa Akbar, Goa Putri Asih, Goa
Ngerong dll. Tuban terletak di tepi pantai pulau Jawa bagian utara, dengan
batas-batas wilayah: utara laut Jawa, sebelah timur Lamongan, sebelah selatan
Bojonegoro, dan barat Rembang dan Blora Jawa Tengah.
Dibalik megahnya bangunan pabrik PT.
Semen Indonesia yang dulu bernama PT. Semen Gersik itu, rakyat memegang perut
karena kelaparan. Terlunta-lunta mencari sesuap nasi. Menjadi pencari besi-besi
bekas di tempat pembuangan limbah pabrik. Menjadi “Bajing Loncat” yang loncat dari truk satu ke truk yang lain.
Bayangkan kawan, betapa berbahayanya profesi itu. Kurang lebih 23 tahun sudah
pabrik itu berdiri, dan selama itu juga telah berhasil mengeksploitasi batu
kapur dan tanah liat. Berdirinya pabrik semen tidak menjamin kemakmuran rakyat
kawan. Namun, malah menyengsarakan rakyat. Sawah, ladang, kebun sekarang telah
menjadi danau-danau yang angker. Danau bekas galian pabrik. Dari banyaknya
korban yang tenggelam di danau itu maka muncul-lah mitos tentang putri Ikan Mas
yang meminta tumbal. Atau mitos bahwa arwah leluhur murka atas eksploitasi
besar-besaran itu.
Miris memang. Yang kaya akan semakin
kaya, yang miskin malah akan bertambah miskin. Karena sumber penghasilan mereka
telah menjadi kubangan-kubangan yang tiap tahun selalu menelan korban.
Anak-anak muda dengan bangga menjadi kuli atau menjadi tukang sapu pabrik.
Mengiba-iba pada mandor agar merekrut mereka. Mereka tidak peduli dengan
kesehatan, yang penting mereka tidak menganggur. Tiap hari menghirup debu yang
beterbangan. Tak pandang bulu,siapa yang bernafas maka disanalah ia masuk. Itu
pun kalau tidak ada kerabat atau membayar beberapa rupiah jangan harap bisa
masuk dan bekerja di pabrik. Belum lagi sengketa tanah antara warga Desa Gaji
dengan pabrik semen yang tak kunjung menemukan benang merah sampai sekarang.
Ceritanya begini, beberapa hektar sawah milik warga Desa Gaji tiba-tiba sudah
menjadi milik pabrik semen tanpa sepengetahuan warga. Duga saling menduga,
perangkat desalah yang telah menjual sawah mereka. Tanpa belas kasihan.
Hari-hari mereka melakukan aksi demo. Di depan gedung DPRD, Kantor Bupati
sampai memblokade jalan menuju pabrik semen. Ya, kejadian ini memang jalas kaum
sosialis yang menentang kaum kapitalis. Revolusi? Entahlah.
Itulah kawan, tanah
kelahiranku. Sungguh tak sampai hati aku memandang
pemuda-pemuda kuli itu. Kutatap mata mereka dalam-dalam, tapi aneh, aku tak
melihat mereka karena yang terlihat adalah wajah bangsa ini, seperti dalam
novel Andrea Hirata, wajah-wajah para wakil rakyat dan pemimpin negeri ini,
wajah para koruptor yang tertawa-tawa di layar televisi. Ke manakah orang-orang
itu? Pagi ini pasti mereka tengah mengibas-ngibaskan koran pagi sambil
menyeruput teh hangat. Sayang mereka tak berada di sini untuk melihat sebuah
pertunjukan sirkus. Anak manusia memanjat gedung setinggi tiga puluh meter lebih. Gedung
pabrik yang mereka sebut silo, di
bawahnya menganga lautan batu bara bergelora seperti api neraka, dan arwah-arwah
yang menjerit meminta keadilan Tuhan.
*
* * *
Ketika
aku melihat, mendengar, membaca atau apa-apa yang berkaitan dengan warna merah
dan pabrik semen, aku selalu tersenyum. Warna merah mengingatkan pada seorang
gadis yang luar biasa. Seorang gadis pejuang pembela hak rakyat. Gadis berkerudung
merah. Fatmawati.
Tujuh belas tahun umurnya waktu itu. Kulitnya kuning
langsat. Tubuh langsing proporsional. Mata tajam. Menelisik jeli. Hidung
mancung. Dan jadilah ia bunga kampung petani kawasan Pabrik Semen Indonesia,
Tuban. Hari demi hari batinnya diisi suara deru mesin-mesin pabrik dan
pandangnya oleh kendaran-kendaraan berat yang berangkat di subuh hari pulang di
siang atau sore hari, berlabuh di pabrik semen, menurunkan material bahan baku
semen.
Gadis itu bernama Fatmawati.
Rambutnya bergelombang agak kemerah-merahan. Seperti anggrek karang merah (Dendrobium bracteosum), yang kelopaknya
semarak menjulai. Gurat leher yang jenjang. Fatmawati, putri angkat mantan Lurah
kampung yang berdarah campuran Aceh-Jawa itu sungguh sosok yang menggoda.
Sepasang mata yang dinaungi bulu-bulu lentik. Sepasang mata itu serupa semesta,
membuat segala bahasa yang jauh lebih sempurna daripada kata. Lalu bibirnya,
seperti magnolia berembun ketika subuh di halaman rumahku. Lembut, wangi,
tampak butuh perlindungan tapi sejatinya mampu menaklukkan.
Bagi warga kampung, tak ada satu pun
titik yang tak indah dalam diri Fatmawati, termasuk warna kulitnya yang kuning
langsat. Sehat terawat. Hingga suatu hari, kericuhan itu terjadi. Sawah-sawah
warga tiba-tiba sudah beralih tangan menjadi milik PT. Semen Indonesia tanpa
sepengetahuan warga. Entah, bagaimana ceritanya, semua surat-surat tanah itu
sudah berada di tangan pabrik semen.
“Saya tidak terima, Pak! Tanah itu
milik kami. Kami tidak pernah menjualnya!” teriak seorang petani pada seorang
yang memakai jas rapi dan berdasi.
“Tenang, Bapak-bapak! Ini buktinya
kalau pihak PT. Semen Indonesia telah membeli dengan sah tanah ini,” jelas
bapak yang memakai jas dan memperlihatkan surat-surat tanda bukti transaksi
pembelian tanah itu.
Warga yang tanahnya terbukti sudah
menjadi milik PT. Semen Indonesia hanya bisa menunduk dan terisak tangis bahkan
sampai ada yang pingsang. Sawah yang satu-satunya menjadi sumber mata pencahariyan,
sumber kehidupan, kini telah menjadi calon kubangan-kubangan bekas galian
pabrik semen. Sungguh sangat memprihatinkan.
“Sebentar lagi, tanah ini akan kami
gali!” teriak seorang yang memakai jas dan berdasi itu.
Blaaarrrr! Kalimat itu seperti petir
yang menyengat jantung Fatmawati. Begitu sakit, namun sekaligus memberi
kekuatan. Sekejap itu juga Fatmawati berlari. Perasaannya hancur. Entah bisa
untuh kembali atau akan hancur selamanya. Ia sebenarnya sudah tidak kuat akan
tekanan kaum kapitalis terhadap kaum proletar itu. Fatmawati sudah tak bisa
berpikir apa-apa. Ia hanya berlari dengan pandangan mengabur karena cucuran air
matanya.
*
* * *
Saat
malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Tuban kembali diterangi sinar
rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir. Fatmawati terpekur di kamar.
Mata berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya?
Kata-kata itu masih melekat dalam otaknya. Suara tangisan itu masih
mengaung-angung didalam telinga Fatmawati. Pikirannya terusik.
“Fatma, cepat kau buka pintu!” ucap suara gentar di
depan kamarnya. Fatmawati mengenali suara itu seperti ia kenal suaranya
sendiri. Suara Joko, kakaknya. Sejenak Fatmawati mengamati wajahnya di depan cermin. Jangan sampai ada yang salah dengan ekspresinya. Kemudian ia menuju pintu dengan kepala tegak.
“Kau bergaul dengan warga yang menentang pabrik semen?”
“Iya.”
“Berani sekali kau.”
“Sebab rakyat ada di sini.”
Telapak tangan kanan Fatmawati menangkup di dadanya, pada akhir kalimat tegas itu.
“Bodoh sekali kau.”
“Kakak lupa kah? Kalau kakak adalah seorang pemimpin kampung ini. Kakak Lurah di kampung ini. Kakak lupa, kalau rakyat itu tanggungan, Kakak?”
Joko merasa ingin membilas otak Fatmawati dengan air yang diambil dari Telaga Kautsart. Wajahnya kaku, tatapannya tajam, dan kedua tangannya mengepal di sisi badan.
“Saya tidak sudi punya adik yang munafik seperti kau.”
“Kakak yang munafik. Tidak bertanggungjawab terhadap rakyat. Kakak tak lain hanyalah kaum hedonis, kaum feodal, kaum kapitalis yang gila jabatan dan pangkat.”
“Tahu apa kau soal hedonis, tahu apa kau soal feodal dan tahu apa kau soal kapitalis?”
Fatmawati tercengang. Pertanyaan saudara laki-lakinya itu seperti bukan keluar dari bibir seorang pemimpin.
“Joko.”
Suara kalem, berat, dan dalam dari ruang tamu tiba-tiba membendung bicaranya.
“Bapak, pikiran Kakak sudah dirasuki setan,” lapor Fatmawati kepada bapaknya. Warga kampung kami memanggilnya Pak Mantan. Karena dia mantan lurah dan sekarang digantikan oleh anak laki-lakinya, Joko.
“Diam kau!” ucap Joko dengan nada tinggi.
“Saya tidak akan diam selama Kakak masih menzhalimi rakyat.”
“Kau dengar baik-baik,” ucap Joko dengan penekanan khusus pada kalimatnya, menandakan ini adalah hal paling serius yang diucapkannya. “Lupakan kejadian ini, atau kau akan menanggung akibatnya.”
Fatmawati merasakan percikan bara api semburat dari ulu hatinya, kemudian begitu cepat menjalar ke seluruh tubuhnya. Perih pedihnya tumpah ruah seketika. Ia merasa seperti manusia paling tak berguna. Fatmawati berpikir, mungkin Tuhan menciptakanya hanya untuk menjadi mahluk yang lemah. Tuhan tak hendak memberinya peran penting, apalagi tugas mulia untuk umat manusia.
Fatmawati merasa tak diciptakan untuk hal-hal besar semacam itu. Padahal ia tak mengaharap peran apa pun yang ada di jagad ini, selain pengabdian untuk rakyat. Ia tak butuh pengakuan dari siapapun. Cukup satu pengakuan rakyat kampungnya, baginya sudah mewakili seluruh semesta. Lantas bagaimana dirinya mampu menjadi?
* * * *
Dengan lantang Fatmawati memimpin massa untuk
menghentikan kendaraan-kendaraan pabrik yang mulai masuk ke kampung. Kerudung
merah itu berkibar-kibar. Semangat, berkekuatan, erotisme, keberanian. Seperti
mentari pagi. Memberi kehangatan, bahagia, kegairahan, dan warna merah itu
tanda berhenti (Traffic Light).Fatmawati tidak gentar dengan besarnya
kendaraan-kendaraan itu. Teriakannya tetap lantang walaupun beradu kencang
dengan suara kendaraan yang berderu.“Kembalikan tanah kami! Kembalikan tanah kami!”
teriak para warga.“Adanya galian-galian pabrik semen, membuat banyak daerah kekeringan. Kalau pabrik semen terus ada, kami tidak bisa berbuat apa-apa, lalu kami makan dari mana?” ujar seorang ibu dengan sesenggukan.“Kampung ini adalah lumbung pangan kami semua,” sambungnya.
Fatmawati bersama warga lainya, terus melakuakan aksi. Mencoba menyadarkan para petinggi-petinggi pabrik semen. Meminta belas kasihan. Tapi, usaha Fatmawati dan warga yang melakukan demo, belum mendapatkan angin segar sampai saat ini. Informasi siapa yang menjual tanah juga masih simpang siur. Joko, saudara Fatmawati. Si lurah tengik itu lepas dari tuduhan karena barang bukti masih lemah.
Kerudung merah itu tetap berkelibat
terhempas hembusan angin. Mata itu makin tajam menatap. Jeli menelisik. Tak
gentar oleh ancaman-ancaman preman suruhan. Namun, saat ini suara warga sudah
terpecah, ada yang pro dan ada yang kontra. Tetangga yang pro terhadap
penggalian itu bahkan mengiming-imingi Fatmawati dengan beasiswa pendidikan dan
bisa bekerja di pabrik semen kelak. Dan mengiming-imingi warga yang kontra
dengan jaminan hidup lebih baik jika mau menjual lahan miliknya.
Kendati ancaman dan tawaran,
Fatmawati tetap menolak penggalian itu. Fatmawati bagiku bagaikan perempuan
Palestina yang berjuang berdarah-darah melawan Kaum Zionis. Perempuan-perempuan
Afganistan yang berjuang menghadapi kekejaman Tentara Taliban.
Dalam kesendiriannya Fatmawati
melantunkan puisi,
Patung pahlawan itu masih berdiri
kokoh
Dengan samurai ditangannya
Memandang linier ke Selatan
Deburan ombak terdengar bergemuruh
Menakut-nakuti anak kepiting yang
baru melihat dunia
Debu pabrik semen turun perlahan
Menutupi pucuk-pucuk daun solobin
Beterbangan sesuka hati
Siapa yang bernafas, maka disana ia
akan singgah
Orang-orang itu berteriak, “berikan
tanah kami! Kembalikan tanah kami!”
Namun, suara mereka tertelan oleh
deru mesin-mesin pabrik
Sawah dan ladang itu sudah menjadi
kubangan-kubangan yang angker
Pipit tak lagi tersenyum
Ia tidak lagi mencium bau padi yang
menguning
Pabrik semen itu yang membuatnya
tak lagi tersenyum
Pipit itu rindu suara ledakan
meriam karbit
Pipit itu rindu dengan pakaian
compang-camping para orang-orangan sawah
Pipit itu rindu bergelayut dijerami
sambil membelai-belai padi yang menguning
Cukup!
Kembalikan tanah kami
Biarkan pipit-pipit itu kembali
tersenyum
*
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar