Selasa, 01 November 2016

Cerpen_Obrolan Pandawa Tentang Surat Al-Maidah Ayat 51



Obrolan Pandawa Tentang Surat Al-Ma’idah Ayat 51
(Refleksi dari isu Massa 4 November 2016)
Oleh: Kang Aswan


“Jika agama membuat kita berpecah belah, lebih baik kita tidak beragama. Lebih baik kita kembali kepada adat saja.”
(Pendeta Elkana Hindom, Kampung Adora, Distrik Teluk Patipi, Papua Barat dalam Novel Cinta Putih di Bumi Papua karya Dzikry el Han)

            Suatu hari yang sejuk. Para Pandawa sedang berkumpul ngopi bareng nang Angkringan Warung Kopi Dewi Erawati, isteri dari Prabu Baladewa. Para Pandawa saling bertukar pandangan mengenai Surat Al-Ma’idah ayat 51 yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan di seluruh penjuru Nusantara. Bahkan sampai ke negeri Ngamarta, negerinya para Pandawa yaitu Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.
            “Akhir-akhir iki, ada negara yang geger gara-gara ucapan sedikit tapi melebarkan telinga. Sak itik nanging ngambakno kuping. Kejadian ini lebih populer daripada kejadian negara kita yang kehilangan Jimat Kalimasada yang dicuri Raja Bel Geduwel Beh alias Kakang Petruk,” ucap Raden Werkudara.
            “Ucapan opo iku, Kang Mas?” tanya Sadewa penasaran.
            “Ucapan gubenur DKI Jakarta mengenai Surat Al-Ma’idah ayat 51.”
          “Lho, apa yang dipermasalahkan tetang Surat Al-Ma’idah iku, Kakang?” sahut Arjuna juga penasaran.
            Prabu Puntadewa alias Yudistira hanya senyum-senyum saja mendengar berita yang dibawa oleh Raden Wekudara alias Bima adiknya itu.
           “Beberapa minggu yang lalu gubenur Jakarta menyebut bahwa umat Islam telah dibohongi oleh surat Al-Ma’idah.  Pernyataan itulah yang jadi bola liar di jagat Nusantara.”
           “E e e. Jadi begitu permasalahannya,” sahut Prabu Baladewa keluar sambil membawa sepiring gorengan hangat. “Lalu, sekarang bagaimana keadaan negera itu, Adi?” lanjutnya.
         “Jalas berantakan. Apalagi dari kejadian itu ada isu bahwa pada 4 November 2016, akan diadakan massa besar-besaran untuk menghakimi gubenur itu.”
            “Dengan tuduhan?” tanya Nakula.
            “Dengan tuduhan pelecehan agama.”
           Di tengah perbincangan yang semakin seru itu datang Ki Lurah Semar Badranaya dan Prabu Krisna.
            “Assalamu’alaikum,” ucap Ki Semar.
            “Wa’alaikumsalam.”
            “E e e, Kakang Semar, apa kabar?” sambut Prabu Baladewa.
           “Alhamdulillah, Ndoro.”
         “Para pemuda pembawa perubahan, Sang Revolusioner,” kata Prabu Krisna sambil berjabat tangan dengan para Pandawa dan Para Pandawa mencium tangan Prabu Krisna.
            “Saya lihat dari Karang Kapulutan kok sepertinya ada yang seru. Memangnya ada apa, Ndoro Werkudara?” tanya Ki Semar.
            “Begini Kakang, ada sebuah negara yang sekarang sedang ada goro-goro. Sedang ada kejadian besar, sedang ada polemik antara pemerintah dengan rakyat. Kejadian politik. Menurut pandangan masyarakat kejadian itu termasuk pelecehan agama,” jelas Werkudara.
            “Eladala. Pelecehan agama?” tanya Ki Semar.
            “Betul, gubernur Jakarta telah melecehkan agama Islam,” Nakula menyahut.
            “Ini pasti masalah surat Al-Maidah ayat 51?” tanya Prabu Krisna dengan menyeruput kopi hitam.
            Para Pandawa mengangguk.
            “Gimana pendapatmu tentang itu, Adi?” tanya Prabu Baladewa menelisik.
         “Masyarakat meneriaki Gubernur DKI Jakarta. Mereka tidak terima dengan pernyataan gubernur yang dinilainya telah mempermainkan ayat suci Al-Quran. Seperti yang sempat diberitakan sebelumnya, guberbnur mengatakan kepada warga di Kepulauan Seribu bahwa warga dibohongi dengan menggunakan ayat Al-Maidah supaya tidak memilih dirinya menjadi pemimpin. Inikan akar permasalahannya? Nah, kita harus tahu bagaimana isi ayat itu. Isi surat Al-Maidah ayat 51 adalah Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi ‘awliya’; sebagaimana mereka adalah awliya bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Lalu pertanyaannya benarkah pemimpin yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah “pemimpim” sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan orang?”
            “Eladala. Aku tak ngomong, Ndoro Krisna. Menurut Prof. Qurais Shihab, ahli tafsir Al-Quran, mengatakan bahwa ayat-ayat di atas memiliki kaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Al-Maidah ayat 51 merupakan konsekuensi dari petunjuk-petunjuk yang sebelumnya. Pada ayat sebelumnya Al-Maidah ayat 51, Al-Quran menjelaskan apa saja yang keliru dari kitab Taurat dan Injil karena kaum-kaum yang sebelumnya. Yahudi dan Nasrani yang enggan mengikuti tuntutan Al-Quran akan memberikan peluang pada Allah untuk menjatuhkan siksaan kepada mereka. Mereka dinilai tidak mau mengikuti tuntunan Tuhan dan lebih senang mengikuti tuntunan jahiliah, katanya dalam pengajian tafsir Al-Quran. Lalu disambunglah dengan ayat 51 surat Al-Maidah. Kalau memang Yahudi dan Nasrani telah mengubah kitab suci mereka dan enggan mengikuti Al-Quran serta ingin menjadi jahiliah, Maka wahai orang-orang yang beriman jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai awliya, Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat ini dan ayat sebelumnya sangat berkaitan. Kalau mereka enggan mengikuti Allah, jangan menjadikan mereka sebagai awliya. Apa yang dimaksud dengan awliya? Awliya merupakan jamak dari wali. Di Indonesia, kata ini menjadi populer dengan wali kota, wali kelas dan sebagainya. Wali ditafsirkan sebagai “yang dekat”. Misalnya pada kata waliyullah, itu bisa ditafsirkan sebagai orang yang dekat dengan Allah. Jadi kata ‘awliya’ tidak hanya berarti pemimpin.
            Dalam konteks hubungan manusia menurut Quraish Shihab, berarti persahabatan yang sangat kental sehingga tidak ada rahasia antara mereka. Seperti hubungan antara suami dan isteri yang dileburkan oleh cinta. Dalam konteks seperti ini, tidak dilarang. Yang dilarang adalah membuka rahasia kepada mereka, “itu yang dilarang,” katanya. Jika dalam pergaulan sehari-hari seperti berdagang dan membeli tidak dilarang,” penjelasan Ki Semar mengutip pendapat Prof. Quraish Shihab.
            “Lalu, bagaimana dengan Nusron Wahid itu, Kakang?” tanya Werkudara.
            “Ndoro Krisna. Monggo panjenengan menjelaskan. Saya mau minum kopi dulu.”
            Wekudara menengok ke arah Prabu Krisna.
           “Menurut Budayawan kondang Emha Ainun Najib yang ditulis di METROISLAM.COM, Cak Nun menyatakan bahwa dia yakin akurasi masalahnya tidak pada apa yang diucapkan oleh Nusron. Menurutnya, apapun yang diucapkan Nusron, itu akibat. Yang perlu kita temukan adalah sebabnya. Nusron, juga Ahok, bahkan Presiden dan Pemerintah secara keseluruhan, tidaklah benar-benar ada dan hadir sebagai dirinya sendiri, melainkan merupakan representasi dari semacam sindikasi kekuatan dan niat kekuasaan serta modal sangat besar di belakangnya. Dengan idiom lain: Nusron hanya peluru, bukan bedilnya. Dia hanya mercon, ada tangan yang melempar dan membantingnya. Lebih lanjut disebutkannya, inilah bagian yang tidak bisa kita tolak dari dialektika dan romantika proses berdemokrasi. Perjuangan untuk mencapai transparansi dalam berdemokrasi sangat kita puji, tetapi yang bisa dicapai hanyalah sebatas maksimalisasi transparansi. Sayangnya, sebut Cak Nun, secara alamiah kehidupan ini terdiri atas ketidak-seimbangan yang sangat timpang dan curam, ketika faktor yang tersembunyi jauh lebih banyak dibandingkan yang transparan. Seperti kata pepatah: musuh utama manusia adalah ketidaktahuan, musuh yang paling menakutkan dalam peperangan adalah pasukan siluman.”
           “Bagaimana dengan pernyataan ‘lebih baik pemimpin kafir tapi adil, daripada pemimpin muslim tapi dzalim?’, Adi?” tanya Prabu Baladewa kepada adiknya.
            “Seperti yang sudah tertulis di Master Berita, Cak Nun menyampaikan kritik sosial dikotomi pemimpin kafir tapi adil dan pemimpin Muslim tapi dzalim. Pertama, keduanya bukanlah kriteria pemimpin. Muslim tapi dzalim tidak memenuhi kriteria kepemimpinan, sedemikian sehingga tidak bisa disebut pemimpin. “ini bertentangan satu sama lain. Ini kesalahan substantif dalam berfikir” Cak Nun lalu mempertanyakan bagaimana mungkin ada Muslim tapi disebut dzalim. Baginya, jika dikaji makna substantifnya, kalau dzalim pasti bukan muslim. “gula ko pahit?” katanya memberikan analogi.”
              Semua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
         Suasana yang begitu nyama. Obrolan mereka jeda. Mereka semua menikmati kopi dan gorengan yang masih hangat.
            “Satu lagi Yai. Bagaimana dengan isu massa 4 November?” tanya Prabu Baladewa lagi.
         “Dari tulisan BERITA TERATAS, Mbah Maimun mengatakan, “Ahok sudah minta maaf, perkara jangan dibesar-besarkan,” KH. Maimun Zubair adalah sosok ulama yang unik, khas dan disegani. Pesan-pesannya merakyat, bijak dan menyentuh. Meskipun terkadang menohok tapi tetap santun dan menyejukan, semakin menambah rasa kagum siapapun yang mengenal dan menyimak pesan-pesannya. Terkait kontroversi pernyataan Gubernun DKI Jakarta Ahok tentang surat Al-Maidah ayat 51, membuat pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar, Rembang, Mbah Maimun angkat bicara. Mbah Maimun meminta seluruh umat muslim untuk tenang dan meredam amarah. Apalagi Ahok sudah minta maaf secara terbuka di hadapan publik. Pihaknya pun meminta agar umat Islam tak lagi terpecah belah dan membesar-besarkan masalah ini. “Ahok itukan sudah minta maaf, maka jangan dibesar-besarkan. Sehingga bila amarah dapat diredam maka persatuan juga bisa dijaga,” katanya. Menurut beliau, terkait polemik surat Al-Maidah, bahwa itu diserahkan ke pribadi masing-masing pemilih. Jika umat Islam di Jakarta tak ingin memilih Ahok karena alasan agama, tidak perlu dibesar-besarkan sehingga memicu isu SARA.”
            “Kasihan sekali Negara itu, Yai,” ucap Prabu Puntadewa sambil menangis.
            “Jangan menangis!”
           “Jadikan ini sebagai pelajaran, Yai Prabu Puntadewa. Rakyat sekarang itu tidak butuh omong besar, isu-isu SARA, membesar-besarkan masalah. Rakyat sudah bosan mendengarkan pidato-pidato para pejabat yang ludahnya nyiprat-nyiprat berbau busuk. Sudah bosan dengan ceramah-ceramah, sudah bosan dengan kata-kata kafir dan bid’ah. Semua itu hanya omong besar saja. Kenapa Negeri Nusantara itu beda dengan dulu, ini yang perlu ditanyakan. Kalau dulu para Pemimpin Nusantara itu jujur. Seharusnya kejujuran itu harus bisa menular pada pemimpin-pemimpin seterusnya. Sekarang pemimpin-pemimpin itu mempunyai dua wirid. Pertama, janji kepada rakyat. Kedua, membohongi rakyat. Sebelum menjadi pemimpin, para pemimpin mengemis-ngemis suara. Gambarnya ditempel-tempel di mana-mana. Janji terhadap rakyat akan memakmurkan rakyat mana buktinya? Rakyat sekarang tidak butuh ceramah. Dengarkan! Gunakan ahlakmu! Para sarjana ekonomi berkumpul di negara itu. S 1, S 2, S 3 dan SSS yang lain. Tapi, bukti nyatanya Negeri Nusantara masih defisit. Apa yang di banggakan? Mahasiswa? Mahasiswa sudah dibayari negara, di fasilitasi negara, tapi kalau demo tidak punya moral, tidak punya etika terpelajar. itu yang namanya mahasiswa? Para pemimpin, orang kaya, ulama sekalipun sesudah kenyang lalu tidur. Tidak tahu tetangga, tidak tahu rakyat memegang perut tidak bisa tidur karena lapar. Gusti Allah mengharamkan orang seperti itu mencium bau surga, mencium saja haram apalagi masuk? Mutiaranya akal berada di dalam ahlak, mutiara ahlak berada di dalam amal, mutiaranya amal itu berada di dalam iman.”
            “Kakang Krisna, saya jangan dimarahi!” sahut Puntadewa.
            “Saya bukan memarahi, tapi mencucimu hingga bersih.”
         “Saya tidak habis pikir mereka-mereka yang membesar-besarkan masalah itu. Sama-sama belum benar kok saling menuding, kamu kafir kamu dzalim,” kata Ki Semar.
            “Lalu, mana yang benar, Yai? Tanya Arjuna.
            “Yang benar hanya Allah SWT. Tidak ada manusia yang benar di dunia ini. Habib Riziq tidak di ikuti juga tidak apa-apa. Orang Habib Riziq juga belum tentu benar. Kalau sholat Habib Riziq masih membaca Al-Fatihah, berarti itu menandakan bahwa Habib juga masih belum benar. Tidak ikut demo juga tidak dosa. Daripada demo besar-besaran dan membuat rakyat semakin risau, lebih baik berkumpul bermusyawarah mufakat, berembuk bagaimana menyelesaikan masalah-masalah yang ada di Negeri Nusantara itu. Dari kejadian-kejadian itu pasti ada kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Ini masalah politik, jangan di bawa kemasalah agama. Pikirkan rakyat. Negara Nusantara itu dari dulu dikatakan mempunyai sopan dan santun. Sila ke 4 pancasila sudah menyatakan musyawarah mufakat, kenapa harus demo? Pada zaman Nabi, Nabi di siksa, di hina, di ludahi, diancam mau dibunuh, tapi beliau masih sabar. Melawan dengan akal dan pikiran yang jernih, pikiran yang suci. Tidak dengan brutal seperti itu. Masalah Ahok bicara seperti itu karena Ahok tidak tahu surat Al-Maidah. Orang yang tidak tahu itu ya asal-asalan saja kalau ngomong. Orang bodoh diladenin. Ahok sudah minta maaf. Lalu apa lagi masalahnya? Agar Ahok tidak jadi gubernur? Lho, Ahok sudah jadi gubernur kok. Semenjak Jokowi jadi presiden, Ahok kan sudah naik pangkat jadi gubernur. Kalau mau menolak kok gak dari dulu waktu Ahok dilantik menjadi Gubernur menggantikan Jokowi? Kok baru sekarang bikin rame-rame gak jelas? Kalau memang tidak ada kepentingan politik, lalu apa yang dipermasalahkan?” jelas Prabu Krisna dengan lantang.
*
            Senja terlalu merah. Para Pandawa menuruni tanjung, kemudian berdiri di atas pasir kelabu. Perlahan, sebatang ranting pengembara yang baru saja terbawa ombak dari samudera tiba di kaki mereka. Dipungutnya ranting yang menggigil itu, untuk membuat guratan pada pasir putih, menuliskan satu kalimat yang mereka sarikan dari proses perjalanan mereka: Jangan pernah nodai perdamaian, kecuali engkau sanggup menanggung tulahnya, (Kutipan kata-kata dari novel Cinta Putih di Bumi Papua karya Dzikry el Han). Semoga Negeri Nusantara terhindar dari mala petaka dan mala bahaya. Terhindar dari para ulama gadungan, terhindar dari pemimpin yang karbitan, terhindar dari konspirasi-konspirasi politik praktis, dan terhindar dari konflik-konflik yang akan memecah belah persatuan.
            Singaraja, 02 November 2016
*
Komedi Kebingungan
Oleh: Emha Ainun Najib

Telah sampai manusia, pada tahap pembangunan
yang bertemakan komedi kebingungan. Kaum
jilbab bertanya jawab dengan Mursyid mereka
“Ya, Mursyid. Kenapa agama diatur oleh negara,
dan bukan sebaliknya?”
Sang mursyid menjawab, “karena negara berhati
kekuasaan dan bermata senapan. Sedangkan
agama berhati cinta dan bermata keselamatan”
“Tapi bukankah negara itu sekedar tanah dan air,
sementara agama sibuk dengan perintah dan
larangan?”
“Tanah dan air adalah ladang cinta kasih agama
yang dipagari oleh napsu pemilikan negara.
kenapa negara didirikan? Karena dengan napsu
pemilikan, manusia gagal percaya satu sama lain.
Tuhan meminjamkan tanah dan air kepada
ummat-Nya, negara adalah perwujudan dari
perampokan napsu manusia atas status barang
pinjaman itu. Di dalam negara, atau antar negara,
manusia berperang di jarak antara pemilikan
pribadi dan pemilikan negara. Peperangan itu tak
akan pernah selesai, karena manusia tidak punya
hakekat untuk memiliki. Bagaimana mungkin
manusia sanggup memiliki, kalau kodratnya
sendiri hayalah barang produksi?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar