Obrolan Pandawa Tentang Surat
Al-Ma’idah Ayat 51
(Refleksi
dari isu Massa 4 November 2016)
Oleh:
Kang Aswan
“Jika agama membuat kita berpecah
belah, lebih baik kita tidak beragama. Lebih baik kita kembali kepada adat
saja.”
(Pendeta
Elkana Hindom, Kampung Adora, Distrik Teluk Patipi, Papua Barat dalam Novel Cinta Putih di Bumi Papua karya Dzikry
el Han)
Suatu hari yang sejuk. Para Pandawa
sedang berkumpul ngopi bareng nang Angkringan Warung Kopi Dewi
Erawati, isteri dari Prabu Baladewa. Para Pandawa saling bertukar pandangan
mengenai Surat Al-Ma’idah ayat 51 yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan di
seluruh penjuru Nusantara. Bahkan sampai ke negeri Ngamarta, negerinya para
Pandawa yaitu Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.
“Akhir-akhir iki, ada negara yang geger gara-gara ucapan sedikit tapi melebarkan
telinga. Sak itik nanging ngambakno
kuping. Kejadian ini lebih populer daripada kejadian negara kita yang
kehilangan Jimat Kalimasada yang dicuri Raja Bel Geduwel Beh alias Kakang
Petruk,” ucap Raden Werkudara.
“Ucapan opo iku, Kang Mas?” tanya
Sadewa penasaran.
“Ucapan gubenur DKI Jakarta mengenai
Surat Al-Ma’idah ayat 51.”
“Lho, apa yang dipermasalahkan
tetang Surat Al-Ma’idah iku, Kakang?” sahut Arjuna juga penasaran.
Prabu Puntadewa alias Yudistira
hanya senyum-senyum saja mendengar berita yang dibawa oleh Raden Wekudara alias
Bima adiknya itu.
“Beberapa minggu yang lalu gubenur
Jakarta menyebut bahwa umat Islam telah dibohongi oleh surat Al-Ma’idah. Pernyataan itulah yang jadi bola liar di
jagat Nusantara.”
“E e e. Jadi begitu permasalahannya,”
sahut Prabu Baladewa keluar sambil membawa sepiring gorengan hangat. “Lalu,
sekarang bagaimana keadaan negera itu, Adi?” lanjutnya.
“Jalas berantakan. Apalagi dari
kejadian itu ada isu bahwa pada 4 November 2016, akan diadakan massa
besar-besaran untuk menghakimi gubenur itu.”
“Dengan tuduhan?” tanya Nakula.
“Dengan tuduhan pelecehan agama.”
Di tengah perbincangan yang semakin
seru itu datang Ki Lurah Semar Badranaya dan Prabu Krisna.
“Assalamu’alaikum,” ucap Ki Semar.
“Wa’alaikumsalam.”
“E e e, Kakang Semar, apa kabar?”
sambut Prabu Baladewa.
“Alhamdulillah, Ndoro.”
“Para pemuda pembawa perubahan, Sang
Revolusioner,” kata Prabu Krisna sambil berjabat tangan dengan para Pandawa dan
Para Pandawa mencium tangan Prabu Krisna.
“Saya lihat dari Karang Kapulutan kok sepertinya ada yang
seru. Memangnya ada apa, Ndoro Werkudara?” tanya Ki Semar.
“Begini
Kakang, ada sebuah negara yang sekarang sedang ada goro-goro. Sedang ada
kejadian besar, sedang ada polemik antara pemerintah dengan rakyat. Kejadian
politik. Menurut pandangan masyarakat kejadian itu termasuk pelecehan agama,”
jelas Werkudara.
“Eladala.
Pelecehan agama?” tanya Ki Semar.
“Betul,
gubernur Jakarta telah melecehkan agama Islam,” Nakula menyahut.
“Ini
pasti masalah surat Al-Maidah ayat 51?” tanya Prabu Krisna dengan menyeruput
kopi hitam.
Para
Pandawa mengangguk.
“Gimana
pendapatmu tentang itu, Adi?” tanya Prabu Baladewa menelisik.
“Masyarakat
meneriaki Gubernur DKI Jakarta. Mereka tidak terima dengan pernyataan gubernur
yang dinilainya telah mempermainkan ayat suci Al-Quran. Seperti yang sempat
diberitakan sebelumnya, guberbnur mengatakan kepada warga di Kepulauan Seribu
bahwa warga dibohongi dengan menggunakan ayat Al-Maidah supaya tidak memilih
dirinya menjadi pemimpin. Inikan akar permasalahannya? Nah, kita harus tahu
bagaimana isi ayat itu. Isi surat Al-Maidah ayat 51 adalah Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
‘awliya’; sebagaimana mereka adalah awliya bagi sebahagian yang lain.
Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Lalu pertanyaannya benarkah
pemimpin yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah “pemimpim” sebagaimana yang
dipahami oleh kebanyakan orang?”
“Eladala.
Aku tak ngomong, Ndoro Krisna. Menurut Prof. Qurais Shihab, ahli tafsir
Al-Quran, mengatakan bahwa ayat-ayat di atas memiliki kaitan dengan ayat-ayat
sebelumnya. Al-Maidah ayat 51 merupakan konsekuensi dari petunjuk-petunjuk yang
sebelumnya. Pada ayat sebelumnya Al-Maidah ayat 51, Al-Quran menjelaskan apa
saja yang keliru dari kitab Taurat dan Injil karena kaum-kaum yang sebelumnya.
Yahudi dan Nasrani yang enggan mengikuti tuntutan Al-Quran akan memberikan
peluang pada Allah untuk menjatuhkan siksaan kepada mereka. Mereka dinilai
tidak mau mengikuti tuntunan Tuhan dan lebih senang mengikuti tuntunan jahiliah,
katanya dalam pengajian tafsir Al-Quran. Lalu disambunglah dengan ayat 51 surat
Al-Maidah. Kalau memang Yahudi dan Nasrani telah mengubah kitab suci mereka dan
enggan mengikuti Al-Quran serta ingin menjadi jahiliah, Maka wahai
orang-orang yang beriman jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani
sebagai awliya, Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat ini dan ayat
sebelumnya sangat berkaitan. Kalau mereka enggan mengikuti Allah, jangan
menjadikan mereka sebagai awliya. Apa yang dimaksud dengan awliya? Awliya
merupakan jamak dari wali. Di Indonesia, kata ini menjadi populer dengan wali
kota, wali kelas dan sebagainya. Wali ditafsirkan sebagai “yang dekat”.
Misalnya pada kata waliyullah, itu bisa ditafsirkan sebagai orang yang dekat
dengan Allah. Jadi kata ‘awliya’ tidak hanya berarti pemimpin.
Dalam
konteks hubungan manusia menurut Quraish Shihab, berarti persahabatan yang
sangat kental sehingga tidak ada rahasia antara mereka. Seperti hubungan antara
suami dan isteri yang dileburkan oleh cinta. Dalam konteks seperti ini, tidak
dilarang. Yang dilarang adalah membuka rahasia kepada mereka, “itu yang
dilarang,” katanya. Jika dalam pergaulan sehari-hari seperti berdagang dan
membeli tidak dilarang,” penjelasan Ki Semar mengutip pendapat Prof. Quraish
Shihab.
“Lalu,
bagaimana dengan Nusron Wahid itu, Kakang?” tanya Werkudara.
“Ndoro
Krisna. Monggo panjenengan menjelaskan. Saya mau minum kopi dulu.”
Wekudara
menengok ke arah Prabu Krisna.
“Menurut
Budayawan kondang Emha Ainun Najib yang ditulis di METROISLAM.COM, Cak Nun
menyatakan bahwa dia yakin akurasi masalahnya tidak pada apa yang diucapkan
oleh Nusron. Menurutnya, apapun yang diucapkan Nusron, itu akibat. Yang perlu
kita temukan adalah sebabnya. Nusron, juga Ahok, bahkan Presiden dan Pemerintah
secara keseluruhan, tidaklah benar-benar ada dan hadir sebagai dirinya sendiri,
melainkan merupakan representasi dari semacam sindikasi kekuatan dan niat
kekuasaan serta modal sangat besar di belakangnya. Dengan idiom lain: Nusron
hanya peluru, bukan bedilnya. Dia hanya mercon, ada tangan yang melempar dan
membantingnya. Lebih lanjut disebutkannya, inilah bagian yang tidak bisa kita
tolak dari dialektika dan romantika proses berdemokrasi. Perjuangan untuk
mencapai transparansi dalam berdemokrasi sangat kita puji, tetapi yang bisa
dicapai hanyalah sebatas maksimalisasi transparansi. Sayangnya, sebut Cak Nun,
secara alamiah kehidupan ini terdiri atas ketidak-seimbangan yang sangat
timpang dan curam, ketika faktor yang tersembunyi jauh lebih banyak
dibandingkan yang transparan. Seperti kata pepatah: musuh utama manusia adalah
ketidaktahuan, musuh yang paling menakutkan dalam peperangan adalah pasukan
siluman.”
“Bagaimana
dengan pernyataan ‘lebih baik pemimpin kafir tapi adil, daripada pemimpin
muslim tapi dzalim?’, Adi?” tanya Prabu Baladewa kepada adiknya.
“Seperti
yang sudah tertulis di Master Berita, Cak Nun menyampaikan kritik sosial
dikotomi pemimpin kafir tapi adil dan pemimpin Muslim tapi dzalim. Pertama,
keduanya bukanlah kriteria pemimpin. Muslim tapi dzalim tidak memenuhi kriteria
kepemimpinan, sedemikian sehingga tidak bisa disebut pemimpin. “ini
bertentangan satu sama lain. Ini kesalahan substantif dalam berfikir” Cak Nun
lalu mempertanyakan bagaimana mungkin ada Muslim tapi disebut dzalim. Baginya,
jika dikaji makna substantifnya, kalau dzalim pasti bukan muslim. “gula ko
pahit?” katanya memberikan analogi.”
Semua
mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
Suasana
yang begitu nyama. Obrolan mereka jeda. Mereka semua menikmati kopi dan
gorengan yang masih hangat.
“Satu
lagi Yai. Bagaimana dengan isu massa 4 November?” tanya Prabu Baladewa lagi.
“Dari
tulisan BERITA TERATAS, Mbah Maimun mengatakan, “Ahok sudah minta maaf,
perkara jangan dibesar-besarkan,” KH. Maimun Zubair adalah sosok ulama yang
unik, khas dan disegani. Pesan-pesannya merakyat, bijak dan menyentuh. Meskipun
terkadang menohok tapi tetap santun dan menyejukan, semakin menambah rasa kagum
siapapun yang mengenal dan menyimak pesan-pesannya. Terkait kontroversi
pernyataan Gubernun DKI Jakarta Ahok tentang surat Al-Maidah ayat 51, membuat
pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar, Rembang, Mbah Maimun angkat bicara. Mbah
Maimun meminta seluruh umat muslim untuk tenang dan meredam amarah. Apalagi
Ahok sudah minta maaf secara terbuka di hadapan publik. Pihaknya pun meminta
agar umat Islam tak lagi terpecah belah dan membesar-besarkan masalah ini. “Ahok
itukan sudah minta maaf, maka jangan dibesar-besarkan. Sehingga bila amarah
dapat diredam maka persatuan juga bisa dijaga,” katanya. Menurut beliau,
terkait polemik surat Al-Maidah, bahwa itu diserahkan ke pribadi masing-masing
pemilih. Jika umat Islam di Jakarta tak ingin memilih Ahok karena alasan agama,
tidak perlu dibesar-besarkan sehingga memicu isu SARA.”
“Kasihan
sekali Negara itu, Yai,” ucap Prabu Puntadewa sambil menangis.
“Jangan
menangis!”
“Jadikan
ini sebagai pelajaran, Yai Prabu Puntadewa. Rakyat sekarang itu tidak butuh
omong besar, isu-isu SARA, membesar-besarkan masalah. Rakyat sudah bosan
mendengarkan pidato-pidato para pejabat yang ludahnya nyiprat-nyiprat
berbau busuk. Sudah bosan dengan ceramah-ceramah, sudah bosan dengan kata-kata
kafir dan bid’ah. Semua itu hanya omong besar saja. Kenapa Negeri Nusantara itu
beda dengan dulu, ini yang perlu ditanyakan. Kalau dulu para Pemimpin Nusantara
itu jujur. Seharusnya kejujuran itu harus bisa menular pada pemimpin-pemimpin
seterusnya. Sekarang pemimpin-pemimpin itu mempunyai dua wirid. Pertama,
janji kepada rakyat. Kedua, membohongi rakyat. Sebelum menjadi pemimpin,
para pemimpin mengemis-ngemis suara. Gambarnya ditempel-tempel di mana-mana. Janji
terhadap rakyat akan memakmurkan rakyat mana buktinya? Rakyat sekarang tidak
butuh ceramah. Dengarkan! Gunakan ahlakmu! Para sarjana ekonomi berkumpul di
negara itu. S 1, S 2, S 3 dan SSS yang lain. Tapi, bukti nyatanya Negeri
Nusantara masih defisit. Apa yang di banggakan? Mahasiswa? Mahasiswa sudah
dibayari negara, di fasilitasi negara, tapi kalau demo tidak punya moral, tidak
punya etika terpelajar. itu yang namanya mahasiswa? Para pemimpin, orang kaya,
ulama sekalipun sesudah kenyang lalu tidur. Tidak tahu tetangga, tidak tahu
rakyat memegang perut tidak bisa tidur karena lapar. Gusti Allah mengharamkan
orang seperti itu mencium bau surga, mencium saja haram apalagi masuk?
Mutiaranya akal berada di dalam ahlak, mutiara ahlak berada di dalam amal, mutiaranya
amal itu berada di dalam iman.”
“Kakang
Krisna, saya jangan dimarahi!” sahut Puntadewa.
“Saya
bukan memarahi, tapi mencucimu hingga bersih.”
“Saya
tidak habis pikir mereka-mereka yang membesar-besarkan masalah itu. Sama-sama
belum benar kok saling menuding, kamu kafir kamu dzalim,” kata Ki Semar.
“Lalu,
mana yang benar, Yai? Tanya Arjuna.
“Yang
benar hanya Allah SWT. Tidak ada manusia yang benar di dunia ini. Habib Riziq
tidak di ikuti juga tidak apa-apa. Orang Habib Riziq juga belum tentu benar.
Kalau sholat Habib Riziq masih membaca Al-Fatihah, berarti itu menandakan bahwa
Habib juga masih belum benar. Tidak ikut demo juga tidak dosa. Daripada demo
besar-besaran dan membuat rakyat semakin risau, lebih baik berkumpul
bermusyawarah mufakat, berembuk bagaimana menyelesaikan masalah-masalah yang
ada di Negeri Nusantara itu. Dari kejadian-kejadian itu pasti ada
kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Ini masalah politik, jangan di bawa
kemasalah agama. Pikirkan rakyat. Negara Nusantara itu dari dulu dikatakan
mempunyai sopan dan santun. Sila ke 4 pancasila sudah menyatakan musyawarah
mufakat, kenapa harus demo? Pada zaman Nabi, Nabi di siksa, di hina, di ludahi,
diancam mau dibunuh, tapi beliau masih sabar. Melawan dengan akal dan pikiran
yang jernih, pikiran yang suci. Tidak dengan brutal seperti itu. Masalah Ahok
bicara seperti itu karena Ahok tidak tahu surat Al-Maidah. Orang yang tidak
tahu itu ya asal-asalan saja kalau ngomong. Orang bodoh diladenin. Ahok sudah
minta maaf. Lalu apa lagi masalahnya? Agar Ahok tidak jadi gubernur? Lho, Ahok
sudah jadi gubernur kok. Semenjak Jokowi jadi presiden, Ahok kan sudah naik
pangkat jadi gubernur. Kalau mau menolak kok gak dari dulu waktu Ahok dilantik
menjadi Gubernur menggantikan Jokowi? Kok baru sekarang bikin rame-rame gak
jelas? Kalau memang tidak ada kepentingan politik, lalu apa yang dipermasalahkan?”
jelas Prabu Krisna dengan lantang.
*
Senja
terlalu merah. Para Pandawa menuruni tanjung, kemudian berdiri di atas pasir
kelabu. Perlahan, sebatang ranting pengembara yang baru saja terbawa ombak dari
samudera tiba di kaki mereka. Dipungutnya ranting yang menggigil itu, untuk
membuat guratan pada pasir putih, menuliskan satu kalimat yang mereka sarikan
dari proses perjalanan mereka: Jangan pernah nodai perdamaian, kecuali engkau
sanggup menanggung tulahnya,
(Kutipan kata-kata dari novel Cinta Putih di Bumi Papua karya Dzikry el
Han). Semoga Negeri Nusantara terhindar dari mala petaka dan mala bahaya.
Terhindar dari para ulama gadungan, terhindar dari pemimpin yang karbitan,
terhindar dari konspirasi-konspirasi politik praktis, dan terhindar dari
konflik-konflik yang akan memecah belah persatuan.
Singaraja,
02 November 2016
*
Komedi Kebingungan
Oleh: Emha Ainun Najib
Telah sampai manusia,
pada tahap pembangunan
yang bertemakan komedi
kebingungan. Kaum
jilbab bertanya jawab
dengan Mursyid mereka
“Ya, Mursyid. Kenapa
agama diatur oleh negara,
dan bukan sebaliknya?”
Sang mursyid menjawab,
“karena negara berhati
kekuasaan dan bermata
senapan. Sedangkan
agama berhati cinta dan
bermata keselamatan”
“Tapi bukankah negara
itu sekedar tanah dan air,
sementara agama sibuk
dengan perintah dan
larangan?”
“Tanah dan air adalah
ladang cinta kasih agama
yang dipagari oleh
napsu pemilikan negara.
kenapa negara
didirikan? Karena dengan napsu
pemilikan, manusia
gagal percaya satu sama lain.
Tuhan meminjamkan tanah
dan air kepada
ummat-Nya, negara
adalah perwujudan dari
perampokan napsu
manusia atas status barang
pinjaman itu. Di dalam
negara, atau antar negara,
manusia berperang di
jarak antara pemilikan
pribadi dan pemilikan
negara. Peperangan itu tak
akan pernah selesai,
karena manusia tidak punya
hakekat untuk memiliki.
Bagaimana mungkin
manusia sanggup
memiliki, kalau kodratnya
sendiri hayalah barang produksi?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar