Sabtu, 29 Oktober 2016

Cerpen_Air Mata Aisyah



Air Mata Aisyah
Oleh: Kang Aswan


  
            “Pokoknya ibu tidak mau tahu. Kau harus punya anak! Saya ingin sekali menimang cucu!” suara Bu Nur bergema diseluruh ruang tamu. Muntap menginginkan cucu dari anaknya. Mengalahkan desis angin yang berhembus.
            “Bu. Ibukan tahu, bahwa Aisyah itu sudah divonis tidak bisa hamil, Bu,” jawab Arman menjelaskan.
            “Kalau isterimu itu tidak bisa hamil, cari isteri lagi!” teriak ibunya dengan urat-urat leher menegang dan sorot matanya berkilat-kilat.
            Aisyah yang waktu itu baru datang mengajar ngaji di masjid, menangis di luar pintu. Aisyah sangat terpukul mendengar kata-kata mertuanya itu. Ia berlinang air mata. Tapi ia juga tidak kuasa untuk menyalahkan perkataan mertuanya. Karena memang begitulah adanya. Tiga bulan yang lalu, dokter telah menvonis bahwa ia mandul. Dua tahun sudah pernikahannya dengan Arman, tapi belum memiliki si buah hati. Sedangkan ibu mertuannya menuntut anaknya agar segera memberikan cucu.
            Aisyah mencoba untuk tegar dengan semuanya. Ia tetap ingin tersenyum dan menganggap bahwa semua itu pasti ada hikmah di baliknya.
            Assalamu’alaikum,” ucap Aisyah.
            Wa’alaikumsalam,” jawab Bu Nur dan Arman barengan.
          Aisyah tersenyum kepada ibu mertuannya dan suaminya. Mertuanya membalas senyum dengan terpaksa. Aisyah mendekati mereka. Mencium tangan mereka berdua bergantian.
            “Sudah lama, Bu?” tanya Aisyah.
            “Sudah,” jawabnya judes.
            “Saya buatkan minum dulu ya, Bu,”
            “Ndak usah! Saya mau balik.”
            Langkah Aisyah terhenti.
            “Kok buru-buru, Bu?” tanya Arman.
            “Di sini juga tidak ada alasan untuk berlama-lama. Andai saja kamu punya anak, jangankan berlama-lama, tinggal di sini pun saya mau.”
            Blaaarrrr! Kalimat itu seperti petir yang menyengat jantung Aisyah. Begitu sakit, namun sekaligus memberi kekuatan. Sekejap itu juga Aisyah berlari. Perasaannya hancur. Entah bisa untuh kembali atau akan hancur selamanya. Ia sebenarnya sudah tidak kuat akan tekanan itu. Aisyah sudah tak bisa berpikir apa-apa. Ia hanya berlari dengan pandangan mengabur karena cucuran air matanya.
            “Aisyah!”teriak Arman berusaha menghentikan Aisyah.
            “Ibu sangat keterlaluan,” kata Arman kesal dengan ibunya serasa mengejar Aisyah.
         Arman sangat tahu bahwa kalimat yang baru saja terucap pasti punya pengaruh besar. Bagaimana jika Aisyah mati menanggung sedih? Tahulah ia, segalanya sudah berantakan dan sangat rumit.
            “Tunggu, Aisyah!”
            Aisyah tetap berlari tak menghiraukan teriakan suaminya hingga ia terjatuh.
            “Aisyahhhhh!” teriak Arman ketika melihat isteri tercintanya terjatuh. Lalu ia berlari dua kali lebih kencang.
            “Kau tidak apa-apa, Isteriku?” tanya Arman sambil mendekap Aisyah erat-erat.
            Aisyah hanya sesegukan. Terisak tangis. Hatinya pilu. Merasa menjadi manusia yang tidak berguna. Arman menyeka air mata isterinya dengan lembut. Aisyah menatap mata suaminya dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang. Mereka bangkit, lalu kembali ke rumahnya.
* * * *
Setiap pagi sehabis Subuh, Aisyah melihat kerumunan ibu dan anak-anak bermain-main, sambil sesekali bercanda. Hati Aisyah semakin pilu. Setiap kali ia menelisik, kira-kira apa yang dirasakan ibu dan anak-anaknya itu. Demikian itulah sebuah pelajaran dan juga cobaan, pikir Aisyah. Kesabaran baginya adalah keputusan untuk membuang kesedihan. Aisyah yakin mampu melakukannya.
Dengan sepi seperti kesepian Hawa yang terpisah dengan Adam, Aisyah memandangi ayunan di depan jendela kamarnya, yang telah mengukirkan romantisme bagi makhluk yang dipilih oleh takdir. Arman dan Aisyah. Ayunan itu masih tetap disitu, utuh sejak dua tahun lalu. Seolah mengajari pohon beringin di sampingnya tentang cinta, romantis, dan garis takdir bahwa pada saatnya setiap makhluk akan bahagia.
Bagi Aisyah, keteguhan itu serupa tanjung-tanjung, yang tak pernah ragu menyambut hempasan ombak laut yang seram.
Aisyah isteriku, apakah kau benar-benar mencintaiku?” tanya Arman memeluknya dari belakang.
Aisyah menganggukkan kepala.
“Aku juga sangat mencintaimu. Dan aku tak ingin kita yang sekarang ini saling mencintai kelak di akhirat menjadi orang yang saling membenci dan saling memusuhi.”
“Apa maksudmu? Apakah ada dua orang yang di dunia saling mencintai di akhirat justru saling memusuhi?” tanya Aisyah.
“Jika cinta keduanya tidak berlandaskan ketakwaan kepada Allah maka keduanya bisa saling bermusuhan kelak di akhirat. Apalagi jika cinta keduanya justru menyebabkan terjadinya perbuatan maksiat baik kecil maupun besar. Tentu kelak mereka berdua akan bertengkar di akhirat. Seseorang yang sangat mencintai kekasihnya sering melakukan apa saja demi kekasihnya. Tak peduli pada apa pun juga. Terkadang juga tidak peduli pada pertimbangan dosa atau tidak dosa. Jika yang dilakukan adalah dosa tentu akan menyebabkan keduanya akan bermusuhan kelak di akhirat. Sebab mereka akan berseteru di hadapan pengadilan Allah Swt. Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah Swt dalam surat Az Zuhruf ayat 67: ‘Orang-orang yang akrab saling kasih mengasihi, pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.’ Isteriku, aku tak ingin kita yang sekarang ini saling menyayangi dan saling mencintai kelak di akhirat justru menjadi musuh dan seteru. Aku ingin kelak di akhirat kita tetap menjadi sepasang kekasih yang dimuliakan oleh Allah Swt. Aku tak menginginkan yang lain kecuali itu isteriku.”1
1Kutipan dari kata-kata Fahri dalam Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman Saerozi.

Tangis Aisha semakin menjadi-jadi.
“Mas, menikahlah dengan Fatimah. Aku ikhlas,” kata-kata Aisyah mengagetkan suaminya.
            Fatimah adalah seorang gadis yatim piatu yang tinggal di dekat masjid tempat Aisyah mengajar ngaji. Fatimah hidup di dalam lingkarang kemiskinan yang ekstrim.
Arman kaget, “Apa maksudmu, Aisyah?”
“Tidak Aisyah, tidak! Aku tidak bisa.”
“Menikahlah dengan dia, demi rumah tangga kita. Kumohon! Jika kau tidak menikah dengan Fatimah maka ibu akan membencimu, Mas. Tak tahu lagi harus berbuat apa untuk menyelamatkan rumah tangga ini.” Setetes air bening keluar dari sudut matanya.
“Aisyah, kita serahkan semuannya kepada Allah.”
“Tapi manusia harus berusaha sekuat tenaga. Tidak boleh pasrah begitu saja. Menikahlah dengan Fatimah untuk membahagiakan ibu.”
“Aku tak bisa Aisyah. Aku sangat mencintaimu. Aku ingin kau yang pertama dan terakhir bagiku.”
“Kalau kau mencintaiku maka kau harus berusaha melakukan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Demi aku dan ibumu!”
“Aku tidak bisa berspekulasi isteriku. Aku tidak bisa melakukannya. Tidak bisa!”
“Suamiku aku mohon denganmu. Sekarang menikahlah dengannya. Aku yakin kalau Fatimah itu adalah muslimah yang sangat sholehah. Kumohon menikahlah demi ibumu. Bukankah dalam Al-Qur’an disebutkan, Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.?”
Arman terdiam tidak bisa bicara apa-apa. Ia tidak pernah membayangkan akan menghadapi suasana psikologis yang cukup berat seperti ini. Aisyah mengambil cincin mahar yang Arman berikan di jari manis tangan kanannya.
“Ini jadikan mahar untuk Fatimah,”  kata-kata Aisyah begitu tegas tanpa ada keraguan, setegas perempuan-perempuan Palestina ketika menyuruh suaminya berangkat ke medan jihad. Dengan sedikit ragu Arman mengambil cincin itu. Ia tak bisa menahan isak tangis. Aisyah memeluk suaminya, mereka bertangisan.
“Suamiku kau jangan ragu! Kau sama sekali tidak melakukan dosa. Yakinlah bahwa kau akan melakukan amal shaleh,” bisik Aisyah.
* * * *
Sebulan kemudian...
Setelah menemui Wali Fatimah. Kedua belah pihak menyambut dengan bahagia. Fatimah pun tidak keberatan harus menjadi isteri yang kedua. Proses akad nikah dilaksanakan dalam waktu yang sangat cepat, sederhana, sesuai dengan permintaan Arman. Seorang Penghulu mewakili Paman Fatimah menikahkan Arman dengan Fatimah dengan mahar sebuah cincin emas. Saksinya adalah dua pihak keluarga Arman, Fatimah dan juga tetangga sekitar.
* * * *
Aisyah duduk sendirian di bangku. Arman mendekatinya dan duduk di sampingnya. Aisyah diam saja. Matanya basah.
“Kau menangis Aisha?”
Aisyah diam seribu bahasa seolah tidak mendengar pertanyaan suaminya.
“Kau menyesal dengan keputusanmu?”
Dia menggelengkan kepala.
“Kenapa kau menangis? Kau cemburu?”
Aisyah mengangguk. Arman memeluknya, “Maafkan aku Aisyah, semestinya kau tidak menikah denganku sehingga kau menderita seperti ini.”
“Kau jangan berkata begitu Suamiku. Menikah denganmu adalah kebahagianku yang tiada duanya. Kau tidak bersalah apa-apa. Tak ada yang salah denganmu. Kau sudah berusaha melakukan hal yang menurutmu baik. Rasa cemburu itu wajar. Meskipun aku yang memaksamu menikahi Fatimah. Tapi rasa cemburuku ketika kau berada dalam kamar dengannya itu datang begitu saja. Inilah cinta. Tanpa rasa cemburu cinta tiada.”
“Aku takut sebenarnya aku tidak pantas dicintai siapa-siapa.”
“Tidak Suamiku. Kalau seluruh dunia ini membencimu aku tetap akan setia mencintaimu.”
“Terima kasih atas segala ketulusanmu Aisyah. Aku akan berusaha membalas cintamu dengan sebaik-baiknya.”
* * * *
Waktu terus berputar. Hari-hari mereka lewati dengan penuh canda dan tawa. Aisyah sangat sayang dengan Fatimah. Begitu sebaliknya Fatimah sangat sayang dengan Asyah. Arman sangat adil memperlakukan kedua isterinya. Tidak ada yang dinomor satukan antara isteri pertama dan isteri kedua. Dari mulai kebutuhan lahir dan batin, Arman menakarnya dengan pas. Adil tidak berat sebelah.
Hingga kabar baik itu tiba. Kabar yang mengatakan bahwa Fatimah telah mengandung anak Arman. Kabar yang begitu menggembirakan bagi Ibu Nur. Tapi, begitu menyakitkan bagi Aisyah. Timbul rasa iri dalam diri Aisyah. Namun, ia mampu membuang jauh-jauh perasaan seperti itu. Ini semua dia sendiri yang menginginkan. Dan tentu ia juga sudah tahu konsekuensinya.
Tak diragukan lagi. Berita yang menggembirakan itu disambut Bu Nur dengan sangat gembira. Sekian lama ia menginginkan seorang cucu, akhirnya keinginannya itu akan segera terkabul.
Sembilan bulan kemudian...
Di rumah sakit setempat. Pukul 13.25 Wib. Fatimah hendak melahirkan. Dengan gusar para keluarga termasuk Aisyah cemas. Mengingat, jika Fatimah tetap melahirkan dengan cara alami, maka akan berbahaya untuk keselamatan Fatimah. Bisa saja Fatimah melahirkan tanpa sesar, akan tetapi itu sangat sempit kemungkinannya.
Fatimah adalah wanita yang sangat teguh pendirian. Ia tidak mau melahirkan anaknya secara sesar. Ia percaya akan kuasa Allah. Akhirnya, dokter memutuskan untuk tidak melakukan sesar dan berusaha sekuat tenaga membantu persalinan Fatimah dengan cara alami.
Satu jam telah berlalu. Belum ada tanda-tanda jeritan seorang bayi. Rumah sakit itu seakan-akan ikut merasakan gelisah, sunyi, cemas. Di ruang tunggu Arman, Aisyah dan Bu Nur tak henti-hentinya memanjatkan doa. Begitu juga dari pihak keluarga Fatimah. Bahkan budenya Fatimah sampai membaca Al-Quran untuk keselamatan keponakan dan bayinya.
Sejurus kemudian, jeritan bayi menguing sampai lorong-lorong rumah sakit. Semua mengucapkan hamdalah. Sampai dokter keluar dan meberikan informasi. Takdir berkata lain.
“Selamat, anak bapak laki-laki,” kata dokter dengan tersenyum. “Akan tetapi, kami mohon maaf. Ibu Fatimah, meninggal dunia saat melahirkan. Beliau kehabisan tenaga,” lanjut dokter dengan menunduk merasa bersalah.
Semua orang yang hadir menangis sejadi-jadinya. Arman dan Aisyah tak kuasa menahan derasnya lelehan air mata. Bu Nur juga. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun!
Fatimah menghadap Tuhan dengan menyungging senyum di bibir. Wajahnya bersih seakan diselimuti cahaya.
Sambil terisak Aisyah melantunkan ayat:
Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah
irji’ii ilaa Rabbiki
raadhiyatan mardhiyyah
Fadkhulii fii ‘ibaadii
wadkhulii jannatii
(Hai jiwa yang tenang
Kembalilah kamu kepada Tuhanmu
dengan hati puas lagi diridhai
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu
Maka masuklah ke dalam surga-Ku.2)
Seketika itu juga Bu Nur muntap. Ia menganggap bahwa kematian Fatimah itu penyebabnya adalah Aisyah yang iri kepada Fatimah. Bu Nur menyumpah serapahi Aisyah. Mengguncang-guncang tubuh Aisyah, melaknat, memarahi Aisyah dengan brutal.
Hingga Arman tak kuasa melihat isteri tercintanya terzalimi,
“Cukup, Ibu! Ibu perlu tahu bahwa yang menyuruhku untuk menikah dengan Fatimah ialah Aisyah.”
Mendengar perkataan anaknya itu, Bu Nur terdiam membisu. Menatap Aisyah dalam-dalam.
“Kalau tidak karena keikhlasan Aisyah, maka tidak ada terbesit dalam pikiranku untuk menikah lagi. Asiyah memohon kepadaku agar aku menikah dengan Fatimah untuk membahagiakanmu, Ibu.”
Bu Nur semakin merasa bersalah. Ia menghampiri Aisyah yang menangis terisak. Ia kembali menatap.
2 QS. Al-Fajr: 27-30 

       “Apakah benar apa yang dikatakan anakku itu?” tanya Bu Nur masih tidak percaya.
       Aisyah hanya bisa menangis. Aisyah mengangguk. Lalu, Bu Nur memeluk Aisyah erat sekali. Seperti Hawa melepas kerinduannya kepada Adam di Jabal Rahma. Bu Nur menangis. Kagum. Takjub dengan keikhlasan menantunya itu. Air matanya meleleh. Keluar mengakui semua kesalahannya. Ia minta maaf dengan Aisyah dan Aisyah tanpa ragu memaafkan mertuanya.
* * * *
       Walaupun itu bukan anak kandungnya, Aisyah sangat sayang dengan anak itu. Ia rawat dengan sepenuh hati. Ia cintai dengan jiwa dan raga. Ia sangat bahagia. Walaupun anak itu tidak lahir dari rahimnya, akan tetapi sekarang anak itu sudah sepenuhnya menjadi anaknya. Air mata yang begitu banyak keluar karena cobaan yang Aisyah alami, keikhlasan yang begitu tulus, akhirnya membuahkan hasil berupa kebahagiaan yang tiada tara. Sungguh, Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sangat mudah bagi-Nya untuk menghapus duka dan kesedihan hamba-Nya.
            Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.3


Selesai, Sabtu 29 Oktober 2016
Pukul 00: 35 dini hari.
Banjar Tegal, Singaraja





                                               
3 QS. Asy-Syarh 94:5-6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar