Rabu, 26 Oktober 2016

Cerpen_Di Bawah Cahaya Lentera Nenek




Di Bawah Cahaya Lentera Nenek
Oleh: Kang Aswan



Tuban, cerah kala itu. Terang sekali. Patung pahlawan itu tetap kokoh berdiri dengan pedang samurai ditangannya. Kilau cahaya lampu Masjid Agung Tuban merekah. Menyambut para peziarah makam Sunan Bonang. Truk-truk bergandeng, hilir mudik beriring-iringan. Deburan ombak pantai Bom bergemuruh. Ombak itu menciumi garis pantai. Membasahi pasir-pasir. Bulan begitu anggun menciptakan kedamaian dalam hati. Ya, langgit dini hari selalu memikatnya.
Sejak kecil neneknya sudah sering membangunkannya jam tiga pagi. Mengajak keluar melihat langgit dini hari. Ia masih teringat pertanyaan nenek tentang bintang-bintang.
“Wahid, akeh pundi lintang nang langit opo iwak nang segoro?” (Le, lebih banyak mana bintang di langit apa ikan di laut?)
Wahid bingung. Dan Ia menjawab kalau bintang di langitlah yang lebih banyak. Namun, nenek mematahkan argumen yang asal-asalan itu.
Sampeyan iki, katanya anak paling pinter di sekolah, kok jawab gitu saja salah, to?”
“Lalu, sing bener sing pundi, Nek?” (Lalu, yang benar yang mana, Nek?)
“Ya tetep banyak ikan di laut, to.”
“Kok bisa, Nek?”
“Bintang di langit memang banyak, Le. Tapi, pernah tidak manusia itu mengambil bintang?”
Aku menggelengkan kepala.
“Nah, manusia tidak pernah mengambil bintang pun, jumlah bintang tetap seperti itu. Tapi, kalau ikan?”
“Ikan? Banyak yang ambil, Nek.”
“Tapi, ikan tidak ada habisnya, to.”
Pertanyaan itu memang sedikit rumit untuk dijawab oleh bocah kelas enam sekolah dasar. Wahid melihat bentangan cakrawala yang mempesona. Bintang yang berkilauan di matanya tampak seumpama mata ribuan malaikat yang mengintip penduduk bumi.
Kini, bocah kelas enam sekolah dasar itu telah mejelma menjadi seorang Sarjana lulusan Universitas Istanbul, Turki. Wahid baru saja turun dari bus jurusan Semarang-Surabaya. Ia meregangkan otot-ototnya. Ia merentangkan kedua tangannya, sembari menghirup udara dalam-dalam. Meski udara Tuban tak sesegar  di Turki, tapi ia sekarang tak punya pilihan kecuali harus mulai mengabdi dan mencintai tanah kelahirannya.
Nek, aku pulang!
* * * *
Wahid tiba di rumah bersama mentari yang muncul dari ufuk timur. Bersama angin yang berhembus, kicauan burung, embun pagi dan bersama lantunan panggilan Tuhan yang menggema. Menyusup kedalam rumah-rumah, gubuk, peternakan, gudang dan masuk ke kuping manusia menggugah jiwa-jiwa yang terlelap mati sementara. Suara suci itu bergerak dengan lembut dan cepat. Menyapa alam. Menyapa padi yang menguning . Menyapa bunga-bunga jagung. Menyapa pohon-pohon. Menyapa alam semesta. Menyapa semuanya. Semuanya sholat. Semuanya mengagungkan asma Allah.
Wahid menengok sekeliling rumahnya. Sudah banyak perubahan. Empat tahun ia meninggalkan tanah kelahirannya. Sampai ujung dunia pun, ia tak pernah ingin atau tak pernah bisa melupakan kampung halamannya. Tuban adalah tempatnya mengukir janji-janjinya bersama nenek, tempatnya belajar mengeja aksara tentang kehidupan, merajut asa, menenun pengertian, menemukan kedamaian, dan menyimpannya dalam lembar demi lembar dalam dirinya. Ia membawa lekat setiap titik kenangan tentang Tuban, yang akan ia simpan baik-baik, tak mungkin susut. Tuban sudah melekat dengan dirinya.
Ia melihat lentera-lentera redup yang menerangi teras rumah-rumah penduduk meliuk-liuk gelisah tertiup angin. Hening. Ia menatap lekat lentera itu. Lentara yang gemulai itu mengingatkannya sepuluh tahun yang lalu. Ketika lentera itu dengan setia menemaninya belajar mengais ilmu pengetahuan. Berkat cahaya lentera yang redup itu, ia mampu berjalan membuka gerbang cita-cita. Perempuan tua itu. Neneknya. Setiap kali ia hendak belajar atau mengerjakan tugas, Neneknya dengan semangat menyalakan lentera minyak. Berkali-kali Nenek menyalakan lentera itu, tapi angin yang dikirim dari ribuan pohon bambu itu menghempas tanpa kira-kira. Nenek  hanya menanggapinya dengan senyum bahagia. Sekali lagi, Nenek menyalakan korek api dan menyalakan  lentera minyak itu. Lentera itu meliuk-liuk dengan anggun bak penari jaipong yang melenggak-lenggok.
Nenek menatapnya sendu. Ia dengan semangat berapi-api membolak-balik halaman demi halaman. Memahami dengan detail apa yang disampaiakan buku-buku itu. Ia mengangkat wajahnya. Ia menatap Neneknya dengan perasaan yang tak menentu. Nenek yang sedang sibuk membungkus dan menaburkan parutan kelapa di atas gemblong itu tersenyum. Gemblong adalah makanan yang terbuat dari singkong rebus yang ditumbuk hingga bertekstur kenyal.
“Belajar yang rajin ya, Le!” pesan neneknya.
“Iya, Nek.”
Hingga pada sampai ia masuk sekolah menengah atas, lentera nenek itu masih setia menemaninya belajar. Sinar lentera yang hanya bisa menjangkau sudut sempit ruangan itu kadang merasa lelah, redup, tidak percaya diri. Lentera itu semakin redup lantaran minyaknya hampir habis.
“Wahid, sini, Le!” teriak neneknya memanggil.
“Iya, Nek. Ada apa?”
“Kamu belikan minyak tanah. Agar nanti malam kamu bisa belajar.”
“Iya, Nek.”
* * * *
Banyak sekali kenangan Wahid dengan neneknya. Seandainya Wahid seorang sastrawan, maka sudah berlembar-lembar naskah  novel ia tulis. Seandainya Wahid seorang penyair, maka sudah beribu-ribu bait puisi ia tuliskan. Namun, kenangannya bersama neneknya tak akan cukup hanya ditulis dalam kertas yang berlabel novel atau berbait-bait puisi.
Ketika Wahid sedang serius belajar ditengah remang-remang cahaya lentera, neneknya bersenandung lirih,

Lir ilir lir ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak senggut kemanten anyar

Cah angon cah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penek no
Kanggo basuh dodot iro

Dodot iro dodot iro
Kumitir bedah ing pinggir
Domdomono jlumatono
Kanggo sebo mengko sore

Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak o
Sura ore

Wahid selalu tersenyum jika neneknya melantunkan tembang-tembang yang syarat akan makna filosofi itu.
Wahid tertawa sendiri mengingat bekas perjalanan hidup yang penuh dengan suka duka. Kemudian Wahid memandang jauh ke barat dibalik hutan bambu, ke arah sawah-sawah yang luas. Di sekitar sawah, sudah banyak penduduk yang mendirikam rumah. Empat tahun ia meninggalkan tanah kelahiranya dan kini banyak sekali perubahan yang ia lihat. Walaupun sekarang ini sudah masuk era globalisasi, penduduk setempat tetap menjaga kampung itu tetap alami, nyaris tanpa polusi. Pohon-pohon bambu berbaris sangat menawan, seperti sengaja ditanam dengan jajaran teratur yang sangat rapi. Dibelakangnya sawah ladang membentang, gugusan bukit berdiri dari arah barat ke timur disebelah selatan dan utara.
Anggin dingin menerpa wajah Wahid, dikirimkan oleh rerimbunan pohon bambu di sisi jalan area rumahnya. Dingin yang lembut. Sepertinya angin ini pernah ia rasakan sebelumnya, meski hanya dalam bayangan. Wahid kemudian mengingat cerita Neneknya tentang kedua orangtuannya. Itu sebuah cerita yang membuatnya takjub sepanjang hidup. Wahid sangat mengagumi kedua orangtuannya walaupun itu hanya sekedar cerita dari neneknya. Memang, kedua orangtua Wahid sudah tiada semenjak ia dilahirkan. Ketika ia masih dalam buaian ibunya, ayahnya meninggal. Lalu, ketika ibunya melahirkannya, ibunya juga meninggal. Sungguh tragis.
Sejak kecil, Wahid dibesarkan oleh keringat neneknya yang berprofesi sebagai penjual keliling jajanan tradisonal. Seperti gemblong, tape, gulali, dumbeg, ampo, wajik,bongko, apem, naga sari, klepon, cetot, dll. Kalau ia libur sekolah, ia juga turut membantu neneknya berjualan keliling.
Setetes demi setetes air mata Wahid keluar dari persembunyiannya. Hatinya pilu. Dadanya sesak. Seoalah angin dingin baru saja menerpa wajahnya itu melesak ke dalam paru-parunya, memenuhi seluruh rongga, sampai-sampai ia sulit bernapas.
Kini! Akan aku bahagiakan nenek! Itu janjiku!
* * * *
Bunyi denyit engsel pintu berkarat itu membuayarkan lamunan Wahid. Sejurus kemudian sapaan parau seorang wanita tua itu memulai babak baru kehidupannya.
Le, kamu itu laki-laki, kenapa menangis?”
Wanita tua itu punya tatapan tajam. Gigi putinya menyeringai kuat. Karena rajin mengunyah daun sirih. Wahid memandang wajah wanita tua itu dikeremangan cahaya lentera. Cahaya lentera itu tak lain hanya seperti cahaya kunang-kunang yang terperangkap di dalam toples. Ia mengucek-ucek matanya. Ia membuka lebar-lebar matanya dan..
“Ne.ne.ne. Nenek! Teriak Wahid seraya berlari dan menanggalkan kopernya. Neneknya membentangkan kedua tangannya siap memeluk dan mendekap erat cucu tersayangnya. Empat tahun dirundung kerinduan yang sangat menyakitkan. Setiap detik selalu bergelayut di dalam kepala. Menari-nanari mempermainkan waktu. Hanya via suara dan surat menyurat yang menjadi obat selama empat tahun itu.
Lalu, Wahid, tanpa kata, meski tahu dadanya gemuruh melihat neneknya. Neneknya juga memeluknya, kuat sekali. Terlepaslah rindu itu. Wahid menatap neneknya tersenyum. Begitu jelas senyumnya itu telah menjadi buku catatan kenangan bersamanya. Senyum yang tak pernah berubah. Wahid tak dapat membendung air mata ketika memeluk Neneknya. Wahid merindukan Neneknya sampai sesak dadanya. Ia tak mampu berkata-kata.
“Ya Allah, sampeyan kok tambah ganteng karo putih to, Le,” kata neneknya parau sesegukan menahan tangis.
Wahid hanya mampu mengangguk takzim. Dengan gemetar Wahid mengeluarkan oleh-oleh istimewa untuk neneknya: Al-Quran lengkap tiga puluh juz seukuran surat kabar. Iya, tak berlebihan, seukuran surat kabar. Lengkap dengan sebuah kaca pembesar bertangkai. Mata Neneknya makin kurang awas saja beberapa tahun terakhir ini sehingga susah membaca Al-Quran ukuran normal. Kitab suci itu ia beli di kota kecil di Turki dekat Gunung Ararat. Di gunung inilah, menurut temuan arkeologi terakhir, bahtera Nabi Nuh kandas. Neneknya terbelalak melihat Al-Quran raksasa itu.
* * * *
            Cahaya lentera yang redup itu telah tersaingi oleh cahaya lentera Yang Maha Kuasa. Burung-burung kecil mengintip malu dibalik sarang. Melihat dua manusia sedang bercengkrama menumpahkan rindu yang lama terpendam. Embun telah gugur. Kabut-kabut sirna. Awan-awan lembut seperti tunduk dihadapan neneknya. Sepasang burung podang pun menyempatkan diri hinggap di pohon randu hanya untuk melihat kemesraan antara cucu dan nenek itu.
            Kini, Wahid dan neneknya telah hidup bahagia. Hidup dalam bingkai kemesraan, keharmonisan, keikhlasan dan dalam rahmat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kabarnya Wahid telah diterima bekerja di sebuah perusahaan traveler sebagai direktur utama dan sedang melakukan penilitian guna ujian tesisnya. Ia akan melanjutkan ke jenjang Magister di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
* * * *
Di Bawah Cahaya Lentera

Di bawah cahaya lentera itu..
Aku menemukan sebuah cinta..
Di bawah cahaya lentera itu..
Aku menemukan kedamaian hidup..
Di bawah cahaya lentera itu..
Aku membuka gerbang cita-cita..
Walaupun cahaya lentera itu seperti cahaya kunang-kunang yang terperangkap di dalam toples..
Tapi, cahaya lentera itulah yang mengantarkanku membuka pintu gerbang kesuksesan..
* * * *

Singaraja, 26 Oktober 2016

Teruntuk Nenekku yang berada nun jauh disana.
Terimakasih  telah dengan sabar menyalakan lentera minyak setiap aku hendak belajar.
Semoga cahaya lentera itu, akan menjadi penerangmu di surga nanti.
Panjang umur ya, Nek!
Salam takzim dari Cucumu, di pojok Bumi Panji Sakti.

4 komentar: