Di
Bawah Cahaya Lentera Nenek
Oleh: Kang Aswan
Tuban, cerah kala itu. Terang sekali. Patung
pahlawan itu tetap kokoh berdiri dengan pedang samurai ditangannya. Kilau
cahaya lampu Masjid Agung Tuban merekah. Menyambut para peziarah makam Sunan
Bonang. Truk-truk bergandeng, hilir mudik beriring-iringan. Deburan ombak pantai
Bom bergemuruh. Ombak itu menciumi garis pantai. Membasahi pasir-pasir. Bulan
begitu anggun menciptakan kedamaian dalam hati. Ya, langgit dini hari selalu
memikatnya.
Sejak kecil neneknya sudah sering membangunkannya
jam tiga pagi. Mengajak keluar melihat langgit dini hari. Ia masih teringat
pertanyaan nenek tentang bintang-bintang.
“Wahid, akeh
pundi lintang nang langit opo iwak nang segoro?” (Le, lebih banyak mana
bintang di langit apa ikan di laut?)
Wahid bingung. Dan Ia menjawab kalau bintang di
langitlah yang lebih banyak. Namun, nenek mematahkan argumen yang asal-asalan
itu.
“Sampeyan iki,
katanya anak paling pinter di sekolah, kok jawab gitu saja salah, to?”
“Lalu, sing
bener sing pundi, Nek?” (Lalu, yang benar yang mana, Nek?)
“Ya tetep banyak ikan di laut, to.”
“Kok bisa, Nek?”
“Bintang di langit memang banyak, Le. Tapi, pernah tidak manusia itu
mengambil bintang?”
Aku menggelengkan kepala.
“Nah, manusia tidak pernah mengambil bintang pun,
jumlah bintang tetap seperti itu. Tapi, kalau ikan?”
“Ikan? Banyak yang ambil, Nek.”
“Tapi, ikan tidak ada habisnya, to.”
Pertanyaan itu memang sedikit rumit untuk dijawab
oleh bocah kelas enam sekolah dasar. Wahid melihat bentangan cakrawala yang
mempesona. Bintang yang berkilauan di matanya tampak seumpama mata ribuan
malaikat yang mengintip penduduk bumi.
Kini, bocah kelas enam sekolah dasar itu telah
mejelma menjadi seorang Sarjana lulusan Universitas Istanbul, Turki. Wahid baru
saja turun dari bus jurusan Semarang-Surabaya. Ia meregangkan otot-ototnya. Ia
merentangkan kedua tangannya, sembari menghirup udara dalam-dalam. Meski udara
Tuban tak sesegar di Turki, tapi ia
sekarang tak punya pilihan kecuali harus mulai mengabdi dan mencintai tanah
kelahirannya.
Nek,
aku pulang!
* * * *
Wahid
tiba di rumah bersama mentari yang muncul dari ufuk timur. Bersama angin yang
berhembus, kicauan burung, embun pagi dan bersama lantunan panggilan Tuhan yang
menggema. Menyusup kedalam rumah-rumah, gubuk, peternakan, gudang dan masuk ke
kuping manusia menggugah jiwa-jiwa yang terlelap mati sementara. Suara suci itu
bergerak dengan lembut dan cepat. Menyapa alam. Menyapa padi yang menguning .
Menyapa bunga-bunga jagung. Menyapa pohon-pohon. Menyapa alam semesta. Menyapa
semuanya. Semuanya sholat. Semuanya mengagungkan asma Allah.
Wahid
menengok sekeliling rumahnya. Sudah banyak perubahan. Empat tahun ia
meninggalkan tanah kelahirannya. Sampai ujung dunia pun, ia tak pernah ingin
atau tak pernah bisa melupakan kampung halamannya. Tuban adalah tempatnya
mengukir janji-janjinya bersama nenek, tempatnya belajar mengeja aksara tentang
kehidupan, merajut asa, menenun pengertian, menemukan kedamaian, dan
menyimpannya dalam lembar demi lembar dalam dirinya. Ia membawa lekat setiap
titik kenangan tentang Tuban, yang akan ia simpan baik-baik, tak mungkin susut.
Tuban sudah melekat dengan dirinya.
Ia
melihat lentera-lentera redup yang menerangi teras rumah-rumah penduduk
meliuk-liuk gelisah tertiup angin. Hening. Ia menatap lekat lentera itu.
Lentara yang gemulai itu mengingatkannya sepuluh tahun yang lalu. Ketika
lentera itu dengan setia menemaninya belajar mengais ilmu pengetahuan. Berkat
cahaya lentera yang redup itu, ia mampu berjalan membuka gerbang cita-cita. Perempuan
tua itu. Neneknya. Setiap kali ia hendak belajar atau mengerjakan tugas,
Neneknya dengan semangat menyalakan lentera minyak. Berkali-kali Nenek
menyalakan lentera itu, tapi angin yang dikirim dari ribuan pohon bambu itu
menghempas tanpa kira-kira. Nenek hanya
menanggapinya dengan senyum bahagia. Sekali lagi, Nenek menyalakan korek api
dan menyalakan lentera minyak itu.
Lentera itu meliuk-liuk dengan anggun bak penari jaipong yang melenggak-lenggok.
Nenek menatapnya sendu. Ia dengan semangat berapi-api
membolak-balik halaman demi halaman. Memahami dengan detail apa yang
disampaiakan buku-buku itu. Ia mengangkat wajahnya. Ia menatap Neneknya dengan
perasaan yang tak menentu. Nenek yang sedang sibuk membungkus dan menaburkan
parutan kelapa di atas gemblong itu
tersenyum. Gemblong adalah makanan
yang terbuat dari singkong rebus yang ditumbuk hingga bertekstur kenyal.
“Belajar yang rajin ya, Le!” pesan neneknya.
“Iya, Nek.”
Hingga pada sampai ia masuk sekolah menengah atas,
lentera nenek itu masih setia menemaninya belajar. Sinar lentera yang hanya
bisa menjangkau sudut sempit ruangan itu kadang merasa lelah, redup, tidak
percaya diri. Lentera itu semakin redup lantaran minyaknya hampir habis.
“Wahid, sini, Le!”
teriak neneknya memanggil.
“Iya, Nek. Ada apa?”
“Kamu belikan minyak tanah. Agar nanti malam kamu
bisa belajar.”
“Iya, Nek.”
* * * *
Banyak sekali kenangan Wahid dengan neneknya.
Seandainya Wahid seorang sastrawan, maka sudah berlembar-lembar naskah novel ia tulis. Seandainya Wahid seorang
penyair, maka sudah beribu-ribu bait puisi ia tuliskan. Namun, kenangannya
bersama neneknya tak akan cukup hanya ditulis dalam kertas yang berlabel novel
atau berbait-bait puisi.
Ketika Wahid sedang serius belajar ditengah remang-remang
cahaya lentera, neneknya bersenandung lirih,
Lir
ilir lir ilir
Tandure
wis sumilir
Tak
ijo royo-royo
Tak
senggut kemanten anyar
Cah
angon cah angon
Penekno
blimbing kuwi
Lunyu-lunyu
penek no
Kanggo
basuh dodot iro
Dodot
iro dodot iro
Kumitir
bedah ing pinggir
Domdomono
jlumatono
Kanggo
sebo mengko sore
Mumpung
padang rembulane
Mumpung
jembar kalangane
Yo
surak o
Sura
ore
Wahid selalu tersenyum jika neneknya melantunkan
tembang-tembang yang syarat akan makna filosofi itu.
Wahid tertawa sendiri mengingat bekas perjalanan
hidup yang penuh dengan suka duka. Kemudian Wahid memandang jauh ke barat
dibalik hutan bambu, ke arah sawah-sawah yang luas. Di sekitar sawah, sudah
banyak penduduk yang mendirikam rumah. Empat tahun ia meninggalkan tanah kelahiranya
dan kini banyak sekali perubahan yang ia lihat. Walaupun sekarang ini sudah
masuk era globalisasi, penduduk setempat tetap menjaga kampung itu tetap alami,
nyaris tanpa polusi. Pohon-pohon bambu berbaris sangat menawan, seperti sengaja
ditanam dengan jajaran teratur yang sangat rapi. Dibelakangnya sawah ladang
membentang, gugusan bukit berdiri dari arah barat ke timur disebelah selatan
dan utara.
Anggin dingin menerpa wajah Wahid, dikirimkan oleh
rerimbunan pohon bambu di sisi jalan area rumahnya. Dingin yang lembut.
Sepertinya angin ini pernah ia rasakan sebelumnya, meski hanya dalam bayangan.
Wahid kemudian mengingat cerita Neneknya tentang kedua orangtuannya. Itu sebuah
cerita yang membuatnya takjub sepanjang hidup. Wahid sangat mengagumi kedua orangtuannya
walaupun itu hanya sekedar cerita dari neneknya. Memang, kedua orangtua Wahid
sudah tiada semenjak ia dilahirkan. Ketika ia masih dalam buaian ibunya,
ayahnya meninggal. Lalu, ketika ibunya melahirkannya, ibunya juga meninggal.
Sungguh tragis.
Sejak kecil, Wahid dibesarkan oleh keringat neneknya
yang berprofesi sebagai penjual keliling jajanan tradisonal. Seperti gemblong, tape, gulali, dumbeg, ampo,
wajik,bongko, apem, naga sari, klepon, cetot, dll. Kalau ia libur sekolah,
ia juga turut membantu neneknya berjualan keliling.
Setetes demi setetes air mata Wahid keluar dari
persembunyiannya. Hatinya pilu. Dadanya sesak. Seoalah angin dingin baru saja
menerpa wajahnya itu melesak ke dalam paru-parunya, memenuhi seluruh rongga,
sampai-sampai ia sulit bernapas.
Kini!
Akan aku bahagiakan nenek! Itu janjiku!
* * * *
Bunyi denyit engsel pintu berkarat itu membuayarkan
lamunan Wahid. Sejurus kemudian sapaan parau seorang wanita tua itu memulai
babak baru kehidupannya.
“Le, kamu
itu laki-laki, kenapa menangis?”
Wanita tua itu punya tatapan tajam. Gigi putinya
menyeringai kuat. Karena rajin mengunyah daun sirih. Wahid memandang wajah
wanita tua itu dikeremangan cahaya lentera. Cahaya lentera itu tak lain hanya
seperti cahaya kunang-kunang yang terperangkap di dalam toples. Ia
mengucek-ucek matanya. Ia membuka lebar-lebar matanya dan..
“Ne.ne.ne. Nenek! Teriak Wahid seraya berlari dan
menanggalkan kopernya. Neneknya membentangkan kedua tangannya siap memeluk dan
mendekap erat cucu tersayangnya. Empat tahun dirundung kerinduan yang sangat
menyakitkan. Setiap detik selalu bergelayut di dalam kepala. Menari-nanari
mempermainkan waktu. Hanya via suara dan surat menyurat yang menjadi obat
selama empat tahun itu.
Lalu, Wahid, tanpa kata, meski tahu dadanya gemuruh melihat
neneknya. Neneknya juga memeluknya, kuat sekali. Terlepaslah rindu itu. Wahid
menatap neneknya tersenyum. Begitu jelas senyumnya itu telah menjadi buku
catatan kenangan bersamanya. Senyum yang tak pernah berubah. Wahid tak dapat
membendung air mata ketika memeluk Neneknya. Wahid merindukan Neneknya sampai
sesak dadanya. Ia tak mampu berkata-kata.
“Ya Allah, sampeyan
kok tambah ganteng karo putih to, Le,” kata neneknya parau sesegukan
menahan tangis.
Wahid hanya mampu mengangguk takzim. Dengan gemetar
Wahid mengeluarkan oleh-oleh istimewa untuk neneknya: Al-Quran lengkap tiga
puluh juz seukuran surat kabar. Iya, tak berlebihan, seukuran surat kabar.
Lengkap dengan sebuah kaca pembesar bertangkai. Mata Neneknya makin kurang awas
saja beberapa tahun terakhir ini sehingga susah membaca Al-Quran ukuran normal.
Kitab suci itu ia beli di kota kecil di Turki dekat Gunung Ararat. Di gunung
inilah, menurut temuan arkeologi terakhir, bahtera Nabi Nuh kandas. Neneknya
terbelalak melihat Al-Quran raksasa itu.
* * * *
Cahaya lentera yang redup itu telah
tersaingi oleh cahaya lentera Yang Maha Kuasa. Burung-burung kecil mengintip
malu dibalik sarang. Melihat dua manusia sedang bercengkrama menumpahkan rindu
yang lama terpendam. Embun telah gugur. Kabut-kabut sirna. Awan-awan lembut
seperti tunduk dihadapan neneknya. Sepasang burung podang pun menyempatkan diri
hinggap di pohon randu hanya untuk melihat kemesraan antara cucu dan nenek itu.
Kini, Wahid dan neneknya telah hidup
bahagia. Hidup dalam bingkai kemesraan, keharmonisan, keikhlasan dan dalam
rahmat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kabarnya Wahid telah
diterima bekerja di sebuah perusahaan traveler sebagai direktur utama dan
sedang melakukan penilitian guna ujian tesisnya. Ia akan melanjutkan ke jenjang
Magister di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
*
* * *
Di
Bawah Cahaya Lentera
Di bawah cahaya lentera
itu..
Aku menemukan sebuah
cinta..
Di bawah cahaya lentera
itu..
Aku menemukan kedamaian
hidup..
Di bawah cahaya lentera
itu..
Aku membuka gerbang
cita-cita..
Walaupun cahaya lentera
itu seperti cahaya kunang-kunang yang terperangkap di dalam toples..
Tapi, cahaya lentera
itulah yang mengantarkanku membuka pintu gerbang kesuksesan..
*
* * *
Singaraja,
26 Oktober 2016
Teruntuk
Nenekku yang berada nun jauh disana.
Terimakasih telah dengan sabar menyalakan lentera minyak
setiap aku hendak belajar.
Semoga
cahaya lentera itu, akan menjadi penerangmu di surga nanti.
Panjang
umur ya, Nek!
Salam
takzim dari Cucumu, di pojok Bumi Panji Sakti.
Ditunggu terus cerita lainya
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusHehehe, siap
HapusSungguh menyentuh ceritanya..
BalasHapus