Kisah
Si Azam
Mahasiswa
Istanbul University
Oleh:
Kang Aswan
Bismillah...
UNTUK
pertamakalinya aku menginjakkan kaki diatas lembutnya salju. Salju tipis turun
perlahan. Salju itu menambah tebal, salju yang telah menghampar memutihkan Kota
Istanbul. Turki yang diguyur salju musim dingin.
Disana
tampak Selat Bosphorus yang memisahkan daratan Asia dan Eropa. Jembatan yang
menghubungkan Asia dan Eropa itu mirip Golden Gate di San Fransisco. Tapi tidak
berwarna merah, justru tampak putih berbalut salju. Atap gedung Hydarpasa,
Istana Topkapi, Masjid Aya Sofiya, Masjid Biru, Menara Galata, semua disepuh
oleh salju berwarna putih. Jalan-jalan memutih. Aku berjalan menyusuri aspal
salju. Ramai sekali. Para pelanjong dari berbagai negara tumpah ruah disini.
Disebelah kanan seseorang pria berbadan tambun mengucapkan, “Gruβ Goot” yang berarti salam sejahtera
dari Tuhan. Aku tersenyum dan mengangkat tangan. Orang Jerman, gunamku. Beberapa langkah aku berjalan seorang wanita
menyapaku,
“Assalamu’alaikum,marhaba höșgeldiniz.”
(Selamat datang).
Aku
kembali tersenyum, “Wa’alaikumsalam,
Madame.”
Langkah
kaki terus mengajakku menikmati Kota Istanbul. Kota kelima yang paling populer di
dunia untuk tujuan wisata.
***
PERKENALKAN namaku
Mohammad Azam. Biasa dipanggil Azam. Mahasiswa Magister di Istanbul
Üniversitesi (Universitas Istanbul) Turki. Universitas yang didirikan pada
tahun 1453 oleh Sultan Utsmaniyah Mehmed II telah menjadi sebuah universitas
yang sangat berpengaruh di Istanbul bahkan Turki. Istanbul University memiliki
tujuh belas fakultas pada lima kampus; kampus utama berada di Lapangan Beyazit,
yang aslinya dibangun oleh Kontantinus Agung dengan nama Forum Tauri dan
kemudian diperbesar oleh Theodosius Agung dengan nama Forum of Theodosius pada
masa Kekaisaran Romawi.
Tahukah
kalian siapa itu Abdullah Gül? Lalu Yitzhak Ben-Zi? Lalu Fuat Sirmen, Ferruh
Bozbeyli, Refik Saydam, Yildirm Akbulut? Lalu Sadi Irmak, Suad Hayri Ürgüplü,
Nihat Erim sampai Masud Sabari seorang pakar farmasi dan mantan Gurbenur
Propinsi Xinjiang di China? Mereka semua adalah alumni-alumni Universitas
Istanbul, Turki.
Abdullah
Gül. Presiden Republik Turki ke-11 dan Yitzhak Ben-Zi. Presiden Israel ke-2.
Beliau berdua adalah alumni Universitas Istanbul, Turki.
Sungguh
suatu nikmat yang luarbiasa, aku bisa menuntut ilmu di negeri impianku. Ya,
dari kecil aku sudah tergila-gila dengan negeri bernama Türkiye Cumhuriyeti
atau Republik Turki dalam Bahasa Indonesia itu. Negeri yang unik. Perpaduan
antara budaya Timur dan Barat sering diperkenalkan sebagai jembatan antara dua
peradaban. Bangsa yang penuh akan sejarah.
***
Satu tahun kemudian...
HAGIA SOPHIA atau
Aya Sofya adalah sebuah bangunan bekas basilika, masjid, dan sekarang museum,
di Istanbul, Republik Turki. Dari masa pembangunannya di tahun 537 M sampai
1453 M, bangunan ini merupakan katedral Ortodoks dan tempat kedudukan Patriark
Ekumenis Konstantinopel, kecuali pada tahun 1204 sampai 1261, ketika tempat ini
diubah oleh Pasukan Salib keempat menjadi Katedral Katolik Roma. Hingga pada
tanggal 29 Mei 1453 sampai 1931 M Hagia Sophia menjadi masjid pada masa
kekuasaan Kesultanan Utsmani. Kemudian bangunan ini disekulerkan dan dibuka
sebagai museum pada 1 Februari 1935.
Aku
terkagum-kagum melihat kemegahan dan keindahan bangunan bersejarah ini.
Bangunan yang dirancang oleh Isidore dari Miletus dan Anthemius dari Tralles
ini pada tahun 2014 telah mampu menarik hampir 3,3 juta wisatawan per tahun.
Dan berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Budaya dan Pariwisata
Turki, Aya Sofya merupakan tempat di Turki yang paling menarik perhatian
wisatawan pada 2015.
Subahannallah...
Sungguh sangat luar
biasa.
Galata
Tower, Galata Bridge, Maiden’s Tower, Hagia Sophia, Hippodrome (Sultan Ahmet
Square), Topkapi Palace, Dolmabahce Palace, Basilica Cistern, dan kali ini aku
berada di Masjid Biru (Blue Mosque) atau Masjid Ahmet.
Sultan
Ahmet Camii atau Masjid Sultan Ahmet adalah masjid indah bersejarah yang
terletak di Istanbul, Turki. masjid ini juga dikenal sebagai Masjid Biru atau
Blue Mosque karena dinding ineteriornya dihiasi dengan 20.000 keping keramik
biru. Blue Mosque dibangun pada tahun 1616 pada masa pemerintahan Sultan Ahmet
I.
Perpaduan
gaya arsitektur Islam dan Klasik Ottoman, membuatku seperti hidup dizaman
pemerintahan Ottoman. Selain interiornya yang indah dan dihias dengan banyak
keramik dan lampu-lampu, Masjid Sultan Ahmed juga memiliki halaman yang luas
yang semakin menambah kemegahan masjid ini.
Aku
meneteskan air mata. Ku tekuk lutut ini untuk bersujud. Air mataku begitu deras
mengalir membasahi pipiku. Aku tumpahkan segala keluh kesah dilantai yang
sangat harum itu. Belum sempat aku bangkit dari sujudku. Seseorang memegang
pundakku dan orang itu berkata,
“Kardeș! Ortaya ҫikan!” (Saudaraku!
Bangunlah!)
Aku
bangun dari sujudku. Dan menyela air mata.
“Apa
yang membuatmu meneteskan air mata?”
Aku
tersenyum, “kau pasti sudah tahu jawabannya. Saudaraku, aku menangis karena
yang pertama, aku sangat bersyukur kepada Allah yang telah mengizinkanku
bersujud di masjid ini. Yang kedua aku menangis karena teringat dengan tokoh
yang sangat aku idolakan. Sultan Muhammad Al-Fatih atau Sultan Mahmud II.
Perjuangan melawan Tentara Salib dengan strategi perang yang luar biasa.”
“Bagaimana
dengan Badiuzzaman Said Nursi saudaraku?”
“Tentu,
aku juga merasa malu berada disini kalau aku tidak meneteskan air mata,
merasakan siksaan yang dialami oleh Badiuzzaman Said Nursi. Beliau adalah pahlawan
Turki. Dengan Risalah Nur-nya beliau mampu melawan Mustafa Kemal At-Taturk.”
Adskhan,
mahasiswa magister temanku. Dia adalah saudagar kaya di Istanbul ini. Dia
dilahirkan di Desa Nurs dimana Badiuzzaman Said Nursi juga dilahirkan di desa
itu. Adskhan sangat tampan dan dermawan. Terkadang uang sewa apartemenku dia
yang bayar. Dan dia tidak pernah meminta imbalan apa-apa kepadaku. Dia sudah
punya isteri. Isterinya bernama Akila.
***
KOTA
ISTANBUL terang
oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk.
Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota
Istanbul masih terasa. Di dalam kamar, aku berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua mataku
memandang teguh ke tempat sujud. Bibirku bergetar melantunkan ayat-ayat suci
Al-Quran.
Aku semakin larut oleh Kalam Illahi.
Tatkala sampai pada surat Yaasiin ayat terakhir, aku menangis,
“Innamaa amruhuu
idzaa araada syai-an anyaqulalahuu kun fayauun...
Fasubhaanal ladzii biyadihii
malakuutu kulli syai-in wa ilaihi turja’un...”
(Sesungguhnya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah
berkata, “Jadilah! Maka jadilah. Maka Maha Suci (Allah) yang ditangan-Nya
tergenggam kekuasaan segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu akan kembali)
***
SEMENTARA itu, di
pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala
dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik
seorang saudagar kaya yang tak lain ialah teman ku Si Adskhan. Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita
sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan
terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu.
Kecantikannya sungguh mempesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan
syair-syair cinta Jalaluddin Rumi,
“Karena
cinta duri menjadi mawar...
Kerena cinta cuka menjelma anggur segar...
Karena
cinta keuntungan menjadi mahkota penawar...
Karena
cinta kemalangan menjelma keberuntungan...”
Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya
berbunga-bunga. Di ruangan tengah, Adskhan dan isterinya menyungging senyum
mendengar syair yang didendangkan adiknya. Sang isteri berkata,
“Adskhan suamiku, adik kita sudah menginjak dewasa. Kau
dengarkanlah
baik-baik
syair-syair yang ia dendangkan.”
“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah.
Kebetulan
tadi
siang di pasar aku berjumpa dengan Mustafa. Dia melamar Aisya untuk putranya,
Mahmud.”
“Bagaimana, kau terima atau…?”
“Kalau aku terima, akan tetapi kita juga harus bertanya pada Aisya
dulu.”
“Isteriku. Apakah Mahmud pria yang tepat untuk Aisya? Mengingat
Mustafa itu adalah pemuda yang kurang baik.”
“Itu gampang, kalau nanti Mahmud sudah beristeri Aisya pasti nanti
dia akan berubah.”
***
KE ESOKKAN harinya.
Usai shalat dhuha, aku meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Aku hendak ke Spice Bazaar (Egyptian Bazaar) untuk membeli Lahmacun,
roti yang diberi aneka topping seperti daging cincang dan sayuran seperti
tomat, bawang bombay, dan paterseli, kemudian dipanggang. Tak lupa juga aku
membeli Boza atau bosa, minuman khas Turki yang terbuat dari gandum yang
difermentasi dengan campuran air dan gula. Aku berjalan melewati halaman rumah
yang luas. Rumah itu milik saudagar kaya, Adskhan. Ya, Adskhan temanku magisterku.
Aku terus melangkah menapaki jalan yang membelah halaman rumah
yang luas itu. Tiba-tiba dari kejauhan aku mendengar sayup-sayup orang minta
tolong.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu datang dari arah samping paviliun. Aku menghentikan
langkahku.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan
mataku dengan jelas bisa menangkap seorang perempuan yang dikeroyok oleh dua
pemuda.
“Toloong! Toloong lepaskan aku!”
Mendengar itu aku langsung tegang. Apa yang harus aku perbuat.
Cepat-cepat aku menenangkan diri dan membaca shalawat. Aku menghampiri mereka,
“Hai kalian, lepaskan dia dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kedua anak muda itu
lari seketika. Dia mengaduh. Aku mendekati perempuan itu dan menyapanya,
“Assalamu’alaikum. Kau
tidak apa-apa?”
Dia mengaduh. Mukanya
tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatapku. Dengan sedikit
merintih ia menjawab pelan,
“Alhamdulillah, tidak
apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajahku.
Menyadari hal itu aku menundukkan pandangan ke tanah. Dia perlahan bangkit.
Tanpa sepengetahuanku, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan mempesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama
Tuan, dan dari mana?”
Aku mengangkat muka. Tak
ayal mataku menatap wajah putih bersih mempesona. Lebih menawan daripada
Maimunah anak kepala desaku. Hatiku bergetar hebat. Syaraf dan ototku terasa
dingin. Sesaat lamanya kami beradu pandang. Dia tersenyum dengan pipi merah
merona, Aku tersadar, aku cepat-cepat menundukkan kepala. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatiku.
“Namaku Muhammad Azam, aku dari Spice Bazaar .”
“Sepertinya Tuan bukan orang Turki?”
“Tak salah. Aku memang bukan orang Turki. Aku orang Indonesia.”
kataku sambil
membalikkan
badan. Aku lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Azam! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan
kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba dia berlari dan berdiri di hadapanku. Terang saja aku
gelagapan. Hatiku bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di
depanku.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Aisya. Halaman ini milik
kakakku. Dan rumah itu juga rumah kakakku. Jika kau mau silakan datang ke
rumah. Kakak pasti akan senang dengan
kehadiranmu.”
Dia lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Aku melangkahkan
kedua kaki dan melanjutkan perjalanan.
***
SAAT MALAM datang membentangkan jubah
hitamnya, kota Istanbul kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari
utara semilir mengalir. Aku terpekur di kamar. Mata berkaca-kaca. Hatiku basah.
Pikiranku bingung. Apa yang menimpa diriku? Tatapan itu masih melekat dalam
pelupuk mataku. Senyum menawan itu menari-nari mempermainkan rasa gundah dalam
hati.
“Inikah
cinta? Beginikah rasanya? Begitu sejuk mengalir disaraf-sarafku. Ya Rabbi, tak
kupungkiri aku telah jautuh cinta kepada hamba-Mu yang bernama Aisya. Ini
pertamakalinya hamba terpesona oleh seorang wanita. Berikanlah takdir yang
lurus kepadaku Rabbi.”
Aku
tak tahu apa yang terjadi pada perasaanku. Bila aku seorang penyair, maka
sangat mudah aku membuat beribu-ribu bait puisi. Bila aku seorang novelis, maka
begitu mudah aku menulis beribu-ribu lembar bertuliskan naskah novel cerita
tentang perasaanku. Bulan seperti terbelah menjadi dua. Sinar remang menyinari
kubah-kubah Hagia Sophia. Deburan air Selat Bosporhus menderu-deru seakan
bersyair akan cinta. Alunan Orestra Simfoni mendayu-dayu.
Berminggu-minggu
aku seperti orang sakit jiwa. Aku tidak bisa mengendalikan gelora dalam jiwaku.
Aura kecantikan Aisya mengakar sedemikian kuat dalam diriku. Aura itu terus
melintas dalam setiap kegiatanku. Aku terus meratap dan mengiba. Hatiku yang
dipenuhi gelora cinta terus aku paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya,
semakin aku meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintaku pada
Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta pada Aisya. Dan rasa tidak ingin
kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung
hatiku.
***
PAGI
HARI, usai shalat dhuha aku berjalan ke arah pinggir kota. Tujuanku
jelas yaitu melamar Aisya. Hatiku mantap untuk melamarnya. Di sana aku disambut
dengan baik oleh Adskhan dan Isterinya. Mereka sangat senang dengan
kunjunganku. Aisya keluar sekejab membawa Sahlep, minuman khas Turki yang
terbuat dari susu murni dan dicampur dengan akar anggrek yang sudah dijadikan
bubuk. Ia lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan
seksama pembicaraanku dengan Kakaknya. Aku mengutarakan maksud kedatanganku,
yaitu melamar Aisya.
Adskhan diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara aku dan
Aisya menanti dengan seksama jawaban Adskhan. Keheningan mencekam sesaat
lamanya. Aku menundukkan kepala, pasrah
dengan jawaban yang akan aku terima. Lalu terdengarlah jawaban Adskhan,
“Saudaraku Azam, kau datang terlambat. Maafkan aku, Aisya sudah dilamar
Mustafa untuk putranya Mahmud beberapa hari yang lalu, dan aku telah
menerimanya.” Terlihat mata sahabatku itu mengeluarkan air mata.
Aku hanya mampu menganggukan kepala. Aku sudah mengerti dengan baik
apa yang aku dengar. Aku tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatiku. Aku
mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Aisya, lebih tragis keadaannya.
Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia
pun pingsan saat itu juga.
***
AKU
kembali ke apartemen dengan kesedihan tak terkira. Apa yang aku dengar dari
Adskhan membuat tubuhku terasa lumpuh. Aku pun jatuh sakit. Aku menatap jauh
keluar apartemen. Salju tipis turun perlahan. Aku tiada putus mengucapkan tasbih, tahmid, dan takbir. Salju turun semakin deras. Suasana semakin terasa magis.
Angin berhembus kencang mempora-porandakan gundukkan-gundukan salju yang
menggunung. Jeritan binatang malam seperti merasakan pedihnya cinta yang
bertepuk sebelah tangan. Pepohonan tampak menggigil. Pohon-pohon seperti
sekarat dalam beku musim dingin. Daunya telah rontok sebelum musim semi datang.
Istanbul, Kayseri, Gaziantep, Barla dll telah menjadi saksi untuk hati yang
telah hancur ini. Aku semain terpuruk. Kabar tentang derita yang aku alami ini
tersebar ke Universitas Istanbul. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga
Aisya. Rasa cinta Aisya yang tak kalah besarnya kepadaku sehingga ia menulis
sebuah surat pendek,
Kepada
Muhammad Azam,
Assalamu’alaikum
Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Aku tahu kau
selalu menyebut diriku dalam setiap do’amu. Tak bisa kuingkari, aku pun
mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah
pendamping hidupku selama-lamanya.
Azam,
Aku memang tidaklah semulia Khadijah,
Tidaklah setaqwa Aisyah,
Tidaklah setabah Fatimah,
Tidak pula sekaya Balqis,
Apalagi
secantik Zulaikah,
Aku
hanyalah wanita akhir zaman yang punya cita-cita menjadi isteri yang shaleha,
Kalau kau mau. Genggamlah tanganku dan bawa aku lari dari Turki.
Ke Indonesia aku juga tidak keberatan.
Wassalam
Aisya
***
Surat itu ia titipkan pada Aisyel, anak Tuan Armagan. Ia berpesan
agar surat itu langsung sampai ke tanganku. Tidak boleh ada orang lain yang
membacanya. Dan meminta jawabanku saat itu juga. Dengan hati berbunga-bunga aku
menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhku bergetar
hebat. Aku menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan
berlinang air mata aku menulis untuk Aisya :
Kepada
Aisya,
Assalamu’alaikum,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun aku tidak ingin cinta yang akan
menyeretku ke dalam api neraka. Aku menginginkan sebuah cinta suci yang
mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba.
Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka
pada Rabb-ku.Tak perlu aku pegang tanganmu pun tak apa. Kamu tak akan hilang
selagi aku peluk hatimu dengan do’a. Ingat Aisya! Kecantikan wanita tidak akan
berarti tanpa ahlak dan perilaku yang mulia.
Aisya,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar.
Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan
firmannya :
“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak
baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik
(pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan
laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan
dan rizki yang mulia (yaitu surga).”
Aisya,
Hanya
kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam,
Muhammad
Azam
***
BEGITU dia
membaca jawabanku itu Aisya menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi
menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Sejak
itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia
dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Setiap malam ia bersimpuh.
Mengadukan segala keluh kesah kepada-Nya. Memohon ampunan dan rahmat Allah SWT.
Ia bermunajat pada Tuhannya. Ia menemukan cinta yang indah, bahkan cinta yang
lebih indah dari sebelumnya. Cinta kepada Tuhannya. Hal yang sama juga aku
lakukan di Masjid Biru. Beberapa bulan kemudian aku menerima sepucuk surat dari
Aisya :
Kepada
Muhammad Azam,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar
hamba-Nya yang bertaqwa. Hari ini Kakakku memutuskan tali pertunanganku dengan
Mahmud. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita
laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.
Wassalam,
Afirah
***
Seketika
itu aku sujud syukur di mihrab Masjid Biru. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam
hatiku. Tiada henti bibirku mengucapkan hamdalah.
Aku kirimkan puisi cinta Jalaluddin Rumi untuk Aisya,
Karena
cinta api yang berkobar-kobar jadi cahaya yang menyenangkan...
Karena
cinta Syaitan berubah menjadi Malaikat...
Karena
cinta batu yang keras menjadi lembut bagaikan mentega...
Karena
cinta duka menjadi riang gembira...
Kerena
cinta sakit menjadi sehat...
Karena
cinta amarah menjadi keramah-ramahan...
Satu
minggu kemudian. Aku melangsungkan pernikahanku dengan Aisya.
Profil
Penulis.
Nama : Jaswanto
Alamat:
Desa Gaji Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban
Status : Mahasiswa Undiksha (Universitas Pendidikan
Ganesha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar