Senin, 24 Oktober 2016

Cerpen "Kisah Si Azam"



Kisah Si Azam
Mahasiswa Istanbul University
Oleh: Kang Aswan




Bismillah...
UNTUK pertamakalinya aku menginjakkan kaki diatas lembutnya salju. Salju tipis turun perlahan. Salju itu menambah tebal, salju yang telah menghampar memutihkan Kota Istanbul. Turki yang diguyur salju musim dingin.
Disana tampak Selat Bosphorus yang memisahkan daratan Asia dan Eropa. Jembatan yang menghubungkan Asia dan Eropa itu mirip Golden Gate di San Fransisco. Tapi tidak berwarna merah, justru tampak putih berbalut salju. Atap gedung Hydarpasa, Istana Topkapi, Masjid Aya Sofiya, Masjid Biru, Menara Galata, semua disepuh oleh salju berwarna putih. Jalan-jalan memutih. Aku berjalan menyusuri aspal salju. Ramai sekali. Para pelanjong dari berbagai negara tumpah ruah disini. Disebelah kanan seseorang pria berbadan tambun mengucapkan, “Gruβ Goot” yang berarti salam sejahtera dari Tuhan. Aku tersenyum dan mengangkat tangan. Orang Jerman, gunamku. Beberapa langkah aku berjalan seorang wanita menyapaku,
Assalamu’alaikum,marhaba höșgeldiniz.” (Selamat datang).
Aku kembali tersenyum, “Wa’alaikumsalam, Madame.”
Langkah kaki terus mengajakku menikmati Kota Istanbul. Kota kelima yang paling populer di dunia untuk tujuan wisata.
***
PERKENALKAN namaku Mohammad Azam. Biasa dipanggil Azam. Mahasiswa Magister di Istanbul Üniversitesi (Universitas Istanbul) Turki. Universitas yang didirikan pada tahun 1453 oleh Sultan Utsmaniyah Mehmed II telah menjadi sebuah universitas yang sangat berpengaruh di Istanbul bahkan Turki. Istanbul University memiliki tujuh belas fakultas pada lima kampus; kampus utama berada di Lapangan Beyazit, yang aslinya dibangun oleh Kontantinus Agung dengan nama Forum Tauri dan kemudian diperbesar oleh Theodosius Agung dengan nama Forum of Theodosius pada masa Kekaisaran Romawi.
Tahukah kalian siapa itu Abdullah Gül? Lalu Yitzhak Ben-Zi? Lalu Fuat Sirmen, Ferruh Bozbeyli, Refik Saydam, Yildirm Akbulut? Lalu Sadi Irmak, Suad Hayri Ürgüplü, Nihat Erim sampai Masud Sabari seorang pakar farmasi dan mantan Gurbenur Propinsi Xinjiang di China? Mereka semua adalah alumni-alumni Universitas Istanbul, Turki.
Abdullah Gül. Presiden Republik Turki ke-11 dan Yitzhak Ben-Zi. Presiden Israel ke-2. Beliau berdua adalah alumni Universitas Istanbul, Turki.
Sungguh suatu nikmat yang luarbiasa, aku bisa menuntut ilmu di negeri impianku. Ya, dari kecil aku sudah tergila-gila dengan negeri bernama Türkiye Cumhuriyeti atau Republik Turki dalam Bahasa Indonesia itu. Negeri yang unik. Perpaduan antara budaya Timur dan Barat sering diperkenalkan sebagai jembatan antara dua peradaban. Bangsa yang penuh akan sejarah.
***
Satu tahun kemudian...
HAGIA SOPHIA atau Aya Sofya adalah sebuah bangunan bekas basilika, masjid, dan sekarang museum, di Istanbul, Republik Turki. Dari masa pembangunannya di tahun 537 M sampai 1453 M, bangunan ini merupakan katedral Ortodoks dan tempat kedudukan Patriark Ekumenis Konstantinopel, kecuali pada tahun 1204 sampai 1261, ketika tempat ini diubah oleh Pasukan Salib keempat menjadi Katedral Katolik Roma. Hingga pada tanggal 29 Mei 1453 sampai 1931 M Hagia Sophia menjadi masjid pada masa kekuasaan Kesultanan Utsmani. Kemudian bangunan ini disekulerkan dan dibuka sebagai museum pada 1 Februari 1935.
Aku terkagum-kagum melihat kemegahan dan keindahan bangunan bersejarah ini. Bangunan yang dirancang oleh Isidore dari Miletus dan Anthemius dari Tralles ini pada tahun 2014 telah mampu menarik hampir 3,3 juta wisatawan per tahun. Dan berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Budaya dan Pariwisata Turki, Aya Sofya merupakan tempat di Turki yang paling menarik perhatian wisatawan pada 2015.
Subahannallah...
Sungguh sangat luar biasa.
Galata Tower, Galata Bridge, Maiden’s Tower, Hagia Sophia, Hippodrome (Sultan Ahmet Square), Topkapi Palace, Dolmabahce Palace, Basilica Cistern, dan kali ini aku berada di Masjid Biru (Blue Mosque) atau Masjid Ahmet.
Sultan Ahmet Camii atau Masjid Sultan Ahmet adalah masjid indah bersejarah yang terletak di Istanbul, Turki. masjid ini juga dikenal sebagai Masjid Biru atau Blue Mosque karena dinding ineteriornya dihiasi dengan 20.000 keping keramik biru. Blue Mosque dibangun pada tahun 1616 pada masa pemerintahan Sultan Ahmet I.
Perpaduan gaya arsitektur Islam dan Klasik Ottoman, membuatku seperti hidup dizaman pemerintahan Ottoman. Selain interiornya yang indah dan dihias dengan banyak keramik dan lampu-lampu, Masjid Sultan Ahmed juga memiliki halaman yang luas yang semakin menambah kemegahan masjid ini.
Aku meneteskan air mata. Ku tekuk lutut ini untuk bersujud. Air mataku begitu deras mengalir membasahi pipiku. Aku tumpahkan segala keluh kesah dilantai yang sangat harum itu. Belum sempat aku bangkit dari sujudku. Seseorang memegang pundakku dan orang itu berkata,
Kardeș! Ortaya ҫikan!” (Saudaraku! Bangunlah!)
Aku bangun dari sujudku. Dan menyela air mata.
“Apa yang membuatmu meneteskan air mata?”
Aku tersenyum, “kau pasti sudah tahu jawabannya. Saudaraku, aku menangis karena yang pertama, aku sangat bersyukur kepada Allah yang telah mengizinkanku bersujud di masjid ini. Yang kedua aku menangis karena teringat dengan tokoh yang sangat aku idolakan. Sultan Muhammad Al-Fatih atau Sultan Mahmud II. Perjuangan melawan Tentara Salib dengan strategi perang yang luar biasa.”
“Bagaimana dengan Badiuzzaman Said Nursi saudaraku?”
“Tentu, aku juga merasa malu berada disini kalau aku tidak meneteskan air mata, merasakan siksaan yang dialami oleh Badiuzzaman Said Nursi. Beliau adalah pahlawan Turki. Dengan Risalah Nur-nya beliau mampu melawan Mustafa Kemal At-Taturk.”
Adskhan, mahasiswa magister temanku. Dia adalah saudagar kaya di Istanbul ini. Dia dilahirkan di Desa Nurs dimana Badiuzzaman Said Nursi juga dilahirkan di desa itu. Adskhan sangat tampan dan dermawan. Terkadang uang sewa apartemenku dia yang bayar. Dan dia tidak pernah meminta imbalan apa-apa kepadaku. Dia sudah punya isteri. Isterinya bernama Akila.
***
KOTA ISTANBUL terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Istanbul masih terasa. Di dalam kamar, aku  berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua mataku memandang teguh ke tempat sujud. Bibirku bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran.
            Aku semakin larut oleh Kalam Illahi. Tatkala sampai pada surat Yaasiin ayat terakhir, aku menangis,

            Innamaa amruhuu idzaa araada syai-an anyaqulalahuu kun fayauun...
Fasubhaanal ladzii biyadihii malakuutu kulli syai-in wa ilaihi turja’un...”
            (Sesungguhnya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata, “Jadilah! Maka jadilah. Maka Maha Suci (Allah) yang ditangan-Nya tergenggam kekuasaan segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu akan kembali)
***
            SEMENTARA itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang tak lain ialah teman ku Si Adskhan. Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh mempesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta Jalaluddin Rumi,

            Karena cinta duri menjadi mawar...
             Kerena cinta cuka menjelma anggur segar...
            Karena cinta keuntungan menjadi mahkota penawar...
Karena cinta kemalangan menjelma keberuntungan...

Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, Adskhan dan isterinya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan adiknya. Sang isteri berkata,
“Adskhan suamiku, adik kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah
baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”
“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan
tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Mustafa. Dia melamar Aisya untuk putranya, Mahmud.”
“Bagaimana, kau terima atau…?”
“Kalau aku terima, akan tetapi kita juga harus bertanya pada Aisya dulu.”
“Isteriku. Apakah Mahmud pria yang tepat untuk Aisya? Mengingat Mustafa itu adalah pemuda yang kurang baik.”
“Itu gampang, kalau nanti Mahmud sudah beristeri Aisya pasti nanti dia akan berubah.”
***
KE ESOKKAN harinya. Usai shalat dhuha, aku meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Aku  hendak ke Spice  Bazaar (Egyptian Bazaar) untuk membeli Lahmacun, roti yang diberi aneka topping seperti daging cincang dan sayuran seperti tomat, bawang bombay, dan paterseli, kemudian dipanggang. Tak lupa juga aku membeli Boza atau bosa, minuman khas Turki yang terbuat dari gandum yang difermentasi dengan campuran air dan gula. Aku berjalan melewati halaman rumah yang luas. Rumah itu milik saudagar kaya, Adskhan. Ya, Adskhan temanku magisterku.
Aku terus melangkah menapaki jalan yang membelah halaman rumah yang luas itu. Tiba-tiba dari kejauhan aku mendengar sayup-sayup orang minta tolong.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu datang dari arah samping paviliun. Aku menghentikan langkahku.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan mataku dengan jelas bisa menangkap seorang perempuan yang dikeroyok oleh dua pemuda.
“Toloong! Toloong lepaskan aku!”
Mendengar itu aku langsung tegang. Apa yang harus aku perbuat. Cepat-cepat aku menenangkan diri dan membaca shalawat. Aku menghampiri mereka,
“Hai kalian, lepaskan dia dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kedua anak muda itu lari seketika. Dia mengaduh. Aku mendekati perempuan itu dan menyapanya,
Assalamu’alaikum. Kau tidak apa-apa?”
Dia mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatapku. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajahku. Menyadari hal itu aku menundukkan pandangan ke tanah. Dia perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuanku, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan mempesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dan dari mana?”
Aku  mengangkat muka. Tak ayal mataku menatap wajah putih bersih mempesona. Lebih menawan daripada Maimunah anak kepala desaku. Hatiku bergetar hebat. Syaraf dan ototku terasa dingin. Sesaat lamanya kami beradu pandang. Dia tersenyum dengan pipi merah merona, Aku tersadar, aku cepat-cepat menundukkan kepala. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatiku.
“Namaku Muhammad Azam, aku dari Spice  Bazaar .”
“Sepertinya Tuan bukan orang Turki?”
“Tak salah. Aku memang bukan orang Turki. Aku orang Indonesia.” kataku sambil
membalikkan badan. Aku lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Azam! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba dia berlari dan berdiri di hadapanku. Terang saja aku gelagapan. Hatiku bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depanku.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Aisya. Halaman ini milik kakakku. Dan rumah itu juga rumah kakakku. Jika kau mau silakan datang ke rumah. Kakak  pasti akan senang dengan kehadiranmu.”
Dia lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Aku melangkahkan kedua kaki dan melanjutkan perjalanan.
***
SAAT MALAM datang membentangkan jubah hitamnya, kota Istanbul kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir. Aku terpekur di kamar. Mata berkaca-kaca. Hatiku basah. Pikiranku bingung. Apa yang menimpa diriku? Tatapan itu masih melekat dalam pelupuk mataku. Senyum menawan itu menari-nari mempermainkan rasa gundah dalam hati.
“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Begitu sejuk mengalir disaraf-sarafku. Ya Rabbi, tak kupungkiri aku telah jautuh cinta kepada hamba-Mu yang bernama Aisya. Ini pertamakalinya hamba terpesona oleh seorang wanita. Berikanlah takdir yang lurus kepadaku Rabbi.”
Aku tak tahu apa yang terjadi pada perasaanku. Bila aku seorang penyair, maka sangat mudah aku membuat beribu-ribu bait puisi. Bila aku seorang novelis, maka begitu mudah aku menulis beribu-ribu lembar bertuliskan naskah novel cerita tentang perasaanku. Bulan seperti terbelah menjadi dua. Sinar remang menyinari kubah-kubah Hagia Sophia. Deburan air Selat Bosporhus menderu-deru seakan bersyair akan cinta. Alunan Orestra Simfoni mendayu-dayu.
Berminggu-minggu aku seperti orang sakit jiwa. Aku tidak bisa mengendalikan gelora dalam jiwaku. Aura kecantikan Aisya mengakar sedemikian kuat dalam diriku. Aura itu terus melintas dalam setiap kegiatanku. Aku terus meratap dan mengiba. Hatiku yang dipenuhi gelora cinta terus aku paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin aku meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintaku pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta pada Aisya. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatiku.
***

PAGI HARI, usai shalat dhuha aku berjalan ke arah pinggir kota. Tujuanku jelas yaitu melamar Aisya. Hatiku mantap untuk melamarnya. Di sana aku disambut dengan baik oleh Adskhan dan Isterinya. Mereka sangat senang dengan kunjunganku. Aisya keluar sekejab membawa Sahlep, minuman khas Turki yang terbuat dari susu murni dan dicampur dengan akar anggrek yang sudah dijadikan bubuk. Ia lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraanku dengan Kakaknya. Aku mengutarakan maksud kedatanganku, yaitu melamar Aisya.
Adskhan diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara aku dan Aisya menanti dengan seksama jawaban Adskhan. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Aku menundukkan kepala,  pasrah dengan jawaban yang akan aku terima. Lalu terdengarlah jawaban Adskhan,
“Saudaraku Azam, kau datang terlambat. Maafkan aku, Aisya sudah dilamar Mustafa untuk putranya Mahmud beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.” Terlihat mata sahabatku itu mengeluarkan air mata.
Aku hanya mampu menganggukan kepala. Aku sudah mengerti dengan baik apa yang aku dengar. Aku tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatiku. Aku mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Aisya, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.
***
AKU kembali ke apartemen dengan kesedihan tak terkira. Apa yang aku dengar dari Adskhan membuat tubuhku terasa lumpuh. Aku pun jatuh sakit. Aku menatap jauh keluar apartemen. Salju tipis turun perlahan. Aku tiada putus mengucapkan tasbih, tahmid, dan takbir. Salju turun semakin deras. Suasana semakin terasa magis. Angin berhembus kencang mempora-porandakan gundukkan-gundukan salju yang menggunung. Jeritan binatang malam seperti merasakan pedihnya cinta yang bertepuk sebelah tangan. Pepohonan tampak menggigil. Pohon-pohon seperti sekarat dalam beku musim dingin. Daunya telah rontok sebelum musim semi datang. Istanbul, Kayseri, Gaziantep, Barla dll telah menjadi saksi untuk hati yang telah hancur ini. Aku semain terpuruk. Kabar tentang derita yang aku alami ini tersebar ke Universitas Istanbul. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Aisya. Rasa cinta Aisya yang tak kalah besarnya kepadaku sehingga ia menulis sebuah surat pendek,

Kepada Muhammad Azam,
Assalamu’alaikum
Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam setiap do’amu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.
Azam,
Aku memang tidaklah semulia Khadijah,
Tidaklah setaqwa Aisyah,
Tidaklah setabah Fatimah,
Tidak pula sekaya Balqis,
Apalagi secantik Zulaikah,
Aku hanyalah wanita akhir zaman yang punya cita-cita menjadi isteri yang shaleha,
Kalau kau mau. Genggamlah tanganku dan bawa aku lari dari Turki. Ke Indonesia aku juga tidak keberatan.
Wassalam
Aisya
***
Surat itu ia titipkan pada Aisyel, anak Tuan Armagan. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tanganku. Tidak boleh ada orang lain yang membacanya. Dan meminta jawabanku saat itu juga. Dengan hati berbunga-bunga aku menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhku bergetar hebat. Aku menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata aku menulis untuk Aisya :

Kepada Aisya,
Assalamu’alaikum,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun aku tidak ingin cinta yang akan menyeretku ke dalam api neraka. Aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba.
Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku.Tak perlu aku pegang tanganmu pun tak apa. Kamu tak akan hilang selagi aku peluk hatimu dengan do’a. Ingat Aisya! Kecantikan wanita tidak akan berarti tanpa ahlak dan perilaku yang mulia.

Aisya,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :

“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”

Aisya,
Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam,
Muhammad Azam
***
BEGITU dia membaca jawabanku itu Aisya menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Setiap malam ia bersimpuh. Mengadukan segala keluh kesah kepada-Nya. Memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Ia bermunajat pada Tuhannya. Ia menemukan cinta yang indah, bahkan cinta yang lebih indah dari sebelumnya. Cinta kepada Tuhannya. Hal yang sama juga aku lakukan di Masjid Biru. Beberapa bulan kemudian aku menerima sepucuk surat dari Aisya :

Kepada Muhammad Azam,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertaqwa. Hari ini Kakakku memutuskan tali pertunanganku dengan Mahmud. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.
Wassalam,
Afirah
***
Seketika itu aku sujud syukur di mihrab Masjid Biru. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatiku. Tiada henti bibirku mengucapkan hamdalah. Aku kirimkan puisi cinta Jalaluddin Rumi untuk Aisya,
           
            Karena cinta api yang berkobar-kobar jadi cahaya yang menyenangkan...
            Karena cinta Syaitan berubah menjadi Malaikat...
            Karena cinta batu yang keras menjadi lembut bagaikan mentega...
            Karena cinta duka menjadi riang gembira...
            Kerena cinta sakit menjadi sehat...
            Karena cinta amarah menjadi keramah-ramahan...

Satu minggu kemudian. Aku melangsungkan pernikahanku dengan Aisya.





Profil Penulis.

Nama   : Jaswanto
Alamat: Desa Gaji Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban
Status  : Mahasiswa Undiksha (Universitas Pendidikan Ganesha)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar