Islam Nusantara Bukan Arabisasi
LATAR BELAKANG
Keberhasilan
masyarakat Islam menembus dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia,
serta menjadikan dirinya sebagai agama utama bangsa ini merupakan suatu
prestasi luar biasa. Hal ini terutama dari segi geografisnya, di mana jarak Indonesia
dengan negara asal Islam-Jazirah Arab-cukup jauh, dipisahkan dengan gurun pasir
yang tandus, laut yang membentang, daratan, gunung, dan lembah yang terhampar
tanpa mengenal batas. Terlebih-terlebih jika dilihat bahwa sejak dimulainya
proses penyebaran Islam di Kepulauan Nusantara ini, belum ada suatu organisasi
dakwah yang mampu memperkenalkan Islam ke tengah masyarakat luas. Proses
tersebarnya Islam ketika itu, sebagai gantinya, semata-mata mengandalkan
kemampuan dan ketekunan tenaga dai, pedagang atau guru sufi. Karena itu dapat
kita pahami jika proses penyebaran Islam Indonesia, membutuhkan waktu
berabad-abad (Sitompul, Usaha-usaha
Mendirikan Negara Islam dan Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia, hal.
2).
Di era modern seperti sekarang ini kita dihadapkan
pada sebuah tantangan
yang
tidak ringan berupa perubahan dalam semua aspek kehidupan. Sebagai dampak laju
perubahan baik itu informasi dan sistem komunikasi tidak saja sulit disaring,
apalagi dibendung, tetapi juga mengaburkan nilai-nilai kemanusiaan dan
kehidupan
sehari-hari. Dalam kondisi seperti ini seringkali agama menjadi posisi
perdebatan, apakah agama harus tunduk mengikuti irama perubahan ataukah
sebaliknya perubahan yang mesti memiliki acuan berupa nilai-nilai agama. Hingga
akhirnya umat Islam diposisikan sebagai konsumen globalisasi yang menempatkan
Islam sendiri pada posisis keterpurukan. Sehingga ada sebagian kelompok orang
yang mempersempit nilai-nilai univesal dalam islam itu sendiri dengan dalih
sebagai counter terhadap globalisasi. Namun kondisi tersebut malah semakin
memperkeruh suasana yakni suatu benturan peradaban (Yazid, Islam Akomodatif ,
hal.1).
Fenomena tersebut menurut Gus Dur sebagai gejala
ketidak percayaan diri kalangan muslim dalam menghadapi penetrasi budaya barat
akibat proyek besar globalisasi. Hegemoni kebudayaan yang dilakukan oleh Barat
melalui pendaratan dan pendataran ideologinya, khususnya kapitalisme dan
neoliberalisme, telah menyebabkan umat Islam berada di persimpangan
ketertindasan dan keterpurukan, terutama dalam sektor ekonomi, politik dan
budaya (Misrawi, “Menolak Kekerasan Merawat Kebhinekaan”, Kompas (Jakarta: 3
Januari,2011), hal. 6). Sikap sebagian umat Islam dalam merespon globalisasi
dengan Arabisasi bukanlah solusi yang tepat. Alih-alih ingin memberikan
alternatif bagi keterpurukan posisi umat Islam dalam bidang sosial, politik,
dan ekonomi dengan munculnya istilah “Arabisasi”. Namun, langkah tersebut
semakin memperkeruh suasana karena justru menambah persoalan baru benturan
kebudayaan. Arabisasi tidak hanya bertentangan dengan spirit globalisasi yang
menekankan demokrasi dan hak asasi manusia, tetapi juga menjadi ancaman serius
bagi keberlangsungan kebudayaan Nusantara yang sudah berlangsung beberapa abad
yang lalu. Hal itu akan jauh sekali dari nilai-nalai unversalitas islam yang
berpijak pada rasa kerukunan, kebersamaan, memperjuangkan keadilan dan menolak
berbagai tindakan diskriminatif.
Dari permasalahan di atas, Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj
dalam pembukaan acara Istighotsah Menyambut Ramadhan dan Pembukaan Munas
Alim Ulama NU, Minggu, 14 Juni 2015 di Masjid Istiqlal, Jakarta. Kembali
melemparkan pernyataan istilah “Islam Nusantara” yang sejak dulu sudah ada
sebetulnya. Beliau mengatakan, “Islam
Nusantara memiliki karakter Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan
toleran bukan “Islam Arab” yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang
saudara”. Dan
bukan hanya KH Said Aqil Siradj saja yang mengatakan istilah Islam Nusantara,
akan tetapi Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia juga mengatakan hal
yang sama. Beliau mengatakan, “Alhamdulillah, Islam Kita Islam Nusantara,
Islam yang penuh sopan santun, penuh tata krama dan toleransi”. Bahkan ormas keislaman
terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama, tengah gencar mempromosikan istilah
Islam Nusantara dan telah menjadikan tema pada Muktamar ke-33 yang dihelat di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus
2015, dengan tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan
Dunia”. Lalu apa itu Islam Nusantara? Apakah Islam yang di Nusantarakan atau
Nusantara yang di Islamkan?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Islam Nusantara dan Arabisasi
1. Islam
Nusantara
Agus Sunyoto,
budayawan pengkaji sejarah Nasional, Islam Nusantara adalah Islam yang
berkembang di Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Nusantara yang memiliki
ciri khas tersendiri, yang kelihatan berbeda sama sekali dengan Islam yang
mainstream dilakukan di Timur Tengah.
KH Said Aqil Siradj
juga menjelaskan Islam Nusantara adalah Islam dengan cara pendekatan budaya,
tidak menggunakan doktrin yang kaku dan keras, dan memiliki karakter “Islam
yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran.” Sebagai suatu model, Islam
Nusantara berbeda dari apa yang disebutnya sebagai “Islam Arab yang selalu
konflik dengan sesama Islam dan perang saudara.”
Presiden Republik
Indonesia, Joko Widodo Islam Nusantara adalah Islam yang penuh sopan santun,
penuh tata krama dan toleransi.
KH.
Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah menjabarkan tentang istilah Islam Nusantara.
Menurutnya, kata Nusantara itu akan salah maksud jika dipahami dalam struktur na’at-man’ut
(pensifatan) sehingga berarti, “Islam yang dinusantarakan.” Akan tetapi
akan benar bila diletakkan dalam struktur idhafah (penunjukan tempat)
sehingga berarti “Islam di Nusantara” (Iyubenu, “Ontran-Ontran Islam Nusantara”,
dalam Opini Jawa Pos, 24 Juli 2015).
Penjelasan
Gus Mus di atas memang tidak salah dalam konteks untuk meredam
ketakutan-ketakutan suatu kelompok yang salah dalam memahami Islam Nusantara.
Namun perlu dipahami bahwa penunjukkan tempat juga berarti menguak unsur-unsur
yang ada dalam suatu tempat tersebut. Maka, mau tidak mau, suka atau tidak
suka, kita harus tetap merangkul watak dan karakteristik dari sebuah wilayah
yang bernama Nusantara.
Selain
itu, Teuku Kemal Fasya dalam esainya, Dimensi Puitis dan Kultural Islam
Nusantara, memberikan penjelasan yang tidak kalah menarik. Ia
mendefinisikan bahwa Islam Nusantara ialah proses penghayatan dan pengamalan
lokalitas umat yang tinggal di Nusantara. Penabalan kata “Nusantara” bukan
sekadar penegasan nama tempat atau nomina, melainkan lebih penting, penjelasan
adjektiva atau kualitas Islam “di sini” yang berbeda dengan Islam “di sana”.
Keberhasilan Islam jadi agama Nusantara yang damai tak bisa dilepaskan dari
daya adaptasi dan resiliensi pengetahuan, kesenian dan kebudayaan lokal. Kredo
teologis yang serba melangit itu bertemu dengan dimensi kultural masyarakat dan
beresonansi melalui pengetahuan lokal (Fasya, “Dimensi Puitis dan Kultural
Islam Nusantara”, dalam Opini Kompas, 4 Agustus 2015).
2.
Arabisasi
Arabisasi
adalah tidak lain hanya sekedar budaya yang berkembang di tanah Arab, baik
melingkupi aspek bahasa maupun ilmu pengetahuan dan juga prilaku sehari-hari
(Ilham, Arabisasi Islam dan Legitimasi
Politik, 2015).
Dari
pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa Islamisasi sangat berbeda dengan Arabisasi.
Yang membedakan atara Islamisasi dan Arabisasi terdapat pada subtansi yang
dikandungnya. Islamisasi sebagai suatu proses internalisasi dari nilai-nilai
Islam pada temuan-temuan baru yang belum ada semangat keislamannya memberikan
mandat agar memasukan ajaran Islam di dalamnya atau menyesuaikannya dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Adapun Arabisasi tidak lain dari sekedar budaya yang
berkembang di tanah Arab.
B. Islam
Nusantara Bukan Arabisasi
Sesuai dengan
judul tulisan ini yang menyatakan bahwa kita ini adalah Islam Nusantara bukan
Arabisasi. Patut kita ketahui bahwa Arab belum tentu Islam dan yang Islam belum
tentu Arab.
Memang,
akhir-akhir ini banyak sekali aliran-aliran Islam yang seakan-akan mempunyai pandangan
bahwa Islam itu adalah Arab. Dan dari
pandangan tersebut telah menimbulkan persepsi bahwa Islam harus sesuai dengan
yang ada di Arab. Mulai dari ibadah
Mahdhoh sampai ibadah Muamalah
harus mengikuti Islam yang ada di Arab. Terlebih, dimana upaya pembunuhan
karakter dan penghilangan ciri khas amaliah warga muslim asli Indonesia,
semakin marak dilakukan oleh kelompok-kelompok pendatang. Mereka berani dengan
terang-terangan mengingkari amaliah-amaliah yang dilakukan muslim Indonesia dan
menuduh sebagai perbuatan bid’ah,
sesat, maupun syirik bahkan sampai berani mengkafirkan.
Tentunya
tuduhan salah yang mendasar ini tidak dapat dibiarkan. Memberi pemahaman
tentang kebenaran aqidah dan amaliah muslim Indonesia sudah menjadi kewajiban
bersama, dan menyanggah penuduhnya sangat perlu dilakukan untuk meluruskan dan
mendudukkannya sesuai dengan hakikat ajaran syariat.
Bagi
kalangan fenomenologis, realitas sosial semacam ini bisa dikatakan sebagai
bagian dari eksoterisme islam, yaitu perilaku simbolik; bagaimana menerjemahkan
agama ke dalam simbol-simbol agama itu sendiri, dan ‘naasnya’ selama ini
pemahaman terhadap Islam dan Arab menjadi suatu yang tidak dapat dipisahkan,
dengan kata lain identitas ke-Islaman seseorang dinilai ‘mumpuni’ jika akrab
dengan Arab, baik itu budaya, bahasa, dan pakaiannya.
Di sisi
lain, banyak itelektual yanga mengaitkan fenomena Arabisasi dalam kehidupan
umat Islam Indonesia adalah karena proses geopolitik dimana fase radikalisasi
keagamaan tengah terjadindi Indonesia. Andrée Feillard dan Rémy Madinier dalam
La Fin de I’innocence menelaah hal menarik. Menurut mereka, dua hal yang
gampang dibaca dari fenomena Islam radikal sejak akhir Orde Baru hingga
sekarang ialah penyederhanaan ideologis dan manipulasi politik yang kemudian berkembang
menjadi Islam politik dengan pengkaderan yang terorganisasi yang tumbuh melalui
pengajaran praktis doktrin negara-agama (seperti bentuk kekhalifahan) sekaligus
bisa memanfaatkan wahana kekuasaan untuk merebut pengaruh. Globalisasi
dimanfaatkan betul untuk menyebarkan benih-benih kekerasan secara lintas-batas.
Kalangan muslim radikal sering kali membenarkan gagasan ‘benturan antar
peradaban’ yang ditelan mentah-mentah dan lalu membangun cara pembelaan diri
dengan sebagai bergain politik, dengan kata lain menajamkan istilah-istilah
ke-Araban di tengah-tengah komunitas eksklusif mereka (Kompasiana, Arabisasi Islam Legitimasi Politik,
2015).
Untuk
menjadi muslim, seseorang harus menggnakan identitas Arab atau melebur seperti
orang Arab, mulai dari bicara yang kearab-araban, berjenggot dan berjambang
lebat, berpakaian jubah, bercadar, hingga cara makan dan apa yang dimakan oleh
orang Arab pun dijadikan model keislaman. Dengan identitas itu, dalam benak
mereka, seolah-olah Islam itu Arab dan Arab itu Islam.
Muslim
yang berpeci hitam, bersarung, berziarah kubur, memperingati tuju hari, empat
puluh hari, dan seratus hari dari kematian leluhurnya, meski tidak pernah absen
mentaati rukun Islam dianggap tidak lebih saleh dan tidak lebih Islam ketimbang
mereka yang serba Arab itu. Jika Islam model Arab ini yang diikuti, maka yang
sesungguhnya terjadi adalah Arabisasi, pengaraban dunia, maka Islam tentu
bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis (sebab kata Arab adalah konsep
politik). Jika Islam bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis, maka
tentu bertentangan dengan misi utama Islam yang Rahmatan lil alamin, menebarkan cinta kasih kepada seluruh umat
manusia dan segala ciptaan Tuhan di alam semesta (Rahman, Menjadi Muslim, Tidak Harus Menjadi Orang Arab. 2015).
Dengan
paradigma demikian, Islam Nusantara sebetulnya ingin mengajak keluar dari
cangkang kekolotan dalam memandang agama, perdebatan klasik yang tak ada ujung
pangkalnya dan kebenaran naif yang menafikan lainnya. Dengan harapan, peradaban
Islam Nusantara kelak akan menjadi patron peradaban Islam dunia lantaran
khazanah keilmuwan dan nilai-nilai yang begitu mempesona.
KESIMPULAN
Islam Nusantara
bukanlah suatu bentuk pengkotak-kotakan ataupun sebuah gerakan untuk mengubah
doktrin Islam. Ia juga bukan hendak memindah kiblat umat Islam Indonesia dari
Mekkah ke Indonesia. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam
dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Islam Nusantara hanya ingin
menyemai dan menampilkan wajah Islam yang teduh dan ramah bukan marah.
Islam Nusantara hadir bukan untuk
mendobrak atau membabat habis tradisi dan budaya lokal yang ada, melainkan coba
untuk berdialektika dengan konteks di mana ia berada. Oleh karena sifat
fleksibelnya itu, ia mampu bertahan dan berkembang sehingga memunculkan
ekspresi keislaman baru yang khas dan tidak ada di belahan dunia manapun. Lain
halnya dengan Arabisasi yang mempunyai sifat kolot dan kaku dalam memaknai
Islam.
Dengan demikian, Islam Nusantara
bukanlah semacam makhluk baru, ia hanya ingin mengembalikan sesuatu pada
tempatnya; hadirnya untuk mengingatkan bahwa yang Arab belum tentu Islam dan
yang Islam belum tentu Arab. Dengan paradigma demikian, Islam Nusantara
sebetulnya ingin mengajak keluar dari cangkang kekolotan dalam memandang agama,
perdebatan klasik yang tak ada ujung pangkalnya dan kebenaran naif yang
menafikan lainnya. Dengan harapan, peradaban Islam Nusantara kelak akan menjadi
patron peradaban Islam dunia lantaran khazanah keilmuwan dan nilai-nilai yang
begitu mempesona.
DAFTAR PUSTAKA
Sitompul,
Agussalim. 2008. Usaha-usaha Mendirikan Negara Islam Dan Pelaksanaan Syariat
Islam Di Indonesia. Jakarta: CV Misaka Galiza.
Romli,
Mohamad Guntur. 2016. Islam Kita, Islam
Nusantara. Tanggerang Selatan: Ciputat School.
Bashori,
Luthfi. 2012. Sunni Dan Wahabi: Dialog
Ilmiah Seputar Amaliah Ahlussunnah Wal Jamaah. Malang: Darkah Media.
Mustofa, Saiful. 2015. ”Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Islam
Berkemajuan”.
Dalam ejournal.iain-tulungagung.ac.id/../89
. Di akses tanggal 30 September 2016.
Ilham, Andre. 2010. ”Arabisasi Islam dan
Legitimasi Politik”.
Dalam
http://m.kompasiana.com/dre/arabisasi-islam-dan-legitimasi-politik. Di akses tanggal 7 Oktober 2016.
Rahman, M. 2015. ”Menjadi Muslim, Tidak Harus
Menjadi Orang Arab”.
Dalam www.seputarsulawesi.com/berita-menjadi-muslim-tidak-harus-menjadi-orang-arab.
Di akses tanggal 7 Oktober 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar