Ahlul
Fathrah
Di
matanya, ilmu adalah samudera kehidupan. Dengan ilmu ia beranggapan bisa
menjalani kehidupan yang lebih terarah
dan jelas bertujuan. Waktu itu ia sedang duduk di tepian pelabuhan ex Buleleng,
Singaraja. Singaraja sore itu tampak begitu mempesona. Cahaya mataharinya yang kuning keemasan
seperti menyepuh atap-atap rumah, perahu
nelayan, patung, dan kendaraan yang lalu lalang.
Di
beberapa tempat di sepanjang pantai, sepasang muda mudi tampak bercengkrama
mesra. Suasana senja di pantai rupanya lebih menarik bagi mereka daripada
suasana senja di rumah. Bercengkarama dengan sang pujaan hati lebih mereka
pilih daripada bercengkrama dengan ayah, ibu, adik dan kakak di rumah.
Di
matanya, kota Singaraja sore itu tampak begitu indah. Ia memandang ke pantai.
Ombaknya berbuih putih. Bergelombang naik turun. Bekejar-kejaran menampakkan
sebuah keriangan. Semilir angin mengalirkan kesejukan. Suara desaunya seperti
desau suara dzikir alam yang menciptakan suasana tentram.
Ia
pemuda yang selalu ingin tahu dalam segala hal. Termasuk suatu hal yang saat
ini sedang ia pikirkan. Suatu hal yang memang sedang menjadi topik perdebatan
dikalangan para ulama. Suatu hal itu ialah apakah Ayah Rasul, Ibunda Rasul,
Paman Rasul, Kakek Rasul dan keluarga Rasul itu masuk surga atau neraka?
Mengingat beliau-beliau itu sudah meninggalkan dunia sebelum Islam datang.
Ia
terus bertanya-tanya akan hal itu. Senja menjadi waktunya untuk berpikir. Saat
itu yang ada dalam hati dan pikiranya hanyalah pertanyaan-pertanyaan itu. Ia
melihat cakrawala. Awan yang putih itu bergerak perlahan. Matahari kini
memancarkan cahaya yang agak kemerahan tapi sedikit gelap. Matahari akan segera
tenggelam diperaduannya. Malam akan segera menelannya.
Ia
bangkit menuju masjid Jami’ Singaraja. Suara azan menggema, menyusup masuk ke
rumah-rumah menggugah jiwa-jiwa yang nista.
Suara suci itu bergerak dengan lembut dan cepat. Menyapa alam. Menyapa
pasir-pasir di pantai. Menyapa kerikil-kerikil. Menyapa pohon-pohon. Menyapa
alam semesta. Menyapa semuanya. Semuanya sholat. Semuanya mengagungkan asma
Allah.
Selesai
sholat ia bertemu dengan seorang kiyai yang menjadi imam sholat tadi. Dalam
hati ia berkata, “ini kesempatanku untuk bertanya tentang apa yang aku pikirkan
saat ini,” lalu, ia memberanikan diri untuk mencoba lebih akrab dengan kiyai.
Demi ilmu mengapa tidak.
“Assalamu’alaikum
Kiyai,” katanya mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam.”
“Kiyai,
apakah Kiyai punya waktu sedikit untukku bertanya?”
Kiyai
itu tersenyum, “kalau kamu ingin bertanya dalam hal kebaikan kenapa tidak?
Silahkan! Kamu ingin bertanya masalah apa, kalau saya bisa jawab, maka saya
akan menjawabnya.”
Pemuda
itu pun bahagia buka main.
“Jadi
begini Kiyai, orang yang akan masuk surga itukan orang yang taat kepada Allah dan
orang itu Islam. Lalu, bagaimana dengan Ayah Rasulullah dan Ibu Rasulullah,
apakah mereka akan masuk surga?”
Kiyai
itu kembali tersenyum, “Ayahanda Nabi dan Ibunda Nabi itu masuk surga.”
“Tapikan
Ayah dan Ibu Nabi bukan orang Islam Kiyai?” tanyanya penasaran.
“Ayah
bunda Nabi SAW bukanlah tergolong para penyembah berhala, pemain judi,
penenggak miras dan kemaksiatan lainnya, namun beliau berdua hidup sebagai
masyarakat yang terhormat dan berperangai baik, apalagi orangtua mereka Sayyid
Abdul Mutthalib adalah pembesar utama kota Makkah yang bertugas menjaga
kemaslahatan Ka’bah. Ayah bunda Nabi termasuk kedalam Ahlul Fathrah.”
“Ahlul Fathrah itu apa Kiyai?”
“Ahlul Fathrah, maksudnya adalah
orang-orang yang hidup di Makkah pada jaman sebelum diutus Nabi SAW sebagi
seorang Rasul. Karena itu tidak ada ancaman siksa sedikitpun bagi kaum yang
belum masuk Islam saat itu, karena ajaran Islam belum diturunkan oleh Allah
kepada umat manusia. Allah berfirman mengenai kondisi orang-orang Ahlul Fathrah pada surat Al-Isra ayat 15
yang artinya: Dan Kami tidak akan
menyiksa orang-orang, sehingga kami mengutus seorang Rasul kepada mereka.”
Pemuda
itu mengangguk-anggukkan kepala.
“Nabi
SAW juga bersabda dari Abu Sa’id Abdul Malik bin Abi Utsman, disebutkan dalam
kitab Dzakhairul ‘Uqba karangan
Alhafidz Muhibbuddin Attahabari: Aku
berdoa memohon kepada Tuhanku, agar tidak satupun keluargaku yang masuk neraka,
maka doaku dikabulkan.”
“Lalu,
yang dimaksud keluarga Nabi itu siapa saja Kiyai?”
“Yang
dimaksud keluarga Nabi (Ahlul Bait)
secara mutlak menurut para ulama, adalah para isteri dan Ahul Kisa (Sy. Ali bin Abi Thalib, Syd. Fatimah, Sy. Hasan dan Sy.
Husain). Jika para isteri, anak, menantu Nabi SAW dikategorikan sebagai
keluarga (Ahlul Baitnya). Pasti kedua
orangtua beliau tergolong keluarga yang dijamin masuk surga.
Pemuda
itu masih ragu dengan jawaban Pak Kiyai, “kalau Ayahanda Rasul itu masuk surga?
Lantas bagaimana bisa beliau ketika ditanya oleh seseorang tentang nasib
orangtua mereka, Nabi SAW menjawab: Ayahku dan ayahmu berada di neraka. Itu
hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Kenapa Nabi berkata seperti itu, Kiyai?”
tanyanya penasaran.
Pak
Kiyai tersenyum dan membenarkan pecinya, “iya, memang ada hadist yang
menyatakan hal seperti itu. Namun, harus sampeyan ketahui apa penyebab Nabi
berkata seperti itu. Menurut para ulama Ahlus
sunnah wal jamaah, ada beberapa takwilan, antara lain: pertama. Saat Nabi SAW menjawab pertanyaan orang itu, terjadinya
sebelum turun firman Allah ayat 15, surat Al-isra, Wamaa kunnaa mu’addzibiina hatta nab’ats rasuulan,
Yang
artinya: Tidaklah Kami akan menyiksa orang-orang itu sehingga Kami mengutus
seorang Rasul. Jadi setelah ayat ini turun, maka keterangan Nabi kepada si
penanya itu pun diralat (dimansukh).
Kedua. Bahwa,
neraka yang dimaksud oleh Nabi adalah neraka dingin pemberi jaminan keselamatan
(artinya: sorga) kerena Ayah Nabi dan ayahnya si penanya termasuk Ahlul Fatrah.
Dalil-dalil
yang menunjukkan bahwa Ayah bunda Nabi kelak akan masuk surga, masih cukup
banyak. Betapa celakanya orang-orang dan kelompok-kelompok yang menuduh kasar
terhadap Ayah bunda Nabi dengan menvonis beliau berdua sebagai penghuni neraka
selama-lamanya. Na’udzubillahi min dzaalik. Pasti Nabi juga akan murka kepada
para penuduh itu. Apakah sampeyan termasuk golongan orang yang menuduh hal
semcam itu?”
Pemudah
itu terperanjat, kaget dengan pertanyaan Kiyai, “Astaghfirullah, Kiyai. Sugguh tubuh ini tidak ada daya dan upaya
untuk memberikan tuduhan seperti itu.”
Pak
Kiya terkekah mendengar jawaban pemuda yang selalu ingi tahu itu.
Malam telah benar-benar datang dan mulai
membentangkan jubah hitamnya, kota Singaraja kembali diterangi sinar rembulan.
Angin sejuk dari Selatan semilir mengalir. Suara azan isya menggema. Ombak
mengombak riak meriah. Perahu nelayan menembus kelam. Pemuda itu terpekur dalam
indahnya bacaan ayat-ayat suci. Sastra Yang Maha Tinggi. Sastra yang tidak akan
pernah tertandingi.
RESENSI:
Buku SUNNI & WAHHABI (Dialog Ilmiyah, Seputar Amaliah Ahlussunnah Wal
Jamaah dalam bab 24, “Ayah Bunda Nabi
Muhammad SAW di Sorga” hal.337) karya H. Luthfi Bashori.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar