Minggu, 23 Oktober 2016

Ahlul Fathrah




Ahlul Fathrah
Oleh: Kang Aswan


Di matanya, ilmu adalah samudera kehidupan. Dengan ilmu ia beranggapan bisa menjalani kehidupan yang  lebih terarah dan jelas bertujuan. Waktu itu ia sedang duduk di tepian pelabuhan ex Buleleng, Singaraja. Singaraja sore itu tampak begitu mempesona.  Cahaya mataharinya yang kuning keemasan seperti menyepuh atap-atap rumah,  perahu nelayan, patung, dan kendaraan yang lalu lalang.
Di beberapa tempat di sepanjang pantai, sepasang muda mudi tampak bercengkrama mesra. Suasana senja di pantai rupanya lebih menarik bagi mereka daripada suasana senja di rumah. Bercengkarama dengan sang pujaan hati lebih mereka pilih daripada bercengkrama dengan ayah, ibu, adik dan kakak di rumah.
Di matanya, kota Singaraja sore itu tampak begitu indah. Ia memandang ke pantai. Ombaknya berbuih putih. Bergelombang naik turun. Bekejar-kejaran menampakkan sebuah keriangan. Semilir angin mengalirkan kesejukan. Suara desaunya seperti desau suara dzikir alam yang menciptakan suasana tentram.
Ia pemuda yang selalu ingin tahu dalam segala hal. Termasuk suatu hal yang saat ini sedang ia pikirkan. Suatu hal yang memang sedang menjadi topik perdebatan dikalangan para ulama. Suatu hal itu ialah apakah Ayah Rasul, Ibunda Rasul, Paman Rasul, Kakek Rasul dan keluarga Rasul itu masuk surga atau neraka? Mengingat beliau-beliau itu sudah meninggalkan dunia sebelum Islam datang.
Ia terus bertanya-tanya akan hal itu. Senja menjadi waktunya untuk berpikir. Saat itu yang ada dalam hati dan pikiranya hanyalah pertanyaan-pertanyaan itu. Ia melihat cakrawala. Awan yang putih itu bergerak perlahan. Matahari kini memancarkan cahaya yang agak kemerahan tapi sedikit gelap. Matahari akan segera tenggelam diperaduannya. Malam akan segera menelannya.
Ia bangkit menuju masjid Jami’ Singaraja. Suara azan menggema, menyusup masuk ke rumah-rumah menggugah jiwa-jiwa yang nista.  Suara suci itu bergerak dengan lembut dan cepat. Menyapa alam. Menyapa pasir-pasir di pantai. Menyapa kerikil-kerikil. Menyapa pohon-pohon. Menyapa alam semesta. Menyapa semuanya. Semuanya sholat. Semuanya mengagungkan asma Allah.
Selesai sholat ia bertemu dengan seorang kiyai yang menjadi imam sholat tadi. Dalam hati ia berkata, “ini kesempatanku untuk bertanya tentang apa yang aku pikirkan saat ini,” lalu, ia memberanikan diri untuk mencoba lebih akrab dengan kiyai. Demi ilmu mengapa tidak.
“Assalamu’alaikum Kiyai,” katanya mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam.”
“Kiyai, apakah Kiyai punya waktu sedikit untukku bertanya?”
Kiyai itu tersenyum, “kalau kamu ingin bertanya dalam hal kebaikan kenapa tidak? Silahkan! Kamu ingin bertanya masalah apa, kalau saya bisa jawab, maka saya akan menjawabnya.”
Pemuda itu pun bahagia buka main.
“Jadi begini Kiyai, orang yang akan masuk surga itukan orang yang taat kepada Allah dan orang itu Islam. Lalu, bagaimana dengan Ayah Rasulullah dan Ibu Rasulullah, apakah mereka akan masuk surga?”
Kiyai itu kembali tersenyum, “Ayahanda Nabi dan Ibunda Nabi itu masuk surga.”
“Tapikan Ayah dan Ibu Nabi bukan orang Islam Kiyai?” tanyanya penasaran.
“Ayah bunda Nabi SAW bukanlah tergolong para penyembah berhala, pemain judi, penenggak miras dan kemaksiatan lainnya, namun beliau berdua hidup sebagai masyarakat yang terhormat dan berperangai baik, apalagi orangtua mereka Sayyid Abdul Mutthalib adalah pembesar utama kota Makkah yang bertugas menjaga kemaslahatan Ka’bah. Ayah bunda Nabi termasuk kedalam Ahlul Fathrah.”
Ahlul Fathrah itu apa Kiyai?”
Ahlul Fathrah, maksudnya adalah orang-orang yang hidup di Makkah pada jaman sebelum diutus Nabi SAW sebagi seorang Rasul. Karena itu tidak ada ancaman siksa sedikitpun bagi kaum yang belum masuk Islam saat itu, karena ajaran Islam belum diturunkan oleh Allah kepada umat manusia. Allah berfirman mengenai kondisi orang-orang Ahlul Fathrah pada surat Al-Isra ayat 15 yang artinya: Dan Kami tidak akan menyiksa orang-orang, sehingga kami mengutus seorang Rasul kepada mereka.”
Pemuda itu mengangguk-anggukkan kepala.
“Nabi SAW juga bersabda dari Abu Sa’id Abdul Malik bin Abi Utsman, disebutkan dalam kitab Dzakhairul ‘Uqba karangan Alhafidz Muhibbuddin Attahabari: Aku berdoa memohon kepada Tuhanku, agar tidak satupun keluargaku yang masuk neraka, maka doaku dikabulkan.
“Lalu, yang dimaksud keluarga Nabi itu siapa saja Kiyai?”
“Yang dimaksud keluarga Nabi (Ahlul Bait) secara mutlak menurut para ulama, adalah para isteri dan Ahul Kisa (Sy. Ali bin Abi Thalib, Syd. Fatimah, Sy. Hasan dan Sy. Husain). Jika para isteri, anak, menantu Nabi SAW dikategorikan sebagai keluarga (Ahlul Baitnya). Pasti kedua orangtua beliau tergolong keluarga yang dijamin masuk surga.
Pemuda itu masih ragu dengan jawaban Pak Kiyai, “kalau Ayahanda Rasul itu masuk surga? Lantas bagaimana bisa beliau ketika ditanya oleh seseorang tentang nasib orangtua mereka, Nabi SAW menjawab: Ayahku dan ayahmu berada di neraka. Itu hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Kenapa Nabi berkata seperti itu, Kiyai?” tanyanya penasaran.
Pak Kiyai tersenyum dan membenarkan pecinya, “iya, memang ada hadist yang menyatakan hal seperti itu. Namun, harus sampeyan ketahui apa penyebab Nabi berkata seperti itu. Menurut para ulama Ahlus sunnah wal jamaah, ada beberapa takwilan, antara lain: pertama. Saat Nabi SAW menjawab pertanyaan orang itu, terjadinya sebelum turun firman Allah ayat 15, surat Al-isra, Wamaa kunnaa mu’addzibiina hatta nab’ats rasuulan,
Yang artinya: Tidaklah Kami akan menyiksa orang-orang itu sehingga Kami mengutus seorang Rasul. Jadi setelah ayat ini turun, maka keterangan Nabi kepada si penanya itu pun diralat (dimansukh).
Kedua. Bahwa, neraka yang dimaksud oleh Nabi adalah neraka dingin pemberi jaminan keselamatan (artinya: sorga) kerena Ayah Nabi dan ayahnya si penanya termasuk Ahlul Fatrah.
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Ayah bunda Nabi kelak akan masuk surga, masih cukup banyak. Betapa celakanya orang-orang dan kelompok-kelompok yang menuduh kasar terhadap Ayah bunda Nabi dengan menvonis beliau berdua sebagai penghuni neraka selama-lamanya. Na’udzubillahi min dzaalik. Pasti Nabi juga akan murka kepada para penuduh itu. Apakah sampeyan termasuk golongan orang yang menuduh hal semcam itu?”
Pemudah itu terperanjat, kaget dengan pertanyaan Kiyai, “Astaghfirullah, Kiyai. Sugguh tubuh ini tidak ada daya dan upaya untuk memberikan tuduhan seperti itu.”
Pak Kiya terkekah mendengar jawaban pemuda yang selalu ingi tahu itu.
Malam telah benar-benar datang dan mulai membentangkan jubah hitamnya, kota Singaraja kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari Selatan semilir mengalir. Suara azan isya menggema. Ombak mengombak riak meriah. Perahu nelayan menembus kelam. Pemuda itu terpekur dalam indahnya bacaan ayat-ayat suci. Sastra Yang Maha Tinggi. Sastra yang tidak akan pernah tertandingi.

RESENSI: Buku SUNNI & WAHHABI (Dialog Ilmiyah, Seputar Amaliah Ahlussunnah Wal Jamaah dalam bab 24, “Ayah Bunda Nabi Muhammad SAW di Sorga” hal.337) karya H. Luthfi Bashori.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar