Rabu, 23 November 2016

Surat Untuk Adikku



           

Oleh: Kang Aswan

Menemui
            Adikku tercinta
            Juma’in
            Di kota seribu goa
            Assalamu’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.
            Dari pojok bumi Panji Sakti aku tiada henti merindu dan tiada henti mengirimkan doa, semoaga senantiasa keluarga kita tetap diberikan kesehatan, terhindar dari keburukan dan selalu mendapatkan rahmat-Nya.
            Adikku, Alhamdulillah aku baik-baik saja disini. Dengan segala rahmat dan hidayah-Nya, aku masih bisa menulis dan merangkai kata-kata ini menjadi sebuah kalimat yang bisa kau sampaikan kepada Ibunda kita tercinta. Bagaimana dengan Ayah? Tentu, sampaikan pada beliau juga.
            Adikku tercinta. Selama satu tahun setengah ini sejak aku pergi merantau, engkau telah menjadi pahlawan bagi Ayah dan Ibu kita. Lihatlah Ayah dan Ibu, kini mereka bangga padamu. Aku sangat berterimakasih dan bangga kepadamu adikku. Selama ini aku tidak pernah memikirkan bagaimana keadaanmu disana. Aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri. Maafkan kakakmu yang bodoh ini adikku.
            Adikku tercinta. Aku sendiri masih ingat ketika kakakmu ini dinyatakan lolos di universitas. Ayah waktu itu bangga sekali dan kamu sendiri pasti masih ingat momen sejarah itu. Ayah sangat bangga. Waktu itu ayah meminta ibu masak enak dalam porsi besar. Malam harinya ayah membawa makanan itu ke mushola Nurul Jadid untuk syukuran. Saat itu ibu juga sangat bangga.
            Adikku tercinta. Bulan demi bulan telah berlalu. Aku hanya bergelut dengan dunia yang seperti lingkaran yang tak berujung. Pagi ini aku kuliah, lalu membaca, menulis, presentasi dan diskusi. Pagi yang akan datang aku juga akan melakukan hal yang sama. Terus begitu, dan aku mulai berangan, kalau, aku akan seperti itu terus sampai aku lulus nanti. Aku tidak pernah berpikir atau mau tahu tentangmu. Hingga pada saat itu, ibu menelponku dan beliau bercerita tentangmu. Padahal saat itu pun aku tidak bertanya bagaimana kabarmu dan sedang apa kau saat itu. Namun, saat itu aku sangat merindukanmu.
            Adikku tercinta. Apakah kau tahu apa yang ibu ceritakan tentangmu?
            Ibu bercerita tentang perjuanganmu mengambil rumput, mengirim air untuk si mbah, sekolah, mengaji dan juga bermain. Ibu berkata, “Wan, adikkmu telah menjinakkan gunung, lembah, sungai, goa, danau, pohon dan bahkan alam desa kita. Ia menjinakkan gunung agar gunung selalu menjadi tempat paling indah untuk tempatnya beristirahat. Ya, hanya sekedar mengeringkan keringat dan rasa letihnya. Ia menjinakkan sungai agar sungai tetap menyediakan sumber mata air kehidupan untuknya. Ia juga menjinakkan goa agar goa menjadi tempat berlindung dari terik matahari dan hujan.” Aku yakin ibu menangis haru campur bangga padamu adikku.
            Tak lama setelah itu ibu sering bercerita tentangmu. Dan dari cerita ibu itu, aku tahu dengan detail apa yang kamu lakukan di kampung untuk keluarga kita. Kau bekerja keras mencari rumput, mengirim air untuk si mbah dan membantu menggarap sawah ladang demi keluarga kita. Dan di sela-sela itu semua, kau masih harus belajar di sekolah.
            Adikku tercinta. Sungguh, saat mengetahui hal itu aku menangis. Nun jauh disana, di kota para wali kau mati-matian mencari rumput dan menggarap sawah serta ladang demi meringankan beban orangtua. Sungguh adikku, semangatku untuk maju dan berprestasi semakin terlecut, terlecut dan terlecut. Hari berganti hari. Matahari terus terbit dan terbenam. Sudah satu tahun setengah aku tidak menemanimu mencari rumput.
            Adikku tercinta. Bagaimana kabarmu? Apakah hidungmu masih mancung?
            Kadang kau juga membuatku iri. Kita bersaudara, tapi kenapa hidung kita tak sama? Dulu waktu kecil kita pernah bertengkar masalah hidung. Masih ingatkah engkau? Waktu itu aku berkata, “hey, kamu mencuri hidung mancung itu darimana?” lalu kau menjawab, “aku mencurinya dari Ayah.” Ya, jawaban itu bisa aku terima, karena memang hidung Ayah memang mancung. Aku juga iri denganmu saat ini. Saat ini kau pasti sedang menikmati senyum sehat Ayah dan Ibu. Kau pasti juga sedang berbincang dengan mereka. Bercerita tentang sawah, ladang, sapi, kambing, ikan, sungai, gunung, goa dan pasti kalian juga bercerita tentang perempuan mana yang pantas untukku.
            Adikku yang manis. Kabarnya kau masuk jurusan IPA? Iyakah itu? Bagus, kalau kau masuk jurusan IPA. Nanti kita bisa berdebat, lebih baik mana jurusan IPA atau IPS, atau memang kita bisa saling melengkapi. Hahaha, tentu aku akan senang sekali kalau kita saling melengkapi.
            Adikku tercinta. Maafkan kakakmu yang bodoh ini!
            Wassalam
            Dari yang dirundung rindu
            Kakakmu, Aswan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar