Oleh:
Kang Aswan
Menemui
Adikku tercinta
Juma’in
Di kota seribu goa
Assalamu’alaikum
wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Dari pojok bumi Panji Sakti aku
tiada henti merindu dan tiada henti mengirimkan doa, semoaga senantiasa
keluarga kita tetap diberikan kesehatan, terhindar dari keburukan dan selalu
mendapatkan rahmat-Nya.
Adikku, Alhamdulillah aku baik-baik saja disini. Dengan segala rahmat dan
hidayah-Nya, aku masih bisa menulis dan merangkai kata-kata ini menjadi sebuah
kalimat yang bisa kau sampaikan kepada Ibunda kita tercinta. Bagaimana dengan
Ayah? Tentu, sampaikan pada beliau juga.
Adikku tercinta. Selama satu tahun
setengah ini sejak aku pergi merantau, engkau telah menjadi pahlawan bagi Ayah
dan Ibu kita. Lihatlah Ayah dan Ibu, kini mereka bangga padamu. Aku sangat
berterimakasih dan bangga kepadamu adikku. Selama ini aku tidak pernah
memikirkan bagaimana keadaanmu disana. Aku terlalu asyik dengan duniaku
sendiri. Maafkan kakakmu yang bodoh ini adikku.
Adikku tercinta. Aku sendiri masih
ingat ketika kakakmu ini dinyatakan lolos di universitas. Ayah waktu itu bangga
sekali dan kamu sendiri pasti masih ingat momen sejarah itu. Ayah sangat
bangga. Waktu itu ayah meminta ibu masak enak dalam porsi besar. Malam harinya
ayah membawa makanan itu ke mushola Nurul Jadid untuk syukuran. Saat itu ibu
juga sangat bangga.
Adikku tercinta. Bulan demi bulan
telah berlalu. Aku hanya bergelut dengan dunia yang seperti lingkaran yang tak
berujung. Pagi ini aku kuliah, lalu membaca, menulis, presentasi dan diskusi.
Pagi yang akan datang aku juga akan melakukan hal yang sama. Terus begitu, dan
aku mulai berangan, kalau, aku akan seperti itu terus sampai aku lulus nanti.
Aku tidak pernah berpikir atau mau tahu tentangmu. Hingga pada saat itu, ibu
menelponku dan beliau bercerita tentangmu. Padahal saat itu pun aku tidak
bertanya bagaimana kabarmu dan sedang apa kau saat itu. Namun, saat itu aku
sangat merindukanmu.
Adikku tercinta. Apakah kau tahu apa
yang ibu ceritakan tentangmu?
Ibu bercerita tentang perjuanganmu
mengambil rumput, mengirim air untuk si mbah, sekolah, mengaji dan juga
bermain. Ibu berkata, “Wan, adikkmu telah
menjinakkan gunung, lembah, sungai, goa, danau, pohon dan bahkan alam desa
kita. Ia menjinakkan gunung agar gunung selalu menjadi tempat paling indah
untuk tempatnya beristirahat. Ya, hanya sekedar mengeringkan keringat dan rasa
letihnya. Ia menjinakkan sungai agar sungai tetap menyediakan sumber mata air
kehidupan untuknya. Ia juga menjinakkan goa agar goa menjadi tempat berlindung
dari terik matahari dan hujan.” Aku yakin ibu menangis haru campur bangga
padamu adikku.
Tak lama setelah itu ibu sering
bercerita tentangmu. Dan dari cerita ibu itu, aku tahu dengan detail apa yang
kamu lakukan di kampung untuk keluarga kita. Kau bekerja keras mencari rumput,
mengirim air untuk si mbah dan membantu menggarap sawah ladang demi keluarga
kita. Dan di sela-sela itu semua, kau masih harus belajar di sekolah.
Adikku tercinta. Sungguh, saat
mengetahui hal itu aku menangis. Nun jauh disana, di kota para wali kau
mati-matian mencari rumput dan menggarap sawah serta ladang demi meringankan
beban orangtua. Sungguh adikku, semangatku untuk maju dan berprestasi semakin
terlecut, terlecut dan terlecut. Hari berganti hari. Matahari terus terbit dan
terbenam. Sudah satu tahun setengah aku tidak menemanimu mencari rumput.
Adikku tercinta. Bagaimana kabarmu?
Apakah hidungmu masih mancung?
Kadang kau juga membuatku iri. Kita
bersaudara, tapi kenapa hidung kita tak sama? Dulu waktu kecil kita pernah
bertengkar masalah hidung. Masih ingatkah engkau? Waktu itu aku berkata, “hey,
kamu mencuri hidung mancung itu darimana?” lalu kau menjawab, “aku mencurinya
dari Ayah.” Ya, jawaban itu bisa aku terima, karena memang hidung Ayah memang
mancung. Aku juga iri denganmu saat ini. Saat ini kau pasti sedang menikmati
senyum sehat Ayah dan Ibu. Kau pasti juga sedang berbincang dengan mereka.
Bercerita tentang sawah, ladang, sapi, kambing, ikan, sungai, gunung, goa dan
pasti kalian juga bercerita tentang perempuan mana yang pantas untukku.
Adikku yang manis. Kabarnya kau
masuk jurusan IPA? Iyakah itu? Bagus, kalau kau masuk jurusan IPA. Nanti kita
bisa berdebat, lebih baik mana jurusan IPA atau IPS, atau memang kita bisa
saling melengkapi. Hahaha, tentu aku akan senang sekali kalau kita saling
melengkapi.
Adikku tercinta. Maafkan kakakmu
yang bodoh ini!
Wassalam
Dari yang dirundung rindu
Kakakmu, Aswan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar