Bagas & Rio
(Nasib Negeriku)
Oleh:
Kang Aswan
Tak
sempat Rio sadari, secepat terkaman macam, secara amat mendadak, Seorang bapak
separuh baya berdiri di sampingnya. Wajahnya yang dingin menyeringai kejam. Rio
menjejakan pijakan untuk melombat, tapi terlambat! Bapak itu merenggut kerah
baju Rio, menyentaknya dengan keras hingga kancing-kancing bajunya beterbangan
putus. Rio meronta-ronta dalam genggamannya, menggelinjang. Rio mencuri
momentum dengan menumpukkan seluruh tenaga pada tunjangan kaki kanan. Sedetik
kemudian, Rio pun melesat pergi.
“Bajingan, berandaaal, copeeet... !”
Teriakan bapak itu membahana. Dalam
hati Rio mengumpat, kau lebih bajingan
daripada aku. Dia mengejar Rio dan berusaha menjambak rambutnya. Kedua
penjaga terminal terpogoh-pogoh menyusulnya. Segerombolan penumpang, Ucil dan
Inun, semburat berhamburan ke berbagai arah. Yang paling sial adalah Rio,
selalu Rio! Karena Rio yang mencopet dompet bapak itu. Peluit penjaga terminal
itu menjerit-jerit.
Rio berlari kencang menyusuri terminal,
meliuk-liuk di antara angkot-angkot yang terparkir rapi. Rio bagaikan Wison
Kipsang, Marathoner Word Record itu. Sprinter handal. Para pengunjung dan
para penumpang berhamburan riuh ikut mengejar Rio.
“Abang! Abang! Abang Rio! Ayo! Lari!
Lariii...!” teriak Ucil. Si kecil mungil pedagang asongan yang melihat abangnya
telah ketahuan mencopet.
Tenaga Rio terbakar. Melirik sejenak
ke arah Ucil dan Inun, berteriak histeris membelanya, hanya mereka berdua yang
membela Rio, Ucil melonjak-lonjak, sedangkan Inun membekap dada, khawatir Rio
tertangkap.
Rio menyeberang dan berlari kencang
ke selatan, memasuki gerbang pasar pagi. Rio berlari melintasi pelataran
berpilar-pilar menujulang yang dipenuhi pedagang kaki lima, meliuk-luk di
antara gerobak sayur dan ratusan pembeli. Rio selamat. Lepas dari massa yang
akan menghakiminya.
Ia duduk bersandar tembok tua yang
penuh dengan coretan karya seni anak jalanan. Nafasnya tersegal-segal.
Keringatnya bercucuran. Jantungnya berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Tapi, ia tetap
tersenyum melihat isi dompet yang lumayan. Ia ambil uanganya dan melempar
jauh-jauh dompetnya.
ӝ
Sedangkan
di dalam sebuah bangunan proyek pemerintah yang macet karena dananya telah
dikorupsi, aku dan lima anak lainya sedang melaksanakan rutinitas setelah
bekerja. Aku dan lima anak ini bekerja sebagai pedagang asongan dan juga
penjual koran. Aku adalah sahabat Rio.
Rutinitasku
dan anak-anak tak lain ialah rutinitas belajar mengajar. Aku adalah remaja yang berpendidikan. Aku sempat
mencicipi bangku kuliah walau hanya beberapa bulan. Rio pun juga demikian.
Aku
bercerita kepada lima temanku, cerita kisah tentang Khalifah Umar ibn Khattab,
“Suatu malam, Umar ibn Khattab
melakukan ronda bersama Abdullah ibn Mas’ud. Di suatu tempat yang terpencil
mereka melihat kerlipan cahaya. Dari arah yang sama, mereka mendengar
sayu-sayup orang bersembunyi. Keduanya mengikuti cahaya itu, dan sampai di
sebuah rumah. Diam-diam Umar menyelinap masuk. Ia melihat orang tua sedang
duduk santai. Di hadapannya ada cawan minuman dan seorang perempuan yang sedang
bernyanyi.
Umar menampakkan diri dan
menghardik, “Belum pernah aku melihat
pemandangan seburuk yang kulihat malam ini. seorang tua yang menanti ajalnya.
Hai musuh Allah, apakah kamu mengira Allah akan menutup aibmu padahal kamu
berbuat maksiat?” orang tua itu menjawab, “Jangan tergesa-gesa, ya Amirul Mukminin. Saya hanya berbuat maksiat
satu kali. Anda menentang Allah sampai tiga kali. Tuhan berfirman, Jangan
mengintip keburukan orang lain
(al-Hujarat: 12). Anda telah mengitip. Tuhan berfirman:Masuklah ke
rumah-rumah dari pintunya (al-Baqarah:
189). Anda telah menyelinap masuk, dan Anda masuk ke sini tanpa izin, padahal
Allah berfirman: Jangan kamu masuk kerumah yang bukan rumahmu sebelum kamu
meminta izin dan mengucapkan salam kepada orang yang ada di dalamnya (al-Nur: 27).
Lalu Umar menjawab, “Kamu benar!” lalu Umar keluar,
menggigit pakaiannya sambil menagis.” Ceritaku pada kelima kawaku.
Belum aku melanjutkan cerita, ada
seseorang yang datang.
“Bagas, cepat kau buka pintu!” ucap suara gentar di
depan kamarnya. Aku mengenali suara itu
seperti aku kenal suaraku sendiri. Suara Rio.
Kemudian aku
menuju pintu dengan kepala tegak.
“Kau ceritakan apa kepada anak-anak?”
“Umar ibn Khattab.”
“Memangnya dengan hanya bercerita, kau bisa makan?”
“Yang jelas aku bukan seorang pencopet.”
Telapak tangan kanan Rio mengepal, mendengar akhir
kalimat tegas itu.
“Bodoh sekali kau.”
“Kau lupa kah? Kalau itu adalah perbuatan dosa?
Lebih baik kita menjadi penjual asongan, pemulung dan penjual koran.”
Rio merasa ingin membilas otakku dengan air yang
diambil dari Telaga Kautsart. Wajahnya kaku, tatapannya tajam, dan kedua
tangannya mengepal di sisi badan.
“Aku tidak sudi punya sahabat yang munafik seperti
kau.”
“Kau yang munafik. Mana jiwa intelektualmu? Dulu kau
pernah bilang padaku, kalau kita harus bisa menjadi agen pembawa perubahan.
Mana, mana Rio yang dulu?”
“Rio yang dulu sudah mati.”
Aku tercengang. Pernyataan itu seperti bukan keluar
dari bibirnya sendiri.
“Kau ingat, Bagas. Berapa uang yang kamu dapat dari
menjual kacang, kuaci, dan permen itu? berapa kau mendapatkan uang dari
memulung? Dan berapa kau mendapatkan uangan dari menjual koran? Semua itu tidak
sebanding dengan uang yang aku dapat dari mencopet.”
“Berapapun aku mendapat uang, tapi yang penting itu
halal.”
“Menurutmu aku salah mengambil uang orang-orang
bangsat itu?”
Aku tidak menjawab.
“Di negeri yang tanahnya subur ini. Tanahnya yang mahakaya
raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya. Di negeri
yang tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam. Namun,
penduduknya sendiri melarat. Negeri yang lama diperbudak negeri lain. Dan hasil
tanahnya, orang lain yang mengeruk. Negeri yang selalu kacau ini. Dan
orang-orangnya lebih suka berkelahi antara sesama, saling menipu, saling
memeras. Tuhan beri kita negeri yang kayaraya, tapi orang-orang itu telah
membiarkan hasilnya diambil negeri lain. Negeri dimana tanaman dapat hidup
tanpa ditanam. Negeri dengan penuh kekayaan. Tapi, rakyatnya masih sengsara.
Rakyatnya masih terlunta-lunta atas kekejaman kaum penguasa. Rakyatnya masih
bodoh karena anggaran pendidikan dimakan, anggaran pembangunan dimakan, pajak
dimakan sampai pulau pun mereka makan. Apa aku salah mengambil uang
mereka-mereka yang kapitalis itu? Apa aku salah mengambil uang mereka-mereka
yang hedonis itu? Aku mengambil uang mereka untuk rakyat. Untuk para
pedagang-pedagang kaki lima, para pengemis, para pemulung. Dimana para
pejabat-pejabat itu ketika kita memegang perut karena kelaparan. Aku mencopet
Bukan untuk diriku sendiri.”
Aku hanya menundukkan kepala mendengarkan kata Rio
yang panjang lebar menjelaskan bagaimana keadaan Indonesia saat ini. lalu, Rio
kembali keluar dan memberikan makanan kepada kelima kawan ku. Dalam hati aku
berkata, bagaimana nasib negeriku ini?
Singaraja, 15 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar