Selasa, 15 November 2016

Cerpen_Bagas & Rio (Nasib Negeriku)





Bagas & Rio
(Nasib Negeriku)
Oleh: Kang Aswan
Tak sempat Rio sadari, secepat terkaman macam, secara amat mendadak, Seorang bapak separuh baya berdiri di sampingnya. Wajahnya yang dingin menyeringai kejam. Rio menjejakan pijakan untuk melombat, tapi terlambat! Bapak itu merenggut kerah baju Rio, menyentaknya dengan keras hingga kancing-kancing bajunya beterbangan putus. Rio meronta-ronta dalam genggamannya, menggelinjang. Rio mencuri momentum dengan menumpukkan seluruh tenaga pada tunjangan kaki kanan. Sedetik kemudian, Rio pun melesat pergi.
            “Bajingan, berandaaal, copeeet... !”
            Teriakan bapak itu membahana. Dalam hati Rio mengumpat, kau lebih bajingan daripada aku. Dia mengejar Rio dan berusaha menjambak rambutnya. Kedua penjaga terminal terpogoh-pogoh menyusulnya. Segerombolan penumpang, Ucil dan Inun, semburat berhamburan ke berbagai arah. Yang paling sial adalah Rio, selalu Rio! Karena Rio yang mencopet dompet bapak itu. Peluit penjaga terminal itu menjerit-jerit.
            Rio berlari kencang menyusuri terminal, meliuk-liuk di antara angkot-angkot yang terparkir rapi. Rio bagaikan Wison Kipsang, Marathoner Word Record itu. Sprinter handal. Para pengunjung dan para penumpang berhamburan riuh ikut mengejar Rio.
            “Abang! Abang! Abang Rio! Ayo! Lari! Lariii...!” teriak Ucil. Si kecil mungil pedagang asongan yang melihat abangnya telah ketahuan mencopet.
            Tenaga Rio terbakar. Melirik sejenak ke arah Ucil dan Inun, berteriak histeris membelanya, hanya mereka berdua yang membela Rio, Ucil melonjak-lonjak, sedangkan Inun membekap dada, khawatir Rio tertangkap.
            Rio menyeberang dan berlari kencang ke selatan, memasuki gerbang pasar pagi. Rio berlari melintasi pelataran berpilar-pilar menujulang yang dipenuhi pedagang kaki lima, meliuk-luk di antara gerobak sayur dan ratusan pembeli. Rio selamat. Lepas dari massa yang akan menghakiminya.
            Ia duduk bersandar tembok tua yang penuh dengan coretan karya seni anak jalanan. Nafasnya tersegal-segal. Keringatnya bercucuran. Jantungnya berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Tapi, ia tetap tersenyum melihat isi dompet yang lumayan. Ia ambil uanganya dan melempar jauh-jauh dompetnya.
ӝ
Sedangkan di dalam sebuah bangunan proyek pemerintah yang macet karena dananya telah dikorupsi, aku dan lima anak lainya sedang melaksanakan rutinitas setelah bekerja. Aku dan lima anak ini bekerja sebagai pedagang asongan dan juga penjual koran.  Aku adalah sahabat Rio.
Rutinitasku dan anak-anak tak lain ialah rutinitas belajar mengajar.  Aku adalah remaja yang berpendidikan. Aku sempat mencicipi bangku kuliah walau hanya beberapa bulan. Rio pun juga demikian.  
Aku bercerita kepada lima temanku, cerita kisah tentang Khalifah Umar ibn Khattab,
            “Suatu malam, Umar ibn Khattab melakukan ronda bersama Abdullah ibn Mas’ud. Di suatu tempat yang terpencil mereka melihat kerlipan cahaya. Dari arah yang sama, mereka mendengar sayu-sayup orang bersembunyi. Keduanya mengikuti cahaya itu, dan sampai di sebuah rumah. Diam-diam Umar menyelinap masuk. Ia melihat orang tua sedang duduk santai. Di hadapannya ada cawan minuman dan seorang perempuan yang sedang bernyanyi.
            Umar menampakkan diri dan menghardik, “Belum pernah aku melihat pemandangan seburuk yang kulihat malam ini. seorang tua yang menanti ajalnya. Hai musuh Allah, apakah kamu mengira Allah akan menutup aibmu padahal kamu berbuat maksiat?” orang tua itu menjawab, “Jangan tergesa-gesa, ya Amirul Mukminin. Saya hanya berbuat maksiat satu kali. Anda menentang Allah sampai tiga kali. Tuhan berfirman, Jangan mengintip keburukan orang lain (al-Hujarat: 12). Anda telah mengitip. Tuhan berfirman:Masuklah ke rumah-rumah dari pintunya (al-Baqarah: 189). Anda telah menyelinap masuk, dan Anda masuk ke sini tanpa izin, padahal Allah berfirman: Jangan kamu masuk kerumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin dan mengucapkan salam kepada orang yang ada di dalamnya (al-Nur: 27).
            Lalu Umar menjawab, “Kamu benar!” lalu Umar keluar, menggigit pakaiannya sambil menagis.” Ceritaku pada kelima kawaku.
            Belum aku melanjutkan cerita, ada seseorang yang datang.
“Bagas, cepat kau buka pintu!” ucap suara gentar di depan kamarnya.  Aku mengenali suara itu seperti aku kenal suaraku sendiri. Suara Rio.
 Kemudian aku menuju pintu dengan kepala tegak.
“Kau ceritakan apa kepada anak-anak?”
“Umar ibn Khattab.”
“Memangnya dengan hanya bercerita, kau bisa makan?”
“Yang jelas aku bukan seorang pencopet.”
Telapak tangan kanan Rio mengepal, mendengar akhir kalimat tegas itu.
“Bodoh sekali kau.”
“Kau lupa kah? Kalau itu adalah perbuatan dosa? Lebih baik kita menjadi penjual asongan, pemulung dan penjual koran.”
Rio merasa ingin membilas otakku dengan air yang diambil dari Telaga Kautsart. Wajahnya kaku, tatapannya tajam, dan kedua tangannya mengepal di sisi badan.
“Aku tidak sudi punya sahabat yang munafik seperti kau.”
“Kau yang munafik. Mana jiwa intelektualmu? Dulu kau pernah bilang padaku, kalau kita harus bisa menjadi agen pembawa perubahan. Mana, mana Rio yang dulu?”
“Rio yang dulu sudah mati.”
Aku tercengang. Pernyataan itu seperti bukan keluar dari bibirnya sendiri.
“Kau ingat, Bagas. Berapa uang yang kamu dapat dari menjual kacang, kuaci, dan permen itu? berapa kau mendapatkan uang dari memulung? Dan berapa kau mendapatkan uangan dari menjual koran? Semua itu tidak sebanding dengan uang yang aku dapat dari mencopet.”
“Berapapun aku mendapat uang, tapi yang penting itu halal.”
“Menurutmu aku salah mengambil uang orang-orang bangsat itu?”
Aku tidak menjawab.
“Di negeri yang tanahnya subur ini. Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya. Di negeri yang tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam. Namun, penduduknya sendiri melarat. Negeri yang lama diperbudak negeri lain. Dan hasil tanahnya, orang lain yang mengeruk. Negeri yang selalu kacau ini. Dan orang-orangnya lebih suka berkelahi antara sesama, saling menipu, saling memeras. Tuhan beri kita negeri yang kayaraya, tapi orang-orang itu telah membiarkan hasilnya diambil negeri lain. Negeri dimana tanaman dapat hidup tanpa ditanam. Negeri dengan penuh kekayaan. Tapi, rakyatnya masih sengsara. Rakyatnya masih terlunta-lunta atas kekejaman kaum penguasa. Rakyatnya masih bodoh karena anggaran pendidikan dimakan, anggaran pembangunan dimakan, pajak dimakan sampai pulau pun mereka makan. Apa aku salah mengambil uang mereka-mereka yang kapitalis itu? Apa aku salah mengambil uang mereka-mereka yang hedonis itu? Aku mengambil uang mereka untuk rakyat. Untuk para pedagang-pedagang kaki lima, para pengemis, para pemulung. Dimana para pejabat-pejabat itu ketika kita memegang perut karena kelaparan. Aku mencopet Bukan untuk diriku sendiri.”
Aku hanya menundukkan kepala mendengarkan kata Rio yang panjang lebar menjelaskan bagaimana keadaan Indonesia saat ini. lalu, Rio kembali keluar dan memberikan makanan kepada kelima kawan ku. Dalam hati aku berkata, bagaimana nasib negeriku ini?

Singaraja, 15 November 2016

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar