BAGAS & RIO
(Sepotong Perjalanan Rio)
Oleh:
Kang Aswan
Sampai
saat aku lulus kuliah dengan IP yang sangat memprihatinkan. Aku masih belum
bisa bertemu Rio. Jangankan bertemu, mendapatkan kabar saja tidak. Dimana
sebenarnya tempat ia bersembunyi. Dasar Rio bajingan. Meninggalkanku sendiri
dengan keadaan yang tidak aku inginkan. Awas saja kalau ketemu. Akan aku peluk
dia dengan brutal. Tidak, mungkin aku akan melilitkan dasi ini kelehernya. Atau
memakaikan jas ini untuknya. Karena dialah yang telah membuatku menjadi seorang
yang tahu tentang peran seorang mahasiswa.
Dan
pada suatu hari aku menemukan sebuah surat tergeletak di atas meja. Untukku.
Tak tertera nama di amplop surat itu. Kusobek sampulnya dan aku baca..
Salam dari sahabatmu “Gembel
Intelektual”
Bagaimana kabarmu, Bagas? Pasti kau
dalam keadaan yang baik-baik saja. Sebenarnya aku malas menulis surat untukmu.
Tapi, semenjak aku melihat tulisan-tulisanmu yang lumayan kritis, aku
putuskan untuk mengirimkan surat selamat untukmu.
Sebenarnya bukan hanya surat selamat
atas keberhasilanmu. Tapi, ini juga surat yang berisi tentang perjalananku
selama ini. Pasti kamu bertanya-tanya dimana dan kemana aku pergi? Sudah aku
duga masalah itu.
Kau pasti akan keget kalau kau tahu,
apa yang aku lakukan selama perjalananku. Aku tahu, saat ini kau pasti sedang
duduk di atas kursi empuk yang dapat berputar menghadap komputer, memakai
dasi dan berjas rapi, di atas meja kerjamu ada kopi yang asapnya masih
mengepul, sesekali ada beberapa orang masuk ke ruang kerjamu. Dan mungkin
sesekali juga kau mengumpatku. Aku tahu semua itu karena memang kau berhasil
mendapatkan gelar dari proses pendidikanmu. Secara akademik kau memang aku
akui sebagai insan akademik yang hebat. Tapi, kau hanya bisa beretorika di depan komputer saja. Cobalah
lihat sesekali ke luar. Maka kamu akan tahu bagaimana keadaan negerimu saat
ini.
Sahabatku,
Izinkan aku untuk memamerkan sedikit
pengalaman dari petualanganku selama ini. Aku sudah banyak mengunjungi
tempat-tempat yang sangat fantastis. Jangan mengira bahwa aku liburan,
santai-santai, menikmati sinar mentari, lalu melihat mentari tenggelam.
Bukan, aku tidak cocok dengan semua itu. Perjalananku mungkin tak lebih hebat
dari Alastair Humphreys seorang pria Inggris yang melintasi daratan besar
Afrika, Amerika hingga Eurasia dengan hanya menggunakan sepeda roda dua dan
anggaran 100 juta saja untuk menaklukkan dunia. Perjalananku juga tak sehebat
Richad Hensen yang menggetarkan hati, melakukan perjalanan dengan beralaskan
kursi roda untuk menaklukkan dunia. Dan tak sehebat Thor Heyerdahl yang
berhasil mengarungi dan menaklukkan Samudera Pasifik hanya dengan rakit
buatannya. Namun, dari perjalananku aku dapat melihat wajah asli bangsa ini.
Melihat nasib bangsa ini. Dan melihat semangat pantang menyerah dari generasi-generasi
calon pemimpin bangsa.
Sahabatku,
Aku awali perjalananku dari Pulo Aceh,
kecamatan kepulauan di Aceh Besar. Ada dua pulau berpenghuni di sana yakni
Pulo Breuh dan Pulo Nasi. Kondisi pendidikan di kedua pulau ujung Indonesia
ini sama miris.
Di Pulo Breuh yang berpenghuni sekira
5.000 jiwa, penduduk terbagi dalam 13 desa. Ada lima SD/sederajat di sana,
serta dua SMP, masing-masing di Rinon dan Blang Situngkoh. SMA hanya ada di
Blang Situngkoh. Peran fisik bangunan tak masalah karena semua sekolah sudah
permanen. Namun fasilitas dan ketersediaan guru membuat aktivitas belajar
mengajar di pulau ini jauh dari harapan. Banyak guru enggan tinggal di sana.
Selain itu, anak-anak yang berada di pelosok pulau seperti Meulingge, Rinon,
Lapeng, Ulee Paya sulit menjangkau SMA, karena harus melewati gunung-gunung
dan butuh waktu dua jam jika kondisi jalan bagus. Tak ada angkutan umum di
sana. Akibatnya banyak anak-anak enggan melanjutkan ke SMA.
Kondisi serupa terjadi di Pulo Nasi,
pulau berpenduduk 1.400 jiwa. Pendidikan menengah tingkat atas hanya bisa
ditempuh di SMAN 1 Pulo Aceh atau sering disebut SMA Pulo Nasi. Siswanya tak
sampai 50 orang. Memiliki tiga ruang belajar dari Kelas X hingga XII. Ada
perpustakaan dan laboratarium meski
peralatan maupun buku-bukunya masih sangat terbatas. Juga tersedia akses
internet, perangkat internet diberikan Kementerian Kominfo untuk Kecamatan
Pulo Aceh yang ditempatkan di sekolah ini.
Kalau kau berada disini apakah kau mau
menjadi guru secara Cuma-Cuma, karena masalahnya disini ketersediaan guru
masih terbatas.
Sahabatku,
Dari Aceh aku bergerak ke SDN 007
Binter, Kecamatan Lubis Ogong, Nunukan, Kalimantan Utara yang letaknya
diperbatasan, sunggu memperihatinkan. Baik dari segi fasilitas sarana dan
prasarana belajar mengajar, terutama ruang kelas. Yang lebih miris untuk
tenaga pendidik sampai saat ini tak memiliki satupun buku pelajaran untuk
jalanya proses belajar mengajar. Bahkan, gedung sekolah yang terbatas membuat
pelajar harus bergabung dengan jenjang tingkatan yang lain. Bukan hanya
tenaga pendidik yang tak punya buku, bahkan siswanya pun tak punya buku untuk
belajar di rumah.
Sahabatku,
Aku terus melakukan perjalanan. Hingga
sampai di SMKN 1 di Wae’rii, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Di sana aku
menemukan semangat yang sangat luar biasa. Anak-anak pegunungan itu berangkat
dari rumah sekitar pukul 05.00 WIB. Demikian pagi mereka bergegas karena
harus mencapai lokasi sekolah yang berada cukup jauh di pusat Kota Manggarai.
Selama sekitar 20 menit mereka menyusuri jalanan naik-turun gunung.
Perjalanan itu ditempuh setiap hari meski tanpa bekal makanan atau uangan
saku.
Bukan jarak dan uang saku yang
menghalangi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan. Penghalangnya adalah guru
yang absen mengajar. Setelah berjibaku menempuh perjalanan, anak-anak itu
sering menemukan sekolah kosong tanpa guru. Guru yang semestinya mengajar
kadang tidak datang. Padahal, semangat untuk belajar anak-anak di pedalaman
itu cukup tinggi. Terbukti, 12 lulusan SMA diusulkan mendapatkan beasiswa
Bidik Misi dari Dikti. Sebanyak 11orang lulus dan akhirnya diterima kuliah di
Universitas Nusa Cendana, NTT.
Lain tempat lain pula kasusnya. Di
Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Uatara, kondisi geografis
menjadi penghalang pendidikan. Siswa asal Desa Panas, Kecamatan Lubis, harus
berperahu selama sehari untuk mencapai sekolah yang berada di pusat Kota
Lumbis, yaitu di Desa Mansalong. Di Kecamatan Lumbis, anak biasa dituntut
membantu ayah-ibunya untuk mengangkut sawit di perkebunan di wilayah
perbatasan Indonesia-Malaysia. Jika tinggal di mess untuk sekolah, anak-anak
itu tidak akan bisa membantu oraangtua. Kondisi itu membuat anak-anak
akhirnya jarang masuk sekolah.
Sahabatku,
Jakarta. Jangan kau kira kalau Jakarta
itu indah, makmur dalam segala hal. Jakarta sangat kontras antara kemakmuran
dipadukan dengan kemiskinan menjadi satu, berpadu dan tersaji sebagai potret
kehidupan di berbagai sudut kota. Di jalan-jalan Kota Jakarta, kamu bisa
menyaksikan mobil-mobil mewah seperti Mercy atau Hammer berseliweran dan pada
saat yang sama para pengemis tangan meminta belas kasihan.
Sahabatku,
Itulah sepotong perjalananku.
Perjalanan tentang potret kehidupan. Perjalanan yang sangat mengesankan.
Lain kali aku akan mengirim surat
lagi. Surat yang lebih menarik untuk kau kaji bersama kawan-kawanmu yang
berdasi dan berjas rapi itu.
Sekian,
|
Membaca
surat dari Rio ini membuatku menitikkan air mata. Kopi yang semula mengepul
mengeluarkan asap, sekarang hanya diam gelisah karena tak kunjung terminum.
Dingin. Dasi yang semula rapi bersetrika, kini lusuh basah karena air mata.
Kisah Rio benar-benar membuatku merasa sangat bersalah kepada Tuhan. Rio kau
dimana sekarang?
Singaraja, 16 November 2016
Pukul 01.45 Wita
SUMBER
Mardira, Salman. 2015. ”Potret
Pendidikan di Pelosok Negeri (2)”.
Dalam
news.okezone.com.
www.jpnn.com/read/2016/08/08, “Miris, Pendidikan di Perbatasan Sungguh
Menyedihkan”
www.anakregular.com >
Home > dunia > ragam > Relationship, “Tujuh Petualang Dunia Paling Menginspirasi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar