Rabu, 16 November 2016

Cerpen Bagas & Rio (Sepotong Perjalanan Rio)





BAGAS & RIO
(Sepotong Perjalanan Rio)
Oleh: Kang Aswan
Sampai saat aku lulus kuliah dengan IP yang sangat memprihatinkan. Aku masih belum bisa bertemu Rio. Jangankan bertemu, mendapatkan kabar saja tidak. Dimana sebenarnya tempat ia bersembunyi. Dasar Rio bajingan. Meninggalkanku sendiri dengan keadaan yang tidak aku inginkan. Awas saja kalau ketemu. Akan aku peluk dia dengan brutal. Tidak, mungkin aku akan melilitkan dasi ini kelehernya. Atau memakaikan jas ini untuknya. Karena dialah yang telah membuatku menjadi seorang yang tahu tentang peran seorang mahasiswa.
Dan pada suatu hari aku menemukan sebuah surat tergeletak di atas meja. Untukku. Tak tertera nama di amplop surat itu. Kusobek sampulnya dan aku baca..
Salam dari sahabatmu “Gembel Intelektual”

Bagaimana kabarmu, Bagas? Pasti kau dalam keadaan yang baik-baik saja. Sebenarnya aku malas menulis surat untukmu. Tapi, semenjak aku melihat tulisan-tulisanmu yang lumayan kritis, aku putuskan untuk mengirimkan surat selamat untukmu.
Sebenarnya bukan hanya surat selamat atas keberhasilanmu. Tapi, ini juga surat yang berisi tentang perjalananku selama ini. Pasti kamu bertanya-tanya dimana dan kemana aku pergi? Sudah aku duga masalah itu.
Kau pasti akan keget kalau kau tahu, apa yang aku lakukan selama perjalananku. Aku tahu, saat ini kau pasti sedang duduk di atas kursi empuk yang dapat berputar menghadap komputer, memakai dasi dan berjas rapi, di atas meja kerjamu ada kopi yang asapnya masih mengepul, sesekali ada beberapa orang masuk ke ruang kerjamu. Dan mungkin sesekali juga kau mengumpatku. Aku tahu semua itu karena memang kau berhasil mendapatkan gelar dari proses pendidikanmu. Secara akademik kau memang aku akui sebagai insan akademik yang hebat. Tapi, kau hanya bisa  beretorika di depan komputer saja. Cobalah lihat sesekali ke luar. Maka kamu akan tahu bagaimana keadaan negerimu saat ini.
Sahabatku,
Izinkan aku untuk memamerkan sedikit pengalaman dari petualanganku selama ini. Aku sudah banyak mengunjungi tempat-tempat yang sangat fantastis. Jangan mengira bahwa aku liburan, santai-santai, menikmati sinar mentari, lalu melihat mentari tenggelam. Bukan, aku tidak cocok dengan semua itu. Perjalananku mungkin tak lebih hebat dari Alastair Humphreys seorang pria Inggris yang melintasi daratan besar Afrika, Amerika hingga Eurasia dengan hanya menggunakan sepeda roda dua dan anggaran 100 juta saja untuk menaklukkan dunia. Perjalananku juga tak sehebat Richad Hensen yang menggetarkan hati, melakukan perjalanan dengan beralaskan kursi roda untuk menaklukkan dunia. Dan tak sehebat Thor Heyerdahl yang berhasil mengarungi dan menaklukkan Samudera Pasifik hanya dengan rakit buatannya. Namun, dari perjalananku aku dapat melihat wajah asli bangsa ini. Melihat nasib bangsa ini. Dan melihat semangat pantang menyerah dari generasi-generasi calon pemimpin bangsa.
Sahabatku,
Aku awali perjalananku dari Pulo Aceh, kecamatan kepulauan di Aceh Besar. Ada dua pulau berpenghuni di sana yakni Pulo Breuh dan Pulo Nasi. Kondisi pendidikan di kedua pulau ujung Indonesia ini sama miris.
Di Pulo Breuh yang berpenghuni sekira 5.000 jiwa, penduduk terbagi dalam 13 desa. Ada lima SD/sederajat di sana, serta dua SMP, masing-masing di Rinon dan Blang Situngkoh. SMA hanya ada di Blang Situngkoh. Peran fisik bangunan tak masalah karena semua sekolah sudah permanen. Namun fasilitas dan ketersediaan guru membuat aktivitas belajar mengajar di pulau ini jauh dari harapan. Banyak guru enggan tinggal di sana. Selain itu, anak-anak yang berada di pelosok pulau seperti Meulingge, Rinon, Lapeng, Ulee Paya sulit menjangkau SMA, karena harus melewati gunung-gunung dan butuh waktu dua jam jika kondisi jalan bagus. Tak ada angkutan umum di sana. Akibatnya banyak anak-anak enggan melanjutkan ke SMA.
Kondisi serupa terjadi di Pulo Nasi, pulau berpenduduk 1.400 jiwa. Pendidikan menengah tingkat atas hanya bisa ditempuh di SMAN 1 Pulo Aceh atau sering disebut SMA Pulo Nasi. Siswanya tak sampai 50 orang. Memiliki tiga ruang belajar dari Kelas X hingga XII. Ada perpustakaan dan laboratarium  meski peralatan maupun buku-bukunya masih sangat terbatas. Juga tersedia akses internet, perangkat internet diberikan Kementerian Kominfo untuk Kecamatan Pulo Aceh yang ditempatkan di sekolah ini.
Kalau kau berada disini apakah kau mau menjadi guru secara Cuma-Cuma, karena masalahnya disini ketersediaan guru masih terbatas.
Sahabatku,
Dari Aceh aku bergerak ke SDN 007 Binter, Kecamatan Lubis Ogong, Nunukan, Kalimantan Utara yang letaknya diperbatasan, sunggu memperihatinkan. Baik dari segi fasilitas sarana dan prasarana belajar mengajar, terutama ruang kelas. Yang lebih miris untuk tenaga pendidik sampai saat ini tak memiliki satupun buku pelajaran untuk jalanya proses belajar mengajar. Bahkan, gedung sekolah yang terbatas membuat pelajar harus bergabung dengan jenjang tingkatan yang lain. Bukan hanya tenaga pendidik yang tak punya buku, bahkan siswanya pun tak punya buku untuk belajar di rumah.
Sahabatku,
Aku terus melakukan perjalanan. Hingga sampai di SMKN 1 di Wae’rii, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Di sana aku menemukan semangat yang sangat luar biasa. Anak-anak pegunungan itu berangkat dari rumah sekitar pukul 05.00 WIB. Demikian pagi mereka bergegas karena harus mencapai lokasi sekolah yang berada cukup jauh di pusat Kota Manggarai. Selama sekitar 20 menit mereka menyusuri jalanan naik-turun gunung. Perjalanan itu ditempuh setiap hari meski tanpa bekal makanan atau uangan saku.
Bukan jarak dan uang saku yang menghalangi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan. Penghalangnya adalah guru yang absen mengajar. Setelah berjibaku menempuh perjalanan, anak-anak itu sering menemukan sekolah kosong tanpa guru. Guru yang semestinya mengajar kadang tidak datang. Padahal, semangat untuk belajar anak-anak di pedalaman itu cukup tinggi. Terbukti, 12 lulusan SMA diusulkan mendapatkan beasiswa Bidik Misi dari Dikti. Sebanyak 11orang lulus dan akhirnya diterima kuliah di Universitas Nusa Cendana, NTT.
Lain tempat lain pula kasusnya. Di Kecamatan Lumbis, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Uatara, kondisi geografis menjadi penghalang pendidikan. Siswa asal Desa Panas, Kecamatan Lubis, harus berperahu selama sehari untuk mencapai sekolah yang berada di pusat Kota Lumbis, yaitu di Desa Mansalong. Di Kecamatan Lumbis, anak biasa dituntut membantu ayah-ibunya untuk mengangkut sawit di perkebunan di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Jika tinggal di mess untuk sekolah, anak-anak itu tidak akan bisa membantu oraangtua. Kondisi itu membuat anak-anak akhirnya jarang masuk sekolah.
Sahabatku,
Jakarta. Jangan kau kira kalau Jakarta itu indah, makmur dalam segala hal. Jakarta sangat kontras antara kemakmuran dipadukan dengan kemiskinan menjadi satu, berpadu dan tersaji sebagai potret kehidupan di berbagai sudut kota. Di jalan-jalan Kota Jakarta, kamu bisa menyaksikan mobil-mobil mewah seperti Mercy atau Hammer berseliweran dan pada saat yang sama para pengemis tangan meminta belas kasihan.
Sahabatku,
Itulah sepotong perjalananku. Perjalanan tentang potret kehidupan. Perjalanan yang sangat mengesankan.
Lain kali aku akan mengirim surat lagi. Surat yang lebih menarik untuk kau kaji bersama kawan-kawanmu yang berdasi dan berjas rapi itu.
Sekian,

Membaca surat dari Rio ini membuatku menitikkan air mata. Kopi yang semula mengepul mengeluarkan asap, sekarang hanya diam gelisah karena tak kunjung terminum. Dingin. Dasi yang semula rapi bersetrika, kini lusuh basah karena air mata. Kisah Rio benar-benar membuatku merasa sangat bersalah kepada Tuhan. Rio kau dimana sekarang?

Singaraja, 16 November 2016
Pukul 01.45  Wita

SUMBER
Mardira, Salman. 2015. ”Potret Pendidikan di Pelosok Negeri (2)”.
Dalam news.okezone.com.

www.jpnn.com/read/2016/08/08, “Miris, Pendidikan di Perbatasan Sungguh Menyedihkan”


www.anakregular.com > Home > dunia > ragam > Relationship, “Tujuh Petualang Dunia Paling Menginspirasi”.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar