Rimba
Oleh: Kang Aswan
Aku
tak pernah ragu dengan kekayaan Indonesia. 17.000 pulau dan hampir 110 juta
Hektar hutan tropis, dari Aceh hingga Papua. Semua memberi kehidupan bagi kita.
Hutan yang dilindungi dengan aturan hukum, idealnya tidak akan tersentuh oleh
tangan manusia. Hukum yang mengatur bermanfaat besar bagi hutan di Indonesia. Tapi
kenyataannya, hukum tidak selamanya menjadi sebuah aturan paksa yang harus dipatuhi.
Masih banyak oknum-oknum individualis yang kebal akan hukum.
Sudah
24 tahun aku dilahirkan, dan aku masih bertanya apa arti semua ini bagi mereka
yang terlahir di dalamnya? Orang Rimba.
Jauh
di pedalaman hutan tropis yang masih terjaga akan kealamiannya. Terdapat sebuah
kelompok orang rimba. Dari alam mereka hidup, dari alam mereka belajar, dan
dari alam pula mereka tahu mana yang dianggap benar dan mana yang dianggap
salah. Mereka tak mengenal apa itu membaca dan apa itu menulis. Mereka tidak
tahu apa itu perdagangan dan apa itu bercocok tanam. Mereka hanya tahu berburu
dan berperang antar kelompok.
Hingga
sampai cerita ini aku tulis.
***
Mereka
sudah beberapa kali berpindah. Karena perluasan zonasi taman nasional dan
pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Aku bertemu bocah bernama Rimba. Yang
memperlihatkanku sepucuk surat yang tidak dapat dibacanya. Tak seorang pun di
kelompok itu dapat membaca. Gulungan kertas itu berisi perjanjian pengambilan
kayu diwilayah adat mereka. Dan mereka setuju dengan memberikan cap jempol di
atas surat yang tidak dapat mereka baca. Dengan bayaran beberapa makanan pokok.
Rimba membawa gulungan surat itu kemana-mana. Seolah ingin menunjukkan kepadaku
betapa ia ingin membaca dan menolak transaksi penipuan orang rimba ini.
Sungai-sungai
membelah hutan tropis itu. Sesungguhnya hutan itu dikepung oleh perkebunan
kelapa sawit. Perkebunan milik orang-orang yang hanya mempentingkan diri mereka
sendiri.
Aku
masih ingat dengan perkataan Rimba,
“Guru,
kenapa orang-orang itu selalu menebang pohon kami? Sekali tebang, pohon besar
roboh. Beda dengan kami. Kami menebang pohon sebesar itu saja membutuhkan
berhari-hari baru roboh.” Ucap Rimba sambil menunjuk sebuah pohon sedang di
sebelah kami.
Aku
hanya diam dan tak tahu harus menjawab apa waktu itu. Aku hanya tersenyum dan
kemudian Rimba melanjutkan,
“Kalau
nanti saya sudah pintar. Sudah bisa baca dan tulis. Maka saya akan melarang
mereka untuk menebang pohon di wilayah kami.”
Hanya
itu yang dapat aku lakukan. Ya, mengajar mereka agar dapat membaca dan menulis.
Dengan sekuat tenaga aku mengajarkan anak-anak rimba itu membaca dan menulis.
Kadang aku ingin tertawa, karena mereka begitu cerdas dari apa yang aku kira.
Hanya beberapa minggu mereka sudah hafal abjad. Dan hanya beberapa bulan,
mereka dapat menghitung, membaca dan menulis.
Waktu
terus berlalu. Gerjaji mesin mengaung tanpa ampun. Melibas pohon-pohon yang
pasrah. Orang rimba terus berpindah tempat karena pohon-pohon sudah ditebangi.
Mereka pindah ke hutan yang pohonnya masih lebat. Mereka juga kesusahan dalam
berburu. Kalau biasanya semasa pohon masih lebat, mereka dengan mudah
mendapatkan babi hutan, rusa atau hewan buruan lainnya. Namun, kini mereka
membutuhkan dua sampai tiga hari hanya untuk mendapatkan seekor babi hutan.
Bahkan, tak jarang mereka juga pulang dengan tangan hampa.
Proses
belajar mengajar berjalan dengan baik. Dan anak-anak rimba itu juga cepet
mengerti. Kemudian kepala kelompok orang rimba itu meninggal karena malaria.
Miris, mereka menganggap kalau kematian pemimpin itu dikarenakan kutukan.
Kutukan karena anak-anak mereka sudah bisa membaca dan menulis.
“Lebih
baik Pak Guru pergi saja dari sini. Anak-anak kami tidak butuh membaca dan
menulis. Ilmu yang Pak Guru ajarkan menyebabkan kematian pemimpin kami. Dan
kami juga mendapatkan kutukan.”
Begitu
kata mereka yang mengusirku dengan cara yang sangat sopan. Sekilas aku melihat
Rimba. Anak itu memang yang paling pintar diantara anak-anak yang lain. Dan Rimba
juga adalah calon pemimpin mereka yang baru.
Aku
pergi dari kelompok itu. Ya, benar-benar meninggalkan mereka. Dan meninggalkan
cita-citaku untuk bisa membuat meraka membaca dan menulis.
Embun
dan kabut tipis menyelimuti sudut-sudut hutan tropis itu setiap pagi. Dingin
dan basah. Hari ini aku akan pergi.
“Guru
jangan pergi!”
“Anak-anak.
Pak Guru harus pergi.”
Bocah
itu tidak rela berpisah denganku, sampai ikut berjalan kaki menyusuri hutan
yang lebat, demi memperpanjang waktu bersamaku.
“Saya
masih ingin belajar dengan Pak Guru,” ujarnya di tengah perjalanan.
“Kamu
bisa belajar sendiri, walau tanpa Pak Guru,” jawabku.
“Tapi
tidak seperti belajar dengan Pak Guru.”
“Apa
bedanya?”
Rimba
tak segera menjawab. Ia menunduk, menikmati sepasang kakinya yang berayun
melangkah. Ibu jari kiri dan kanannya bergantian timbul tenggelam ritmis,
membuatnya seperti berada di dunia lain, mengambang, terutama pada jalanan
menurun, ketika langkahnya semakin deras.
Rimba
serasa melayang-layang di sisiku. Ia merasa bentang hutan yang dilaluinya hari
itu jauh lebih elok dibanding kapanpun. Begitu juga dengan ricik sungai yang
membelah hutan itu, yang serupa sabda Tuhan tentang jalan kebijaksanaan.
Hingga
tiba di jalan raya.
“Pulanglah,
Rimba,” kataku. Dadaku nyeri melihat sepasang mata bocah itu.
“Tidak.
Pak Guru pergi dulu, baru saya pulang.”
“Tidak
bisa. Pak Guru harus melepasmu pergi, bukan sebaliknya.”
“Pak
Guru salah. Saya yang harus melepas Pak Guru pergi.”
“Kenapa?
Kau takut terlihat menangis di depan Pak Guru? Kau kira menangis itu keliru?”
Rimba
menatapku, seolah minta persetujuan bahwa bulir-bulir bening dari matanya tak
pernah salah, sekalipun ia laki-laki.
“Menangislah,
Rimba.”
Aku
merasa rahangku nyaris pecah menahan duka lara. Rimba membiarkan air matanya
mengalir menghangati kedua pipinya.
Aku
ingin menjelaskan semuannya, bahwa pada saatnya nanti, Rimba akan diberi
tanggung jawab besar sebagai kepala kelompok.
Aku
merasa sebagian jiwaku mengurai, menjadi semacam partikel mahakecil yang
bertaburan gemerlapan ketika aku harus melangkah ke dalam mobil. Sementara
Rimba, denga sedu sedannya berlari menuju bentangan hutan, jalan ke surganya di
tengah hutan tropis. Aku tak sanggup lagi membayangkan beban bocah itu.
***
Beberapa
tahun kemudian. Aku bersama kawan-kawan peduli pendidikan kembali masuk kedalam
hutan belantara menemui Rimba. Namun sayang, kami kesulitan mencarinya karena
memang mereka hidup dengan cara nomaden.
Kami
terus mencari. Dan akhirnya kami mendengar sayup-sayup orang sedang melakukan
sebuah transaksi. Dengan hati-hati kami mendekat.
“Kepala,
kami ingin melakukan perjanjian dengan Kepala mengenai pembukaan lahan sawit di
area hutan ini.”
“Tunggu
dulu, biar saya baca dulu surat perjanjiannya dulu.”
Orang
setengah baya itu terlihat memberikan selembar kertas kepada Kepala Kelompok.
“Saya
tidak menyetujui perjanjian ini. Karena dalam surat ini tertulis ‘akan menebang
pohon untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit’. Saya menyetujui kalau
kalian menebang pohon tidak sampai perbatasan wilayah yang telah kami buat.”
Kami
semua begitu terkagum-kagum dengan kepala kelompok yang cerdas itu. Ia bisa
membaca dan menyikapi masalah dengan sangat bijak. Tapi, aku sudah sangat yakin
kalau kepala kelompok orang rimba itu ialah “RIMBA”.
CERPEN INI TERISPIRASI DARI FILM "SOKOLA RIMBA"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar