Air
Mata Aisyah
Oleh:
Kang Aswan
“Pokoknya ibu tidak mau tahu. Kau
harus punya anak! Saya ingin sekali menimang cucu!” suara Bu Nur bergema
diseluruh ruang tamu. Muntap menginginkan cucu dari anaknya. Mengalahkan desis
angin yang berhembus.
“Bu. Ibukan tahu, bahwa Aisyah itu
sudah divonis tidak bisa hamil, Bu,” jawab Arman menjelaskan.
“Kalau isterimu itu tidak bisa
hamil, cari isteri lagi!” teriak ibunya dengan urat-urat leher menegang dan
sorot matanya berkilat-kilat.
Aisyah yang waktu itu baru datang mengajar
ngaji di masjid, menangis di luar pintu. Aisyah sangat terpukul mendengar
kata-kata mertuanya itu. Ia berlinang air mata. Tapi ia juga tidak kuasa untuk
menyalahkan perkataan mertuanya. Karena memang begitulah adanya. Tiga bulan
yang lalu, dokter telah menvonis bahwa ia mandul. Dua tahun sudah pernikahannya
dengan Arman, tapi belum memiliki si buah hati. Sedangkan ibu mertuannya
menuntut anaknya agar segera memberikan cucu.
Aisyah mencoba untuk tegar dengan
semuanya. Ia tetap ingin tersenyum dan menganggap bahwa semua itu pasti ada
hikmah di baliknya.
“Assalamu’alaikum,”
ucap Aisyah.
“Wa’alaikumsalam,”
jawab Bu Nur dan Arman barengan.
Aisyah tersenyum kepada ibu
mertuannya dan suaminya. Mertuanya membalas senyum dengan terpaksa. Aisyah
mendekati mereka. Mencium tangan mereka berdua bergantian.
“Sudah lama, Bu?” tanya Aisyah.
“Sudah,” jawabnya judes.
“Saya buatkan minum dulu ya, Bu,”
“Ndak usah! Saya mau balik.”
Langkah Aisyah terhenti.
“Kok buru-buru, Bu?” tanya Arman.
“Di sini juga tidak ada alasan untuk
berlama-lama. Andai saja kamu punya anak, jangankan berlama-lama, tinggal di
sini pun saya mau.”
Blaaarrrr!
Kalimat itu seperti petir yang menyengat jantung Aisyah. Begitu sakit, namun
sekaligus memberi kekuatan. Sekejap itu juga Aisyah berlari. Perasaannya
hancur. Entah bisa untuh kembali atau akan hancur selamanya. Ia sebenarnya
sudah tidak kuat akan tekanan itu. Aisyah sudah tak bisa berpikir apa-apa. Ia
hanya berlari dengan pandangan mengabur karena cucuran air matanya.
“Aisyah!”teriak Arman berusaha
menghentikan Aisyah.
“Ibu sangat keterlaluan,” kata Arman
kesal dengan ibunya serasa mengejar Aisyah.
Arman sangat tahu bahwa kalimat yang
baru saja terucap pasti punya pengaruh besar. Bagaimana jika Aisyah mati
menanggung sedih? Tahulah ia, segalanya sudah berantakan dan sangat rumit.
“Tunggu, Aisyah!”
Aisyah tetap berlari tak
menghiraukan teriakan suaminya hingga ia terjatuh.
“Aisyahhhhh!” teriak Arman ketika
melihat isteri tercintanya terjatuh. Lalu ia berlari dua kali lebih kencang.
“Kau tidak apa-apa, Isteriku?” tanya
Arman sambil mendekap Aisyah erat-erat.
Aisyah hanya sesegukan. Terisak
tangis. Hatinya pilu. Merasa menjadi manusia yang tidak berguna. Arman menyeka
air mata isterinya dengan lembut. Aisyah menatap mata suaminya dengan penuh
rasa cinta dan kasih sayang. Mereka bangkit, lalu kembali ke rumahnya.
*
* * *
Setiap
pagi sehabis Subuh, Aisyah melihat kerumunan ibu dan anak-anak bermain-main,
sambil sesekali bercanda. Hati Aisyah semakin pilu. Setiap kali ia menelisik,
kira-kira apa yang dirasakan ibu dan anak-anaknya itu. Demikian itulah sebuah
pelajaran dan juga cobaan, pikir Aisyah. Kesabaran baginya adalah keputusan
untuk membuang kesedihan. Aisyah yakin mampu melakukannya.
Dengan
sepi seperti kesepian Hawa yang terpisah dengan Adam, Aisyah memandangi ayunan
di depan jendela kamarnya, yang telah mengukirkan romantisme bagi makhluk yang
dipilih oleh takdir. Arman dan Aisyah. Ayunan itu masih tetap disitu, utuh
sejak dua tahun lalu. Seolah mengajari pohon beringin di sampingnya tentang
cinta, romantis, dan garis takdir bahwa pada saatnya setiap makhluk akan
bahagia.
Bagi
Aisyah, keteguhan itu serupa tanjung-tanjung, yang tak pernah ragu menyambut
hempasan ombak laut yang seram.
“Aisyah isteriku, apakah kau benar-benar mencintaiku?” tanya
Arman memeluknya dari belakang.
Aisyah menganggukkan kepala.
“Aku juga sangat mencintaimu. Dan aku
tak ingin kita yang sekarang ini saling mencintai kelak di akhirat menjadi
orang yang saling membenci dan saling memusuhi.”
“Apa maksudmu? Apakah ada dua orang yang di dunia saling mencintai
di akhirat justru saling memusuhi?” tanya Aisyah.
“Jika cinta keduanya tidak berlandaskan ketakwaan kepada Allah
maka keduanya bisa saling bermusuhan kelak di akhirat. Apalagi jika cinta
keduanya justru menyebabkan terjadinya perbuatan maksiat baik kecil maupun
besar. Tentu kelak mereka berdua akan bertengkar di akhirat. Seseorang yang
sangat mencintai kekasihnya sering melakukan apa saja demi kekasihnya. Tak
peduli pada apa pun juga. Terkadang juga tidak peduli pada pertimbangan dosa
atau tidak dosa. Jika yang dilakukan adalah dosa tentu akan menyebabkan
keduanya akan bermusuhan kelak di akhirat. Sebab mereka akan berseteru di
hadapan pengadilan Allah Swt. Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah Swt
dalam surat Az Zuhruf ayat 67: ‘Orang-orang yang akrab saling kasih
mengasihi, pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain,
kecuali orang-orang yang bertakwa.’ Isteriku, aku tak ingin kita yang
sekarang ini saling menyayangi dan saling mencintai kelak di akhirat justru
menjadi musuh dan seteru. Aku ingin kelak di akhirat kita tetap menjadi
sepasang kekasih yang dimuliakan oleh Allah Swt. Aku tak menginginkan yang lain
kecuali itu isteriku.”1
1Kutipan dari kata-kata Fahri
dalam Novel Ayat-ayat Cinta karya
Habiburrahman Saerozi.
Tangis Aisha semakin menjadi-jadi.
“Mas, menikahlah dengan Fatimah.
Aku ikhlas,” kata-kata Aisyah mengagetkan suaminya.
Fatimah adalah seorang gadis yatim
piatu yang tinggal di dekat masjid tempat Aisyah mengajar ngaji. Fatimah hidup
di dalam lingkarang kemiskinan yang ekstrim.
Arman kaget, “Apa maksudmu,
Aisyah?”
“Tidak Aisyah, tidak! Aku tidak
bisa.”
“Menikahlah dengan dia, demi rumah
tangga kita. Kumohon! Jika kau tidak menikah dengan Fatimah maka ibu akan
membencimu, Mas. Tak tahu lagi harus berbuat apa untuk menyelamatkan rumah
tangga ini.” Setetes air bening keluar dari sudut matanya.
“Aisyah, kita serahkan semuannya
kepada Allah.”
“Tapi manusia harus berusaha sekuat
tenaga. Tidak boleh pasrah begitu saja. Menikahlah dengan Fatimah untuk
membahagiakan ibu.”
“Aku tak bisa Aisyah. Aku sangat
mencintaimu. Aku ingin kau yang pertama dan terakhir bagiku.”
“Kalau kau mencintaiku maka kau harus berusaha melakukan yang
terbaik untuk rumah tangga kita. Demi aku dan ibumu!”
“Aku tidak bisa berspekulasi isteriku. Aku
tidak bisa melakukannya. Tidak bisa!”
“Suamiku aku mohon denganmu. Sekarang menikahlah
dengannya. Aku yakin kalau Fatimah itu adalah muslimah yang sangat sholehah.
Kumohon menikahlah demi ibumu. Bukankah dalam Al-Qur’an disebutkan, Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.?”
Arman terdiam tidak bisa bicara apa-apa. Ia tidak pernah
membayangkan akan menghadapi suasana psikologis yang cukup berat seperti ini.
Aisyah mengambil cincin mahar yang Arman berikan di jari manis tangan kanannya.
“Ini jadikan mahar untuk Fatimah,” kata-kata Aisyah begitu tegas tanpa ada
keraguan, setegas perempuan-perempuan Palestina ketika menyuruh suaminya
berangkat ke medan jihad. Dengan sedikit ragu Arman mengambil cincin itu. Ia
tak bisa menahan isak tangis. Aisyah memeluk suaminya, mereka bertangisan.
“Suamiku kau jangan ragu! Kau sama sekali tidak melakukan dosa.
Yakinlah bahwa kau akan melakukan amal shaleh,” bisik Aisyah.
* * * *
Sebulan kemudian...
Setelah menemui Wali Fatimah. Kedua belah pihak menyambut dengan
bahagia. Fatimah pun tidak keberatan harus menjadi isteri yang kedua. Proses
akad nikah dilaksanakan dalam waktu yang sangat cepat, sederhana, sesuai dengan
permintaan Arman. Seorang Penghulu mewakili Paman Fatimah menikahkan
Arman dengan Fatimah dengan mahar sebuah cincin emas. Saksinya adalah dua pihak
keluarga Arman, Fatimah dan juga tetangga sekitar.
* * * *
Aisyah duduk sendirian di bangku. Arman
mendekatinya dan duduk di sampingnya. Aisyah diam saja. Matanya basah.
“Kau menangis Aisha?”
Aisyah diam seribu bahasa seolah tidak
mendengar pertanyaan suaminya.
“Kau menyesal dengan keputusanmu?”
Dia menggelengkan kepala.
“Kenapa kau menangis? Kau cemburu?”
Aisyah mengangguk. Arman memeluknya,
“Maafkan aku Aisyah, semestinya kau tidak menikah denganku sehingga kau
menderita seperti ini.”
“Kau jangan berkata begitu Suamiku.
Menikah denganmu adalah kebahagianku yang tiada duanya. Kau tidak bersalah
apa-apa. Tak ada yang salah denganmu. Kau sudah berusaha melakukan hal yang
menurutmu baik. Rasa cemburu itu wajar. Meskipun aku yang memaksamu menikahi
Fatimah. Tapi rasa cemburuku ketika kau berada dalam kamar dengannya itu datang
begitu saja. Inilah cinta. Tanpa rasa cemburu cinta tiada.”
“Aku takut sebenarnya aku tidak pantas
dicintai siapa-siapa.”
“Tidak Suamiku. Kalau seluruh dunia ini
membencimu aku tetap akan setia mencintaimu.”
“Terima kasih atas segala ketulusanmu
Aisyah. Aku akan berusaha membalas cintamu dengan sebaik-baiknya.”
* * * *
Waktu terus berputar. Hari-hari mereka lewati dengan penuh canda
dan tawa. Aisyah sangat sayang dengan Fatimah. Begitu sebaliknya Fatimah sangat
sayang dengan Asyah. Arman sangat adil memperlakukan kedua isterinya. Tidak ada
yang dinomor satukan antara isteri pertama dan isteri kedua. Dari mulai
kebutuhan lahir dan batin, Arman menakarnya dengan pas. Adil tidak berat
sebelah.
Hingga kabar baik itu tiba. Kabar yang mengatakan bahwa Fatimah
telah mengandung anak Arman. Kabar yang begitu menggembirakan bagi Ibu Nur.
Tapi, begitu menyakitkan bagi Aisyah. Timbul rasa iri dalam diri Aisyah. Namun,
ia mampu membuang jauh-jauh perasaan seperti itu. Ini semua dia sendiri yang
menginginkan. Dan tentu ia juga sudah tahu konsekuensinya.
Tak diragukan lagi. Berita yang menggembirakan itu disambut Bu Nur
dengan sangat gembira. Sekian lama ia menginginkan seorang cucu, akhirnya
keinginannya itu akan segera terkabul.
Sembilan bulan kemudian...
Di rumah sakit setempat. Pukul 13.25 Wib. Fatimah hendak
melahirkan. Dengan gusar para keluarga termasuk Aisyah cemas. Mengingat, jika
Fatimah tetap melahirkan dengan cara alami, maka akan berbahaya untuk
keselamatan Fatimah. Bisa saja Fatimah melahirkan tanpa sesar, akan tetapi itu
sangat sempit kemungkinannya.
Fatimah adalah wanita yang sangat teguh pendirian. Ia tidak mau
melahirkan anaknya secara sesar. Ia percaya akan kuasa Allah. Akhirnya, dokter
memutuskan untuk tidak melakukan sesar dan berusaha sekuat tenaga membantu
persalinan Fatimah dengan cara alami.
Satu jam telah berlalu. Belum ada tanda-tanda jeritan seorang
bayi. Rumah sakit itu seakan-akan ikut merasakan gelisah, sunyi, cemas. Di
ruang tunggu Arman, Aisyah dan Bu Nur tak henti-hentinya memanjatkan doa.
Begitu juga dari pihak keluarga Fatimah. Bahkan budenya Fatimah sampai membaca
Al-Quran untuk keselamatan keponakan dan bayinya.
Sejurus kemudian, jeritan bayi menguing sampai lorong-lorong rumah
sakit. Semua mengucapkan hamdalah.
Sampai dokter keluar dan meberikan informasi. Takdir berkata lain.
“Selamat, anak bapak laki-laki,” kata dokter dengan tersenyum.
“Akan tetapi, kami mohon maaf. Ibu Fatimah, meninggal dunia saat melahirkan.
Beliau kehabisan tenaga,” lanjut dokter dengan menunduk merasa bersalah.
Semua orang yang hadir menangis
sejadi-jadinya. Arman dan Aisyah tak kuasa menahan derasnya lelehan air mata.
Bu Nur juga. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun!
Fatimah menghadap Tuhan dengan
menyungging senyum di bibir. Wajahnya bersih seakan diselimuti cahaya.
Sambil terisak Aisyah melantunkan ayat:
Yaa ayyatuhan nafsul
muthmainnah
irji’ii ilaa Rabbiki
raadhiyatan mardhiyyah
Fadkhulii fii ‘ibaadii
wadkhulii jannatii
(Hai jiwa yang tenang
Kembalilah kamu kepada Tuhanmu
dengan hati puas lagi diridhai
Maka masuklah ke dalam golongan
hamba-hambaKu
Maka masuklah ke dalam
surga-Ku.2)
Seketika itu juga Bu Nur muntap. Ia menganggap bahwa kematian
Fatimah itu penyebabnya adalah Aisyah yang iri kepada Fatimah. Bu Nur menyumpah
serapahi Aisyah. Mengguncang-guncang tubuh Aisyah, melaknat, memarahi Aisyah
dengan brutal.
Hingga Arman tak kuasa melihat isteri tercintanya terzalimi,
“Cukup, Ibu! Ibu perlu tahu bahwa yang menyuruhku untuk menikah
dengan Fatimah ialah Aisyah.”
Mendengar perkataan anaknya itu, Bu Nur terdiam membisu. Menatap
Aisyah dalam-dalam.
“Kalau tidak karena keikhlasan Aisyah, maka tidak ada terbesit
dalam pikiranku untuk menikah lagi. Asiyah memohon kepadaku agar aku menikah
dengan Fatimah untuk membahagiakanmu, Ibu.”
Bu Nur semakin merasa bersalah. Ia menghampiri Aisyah yang
menangis terisak. Ia kembali menatap.
2 QS. Al-Fajr: 27-30
“Apakah
benar apa yang dikatakan anakku itu?” tanya Bu Nur masih tidak percaya.
Aisyah hanya bisa menangis. Aisyah
mengangguk. Lalu, Bu Nur memeluk Aisyah erat sekali. Seperti Hawa melepas
kerinduannya kepada Adam di Jabal Rahma. Bu Nur menangis. Kagum. Takjub dengan
keikhlasan menantunya itu. Air matanya meleleh. Keluar mengakui semua
kesalahannya. Ia minta maaf dengan Aisyah dan Aisyah tanpa ragu memaafkan
mertuanya.
* * * *
Walaupun itu bukan anak kandungnya,
Aisyah sangat sayang dengan anak itu. Ia rawat dengan sepenuh hati. Ia cintai
dengan jiwa dan raga. Ia sangat bahagia. Walaupun anak itu tidak lahir dari
rahimnya, akan tetapi sekarang anak itu sudah sepenuhnya menjadi anaknya. Air
mata yang begitu banyak keluar karena cobaan yang Aisyah alami, keikhlasan yang
begitu tulus, akhirnya membuahkan hasil berupa kebahagiaan yang tiada tara.
Sungguh, Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sangat
mudah bagi-Nya untuk menghapus duka dan kesedihan hamba-Nya.
Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada
kemudahan.
Sesungguhnya bersama kesulitan ada
kemudahan.3
Selesai, Sabtu 29 Oktober 2016
Pukul 00: 35 dini hari.
Banjar Tegal, Singaraja
3 QS. Asy-Syarh 94:5-6