Minggu, 18 Desember 2016

Cerpen: Lahirnya Cahaya Dari Timur






Menjelang subuh, aku terbangun. aku tersentak kaget. Ya Allah ampunilah hamba yang hina ini, ucapku dalam hati. Lalu aku bangkit, wudhu, dan sholat subuh. Sepertinya Wahyudi, Nur, Ahmad, Rio dan Ali subuh berjama’ah lalu mereka membaca Al-Qur’an. Selesai sholat aku membaur dengan mereka.

“Kenapa kalian tidak membangunkanku untuk sholat berjama’ah?” tanyaku.
“Maaf Mas, kami melihat Mas Amir sangat kelelahan. Jadi..” belum selesai Nur bicara, ada seorang gadis berdiri di luar gerbang. Gadis yang tak asing. Dia tersenyum, Wahyudi menyambut, “e Mbak Alisha, mari Mbak masuk!” seraya membukakan pintu gerbang. Alisha tersenyum, “terimakasih.”

“Kak Amir!”

Aku tersenyum dan mengangguk. Ku tatap mata yang teduh itu. Rasa iba aku rasakan. Seandainya Alisha itu seiman denganku, maka tanpa ragu aku untuk mengiyakan perasaan itu. Pastinya senyuman itu hanyalah pura-pura saja. Hati dan pikirannya pasti sedang remuk bagaikan dirajam. Dia memberikan sebuah bungkusan padaku.

“Ini Kak, tadi orangtua aku kesini. Ini oleh-oleh dari Negara,” ujar Alisha seraya menyodorkan dua bungkus Ayam Betutu. Betutu merupakan makanan khas Bali yang paling terkenal yang terbuat dari ayam atau bebek yang utuh, yang semua usus (organ dalam) dikeluarkan. Perut ayam kosong kemudian diisi bumbu, kemudian dipanggang dalam api sekam.

“Kak Amir, ayo kita sambung lagi pembicaraan kita kemarin, kali ini Alisha mau nanya tentang Nabi Muhammad. Siapa si Nabi Muhammad itu?” ucapnya dengan penuh semangat.

Aku takjub dengan Alisha. Disaat anak muda yang jelas-jelas muslim tidak peduli siapa itu Nabi Muhammad, kapan beliau lahir, dan kisah hidup beliau. Namun, Alisha lain dari yang lain. Ia gadis Hindustan tapi fanatik sekali dengan Islam. Benar-benar gadis yang misterius.
           
Aku tersenyum, “baiklah, aku akan mencoba sedikit mengisahkan kisah hidup Nabi Muhammad,” aku memulai, “pada waktu itu umat manusia dalam kegelapan dan kehilangan pegangan hidupnya. Lahirlah seorang bayi dari keluarga sederhana di Kota Makkah. Seorang bayi yang kelak membawa perubahan besar bagi sejarah peradaban dunia. Bayi itu yatim, bapaknya yang bernama Abdullah meninggal kurang lebih 7 bulan sebelum beliau lahir. Kehadiran bayi itu disambut oleh kakeknya Abdul Muhthalib dengan penuh kasih sayang dan kemudian bayi itu dibawanya ke kaki Ka’bah. Di tempat suci itu lah bayi itu diberi nama Muhammad suatu nama yang belum pernah ada sebelumnya. Menurut penanggalan para ahli, kelahiran Nabi Muhammad itu pada tanggal 12 Rabiulawal Tahun Gajah atau tanggal 20 April tahun 571 M,” jelasku dengan menyeka air mata. Sebenarnya aku tak sanggup menceritakan kelahiran Rasulullah.

“Kasihan sekali Muhammad kecil. Kenapa disebut tahun Gajah? lalu bagaimana ibunya berjuang mengurusnya tanpa seorang ayah?” tanya Alisha terharu.

Aku melanjutkan, “pada tahun Nabi lahir, memang orang Arab menyebutnya dengan Tahun Gajah. Karena pada tahun itu, kota Makkah diserang oleh suatu pasukan tentara orang Nasrani atau Kristen yang kuat di bawah pimpinan Abrahah, gubernur dari Kerajaan Nasrani Abessinia, yang memerintah di Yaman, dan mereka bermaksud menghancurkan Ka’bah. Pada waktu itu Abrahah berkendaraan Gajah. Namun, Allah melindungi Ka’bah dengan mengirimkan burung Ababil yang membawa batu-batu dari neraka dan dijatuhkan ke pasukan Abrahah. Tahun Gajah itu sebutan karena pada saat perang pasukan Abrahah menunggangi Gajah,” jelasku.
           
“Kesedihan Nabi bukan hanya sampai pada Ayahnya meninggal,” tambahku.
“Lalu?” tanya Alisha penasaran.
           
Aku menarik nafas. Mengatur emosi supaya air mataku tak mengalir, “sesudah berusia lima tahun, Muhammad diantarkannya ke Makkah setelah dititipkan kepada wanita badiyah (dusun padang pasir). Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab terutama pada orang-orang yang tergolong bangsawan. Menyusukan dan menitipakan bayi-bayi mereka. Agar dapat menghirup hawa yang bersih, terhindar dari penyakit-penyaikit kota dan supaya bayi-bayi itu dapat berbicara dengan bahasa yang murni dan fasih. Demikian halnya Nabi Muhammad. Beliau diserahkan oleh ibunya kepada seorang perempuan yang baik. Halimah Sa’diyah dari Bani Sa’ad kabilah Hawazin. Di perkampungan Bani Sa’ad inilah Nabi Muhammad diasuh dan dibesarkan sampai berusia lima tahun. Sesudah lima tahun, Muhammad diantarkannya kembali ke Makkah kepada ibundanya. Ibunda Siti Aminah. Setahun kemudian, kira-kira beliau berusia enam tahun, beliau dibawa ibunya ke Madinah, bersama-sama dengan Ummu Aiman, sahaya peninggalan ayahnya,”

Alisha memotong ceritaku, “sahaya itu apa?”
Aku menjawab, “sahaya itu pembantu atau orang Arab menyebutnya dengan budak.”
Ia menganggukkan kepala, “apa yang terjadi ketika Muhammad kecil ke Madinah?”
           
Anak-anak menghampiri kami yang sedang berbincang-bincang. Aku menggeser posisi dukukku. Begitu juga dengan Alisha.
           
Lalu aku meneruskan cerita, “maksud Nabi Muhammad dibawa ke Madinah tak lain adalah untuk memperkenalkan ia kepada keluarga Neneknya Bani Najjar dan untuk menziarahi makam Ayahnya. Mereka tinggal di Madinah kira-kira satu bulan. Dalam perjalanan mereka pulang..,” belum aku menerusan, air mataku kembali mengalir.
Nur bertanya, “kenapa Mas?” aku menyeka air mata. Menarik nafas dalam-dalam mengatur emosi, “dalam perjalanan mereka pulang, pada suatu tempat, Abwa’ namanya, tiba-tiba Siti Aminah jatuh sakit,” Alisha menyahut, “Ibunya Muhammad?” aku meneruskan, “ya, Ibunda Siti Aminah jatuh sakit sehingga meninggal dan dimakamkan di situ juga,” aku terisak tangis. Anak sekecil itu sudah ditinggal ayah dan ibundanya.
           
Alisha juga meneteskan air mata, “sungguh cobaan yang besar bagi seorang hamba yang dikasihi.”
“Apa itu Abwa’ Mas?” tanya Wahyudi.
“Abwa’ ialah nama sebuah desa yang terletak antara Madinah dan Juhfah, kira-kira sejauh 23 mil di sebelah Selatan Kota Madinah.”
“Lalu setelah ibundanya meninggal, Muhammad hidup dengan siapa?” tanya Alisha.
“Allah memiliki sekenario yang tidak manusia ketahui. Abdul Muthalib. Beliau adalah kakek Muhammad. Kasih sayang kakeknya telah membuat Muhammad Saw dapat hiburan dan dapat melupakan kemalangan nasib karena kematian ibunya. Akan tetapi..” air mata kembali mengalir. Membasahi pipiku. Semua paham. Aku paling tidak bisa menceritakan kisa Rasul dengan segala musibah yang menimpanya. Kisah yang penuh suka duka.
“Akan tetapi apa Kak?” desak Alisha.
“Teruskan Nur! aku tidak bisa,” bukan aku cengeng. Namun, siapa yang tidak meneteskan air mata. Ketika  melihat anak kecil yang lahir dalam keadaan yatim. Belum sempat dewasa sudah piatu. Rasa cinta yang membuatku menangis ketika bercerita akan kisah Beliau.

Nur melanjutkan cerita, “dua tahun Muhammad merasa terhibur di bawah asuhan kakeknya, orangtua yang baik hati itu meninggal pula. Dalam usia delapan puluh tahun. Muhammad Saw ketika itu baru berusia delapan tahun. Lalu, sesuai dengan wasiat Abdul Muthalib, maka Nabi Muhammad Saw diasuh oleh paman beliau Abu Thalib bin Abdul Muthalib.”

Alisha memejamkan mata. Mengontrol emosi menahan air matanya. Begitu juga denganku, “sepertinya tidaklah mungkin menyajikan Kisah Nabi Muhammad secara lengkap dengan hanya satu hari atau bahkan hanya beberapa jam,” ucap Alisha.
“Ya, benar sekali. Kalau memang kamu ingin mengetahui hikayat Nabi Muhammad, kamu bisa baca buku Hayat Muhammad oleh Husain Haikal. Atau buku biografi Muhammad yang lain,” saranku.
Ia mengangguk, “bagaimana akhir dari perjalanan Muhammad?”
           
Mataku terperajat. Kaget. Aku paham dengan kata akhir perjalanan. Pasti yang dimaksud Alisha ialah wafatnya Rasul.
           
“Bagaimana Kak? Dan apa yang beliau wariskan kepada umatnya yang begitu banyak?” ia semakin mendesakku untuk bercerita. Bercerita tentang wafatnya Rasul adalah hal yang sangat menyakitkan. Aku yakin seluruh umat Islam pada waktu itu tidak menginginkan beliau wafat.
“Baiklah, akan aku ceritakan. Pada tanggal 2 Zulqaedah tahun 10 H, Rasulullah meninggalkan Madinah menuju Makkah dengan 100.000 orang untuk mengerjakan ibadah haji. Setelah selesai mengerjakan ibadah haji Nabi kembali ke Madinah. Nabi menderita demam beberapa hari, sehingga tak dapat mengimami shalat jama’ah, maka disuruhlah Abu Bakar menggantikan Beliau menjadi imam. Pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriyah bertepatan dengan 9 Juni 632 Masehi. Nabi kembali ke hadirat Allah dalam usia 63 tahun,” ceritaku tersendu-sendu. Dadaku merasa sakit. Air mata deras mengalir. Inna lillahi wainna ilaihi raaji’un, ucapku dalam hati.
“Lalu bagaimana dengan umatnya?”
“Dua puluh tiga tahun lamanya, sejak beliau diangkat menjadi Rasul Allah, berjuang tak mengenal lelah dan derita untuk menegakkan agama Islam. Nabi Muhammad telah wafat, telah meninggalkan umatnya, tak ada harta benda yang berarti yang akan diwariskan kepada anak dan isterinya, tetapi beliau meninggalkan dua buah pusaka yang diwariskannya kepada seluruh umatnya. Beliau bersabda:
“Kutinggalkan untuk kamu dua perkara (pusaka), taklah kamu akan tersesat selama-lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah RasulNya.” Begitulah kira-kira wasiat beliau.”
“Apa itu Kitabullah dan Sunnah RasulNya?”
Kitabullah dan Sunnah RasulNya adalah pegangan umat Islam dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Sulit menjelaskan karena keduanya itu adalah pusaka yang paling berharga. Namun, secara gampang Kitabullah itu kitab Allah. Al-Qur’an. Sedang Sunnah itu ialah segala ucapan, perbuatan dan tindakan Rasul. Begitu kira-kira secara gampang dipahami.”
           
Dia menatapku dengan mata yang teduh. Ada harapan besar disana. Namun, tatapannya seperti menghilang ketika ada suara lembut memanggilku.

“Mas Amir, Mas Amir. Bangun Mas!”

Aku terbangun... dan ternyata semuanya hanyalah mimpi.
           


Cerpen : Qafa Bagimana Kabarmu?





Qafa Bagaimana Kabarmu?

Pagi ini aku kedinginan, pagi di ujung musim hujan, di pangkal musim kemarau yang terlambat. Memang akhir-akhir ini Singaraja selalu diguyur hujan. Ibu-ibu kadang marah-marah karena jemuran mereka tak kunjung kering.

Pohon-pohon kamboja di pinggir jalan kontrakan sepertinya tak tahan memendam kerinduan buanganya. Hujan yang terus menerus turun, tak memberikan kesempatan pohon-pohon kamboja untuk mempertahankan bunga eloknya. Hingga setelah rentetan hujan mereda. Bunga kamboja yang masih bajang tergeletak gelisah di bawah pohon. Pasrah dan cepat layu.

Kisah pohon kamboja dengan bunganya seperti kisahku denganmu.

Demikian jugalah kau di sana? Orang-orang yang tak begitu gemuk sepertiku dan sepertimu tentu tak tahan dengan hawa dingin yang menyelusup sampai tulang-tulang ini. lemak di tubuhku dan tubuhmu tak begitu banyak untuk digunakan sebagai zat pembakar yang menghangatkan badan. Menggigilkan kau di sana? Pakailah jaket atau selimut. Atau paling tidak lingkarkanlah syal di lehermu. Jangan biarkan angin dingin menyakiti tubuhmu. Nanti kamu sakit.

Di tengah kepungan udara dingin ini, di kamar sepi ini, aku bertanya kepadamu, apa yang kau rasakan? Tidakkah kau pun meresakan kenikmatan rahasia yang tengah kurasakan? Walau satu hari berjalan dalam tempo dua puluh empat jam waktu dunia, namun kurasakan sepertinya hari-hari berjalan begitu cepat dalam waktu cintaku. Segela peristiwa terasa legit bagai nira yang baru turun dari pohon tal. Jiwaku seperti melayang-layang ke sana kemari, dari bunga ke bunga menghisap sari, dari daun ke daun, dari kota ke kota, meluncur ke pelepah-pelepah mega, mandi uap di sana, memasuki istana yang dinding-dindingnya adalah awan yang bernyanyi meriah, mengarak-arak hidup untuk dijatuhkan ke tanah.

Mestinya kau lebih merasakan daripada yang kurasakan sebab ini terjadi karena kesunyianku menapaki jejakmu dari waktu ke waktu. Tentu yang dicari mempunyai lebih daripada yang mencari. Mutiara akan lebih berharga dan berkilauan ketika ada yang memburu, diriku ini. Walau kau tak tahu ada yang mencarimu, namun alangkah mustahilnya bagi jiwa abadi yang tak mampu menangkap rindu hanya karena mata tak saling bertatap dan mulut tak saling bercakap. Tidakkah segala yang pernah bersatu di dalam cinta akan selalu terhubung selamanya? Tidakkah sepasang bintang, camar, atau apa saja yang terbetik dalam kenangan tentang dua jiwa yang beriringan dalam diam, adalah kita, sayang? Kita pernah hadir di sana, juga di sini, di segala ruang yang sempat dijelajah akal. Berbusana raga inilah yang membuat kita terlupa tentang memori-memori kemesraan di taman tanpa aroma dan warna. Mungkin agar pertemuanku denganmu semakin mendebarkan karena saat kupandang matamu, pikiranku yang belum sepenuhnya takluk kepada Ruh, yang tak terdiam di ruang dan waktu, menerka, 

“Kaukah itu yang mengetuk-ngetuk pintu heningku di malam-malam durja riuh-rendah?”

Betapa cinta telah mengusik rahasia sang kekasih, namun ia tetap menjadi rahasia  di dalam dirinya sendiri.

Qafa bagaimana kabarmu?

Adaptasi dari sebuah tulisan status facebook Penerbit Javanica

Cerpen : MUALAF






MUALAF

Sabari adalah seorang mualaf. Ia masuk Islam karena hatinya merasa tentram ketika mendengar suara azan dan orang membaca Al-Quran. Ia rajin sekali belajar tentang Islam. Ia juga mulai belajar membaca Al-Quran. Hingga suatu ketika hati Sabari gelisah. Ya, hati Sabari gelisah karena banyaknya tawaran teman-temannya untuk masuk kedalam organisasi Islam. Aliran-aliran dalam Islam. Seorang temannya datang kerumahnya,
“Assalamu’alaikum,” ucap temannya.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Sabari sambil menjabat tangan temannya.
Temannya yang baru dikenalnya sejak satu minggu di masjid itu, berpenampilan seperti orang Arab. Jenggot panjang, berjubah dan bersorban.
“Silahkan duduk,” Sabari mempersilahkan.
Duduklah temannya itu.
“Ada keperluan apa, Saudaraku?” tanya Sabari.
“Begini Ri. Kau kan sekarang sudah masuk Islam nih, jadi orang Islam itu harus seperti ini.” jawab temannya sambil memperlihatkan penampilannya yang persis orang Arab tapi bermuka lokal.
Sabari kaget. Dalam hati ia bertanya-tanya. Apakah benar, orang Islam itu harus seperti ini? kata hatinya. Lalu ia hanya tersenyum.
“Lagi, kau harus memanjangkan jenggot, makan pakai tiga jari, istrimu harus bercadar itu sunnah. Dan, kamu tidak boleh merayakan maulid nabi, tidak boleh baca shalawat, tidak boleh ziarah kubur, tidak boleh rokok, tidak boleh memakai atribut agama lain.”
Sabari hanya bengong. Hatinya berkencambuk. Ia merasa bahwa Islam tidak seperti apa yang ia pikirkan. Ada rasa sedikit kecewa dengan Islam waktu itu. tapi, ia tepis jauh-jauh perasaan itu. Ia tetap yakin kalau Islam itu Rahmatan Lil ‘alamin.
Sabari bingung waktu itu. Bukan hanya satu yang menawarkan Sabari menjadi Islam yang begini dan Islam yang begitu. Islam moderat, Islam Liberal, Islam Garis Lurus dan Islam Garis Bengkok, Islam Putihan dan Islam Abangan, Islam Modern dan Islam Tradisional, Islam Arab, Islam Indonesia dan Islam-islam yang lain. Sabari benar-benar dilema oleh tawaran-tawaran itu. Ia merasa bagaikan sebuah perahu kecil di tengah samudera yang hanya pasrah terombang-ambing dipermainkan angin. Ia juga merasa seperti buih kotor yang mengambang di lautan, kotor dan gampang pecah. Akhirnya, ia jarang lagi pergi ke masjid untuk sholat berjama’ah atau sekedar membaca sholawat bareng.
***
Hingga beberapa bulan telah berlalu...
Sabari berjama’ah sholat subuh disebuah masjid di luar kotanya. Ia merasa ada keanehan lagi. Kali ini ia sholat subuh tanpa qunut. Ia kaget. Kok gak usah qunut? Katanya dalam diam.
Kebingungannya masalah sholat tanpa qunut belum juga terjawab, kali ini ia sudah dibuat bingung lagi dengan sholat jum’at yang hanya azan satu kali. Ia kembali bertanya dalam hantinya, kok cuma satu kali azannya, biasanya dua kali? Ia hanya bisa menggaruk-garuk kepala dan hanya bisa mengikuti dengan kebingungan.
Sabari lelah dan duduk di atas trotoar kecil dekat warung kopi yang dijaga oleh bapak-bapak paruh baya. Sabari berinisiatif untuk meminum secangkir kopi agar segala kegelisahannya dapat sedikit reda.
“Kopi Pak satu,” Sabari memesan.
“Pahit apa manis, Mas?” tanya bapak penjaga warung.
“Tidak manis tidak pahit, Pak.”
Bapak itu tidak menjawab. Lalu ia keluar dengan secangkir kopi yang sesuai pesanan. Asap mengepul dan bau harum menyeruak masuk dalam hidung. Menjadi suasana terapi yang begitu menenangkan. Bagi penikmatnya kopi adalah candu.
“Mongga, Mas.”
Sabari tersenyum dan menerima secangkir kopi itu.
“Sepertinya Mas e lagi gelisah, ada apa, Mas?”
“Iya Pak. Saya lagi sedikit kebingungan.”
“Bingung kenapa to?”
“Saya ini seorang mualaf, Pak. Saya belum begitu tahu seluk beluk tentang Islam. Saya kira Islam itu hanya satu, ternyata Islam itu ada banyak sekali. Dan saya bingung akan memilih yang mana.”
Bapak penjaga warung kopi itu menggeleng-gelengkan kepala.
“Minum dulu kopinya, biar agak sedikit tenang.”
“Iya, Pak,” ucap Sabari sambil mulai menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap itu. dengan sekali teguk, Sabari merasa lebih tenang dari sebelumnya.
Ihdinash shiraathal mustaqiim.”
Sabari menaikkan kedua alisnya, “Ada apa dalam ayat ke-enam Al-Fatihah itu, Pak?” tanyanya.
“Artinya, Tunjukilah kami ke jalan yang lurus.”
“Maksudnya?”
“Dari ayat ini kita bisa berspektif, bahwa sesungguhnya manusia di bumi ini masih dalam keadaan yang tersesat. Dalam sholat ayat ini selalu kita ucapkan. Di dunia ini kita memang sedang mencari, mencari sebuah kebenaran. Dan sampai mati pun kebenaran itu tidak akan kita dapati.”
“Coba bapak jelaskan pelan-pelan, saya sulit untuk mengerti.”
Bapak itu tersenyum, “Mas, buat apa sampeyan gelisah dengan banyakan aliran-aliran itu. Islam itu hanya ada satu. Islam itu ya Islam. Tidak ada Islam sunni, syiah, wahabi, ahlussunnah, apalagi Islam Nahdlatul Ulama atau Islam Muhammadiyah. Islam itu ya satu. Sedangkan mereka semua itu hanyalah sebagai faham atau madzhab atau aliran atau golongan. Yang semuanya mengklaim bahwa mereka semua adalah Ahlus sunnah wal jama’ah (Aswaja) yang dijanjikan oleh Rosulullah golongan yang masuk surga diantara 71 golongan yang lain.”
Sabari mulai mengerti.
“Pak, saya mau tanya, apakah betul orang Islam itu, harus memakai jubah, sorban, bercadar bagi perempuan dan berjenggot bagi yang laki-laki. Celana cingkrang, makan tiga jari, tidak boleh maulid nabi, tidak boleh ziarah kubur, tidak boleh sholawatn, tidak boleh pujian ketika sehabis azan, tidak boleh membaca doa bagi si mayit (tahlilan, yasinan), tidak boleh bergaul dengan non muslim, yang tidak sepaham adalah kafir? Apakah benar Islam seperti itu, Pak?”
Bapak itu tertawa terpingkal-pingkal mendengar perkataan Sabari.
“Kok bapak malah ketawa?”
“Lucu kok. Mas, kalau memang Islam harus seperti itu, ayo kita telanjang sama-sama. Pakaiann saya dan pakaian mas itu bukan pakaian Islam.” Kata bapak itu sambil menahan tawa. Sabari juga tertawa.
“Yang harus mas ketahui. Semua yang mas katakan tadi, sebenarnya bukanlah syari’at Islam. Akan tetapi, itu semua adalah budaya Arab. Cadar, jubah, sorban, berjenggot, dan sebagainya itu adalah budaya Arab. Bukan syari’at Islam.”
“Kok gitu, Pak?”
“Kita pakai logika saja ya, karena bapak juga bukan seorang kiyai atau ulama, bapak hanya seorang penjaga warung kopi yang tak tahu apa-apa. Begini, kita mulai bermain logika dari pakaian, Abu Jahal pun dulu juga memakai sorban, berjenggot panjang memakai jubah. Orang-orang Kafir Quraish pun semua memakai pakaian seperti itu. Memang itu budaya mereka. Seandainya Rasul itu dilahirkan di Jawa, pasti beliau juga akan memakai belangkon, memakai baju onto kusumo.”
“Bapak bisa saja.”
“Apa-apa kok salah si, Mas. Ateis dimusuhin karena tidak bertuhan. Bertuhan dimusuhin karena tuhannya beda. Tuhannya sama dimusuhin karena nabinya beda. Nabinya sama dimusuhin karena alirannya beda. Alirannya sama dimusuhin karena pendapatnya beda. Pertanyaanya, Sampeyan wes ngopi?”
Mereka tertawa. Dan Sabari pun mengerti. Kalau Islam itu satu dan Islam itu Rahmatan Lil ‘Alamin.
“Ya sudah, Mas. Bapak mau tutup dulu, sudah mau azan maghrib. Bapak mau pulang.”
“Ya sudah, Pak. Berapa kopinya, Pak?”
“Ndak usah. Simpan saja.”
Siapa bapak itu? Entahlah. Sabari merasa kalau dirinya baru saja bangun dari tidurnya. Ia hanya bermimpi. Semua itu hanya mimpi Sabari.