Keringat dan Air Mata Seorang Ibu
Oleh : Kang Aswan
Suatu pagi di Kota Wali, Tuban, Jawa Timur, 21 April 1997.
“Baik, langsung saja kita dengarkan
kisah yang akan disampaikan oleh yang terhormat Saudara Sabari. S.Pd, M.Pd. Beliau adalah
motifator, sastrawan dan juga sekaligus penulis buku, seorang pakar motifator
dan juga sastra, yang tak lain adalah juga alumni universitas kita. Kepada Saudara
Sabari. S.Pd, M.Pd dipersilahkan!”
Suara moderator acara seminar Peringatan Hari Kartini itu
menggema di seluruh ruangan auditorium Universitas Ronggolawe yang terletak di Bumi
Wali, Tuban, Jawa Timur. Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya
yang akan disampaikan oleh motifator muda itu.
Sejurus kemudian, seorang laki-laki
berambut pendek melangkah menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya
memancarkan wibawa. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi
yang tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung
shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa ia tes mikrofon terlebih
dahulu, lalu...
“Bismillah, Assalamu’alaikum wa Rahmatullah wa
Barakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua. Sebelumnya
saya mohon ma'af , saya tidak bisa memberi motivasi lazimnya para motivator,
karena jika dibilang motivator saya juga bukan motivator sebenarnya. Namun pada
kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita tentang perempuan yang sangat
hebat. Seorang ibu yang dengan berdarah-darah memiliki cita-cita menyekolahkan
anaknya dengan setinggi-tingginya. Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini
bukan fiktif belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang
tak ternilai harganya.
Harapan saya, kawan-kawan mahasiswa
dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil hikmah dan pelajaran
yang dikandungnya. Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang
keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta terhadap ibu kita, serta menghadirkan
kasih sayang kepada ibu bagi hati yang menangkapnya.
Dua puluh tahun yang lalu... Ada seorang
pemuda yang hidup di tengah keluarga dengan tingkat kemiskinan yang sangat
ekstrim. Ayahnya seorang buruh tani. Ayahnya lebih dulu meninggalkan dunia,
ketika ia baru berumur lima tahun. Ketika ayahnya telah tiada, cahaya dalam
keluarganya sempat meredup. Ia sangat merasa kehilangan. Namun, ibunya tetap
mencontohkan ketegaran layaknya seorang pahlawan. Ibunya seorang buruh tani
juga. Ia anak sulung, adiknya satu, perempuan. Sebagai anak sulung dan satu-satunya
lelaki dalam keluarganya, ia bekerja keras membanting tulang walaupun usianaya
masih sangat kecil. Ia hidup dalam suasana yang sangat memprihatinkan.
Perjalanan hidup sepenuhnya hanya mengandalkan musim. Ya, Ia dan Ibunya hanya
bekerja ketika musim padi dan jagung tiba. Kampung yang ia tinggali masih mengenal
pergaulan dengan kalangan aristokrat yang sepadan. Ia dan keluarganya merasa
terdiskriminasi dengan strata sosial itu. Ia tidak merasakan benar apa itu
hidup bahagia. Namun ia tidak peduli.
Karena ia menganggap bahwa hidup itu adalah sebuah perjuangan.
Hingga suatu ketika. Dalam suasana sore
yang gerimis. Seorang ibu guru datang kerumahnya dan mengubah jalan cerita
hidupnya. Ibu guru itu berkata, “Bu, anak ibu sudah berumur enam tahun, apakah
ibu tidak ingin menyekolahkannya?” dengan tersenyum ibunya menjawab tanpa
persetujuannya, “Itu yang saya cita-citakan, ibu guru. Walaupun saya ini
seseorang yang tidak berpendidikan, tapi saya ingin mempunyai anak-anak yang
memiliki pendidikan tinggi.” Ibu guru yang belakangan ia ketahui namanya Bu
Zulaikah itu memberikannya dua pasang seragam sekolah, alat tulis, tas dan juga
sepasang sepatu.
Pagi harinya. Ia untuk pertama kali
masuk sekolah. Ia sekolah di MI Islamiyah. Satu-satunya sekolah yang paling
murah dikampungnya. Saat itulah perjuang ibunya dimulai. Pagi-pagi sekali ibunya
sudah terkesiap. Menyiapkan sarapan, seragam, buku, dan memandikan adiknya yang
baru berumur tiga tahun. Setelah itu, ibunya mengantarkannya ke sekolah. Jalan
kaki menempuh jarak kurang lebih 3 km dengan menggendong adiknya.
Mereka bertiga terseok-seok menjemput
fajar. Kaki ibunya berdarah-darah karena tidak memakai sandal. Ibunya jalan
tertatih-tatih mengejarnya yang dengan lincah lari terpontang-panting kekanan
dan kekiri. Sepatu pemberian ibu guru itu terlalu besar untuk ukuran kaki bocah
berumur enam tahun itu. Satu dua butir keringat jatuh dan masuk kedalam mata
ibunya. Sesekali ibunya berhenti membenarkan sayut gendongan adiknya. Hari-hari seperti itu. Terus dan terus
begitu.
Semenjak ia masuk sekolah. Ibunya
beralih profesi dari buruh tani menjadi seorang penjual tape. Jika hari jum’at
ia diajak ibunya ikut serta. Berjalan berkilo-kilo. Jika telah dekat dengan
rumah penduduk ibunya akan berteriak, ‘Pe tape! Pe tape! Pe tape!’ Jika ibunya
lelah maka ia yang bergantian berteriak menawarkan tape. Jika ada yang beli
hati senangnya bukan main. Rasa lelah seperti hilang begitu saja. Apalagi jika
ada yang memborong sampai belasan bungkus, ia dan ibunya akan merasa menjadi orang
paling beruntung di dunia.
Suatu ketika. Dalam
peringatan hari kemerdekaan Indonesia, ia disuruh gurunya untuk mengikuti lomba
cerdas cermat dan lomba menulis puisi. Waktu itu ia sudah kelas dua di MA
Safiyah. Karena memang ia termasuk siswa yang mempunyai nilai akademik yang
tinggi dan ia juga pandai dalam merangkai sajak-sajak puisi. Namun, lomba itu
tidak gratis. Harus membayar beberapa rupiah untuk biaya administrasi
pebdaftarannya. Pihak sekolah hanya mampu mendaftarkannya untuk lomba cerdas
cermat saja. Padahal ia juga sangat ingin mengikuti lomba menulis puisi itu.
Ia sempat murung. Bahkan tidak nafsu
makan. Tak lama ibunya tahu, kenapa ia menjadi anak yang tidak punya rasa
gairah untuk berjuang. Padahal alam telah secara otomatis mengajarkannya
tentang perjuangan. Diam-diam ibunya menjual beberapa piring yang masih bagus
ke pasar loak. Uang hasil penjualan piring itu diberikan ibunya kepadanya untuk
membayar biaya pendaftaran lomba tulis puisi itu. Ia sangat bahagia. Ia peluk
erat-erat ibunya dengan terisak tangis. Lalu, berangkatlah ia mendaftar.
Penjualan piring ibunya tidak
sia-sia. Ia mendapatkan juara dua untuk lomba cerdas cermat dan juara satu
untuk lomba menulis puisi. Waktu itu ia menulis puisi dengan judul “Kopi itu Pahit”. Judul puisi yang sangat
filosofis. Puisi itu menceritakan perjuangan hidupnya dan ibunya. Perjuangan
hidup yang begitu memprihatinkan.
Ibunya begitu tegas. Mata ibunya yang
indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Setelah ia lulus
dari MA Salafiyah, ibunya memerintahkannya untuk mengikuti tes masuk perguruan
tinggi dengan jalur beasiswa. Ia penuhi perintah ibunya dengan perasaan takjub
akan kesabaran dan kekuatan jiwa ibunya. Jadilah ia masuk perguruan tinggi. Dan mulailah ia dan
keluarganya memasuki hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan dari
penjualan tape dan bantuan beasiswa hanya cukup untuk makan sehari-hari,
sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll.
Nyaris ia dan keluarganya hidup laksana kaum yang terjajah, makan hanya dengan
sepiring bertiga. Itupun bukan nasi dari beras tapi nasi dari jagung, karena
jagung lebih murah. Hari ini ibunya makan dan hari esok ibunya akan puasa.
Begitu seterusnya. Hari-hari yang ibunya lalui lebih berat dari hari-hari awal pertama
ia masuk sekolah dasar.
Malam hari ibunya rela tidur dengan
perut kosong. Terpaksa uang untuk beli buku ia ambil untuk pengganjal perut. Siang
hari, jangan tanya... ia, dan ibunya terpaksa puasa agar adiknya bisa makan.
Dari keterpaksaan itu, terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan. Meski demikian
melaratnya, ibunya tetap merasa bahagia. Ibunya tidak pernah menyesal atau
mengeluh sedikitpun. Tidak pernah ia melihat ibunya mengeluh, menagis dan sedih
ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun ibunya menangis, itu bukan karena menyesali
nasibnya, tetapi malah lebih kasihan
kepadanya. Ibunya kasihan melihat keadaannya yang seharusnya fokus belajar tapi harus hidup
sengsara layaknya gelandangan.
Sebaliknya, iapun merasa kasihan melihat
keadaan ibunya, seharusnya ibunya saat ini sudah santai dan menikmati gajinya,
tidak harus hidup menderita di rumah yang kumuh dan makan ala kadarnya. Timbal
balik perasaan ini ternyata menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuat
dalam dirinya. Ia tidak bisa lagi melukiskan rasa sayang, hormat, dan cinta yang
mendalam pada ibunya.
Setiap kali ia angkat kepala dari buku,
yang tampak di depannya adalah wajah ibunya yang lagi serius menabur ragi di
atas singkong yang sudah direbus. Sesekali ibunya akan berkata,
“Allah menyertai orang-orang yang sabar,
Le.”
Allah Maha Penyayang, usaha ibunya tidak
sia-sia. ia meraih gelar Sarjana dengan waktu tercepat. Hanya 3 tahun setengah
saja. Setelah meraih gelar Sarjana pun ibu dan adiknya masih hidup susah, tidur di atas tikar rotan.
Sampai akhirnya rahmat Allah datang
juga. Setelah usaha keras ibunya, ia berhasil meneken kontrak kerja di sebuah
sekolah dasar. Dan untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun menderita ia
baru kali ini mampu mengajak ibu dan adiknya makan diluar rumah.
Satu tahun
setelah itu. Ibunya kembali mengeluarkan perintah, yaitu perintah untuk melanjutkan
program Magister di Surabaya, dengan lohika, “Kamu itu anak yang berprestasi”.
Setelah bertahun-tahun hidup di sebuah lingkaran kemiskinan yang sangat
ekstrim, tak ada salahnya ia raih sekalian jenjang akademis yang lebih tinggi
sambil menikmati proses perjuangan dalam hidup.
Ia cium kening ibunya, dan bismillah...
ia berangkat ke Surabaya. Singkatnya, dengan rahmat Allah, ia berhasil
menggondol gelar Magister dari Surabaya. Setelah memperoleh gelar Magister, ia menjadi
seorang motifator dan juga menjadi seorang sastrawan. Kini, ia, ibu dan adiknya
hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah bertahun-tahun hidup
menderita, melarat dan sengsara.
Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai
nasehat hidup. Semoga kita bisa lebih hormat dan lebih mencintai ibu kita. Jika
hadirin sekalian ingin tahu siapa pemuda yang memiliki seorang ibu yang luar
biasa itu, tak lain dan tak bukan pemuda beruntung yang memiliki ibu yang
tabah, sabar dan teguh pendirian itu ialah seorang pemuda yang saat ini bicara
didepan kawan-kawan mahasiswa dan para hadirin sekalian.”
Tepuk tangan bergemuruh diiringi oleh
lelehan air mata haru para mahasiswa, dan segenap hadirin yang menghayati
cerita ini dengan seksama.
Lalu, motifator muda itu mengambil
sebuah lipatan kertas dari saku bajunya. Ternyata itu adalah puisinya yang
berjudul “Kopi itu Pahit” dan ia
membacakanya.
Semua orang tahu, kalau kopi itu pahit..
Pahit sepahit kehidupanku..
Semua orang tahu, kalau kopi itu gelap..
Gelap segelap masa depanku..
Walaupun kopi itu pahit..
Walupun kopi itu gelap..
Tapi kopi itu masih bisa kita nikmati..
Semua orang tahu, kalau hidup itu sulit..
Walaupun hidup itu sulit..
Tapi hidup itu harus dinikmati..
Begitu kita-kira nasihat ibu padaku..
Semoga setiap air mata yang jatuh dari matamu atas segala
kepentinganku..
Akan menjadi sungai untukmu di surga nanti..
Untuk ibuku yang sedang menjual tape keliling kampung..
* * * *
Mantab Mas tulisannya, semoga bisa terus meramaikan blogger Tuban :-)
BalasHapusSangat Bagus tulisannya, salam kenal dari kawan blogger Tuban
BalasHapusHehehe, masih perlu banyak belajar dari kawan-kawan
BalasHapusHehehe, masih perlu banyak belajar dari kawan-kawan
BalasHapus