Senin, 24 Oktober 2016

Cerpen_Keringat dan Air Mata Seorang Ibu



Keringat dan Air Mata Seorang Ibu
Oleh : Kang Aswan



Suatu pagi di Kota Wali, Tuban, Jawa Timur, 21 April 1997.
“Baik, langsung saja kita dengarkan kisah  yang  akan disampaikan oleh yang terhormat  Saudara Sabari. S.Pd, M.Pd. Beliau adalah motifator, sastrawan dan juga sekaligus penulis buku, seorang pakar motifator dan juga sastra, yang tak lain adalah juga alumni universitas kita. Kepada Saudara Sabari. S.Pd, M.Pd dipersilahkan!”
Suara moderator  acara seminar Peringatan Hari Kartini itu menggema di seluruh ruangan auditorium Universitas Ronggolawe yang terletak di Bumi Wali, Tuban, Jawa Timur. Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan oleh motifator muda itu.
Sejurus kemudian, seorang laki-laki berambut pendek melangkah menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa ia tes mikrofon terlebih dahulu, lalu...
“Bismillah, Assalamu’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua. Sebelumnya saya mohon ma'af , saya tidak bisa memberi motivasi lazimnya para motivator, karena jika dibilang motivator saya juga bukan motivator sebenarnya. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita tentang perempuan yang sangat hebat. Seorang ibu yang dengan berdarah-darah memiliki cita-cita menyekolahkan anaknya dengan setinggi-tingginya. Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya.
 Harapan saya, kawan-kawan mahasiswa dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta terhadap ibu kita, serta menghadirkan kasih sayang kepada ibu bagi hati yang menangkapnya.
Dua puluh tahun yang lalu... Ada seorang pemuda yang hidup di tengah keluarga dengan tingkat kemiskinan yang sangat ekstrim. Ayahnya seorang buruh tani. Ayahnya lebih dulu meninggalkan dunia, ketika ia baru berumur lima tahun. Ketika ayahnya telah tiada, cahaya dalam keluarganya sempat meredup. Ia sangat merasa kehilangan. Namun, ibunya tetap mencontohkan ketegaran layaknya seorang pahlawan. Ibunya seorang buruh tani juga. Ia anak sulung, adiknya satu, perempuan. Sebagai anak sulung dan satu-satunya lelaki dalam keluarganya, ia bekerja keras membanting tulang walaupun usianaya masih sangat kecil. Ia hidup dalam suasana yang sangat memprihatinkan. Perjalanan hidup sepenuhnya hanya mengandalkan musim. Ya, Ia dan Ibunya hanya bekerja ketika musim padi dan jagung tiba. Kampung yang ia tinggali masih mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat yang sepadan. Ia dan keluarganya merasa terdiskriminasi dengan strata sosial itu. Ia tidak merasakan benar apa itu hidup bahagia. Namun  ia tidak peduli. Karena ia menganggap bahwa hidup itu adalah sebuah perjuangan.
Hingga suatu ketika. Dalam suasana sore yang gerimis. Seorang ibu guru datang kerumahnya dan mengubah jalan cerita hidupnya. Ibu guru itu berkata, “Bu, anak ibu sudah berumur enam tahun, apakah ibu tidak ingin menyekolahkannya?” dengan tersenyum ibunya menjawab tanpa persetujuannya, “Itu yang saya cita-citakan, ibu guru. Walaupun saya ini seseorang yang tidak berpendidikan, tapi saya ingin mempunyai anak-anak yang memiliki pendidikan tinggi.” Ibu guru yang belakangan ia ketahui namanya Bu Zulaikah itu memberikannya dua pasang seragam sekolah, alat tulis, tas dan juga sepasang sepatu.
Pagi harinya. Ia untuk pertama kali masuk sekolah. Ia sekolah di MI Islamiyah. Satu-satunya sekolah yang paling murah dikampungnya. Saat itulah perjuang ibunya dimulai. Pagi-pagi sekali ibunya sudah terkesiap. Menyiapkan sarapan, seragam, buku, dan memandikan adiknya yang baru berumur tiga tahun. Setelah itu, ibunya mengantarkannya ke sekolah. Jalan kaki menempuh jarak kurang lebih 3 km dengan menggendong adiknya.
Mereka bertiga terseok-seok menjemput fajar. Kaki ibunya berdarah-darah karena tidak memakai sandal. Ibunya jalan tertatih-tatih mengejarnya yang dengan lincah lari terpontang-panting kekanan dan kekiri. Sepatu pemberian ibu guru itu terlalu besar untuk ukuran kaki bocah berumur enam tahun itu. Satu dua butir keringat jatuh dan masuk kedalam mata ibunya. Sesekali ibunya berhenti membenarkan sayut gendongan adiknya. Hari-hari seperti itu. Terus dan terus begitu.
Semenjak ia masuk sekolah. Ibunya beralih profesi dari buruh tani menjadi seorang penjual tape. Jika hari jum’at ia diajak ibunya ikut serta. Berjalan berkilo-kilo. Jika telah dekat dengan rumah penduduk ibunya akan berteriak, ‘Pe tape! Pe tape! Pe tape!’ Jika ibunya lelah maka ia yang bergantian berteriak menawarkan tape. Jika ada yang beli hati senangnya bukan main. Rasa lelah seperti hilang begitu saja. Apalagi jika ada yang memborong sampai belasan bungkus, ia dan ibunya akan merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.
                Suatu ketika. Dalam peringatan hari kemerdekaan Indonesia, ia disuruh gurunya untuk mengikuti lomba cerdas cermat dan lomba menulis puisi. Waktu itu ia sudah kelas dua di MA Safiyah. Karena memang ia termasuk siswa yang mempunyai nilai akademik yang tinggi dan ia juga pandai dalam merangkai sajak-sajak puisi. Namun, lomba itu tidak gratis. Harus membayar beberapa rupiah untuk biaya administrasi pebdaftarannya. Pihak sekolah hanya mampu mendaftarkannya untuk lomba cerdas cermat saja. Padahal ia juga sangat ingin mengikuti lomba menulis puisi itu.
            Ia sempat murung. Bahkan tidak nafsu makan. Tak lama ibunya tahu, kenapa ia menjadi anak yang tidak punya rasa gairah untuk berjuang. Padahal alam telah secara otomatis mengajarkannya tentang perjuangan. Diam-diam ibunya menjual beberapa piring yang masih bagus ke pasar loak. Uang hasil penjualan piring itu diberikan ibunya kepadanya untuk membayar biaya pendaftaran lomba tulis puisi itu. Ia sangat bahagia. Ia peluk erat-erat ibunya dengan terisak tangis. Lalu, berangkatlah ia mendaftar.
            Penjualan piring ibunya tidak sia-sia. Ia mendapatkan juara dua untuk lomba cerdas cermat dan juara satu untuk lomba menulis puisi. Waktu itu ia menulis puisi dengan judul “Kopi itu Pahit”. Judul puisi yang sangat filosofis. Puisi itu menceritakan perjuangan hidupnya dan ibunya. Perjuangan hidup yang begitu memprihatinkan.
Ibunya begitu tegas. Mata ibunya yang indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Setelah ia lulus dari MA Salafiyah, ibunya memerintahkannya untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi dengan jalur beasiswa. Ia penuhi perintah ibunya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwa ibunya. Jadilah ia  masuk perguruan tinggi. Dan mulailah ia dan keluarganya memasuki hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan dari penjualan tape dan bantuan beasiswa hanya cukup untuk makan sehari-hari, sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris ia dan keluarganya hidup laksana kaum yang terjajah, makan hanya dengan sepiring bertiga. Itupun bukan nasi dari beras tapi nasi dari jagung, karena jagung lebih murah. Hari ini ibunya makan dan hari esok ibunya akan puasa. Begitu seterusnya. Hari-hari yang ibunya lalui lebih berat dari hari-hari awal pertama ia masuk sekolah dasar.
Malam hari ibunya rela tidur dengan perut kosong. Terpaksa uang untuk beli buku ia ambil untuk pengganjal perut. Siang hari, jangan tanya... ia, dan ibunya terpaksa puasa agar adiknya bisa makan. Dari keterpaksaan itu, terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan. Meski demikian melaratnya, ibunya tetap merasa bahagia. Ibunya tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah ia melihat ibunya mengeluh, menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun ibunya menangis, itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi  malah lebih kasihan kepadanya. Ibunya kasihan melihat keadaannya yang  seharusnya fokus belajar tapi harus hidup sengsara layaknya gelandangan.
Sebaliknya, iapun merasa kasihan melihat keadaan ibunya, seharusnya ibunya saat ini sudah santai dan menikmati gajinya, tidak harus hidup menderita di rumah  yang kumuh dan makan ala kadarnya. Timbal balik perasaan ini ternyata menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuat dalam dirinya. Ia tidak bisa lagi melukiskan rasa sayang, hormat, dan cinta yang mendalam pada ibunya.
Setiap kali ia angkat kepala dari buku, yang tampak di depannya adalah wajah ibunya yang lagi serius menabur ragi di atas singkong yang sudah direbus. Sesekali ibunya akan berkata,
“Allah menyertai orang-orang yang sabar, Le.”
Allah Maha Penyayang, usaha ibunya tidak sia-sia. ia meraih gelar Sarjana dengan waktu tercepat. Hanya 3 tahun setengah saja. Setelah meraih gelar Sarjana pun ibu dan adiknya  masih hidup susah, tidur di atas tikar rotan.
Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras ibunya, ia berhasil meneken kontrak kerja di sebuah sekolah dasar. Dan untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun menderita ia baru kali ini mampu mengajak ibu dan adiknya makan diluar rumah.
            Satu tahun setelah itu. Ibunya kembali mengeluarkan perintah, yaitu perintah untuk melanjutkan program Magister di Surabaya, dengan lohika, “Kamu itu anak yang berprestasi”. Setelah bertahun-tahun hidup di sebuah lingkaran kemiskinan yang sangat ekstrim, tak ada salahnya ia raih sekalian jenjang akademis yang lebih tinggi sambil menikmati proses perjuangan dalam hidup.
Ia cium kening ibunya, dan bismillah... ia berangkat ke Surabaya. Singkatnya, dengan rahmat Allah, ia berhasil menggondol gelar Magister dari Surabaya. Setelah memperoleh gelar Magister, ia menjadi seorang motifator dan juga menjadi seorang sastrawan. Kini, ia, ibu dan adiknya hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah bertahun-tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.
Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Semoga kita bisa lebih hormat dan lebih mencintai ibu kita. Jika hadirin sekalian ingin tahu siapa pemuda yang memiliki seorang ibu yang luar biasa itu, tak lain dan tak bukan pemuda beruntung yang memiliki ibu yang tabah, sabar dan teguh pendirian itu ialah seorang pemuda yang saat ini bicara didepan kawan-kawan mahasiswa dan para hadirin sekalian.”
Tepuk tangan bergemuruh diiringi oleh lelehan air mata haru para mahasiswa, dan segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.
Lalu, motifator muda itu mengambil sebuah lipatan kertas dari saku bajunya. Ternyata itu adalah puisinya yang berjudul “Kopi itu Pahit” dan ia membacakanya.

Semua orang tahu, kalau kopi itu pahit..
Pahit sepahit kehidupanku..
Semua orang tahu, kalau kopi itu gelap..
Gelap segelap masa depanku..
Walaupun kopi itu pahit..
Walupun kopi itu gelap..
Tapi kopi itu masih bisa kita nikmati..

Semua orang tahu, kalau hidup itu sulit..
Walaupun hidup itu sulit..
Tapi hidup itu harus dinikmati..
Begitu kita-kira nasihat ibu padaku..

Semoga setiap air mata yang jatuh dari matamu atas segala kepentinganku..
Akan menjadi sungai untukmu di surga nanti..
Untuk ibuku yang sedang menjual tape keliling kampung..
* * * *














4 komentar:

  1. Mantab Mas tulisannya, semoga bisa terus meramaikan blogger Tuban :-)

    BalasHapus
  2. Sangat Bagus tulisannya, salam kenal dari kawan blogger Tuban

    BalasHapus
  3. Hehehe, masih perlu banyak belajar dari kawan-kawan

    BalasHapus
  4. Hehehe, masih perlu banyak belajar dari kawan-kawan

    BalasHapus