Oleh: Kang Aswan
Hari itu, lima tahun yang
lalu dengan segala idealisme yang diusung dari kampus, Joko mencoba menelusuri
terjalnya jalan hidup di Indonesia ini. Menjadi pengajar di Derah 3T. Tergelincir,
jatuh lalu bangun lagi menjadi bumbu wajib yang mewarnai perjalanan awal itu
dan hal ini hampir saja meruntuhkan mimpinya untuk menjadi "guru
sesungguhnya".
Melewati hembusan angin gunung yang begitu menusuk akhirnya ia bisa mencapai Desa yang termasuk kedalam Desa 3 T (Terluar, Terdepan, Tertinggal), tempat dimana berdirinya SDN Satu Atap (satu dari sekian sekolah terpencil yang ada di Indonesia). Sebuah bangunan yang "sederhana" di tengah desa berdiri kokoh diantara rindangnya pepohonan yang masih alami, seolah menyadarkan saya bahwa sebuah keajaiban telah terjadi di tempat ini.
Melewati hembusan angin gunung yang begitu menusuk akhirnya ia bisa mencapai Desa yang termasuk kedalam Desa 3 T (Terluar, Terdepan, Tertinggal), tempat dimana berdirinya SDN Satu Atap (satu dari sekian sekolah terpencil yang ada di Indonesia). Sebuah bangunan yang "sederhana" di tengah desa berdiri kokoh diantara rindangnya pepohonan yang masih alami, seolah menyadarkan saya bahwa sebuah keajaiban telah terjadi di tempat ini.
Bayangkan! Sebuah tempat
terpencil yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua, kondisi tanahnya jelek,
air langka, listrik tidak jelas dan komukasinya mati hidup, sinyal handpone
tidak ada, puskesmas jauh,tapi bisa membangun sebuah sekolah walaupun itu
sederhana. Joko tahu bahwa ia bisa membatu anak-anak itu untuk "menyentuh
impianya".
Sering para guru dikritik karena mengaku kalah pada
keaadaan itu, tidak disiplin, dan tidak bertanggung jawab pada profesi yang
diemban. Akan tetapi Joko tetap bertahan untuk berjalan meskipun terseok-seok
untuk menjalani sebuah tugas besar tanpa cap dan meterai enam ribu yakni
membantu "anak gunung" menyentuh mimpi mereka.
Tidak semudah membalikan telapak tangan, mungkin
kalimat ini sudah "ter-instal mati" pada memori Joko. Pagi, makan
nasi jagung saja. Siang, masih menu yang sama (syukur kalau ada sayur-sayuran
yang ada di hutan dan ada wali murid yang bersedia memberinya makanan). Malam,
minum kopi sambil makan ubi bakar. Dan ini menjadi rutinitas yang harus dialmin
Joko. Ketika listrik tak nentu, mati hidup, mati hidup, ia menyediakan
lentera-lentera untuk menerangi ketika ia belajar. Cahaya lentera yang
meliuk-liuk gelisah seperti kunang terperangkap di dalam toples itu menjadi
saksi perjuangannya.
Melihat semangat anak-anak itu, kadang Joko menangis
terutama saat mereka berebutan cahaya pelita waktu belajar. Kadang juga Joko
marah pada leluhur tanah ini. Dalam hati ia berkata,
“Kenapa harus membuat anak cucu kalian menderita di
tempat ini, ketika pemerintah menerapkan untuk direlokasi. Tapi sudalah, para
leluhur itu pasti punya alasan yang mungkin jauh lebih berarti ketimbang rasa
simpati kita yang kadang mati seiring waktu.”
Joko tetap bertahan dan bertahan lagi, karena tugas
besar itu butuh guru yang tahan banting, butuh guru yang siap dikritik dan
dicerca. Anak-anak itu dan tatapan mata mereka yang penuh harapan itu, begitu
menusuk sampai kedalam kalbu seolah berkata,
"kami harus berlari kemana lagi dan kepada siapa
lagi untuk meraih mimpi kami, kalau bukan pada kalian ayah dan ibu guru dan
bapak guru?"
Joko adalah seorang guru muda yang terketuk hatinya
untuk mengajar di Pedalaman. Mengikuti program pemerintah untuk meningkatkan
mutu pendidikan daerah tertinggal, Joko mendapatkan pelajaran hidup yang sangat
luarbiasa ketika itu. Ya, benar-benar luarbiasa. Harus berjuang banyak di SDN
itu. Beribu tantangan yang ia dan kawan-kawan gurunya harus dihadapi. Joko
hidup prihatin dengan menempati salah satu ruang perpus untuk tempatnya tinggal,
belum lagi ketika sakit, ia harus menempuh perjalanan 6 jam untuk ke puskesmas.
Yang paling menyesakkan tentu saja ia tak bisa
berkabar dengan sanak keluarganya lantaran hampir tak ada sinyal. Untungnya, ia
adalah anak muda tangguh yang niatnya benar-benar tulus. Pemuda lulusan
Pendidikan Ekonomi yang dengan semangat ingin menunjukkan aksi nyata
kepeduliannya dengan berangkat ke desa terpencil itu. Joko sering ingin
menangis. Ya, ini jauh dari apa yang dikiranya.
Bukan tentang bagaimana kesulitan hidupnya nanti, tapi
melihat kondisi sekolah yang seperti ala kadarnya. Bukti jika daerah tertinggal
memang selalu disepelekan. Meskipun demikian, hal tersebut tak menyurutkan
langkahnya untuk masuk kelas dan mengajar anak-anak SD yang menurutnya juga
belum terlalu bisa baca dan tulis.
Joko tahu kalau
hidupnya sunguh sangat berat, namun niat baik dari awalnya sudah kuat hingga
akhirnya ia bisa bertahan. Di sana, hidupnya juga tak terlalu memperihatinkan
kecuali tidak adanya listrik dalam waktu yang lama. Karena menurut Joko, “Menjadi seorang guru adalah sebuah panggilan
Tuhan.”
Itulah
Kisah Perjuangan Seorang Guru Yang Mengharukan.
Cerpen
ini adopsi dari “Kumpulan kisah-kisah perjuangan guru” yang bersumber dari
berbagai media.
Singaraja, 25 November 2016
Selamat Hari Guru Nasional
keren, min...
BalasHapusBaru belajar nulis, Mas hehehe
BalasHapusSemangat nulis Kang 😊
BalasHapusHehehe, iya um
BalasHapusHehehe, iya um
BalasHapus