Kamis, 24 November 2016

Dari Gunung Untuk Indonesia




Oleh: Kang Aswan

Hari itu, lima tahun yang lalu dengan segala idealisme yang diusung dari kampus, Joko mencoba menelusuri terjalnya jalan hidup di Indonesia ini. Menjadi pengajar di Derah 3T. Tergelincir, jatuh lalu bangun lagi menjadi bumbu wajib yang mewarnai perjalanan awal itu dan hal ini hampir saja meruntuhkan mimpinya untuk menjadi "guru sesungguhnya".
Melewati hembusan angin gunung yang begitu menusuk akhirnya ia bisa mencapai Desa yang termasuk kedalam Desa 3 T (Terluar, Terdepan, Tertinggal), tempat dimana berdirinya SDN Satu Atap (satu dari sekian sekolah terpencil yang ada di Indonesia). Sebuah bangunan yang "sederhana" di tengah desa berdiri kokoh diantara rindangnya pepohonan yang masih alami, seolah menyadarkan saya bahwa sebuah keajaiban telah terjadi di tempat ini.
Bayangkan! Sebuah tempat terpencil yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua, kondisi tanahnya jelek, air langka, listrik tidak jelas dan komukasinya mati hidup, sinyal handpone tidak ada, puskesmas jauh,tapi bisa membangun sebuah sekolah walaupun itu sederhana. Joko tahu bahwa ia bisa membatu anak-anak itu untuk "menyentuh impianya".
Sering  para guru dikritik karena mengaku kalah pada keaadaan itu, tidak disiplin, dan tidak bertanggung jawab pada profesi yang diemban. Akan tetapi Joko tetap bertahan untuk berjalan meskipun terseok-seok untuk menjalani sebuah tugas besar tanpa cap dan meterai enam ribu yakni membantu "anak gunung" menyentuh mimpi mereka.
Tidak semudah membalikan telapak tangan, mungkin kalimat ini sudah "ter-instal mati" pada memori Joko. Pagi, makan nasi jagung saja. Siang, masih menu yang sama (syukur kalau ada sayur-sayuran yang ada di hutan dan ada wali murid yang bersedia memberinya makanan). Malam, minum kopi sambil makan ubi bakar. Dan ini menjadi rutinitas yang harus dialmin Joko. Ketika listrik tak nentu, mati hidup, mati hidup, ia menyediakan lentera-lentera untuk menerangi ketika ia belajar. Cahaya lentera yang meliuk-liuk gelisah seperti kunang terperangkap di dalam toples itu menjadi saksi perjuangannya.

Melihat semangat anak-anak itu, kadang Joko menangis terutama saat mereka berebutan cahaya pelita waktu belajar. Kadang juga Joko marah pada leluhur tanah ini. Dalam hati ia berkata,

“Kenapa harus membuat anak cucu kalian menderita di tempat ini, ketika pemerintah menerapkan untuk direlokasi. Tapi sudalah, para leluhur itu pasti punya alasan yang mungkin jauh lebih berarti ketimbang rasa simpati kita yang kadang mati seiring waktu.”

Joko tetap bertahan dan bertahan lagi, karena tugas besar itu butuh guru yang tahan banting, butuh guru yang siap dikritik dan dicerca. Anak-anak itu dan tatapan mata mereka yang penuh harapan itu, begitu menusuk sampai kedalam kalbu seolah berkata,

"kami harus berlari kemana lagi dan kepada siapa lagi untuk meraih mimpi kami, kalau bukan pada kalian ayah dan ibu guru dan bapak guru?"

Joko adalah seorang guru muda yang terketuk hatinya untuk mengajar di Pedalaman. Mengikuti program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan daerah tertinggal, Joko mendapatkan pelajaran hidup yang sangat luarbiasa ketika itu. Ya, benar-benar luarbiasa. Harus berjuang banyak di SDN itu. Beribu tantangan yang ia dan kawan-kawan gurunya harus dihadapi. Joko hidup prihatin dengan menempati salah satu ruang perpus untuk tempatnya tinggal, belum lagi ketika sakit, ia harus menempuh perjalanan 6 jam untuk ke puskesmas.

Yang paling menyesakkan tentu saja ia tak bisa berkabar dengan sanak keluarganya lantaran hampir tak ada sinyal. Untungnya, ia adalah anak muda tangguh yang niatnya benar-benar tulus. Pemuda lulusan Pendidikan Ekonomi yang dengan semangat ingin menunjukkan aksi nyata kepeduliannya dengan berangkat ke desa terpencil itu. Joko sering ingin menangis. Ya, ini jauh dari apa yang dikiranya.

Bukan tentang bagaimana kesulitan hidupnya nanti, tapi melihat kondisi sekolah yang seperti ala kadarnya. Bukti jika daerah tertinggal memang selalu disepelekan. Meskipun demikian, hal tersebut tak menyurutkan langkahnya untuk masuk kelas dan mengajar anak-anak SD yang menurutnya juga belum terlalu bisa baca dan tulis.

Joko tahu kalau hidupnya sunguh sangat berat, namun niat baik dari awalnya sudah kuat hingga akhirnya ia bisa bertahan. Di sana, hidupnya juga tak terlalu memperihatinkan kecuali tidak adanya listrik dalam waktu yang lama. Karena menurut Joko, Menjadi seorang guru adalah sebuah panggilan Tuhan.”

Itulah Kisah Perjuangan Seorang Guru Yang Mengharukan.
Cerpen ini adopsi dari “Kumpulan kisah-kisah perjuangan guru” yang bersumber dari berbagai media.

Singaraja, 25 November 2016
Selamat Hari Guru Nasional


































5 komentar: